Kenapa Mamah kamu?" tanya Mas Jalu.
"Mamah mau pinjam uang tiga puluh juta, Mas." "Tumben, bukannya Mamah dan Papah selama ini tidak kekurangan uang?" tanya Mas Kali dengan wajah bingung."Katanya ia kena tipu, ratusan juta, Mamah takut papah tahu, makanya mau pinjam uang. Biar nutupin sisanya," ujarku. "Tetapi, dompet Ros sepertinya tertinggal di rumah, pinjam uang mas dulu, ya!" lanjutku."Yasudah, nanti kita ke ATM berdua!" ucapnya dengan santai. "Sekarang kita pesan makan dulu, kasihan Ratih, mana tahu udah lapar!" katanya lagi."Aku saja yang ke ATM sendiri, mas temani Ratih, Mamah soalnya perlu cepat." Aku mencoba membujuk. Mas Jalu nampak ragu, namun akhirnya ia pun mau memberikan ATM itu."Nanti kode-nya Mas kirim lewat pesan!" ucapnya. Aku mengangguk seraya beranjak dari duduk, dan meraih kartu ATM yang Mas Jalu sodorkan.Aku tersenyum bahagia, untung saja Mas Jalu selama ini tidak pernah membuat internet banking, jadi mudah sekali untuk menjalankan aksiku.Aku berjalan cepat menuju mesin ATM. Dan mengecek saldo ATM miliknya, yang selama ini tidak pernah kuketahui.Aku terpekik melihat saldo rekening mas Jalu, ratusan juta. Mana mungkin, ini pasti ada yang salah. Jangan-jangan Mas Jalu sudah korupsi di kantor. Aku pun memoto saldo tersebut, dan mengeluarkan beberapa mutasi rekening.Serta tidak lupa, mentransfer semua uangnya ke rekening milikku. Hanya kusisakan sepuluh juta saja, buat dia jajan.Untung saja kartu debit platinum, jadi sangat memudahkan untukku transfer ratusan juta.
Selesai semua misiku, aku kembali bergabung bersama Mas Jalu dan Ratih. Dari kejauhan, kulihat Mas Jalu memegangi tangan Ratih, Ratih terlihat sedih, entah drama apa yang ia mainkan.Namun aku tetap harus bertahan dan mengontrol emosiku dengan baik. "Mas, aku harus ke rumah Mamah sekarang, aku tinggal kalian berdua ya!" ujarku berpamitan. Aku bergegas pergi tanpa menunggu sahutan dari Mas Jalu. Aku memesan taksi on-line untuk membawaku ke rumah Mamah.Mas Jalu pun tidak mengejarku sama sekali, sepertinya ia terbuai dengan kehadiran Ratih.'Terimakasih, Ratih. Kedatangan kamu malam ini, membuatku leluasa menjalankan misi, meski sakit hati yang kurasa. Tapi aku puas, membuat Mas Jalu kehilangan segalanya, termasuk cinta tulus yang selama ini ia dapatkan dariku.'Sesampainya aku di rumah Mamah, aku mulai menceritakan maksudku, yang meminta Mamah berpura-pura."Beneran saldonya Jalu sebesar ini?" tanya Mamah dan Papah yang mengamati."Iya, sudah kutransfer semua uangnya ke rekening milikku, tadinya kusisakan beberapa juta. Tapi melihat Mas Jalu bermesraan dengan Ratih, aku kembali urung. Lebih baik aku percepat saja.""Jadi apa rencana kami selanjutnya?" tanya Papah."Aku akan tinggal di sini? Masalah rumah nanti akan aku pikirkan lagi," ujarku. "Aku tidak mau ribut berduaan di rumah itu, sebab cepat atau lambat, mas Jalu akan segera tahu uangnya habis."Kartu Atm-nya kamu bawa?" tanya Mamah."Iya, nih masih di dompet, Mas Jalu saja yang terlalu asik membujuk wanitanya. Sampe lupa kartu Atm-nya tidak Ros balikin." Aku menyahut sambil terkekeh."Mungkin inilah alasan Allah tidak memberikan kalian keturunan, sebab lelaki pengkhianat seperti Jalu itu, tidak pantas memiliki apapun." Mamah berucap dengan mimik wajah marah.Aku hanya menghela napas panjang, tidak ingin terlalu terbawa suasana. Aku mengirimkan sebuah pesan singkat pada mas Jalu.[Mas, aku nginap di rumah Mamah, kamu nggak apa-apa kan sendirian] send. [Iya nggak apa-apa sayang!] Aku tersenyum melihat balasannya. Silahkan kamu berbuat mesum mas di rumah kita, mumpung aku nggak ada. Nanti baru aku berikan kejutan indah buat kamu dan Ratih. Aku tersenyum menyeringai, membayangkan dua ulat bulu itu bakal kejang-kejang.Aku menikmati hariku di rumah Mamah, sambil bersantai di taman pagi hari, sejuk. Sambil membayangkan apa yang di lakukan Mas Jalu di rumah saat ini, apakah ia tengah sibuk menyiapkan sarapan untuk gundiknya itu, sebentar lagi, mas. Kamu dan Ratih akan membayar pedihnya pengkhianatan.Aku pun kembali masuk ke dalam rumah, untuk sarapan bersama kedua orang tuaku, yang selalu menyayangiku dengan tulus."Ros, Ibu mertua kamu bagaimana kabarnya?" tanya Papah di sela sarapan pagi."Kabarnya baik, cuma makin sombong saja, maklum Pah. Orang kaya baru, lupa tempat ia berasal." Aku sedikit mengadu."Ada tempo hari ketemu Mamah di pusat perbelanjaan, saat makan di cafe. Ia terlihat tengah menawarkan sebidang tanah gitu kalau nggak salah. Gayanya glamor sekali, emasnya berjuntai ria di tubuhnya. Kek toko emas berjalan!" ujar Mamah sambil terkekeh."Sebidang tanah? Mah, surat-surat tanah aku itu ada beberapa yang sudah hilang. Jangan-jangan mertuaku pelakunya." "Bisa jadi, biarkan saja Nak, menuduh tanpa bukti itu nanti jatuhnya fitnah!" tegur Papah. 'Aku mengangguk paham, tapi jika itu terbukti, sebentar lagi ia akan menuai hasilnya. Sebab surat-surat yang saat ini masih berada di dalam rumahku itu. Semua palsu, jadi jika Ibu mertua menjualnya, ia bakal kena pasal penipuan.' batinku tertawa bahagia, membayangkan jika itu benar-benar terjadi kepadanya.💞 Terimakasih 💞Jangan lupa subscribe, like dan komentarnya dong! Biar aku-nya makin semangat 😘"Ros, kamu ngapain?" tanya Mamah sambil mengetuk pintu kamarku, saat aku tengah bersantai sambil menyeruput kopi cappucino di depan layar laptop.Aku beranjak dari duduk, berjalan menuju pintu kamar. Kubuka perlahan pintu, "Ros lagi santai, kenapa Mah?" tanyaku sambil mendongakkan wajah."Temani Mamah ngeMall yuk! Lama kan kita nggak shopping bareng!" ujar Mamah sambil tersenyum."Oke! Ros ganti pakaian dulu!" jawabku."Jangan lama sayang! Mamah tunggu di ruang tamu!" ucapnya sambil berjalan menuju anak tangga.Aku mengangguk, lalu menutup pintu. Kumatikan Laptop, dan bergegas memilih pakaian terbaikku.Tak lupa, kupoleskan wajah ini dengan make up natural. Sudah sangat lama rasanya, aku tidak berdandan seperti ini.Aku dan Mamah pun meluncur menuju pusat perbelanjaan terbesar.Sesampainya di parkiran. "Kita mau kemana dulu? Mah." Aku bertanya dengan bingung, sebab sudah lama sekali, aku tidak pernah shoppin
"Mah, coba lihat tuh!" tunjukku ke arah Ibu mertua yang nampak ribut-ribut dengan seseorang.Ayo kita kesitu, Mamah penasaran!" ujar Mamah berjalan cepat.Aku dan Mamah pun duduk tak jauh dari Ibu mertua dan seseorang wanita paru baya yang kalau di lihat dari penampilannya. Ia bukanlah orang biasa, gayanya seperti istri-istri pejabat gitu."Ibu mertua kamu, ribut ko di cafe rame begini," bisik Mamah kepadaku. "Emang nggak tahu malu gitu ya? Karakternya.""Entahlah, kita fokus dengerin aja, Mah!" ucapku, dengan menajamkan pendengaran."Saya nggak mau tahu, ya. Kamu harus secepatnya balikin uang saya! Atau kamu akan saya laporkan ke Polisi," ancam wanita yang bersama Ibu Mertua."Heh, Jeng Tiara, surat-surat tanah saya itu semua asli. Dan ini, bukan pertama kalinya saya jual beli tanah. Selama ini, tidak ada pelanggan saya yang mengatakan surat tanah saya palsu."Wanita yang Ibu mertua pangg
Dering telepon masuk menghentikan obrolan kami bertiga sesaat. Aku meraih gawai milikku, yang berada di dalam tas. Terpampang jelas nama Mas Jalu, sedang memanggil.Aku pun meminta Mamah dan Gunawan untuk diam sesaat, dan meloudspeaker panggilan dari Mas Jalu.[Hallo, Mas! Ada apa?] tanyaku so' polos.[Ros, kamu bantuin, Mas! Mas kena masalah di kantor Papah, ada yang fitnah Mas, menggelapkan uang perusahaan!] rengeknya.[Lho, ko bisa? Emang mereka nuduh apa sudah ada buktinya?] tanyaku pura-pura kaget.[Ada sih, Ros. Mas juga nggak tahu, tiba-tiba ada bukti transferan uang masuk dalam jumlah besar, dan tiga kali dalam sebulan!][Wow, luar biasa! Uangnya masih ada di rekening kamu? Mas.][Belum cek, keburu di sita audit, semua kartu ATM, di bekukan Papah!][Terus, bagaimana dong? Mas.][Tadi ibu juga nanya, ternyata kartu kredit Ibu dan lainnya, juga di bekukan
Sesampainya aku dan Mamah di rumah, aku kembali masuk ke dalam kamar, untuk melihat CCTV yang sudah terpasang sedari kemarin di rumahku sana.Aku sengaja memantau dari rumah Mamah, agar Mas Jalu merasa leluasa untuk melakukan apapun di rumah.Dugaanku seratus persen benar, semua tidak pernah meleset sama sekali, Ibu Mertua benar-benar lancang. Berani masuk kamarku, serta membobol brankas milikku. Aku yakin, ia tahu kode brankas itu pun dari Mas Jalu, Ibu dan anak sama saja, suka nyari untung.Ibu terlihat rakus sekali, ia bahkan mengambil beberapa perhiasan yang sudah kuganti dengan yang palsu. Ha ha ha ..., ah, seru rasanya ngerjain manusia serakah.Aku kembali memutar rekaman CCTV yang menunjukkan pukul enam malam hingga pagi.Yah, terlihat Mas Jalu pulang seorang diri, kupikir Ratih akan ikut bersamanya.Saat aku hendak menghentikan aktivitas menonton rekaman CCTV hari kemarin, aku tersentak. Ratih datang tepat di jam dua bela
'Ayo Rosa, bangkit dan hadapi pada bedebah itu dengan cantik. Buat mereka menyesal seumur hidup, telah menyia-nyiakan ketulusan kamu.' batinku mencoba memberi semangat, meskipun konsekuensinya, aku akan hancur dan terluka. Biar bagaimanapun juga, perasaan ini masih tertaut pada Mas Jalu. Namun luka dan logika, memaksaku untuk sadar, bahwa Mas Jalu dan keluarganya, bukanlah orang yang tepat untuk aku kasihi.Sore hari, aku tengah asik bersantai di taman depan rumah. Terlihat sebuah mobil mewah BMW i8 memasuki halaman rumah, aku mengerutkan kening menatap si empu mobil."Gunawan!" lirihku, ia memarkirkan mobilnya tepat di dekat taman, dan keluar dari mobil sembari menebar senyum sumringah. Ntah kenapa, Gunawan semakin terlihat tampan rupawan, bahkan kini ia terlihat lebih rapi dari sebelumnya.Yah, mungkin efek dari pekerjaannya, yang menuntut ia harus tampil rapi."Hai, ngapain di sini?" tanyanya sambil mengambil posisi duduk di sebelahku.
"Ratih, terimakasih ya! Sudah mau menolong Ibu Mertua." Aku mengucap sambil tersenyum kepada Ratih."Nggak masalah, kita sesama manusia memang harus tolong menolong!" jawab Ratih merendah."Iya, benar sekali. Yang penting masih dalam jalan kebaikan, nggak tolong menolong dalam maksiat," sindirku seraya tersenyum.Membuat Ratih terlihat menjadi kaku dan salah tingkah.Mas Jalu pun sama, mereka berdua seakan membeku menghadapiku."Ros, kamu kok sering nginap ke rumah orang tua kamu sih? Ntar laki kamu mencari kehangatan lain loh!" ujar Ratih sambil terkekeh.Aku pun sama, ikut terkekeh mendengar penuturannya. "Nggak apa-apa, jika wanitanya mau memberi kehangatan. Hitung-hitung mainan buat mas Jalu, di saat aku tidak ada.""Mainan?" Ratih membelalakan matanya mendengar sahutanku.Aku tertawa sumbang. "Apa coba kalau bukan mainan? Mana ada cinta yang utuh untuk dua insan, tetap cinta cuma satu. Satun
"Rosa ..., Menantu nggak ada akhlak emang!" teriak Ibu mertua membahana keseluruh ruangan. Bahkan suaranya terngiang-ngiang mengikuti langkahku menaiki anak tangga menuju kamar.Jika saja mulut Ibu tidak setajam silet, mungkin aku tidak akan setega ini kepadanya.Bertahun-tahun aku selalu ia perlakukan kasar, namun aku tidak pernah membenci maupun marah kepadanya. Namun kali ini sudah berbeda, Ibu mas Jalu tetap saja selalu angkuh dan se'enaknya. Seakan ia lupa keadaannya seperti apa, gila harta pula."Ros ...." Suara mas Jalu memanggil namaku, ketika ia membuka pintu kamar, lalu masuk ke dalam. Aku hanya menatapnya sesaat, sambil menyandarkan tubuh di dipan yang berukir kayu jati.Mas Jalu, ia duduk di bibir ranjang, sambil menatapku datar.Aku mengernyitkan dahi. "Ada apa?" tanyaku bingung."Ros, maaf, Ibu akan tinggal bersama kita!" ucapnya pelan dengan wajah menunduk."Nggak, aku nggak setuju!" jawabku
"Ros ...." Suara ketukan pintu dari luar kamar, menghentikan aktivitasku yang tengah asik berdandan secantik mungkin, sebab, hari ini aku akan kembali ke kantor Papah.Sekalian untuk menyaksikan penurun jabatan Mas Jalu. Ah, rasanya tidak sabar lagi, mau membuat Mas Jalu dan Ratih hancur lebur.Pastinya, hari ini akan menjadi sejarah memalukan dalam hidup mereka berdua.Aku berjalan menuju pintu kamar. "Ada apa? Mah." Aku bertanya dengan wajah mendongak di balik pintu."Sayang, buruan! Papah sudah menunggu untuk sarapan!" titah Mamah sambil mengulas senyum menatapku."Iya, Mah. Bentar lagi Ros turun, Mamah duluan saja!" ujarku. Mamah pun mengangguk, ia lalu menuruni anak tangga.Aku pun bergegas menyusulnya, untuk sarapan bersama keluarga. Moment ini, rasanya sedikit mengiris hati.'Semoga nanti aku pun memiliki keluarga seharmonis Mamah dan Papah.' batinku, rasanya pilu membayangkan kandasnya rumah tangga, yang mati-m