Share

Pembalasan Sang Ratu
Pembalasan Sang Ratu
Penulis: Nora_Lee

Chapter 1

Arka menghela napas, ia menatap datar tumpukan dokumen di atas meja kerjanya. Belum apa-apa, pria itu sudah merasa lelah ketika melihatnya.

"Baru saja aku datang," gerutunya sembari menyeruput sedikit kopi yang dibelinya di perjalanan.

"Sudah banyak pekerjaan yang menunggu." Pria itu menghela napas, kemudian duduk di kursi kerjanya. Kunci mobilnya ia taruh begitu saja di atas meja, kentara sekali mood-nya tidak berada dalam kondisi yang baik.

Arka kemudian memakai kacamatanya, satu dokumen ia raih dan baca sekilas. "Sudah kuduga," gumam pria itu kesal. "Unit 30 lagi, mau sampai kapan sih kasusnya selesai?"

Dia kemudian mulai membaca perkembangan kasus yang sedang dikerjakannya, menyadari bahwa tak ada perkembangan yang berarti, Arka nyaris saja melempar dokumen itu ke tempat sampah. Ia kesal, sangat kesal. Entah sudah berapa bulan kasus yang tengah diselidiki pria berambut cokelat itu tak kunjung selesai.

"Apa-apaan ini? Yang ada hanya pertambahan korban? Unit 30 ini apa sih? Unit kematian?" kesal Arka sembari menyesap kopinya yang sudah mulai mendingin. Ia menghela napas, lalu mengerjakan satu demi satu dokumen yang tergeletak manja, minta dikerjakan.

Terdengar suara ketukan di pintu ruangannya. Tanpa menoleh, Arka berteriak dari dalam untuk mempersilakan apapun yang sedang mengetuk pintu untuk masuk.

"Pak, adik anda datang," kata anak buahnya yang memiliki name-tag Revan. Arka langsung menoleh, kemudian menatap Revan.

"Kamu serius?"

Revan mengangguk, membuat Arka mendecih kesal. "Aku belum menyiapkan apapun untuknya, bodoh! Kenapa kamu mengijinkannya masuk?!" bentak Arka.

Revan menghela napas, pria berambut hitam itu tersenyum tipis. "Mau bagaimana lagi, adik anda memaksa saya, atau perlukah saya katakan saja anda sedang sibuk dan tak bisa diganggu?"

"Tidak, itu tidak perlu. Ijinkan saja dia masuk." Revan segera mengangguk, ia lalu pergi dari hadapan Arka untuk menjemput adik atasannya itu.

-000-

"Kakak!!" Terdengar sebuah teriakan dari pintu ruangan Arka. Sang kakak menoleh, menatap gadis berambut merah jambu itu dan tersenyum.

"Kenapa kamu datang, Aki-tan?" Gadis yang dipanggil Aki itu tersenyum.

"Kangen kakak!" Tomoaki langsung memeluk pria yang menjadi lawan bicaranya dari belakang. Lollipop berwarna merah terang seolah memberi kesan ceria pada gadis itu.

"Lollipop lagi? Nanti kamu sakit gigi, Aki," tegur Arka dengan nada khawatir. Yang ditegur hanya tertawa kecil.

"Santai saja, kak, aku rajin menyikat gigiku." Tomoaki tersenyum lebar. "Dan permen ini khusus dibuatkan untukku, agar aku tidak sakit gigi."

"Dan sejak kapan kamu mewarnai rambutmu menjadi pink, Aki-tan?" Sang adik memanyunkan bibirnya, kemudian mengatakan kalau ia mengecat rambutnya sekitar sebulan yang lalu.

"Sigh …" Arka menghela napas. "Ya sudahlah, setelah ini, kamu kemana?"

"Kerja," jawab Tomoaki sembari mengerling. Melihat itu, Arka hanya mengangguk, pria itu tentunya mengerti apa maksud Tomoaki.

-000-

Entah cangkir kopi yang keberapa, tetapi laporan setebal buku kamus besar bahasa Inggris itu tak kunjung selesai di tangan Arka. Ia baru menyelesaikan setengahnya, dari total seluruh laporan yang memiliki deadline super sempit. Maag yang dialaminya pun sudah kumat, mau bagaimanapun, laporan itu sukses membuat Arka melewatkan sarapan, makan siang, dan makan malamnya. Belum lagi kenyataan bahwa laporan itu akan menjadi pembahasan dalam rapat bersama Eleanor dua hari lagi.

"Argh!! Yang benar saja, siapa sih dalangnya?!" Arka melempar pulpen yang dipakainya ke lantai. "Buat susah orang lain saja!!" Namun menyadari emosinya takkan mengubah apapun, Arka kembali memungut pulpen yang ia lempar, kemudian melanjutkan laporannya. "Baru saja kutinggal investigasi ke lapangan dua hari, sudah menggunung seperti ini. Bagaimana kalau kutinggal liburan tiga bulan? Sampai Eleanor mangkat juga sepertinya takkan selesai," gerutu pria itu.

"Tunggu?" Arka menatap kolom pertanyaan yang muncul di laporan miliknya. "Darimana anak-anak itu berasal? Mengapa mereka bisa diculik?" Pertanyaan itu sukses memantik emosi Arka. "KAU PIKIR AKU IBUNYA?!"

"Huft …" Arka kembali menekan interkom, kemudian meminta Raven membelikan kopi lagi untuknya. Setidaknya Arka butuh lima puluh gelas untuk menyelesaikan laporan miliknya.

-000-

Arka melirik jam, pria itu kemudian menyadari bahwa saat ini sudah mencapai tengah malam. Tatapannya ia alihkan ke sebuah pigura foto yang dia tutup. "Hm …"

Sang lelaki berambut cokelat kemerahan itu melepas kacamatanya dan memijat pelipisnya sembari mengambil pigura itu. "Sigh … padahal dulu kita berteman. Aku tidak pernah menyangka kalau orangtuamu yang membunuh orangtuaku. Yang benar saja." Ia kembali menelungkupkan pigura tersebut ke meja kerjanya.

Pikirannya melayang, entah berapa tahun yang lalu, dia dan pria di pigura itu adalah sahabat baik. Mereka bahkan selalu bersama, hingga muncul perkataan yang intinya, dimana ada Arka, pasti ada pria itu. Tetapi semenjak mereka lulus dari akademi, keduanya bermusuhan. Tentu saja ada alasannya.

"Ah? Apa sih yang kupikirkan? Ayo kembali bekerja, Arka, laporanmu takkan selesai sebelum waktunya jika kau terus melamun." Pria itu kemudian menyimpan pigura foto miliknya ke laci, ia lalu kembali mengerjakan laporan miliknya.

-000-

Malam sudah berlalu, sekarang sudah jam dua malam, dan laporannya baru selesai. Dapat dibayangkan seperti apa wajah Arka ketika menyadari laporan sialan miliknya selesai.

"Akhirnya ya Tuhan, selesai!" Pria itu merenggangkan tubuh, kemudian bangkit dan mengambil jaketnya, namun sebelum itu, untuk berjaga-jaga, Arka menyimpan laporan yang ia kerjakan di dalam sebuah brankas. "Ayo pulang, aku sudah merindukan kasurku!"

Sesegera mungkin, Arka pulang ke apartmennya yang berada di distrik 2, sekitar lima kilometer dari distrik 1, tempat dimana pusat pemerintahan berada. Benar, Arka bukanlah rakyat sipil biasa, dirinya adalah seorang kepala bidang kejahatan berat, yang bertanggungjawab terhadap kejahatan sejenis perdagangan manusia, narkotika, korupsi dan semacamnya. Dan kasus Unit 30 yang sedang dia selidiki, termasuk dalam kasus perdagangan manusia, percobaan ilegal, dan banyak lagi.

Dalam diam, pria berusia 30-an itu mengendarai mobil mewahnya menuju kediamannya. "Lelahnya …" gumam Arka sembari memacu kendaraannya lebih cepat. Mobil berwarna hitam itu dengan mulus masuk ke parkiran bawah tanah apartemen tempat tinggal Arka. Ia langsung memarkirkannya di tempat yang tersedia, lalu segera naik ke kamar lelaki itu. Tanpa mempedulikan apapun, Arka melepas sepatunya, kemudian beranjak ke dapur untuk melihat bahan makanan yang tersisa.

"Ah, sial, untung saja besok hari minggu, aku akan belanja besok." Arka mendecak kesal ketika menyadari isi kulkas miliknya kosong. "Ya ampun, untung saja aku masih punya ini," gumam Arka sembari memanaskan makanan beku di dalam microwave. Dengan santai, Arka memakan santapan makan malam yang ia buat, sembari menonton televisi.

Setelah itu, Arka mencuci piring, dan segera beranjak ke kamar untuk beristirahat. Sekilas, Arka menatap foto Eleanor yang berada di pojokan kamarnya.

"Kapan kau mangkat, Ratu sialan?"

Sayang sekali, omongan Arka layaknya doa untuknya. Eleanor menelepon pria itu malam itu juga. Tanpa mengetahui siapa yang meneleponnya, Arka mengangkat panggilan tersebut. "Selamat malam," ucapnya malas.

"Selamat malam, Akifuyu." Suara itu membuat Arka tertegun, tak menyangka Eleanor akan meneleponnya semalam ini. "Langsung saja kepada intinya, bagaimana perkembangan mengenai kasus Unit 30?"

Arka mendecak kesal. "Tidak ada perkembangan yang berarti, hanya ada penambahan korban saja, Yang Mulia," jawab pria itu apa adanya, sesuai dengan kenyataan lapangan.

"Hm …" Wanita di seberang telepon hanya tersenyum miring, Eleanor berdiri di hadapan sebuah cermin di ruangannya dalam istana Avaka. "Kau tahu apa yang akan terjadi jika kau gagal membongkar siapa dalang unit itu, kan, Akifuyu?"

"Brengsek!! Mau apa kau?!" maki Arka kesal, Eleanor selalu saja mengancamnya seperti ini. Ia lelah, kalau saja semua ini bukan demi adiknya, Arka tentu saja tidak peduli.

"Mhm … menurutmu? Ah ya, jangan lupa, Tomoaki ada di tanganku. Gadis berambut merah jambu itu, lihat apa yang bisa kulakukan untuknya." Eleanor menatap foto Tomoaki di tangannya, kemudian meremas foto itu kasar. "Dan jangan lupa, Akifuyu, jangan lupa siapa kau sebenarnya."

"Jangan bawa-bawa rasku atau adikku, brengsek! Mereka tidak ada kaitannya dengan ini!" teriak Arka dari balik panggilan sembari menggebrak meja dapurnya hingga kaca meja itu retak lagi. "Ingat ya, Eleanor! Beberapa kasusmu ada di tanganku! Jadi jangan macam-macam!" ancam Arka balik.

Menanggapi ancaman itu, Eleanor hanya tertawa. "Coba saja jika kau bisa, memangnya siapa kau? Berani sekali kau mengancamku." Tangan Sang Ratu yang berbalutkan sarung tangan berwarna hitam itu mengusap sebuah tape recorder, kemudian menekan tombol mainkan. Tentunya Arka dengan jelas dapat mendengar suara teriakan kesakitan dan permohonan adiknya, namun yang tidak dia ketahui, itu semua hanyalah rekaman buatan Eleanor, berdasarkan kejadian beberapa tahun lalu.

"SIALAN!! Baik-baik, aku akan mencari siapa dalangnya! Sekarang, lepaskan Aki!" Arka berteriak frustasi, beruntung dirinya hanya sendirian di rumah.

"Baguslah, sampai bertemu dua hari lagi, Akifuyu." Eleanor tersenyum miring sembari mematikan panggilan, dalam hati ia merasa sangat puas melihat Arka yang terlihat sangat frustasi. 'Satu boneka sudah bekerja, kita lihat bagaimana dua anak ini akan saling membunuh, terkhusus jika dia sudah tahu.' Eleanor tertawa kecil sembari mengusap foto Arka, Nora dan Ryo.

"Lihat saja pembalasanku terhadap bangsa kalian yang telah menghancurkanku."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status