Share

Memohon

Sesampainya aku dan Mamah di rumah, aku kembali masuk ke dalam kamar, untuk melihat CCTV yang sudah terpasang sedari kemarin di rumahku sana.

Aku sengaja memantau dari rumah Mamah, agar Mas Jalu merasa leluasa untuk melakukan apapun di rumah.

Dugaanku seratus persen benar, semua tidak pernah meleset sama sekali, Ibu Mertua benar-benar lancang. Berani masuk kamarku, serta membobol brankas milikku. Aku yakin, ia tahu kode brankas itu pun dari Mas Jalu, Ibu dan anak sama saja, suka nyari untung.

Ibu terlihat rakus sekali, ia bahkan mengambil beberapa perhiasan yang sudah kuganti dengan yang palsu. Ha ha ha ..., ah, seru rasanya ngerjain manusia serakah.

Aku kembali memutar rekaman CCTV yang menunjukkan pukul enam malam hingga pagi.

Yah, terlihat Mas Jalu pulang seorang diri, kupikir Ratih akan ikut bersamanya.

Saat aku hendak menghentikan aktivitas menonton rekaman CCTV hari kemarin, aku tersentak. Ratih datang tepat di jam dua belas malam, gayanya pun mengendap-ngendap bagaikan maling. Eh, emang maling ya, maling suami orang.

Saat Ratih mulai memasuki ruang tengah. Mas Jalu nampak turun dari tangga, lalu tiba-tiba lampu mati, sial. Aku jadi nggak bisa lihat kemana mereka berdua. Sepertinya sengaja mereka matikan, sialan.

Aku melihat rekaman CCTV itu hingga pagi, namun tidak ada terlihat sama sekali tanda-tanda pergerakan Ratih dan Mas Jalu. Lampu tetap mati, hingga siang hari, terlihat keluar rumah, hanya mas Jalu saja. Ratih? Entah kemana, aku pun bingung.

Sepertinya, mereka tidak sebodoh dugaanku, mereka begitu hati-hati menutupi hubungan terlarangnya di rumah kami.

Baiklah, slow dulu, sambil menikmati secangkir kopi cappucino.

"Ros ..., Rosa!" Mamah mengetuk pelan pintu kamarku. Aku pun kembali menutup laptop, dan berjalan menuju pintu kamar.

Kubuka pelan pintu, kudongakkan kepala keluar.

 

"Ada apa? Mah." Aku bertanya dengan dahi mengerut.

"Diluar ada di Jalu, temuin sana, Mamah malas." 

"Ngapain dia? Mah. Ganggu orang saja!" celetukku kesal, namun aku tetap berusaha menyembunyikan amarahku, dari Mas Jalu.

"Nggak tau, sana gih temuin, biar cepat pulang dia. Emosi Mamah lama-lama lihat wajah laki-laki sok polos itu," gerutu Mamah sambil berjalan meninggalkanku.

Aku berjalan gontai menuju ruang tamu, tempat Mas Jalu berada. 

"Mas ..., ngapain kesini?" tanyaku sambil mengambil posisi duduk, bersebrangan dengan Mas Jalu.

"Mas ..., Mas, di skorsing dari kantor, untuk penyelidikan terkait tuduhan korupsi itu. Jadi, mas kesini, mau jemput kamu pulang."

"Mas, aku pengen di sini dulu, ya! Mungkin sebulan lagi," ujarku santai, tanpa mau menatap wajahnya.

"Hah? Seriusan, kok lama banget, Ros."

"Ah, biasa juga gini, kok kamu protes? Bukannya senang kalau aku nggak ada di rumah, kan kamu bisa main-main." Aku menyindirnya.

Wajah mas Jalu terlihat puas dan ia pun duduk dengan gelisah. "Ro--s, apa mak--sud kamu ...," tanyanya gugup. 

"Kok gagap mas suaranya? Seperti kucing yang ketahuan makan ikan lezat, namun nggak halal, seban ..., em." Aku tak jadi melanjutkan, rasanya mulut itu harus di rem sedikit.

"Ah, engga, Mas biasa saja. Ros, pulang yuk! Mas kangen," rengeknya.

Aku mendelikan mata menatap laki-laki yang menjadi suami beberapa tahun ini. "Mas, kamu kok aneh, nggak kayak biasanya!" ucapku dengan heran.

"Ros, Ibu ..., Ibu perlu uang! Mas, boleh nggak pinjam tabungan kamu dulu," ujarnya tiba-tiba. 

'Oh, jadi ini sebenernya tujuannya datang.'

"Emang ibu kenapa? Mas." Aku bertanya, pura-pura tidak tahu, bahwa Ibunya dalam masalah.

"Enga--ga ..., itu, anu, hanya perlu uang." 

"Hem, Ros nggak bisa bantu, sayang sekali."

"Kenapa, Ros? Bukannya tabungan kamu banyak! Cuma dua ratus juta, Ros. Masa kamu nggak bisa bantu suami dan Mertua kamu."

"Iya nggak bisa, coba minta bantu Ratih deh, kan, Papahnya kaya raya." 

"Kaya raya gimana? Kamu bilang tempo hari, Papahnya sudah tidak bekerja."

"Kaya raya si Ratih itu, banyak tabungannya, hasil ngepet!" sindirku lagi, sambil terkekeh.

"Ros, Mas serius. Nggak lucu becandanya."

"Eh, siapa pula yang becanda. Banyak tabungannya dia itu, makanya, minta tolong dia saja. Uangku, semua sudah aku investasikan ke perusahan Gunawan." 

"Gunawan si pengangguran itu? Sejak kapan dia punya perusahaan, Ros. Di kadalin kamu, sama dia."

Aku tertawa sumbang. "Kalian saja yang nggak tau, aku kan sahabatan sejak lama sama Gunawan, jelas aku tau."

"Ya, baguslah, kalau di kadalin aja. Em, sekarang bantuin mas dulu," ujarnya lagi.

"Nggak ada, Mas. Pulang sana gih, aku loh capek!" sahutku.

"Kok, mas di usir, kan kamu istri, Mas. Mas istirahat di sini saja, ya!"

"Ih, apa-an sih, nggak boleh, pulang sana! Masa rumah di biarkan kosong," ujarku beralasan, malas banget kalau harus membiarkan Mas Jalu tidur di sampingku lagi, jijik rasanya.

"Yaudah, mas pulang. Kamu jangan lama-lama ninggalin, Mas. Mas tunggu transferannya, ya!" ujarnya seraya berdiri.

"Transfer'an apa? Sudah di bilang nggak ada juga, minta ke Ratih sana, aku nggak ada."

"Kamu serius, Ros."

"Yakali aku becanda, nggak lucu banget."

"Ros, kamu berubah banget, apa Mas ada salah?" tanyanya dengan wajah memelas. 

Aku menatap datar pada wajah lelaki yang dulunya pernah aku cintai itu, namun begitu banyak luka yang ia dan Ibunya taburkan di hati ini. Sekarang di saat susah, ia mengiba dan bersikap manis, tetapi di saat semua seakan di genggamannya. Ia bahkan memperlakukan aku secara kasar, bahkan dengan sadar bermain api dengan sahabatku. 

Aku mengulas senyum. "Tidak ada yang berubah, hanya saja, memang uangku sudah tidak ada. Aku terlanjur berinvestasi bersama Gunawan, keuntungannya besar, makanya aku mau." 

"Beneran nggak ada apa-apa kan? Aku takut kamu ninggalin aku, saat aku sudah begini," ujarnya mengiba, sambil menggenggam telapak tanganku.

"Sudah ya, mas. Kamu pulang sudah, istirahat di rumah!" titahku seraya melepas pelan genggaman tangannya.

Mas Jalu terdiam sesaat, lalu menghembuskan napas berat. "Yasudah, kamu jangan lama-lama di sini, ingat. Ada mas di rumah, yang selalu setia menanti kamu pulang."

"Baiklah," ujarku tersenyum.

"Mas pamit." Mas Jalu membalikkan badannya, menuju ke arah pintu keluar.

Lalu, ia kembali menengok ke arahku. "Ros, kamu nggak cium tangan, Mas?" ia bertanya dengan mimik wajah heran.

"Eh, lain kali saja, Mas. Sudah pulang sana, Ros mau istirahat juga!" ujarku berusaha menghindar. Bukannya aku durhaka, hanya saja aku sudah enggan berbaik hati kepadanya. 

Jijik, jika harus mencium tangan seorang penzina, meski itu suamiku sendiri.

Mas Jalu, wajahnya kini terlihat begitu kecewa, ia bahkan bergegas meninggalkan rumah Mamah dan Papah tanpa suara lagi.

'Maafkan aku, Mas. Jika saja kamu tidak berlaku sejauh ini, mana mungkin aku bersikap seperti ini.' batinku berkata pilu.

Sepulang mas Jalu dari rumahku, aku kembali berimajinasi liar tentang Ibu mertua, yang kini kena batunya.

'Sekali pukul, dua nyamuk mati.'

Ibu mertua di tahan Polisi, Mas Jalu nggak bisa bantu, sebab semua rekeningnya, kini Papah bekukan.

Dan Ratih, silahkan berkorban untuk teman tidurmu itu, keluarkan uang Ratih, keluarkan. Lagi-lagi aku terkekeh membayangkan betapa frustasinya Mas Jalu saat ini.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Edison Panjaitan STh
senang aku suka baca buku ini, orang miskin tak tau berterimakasih.
goodnovel comment avatar
Vera Rammayanti
buka ny bnyk bgt koin ny
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status