Share

3. Cinta Dedy

Author: Hawa Hajari
last update Last Updated: 2022-12-02 10:49:27

Lama Dedy memadangi Wati, sebelum akhirnya pria itu berkata, “Tentu aku cinta kamu. Kenapa kamu tanya begitu?” 

Tangan Dedy seketika berusaha membuka baju Wati lagi, tetapi Wati menepis tangan Dedy.

“Kalau begitu, kenapa kamu membiarkan aku diperlakukan begini oleh Rara?” tanya Wati pelan.

Dedy mendengkus. Ia menghentikan usahanya dan duduk di atas kasur tipis.

“Semua ini aku lakukan karena aku cinta kamu. Rara itu kaya raya. Dia juga sedang sakit berat, hidupnya mungkin tinggal sebentar. Setelah dia pergi, semua hartanya bisa kita miliki. Saat itu, hanya ada aku dan kamu,” bisik Dedy seraya menatap Wati tepat di manik mata.

“Aku membiarkan dia memperlakukanmu seperti babu, agar dia tidak curiga dengan rencanaku. Percayalah, hanya kamu yang aku cinta,” tambah Dedy.

“Jadi, kamu betul-betul tidak cinta dia, Mas?” tegas Wati.

“Pasti! Rara yang melamarku, bukan aku yang melamarnya. Aku ini lelaki, suka memburu dan bukan barang buruan,” jawab Dedy lagi.

Wati terdiam. Apakah Dedy jujur saat ini ataukah ucapannya kepada Rara yang betul?

Sungguh, Wati tak bisa membaca suaminya itu. Namun, diamnya Wati justru dimanfaatkan oleh Dedy. 

Cepat Dedy meraih tubuh Wati. Wati yang kebingungan membiarkan dirinya malam itu diberi nafkah batin.

*****

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Wati bangun dengan perasaan yang bersemangat. Setelah diberi nafkah batin semalam, ia merasa kembali utuh sebagai perempuan.

Orang mungkin menganggapnya bodoh. Namun, Wati memilih percaya ucapan Dedy semalam, ketimbang obrolan tak jelas pria itu dua malam yang lalu.

Wati lalu hendak bangkit untuk mengerjakan tugasnya sehari-hari setiap pagi. 

Ia melirik Dedy yang masih tertidur pulas di sebelahnya. Saat hendak bangkit untuk pergi, tiba-tiba tangan Dedy mencekal tangan Wati.

“Ah!” Wati terpekik kecil, tak menyangka bahwa Dedy sudah bangun.

Lekas-lekas Wati menutup mulutnya dengan sebelah telapak tangan, takut suaranya terdengar oleh Rara di kamar seberang. Bila wanita itu mendapati Dedy di kamarnya, pasti dia akan membuat keributan lagi!

“Aku kira kamu masih tidur, Mas,” bisik Wati.

Dedy tidak menjawab. Ia menarik Wati keras-keras sampai Wati tersungkur ke dalam pelukannya. Wati gelagapan.

“Nanti malam kita ulangi lagi,” bisik Dedy.

Wati tertegun. Sementara itu, Dedy sudah bangun dan duduk di sampingnya.

“Kenapa tidak sekarang saja?” pancing Wati. Dia tiba-tiba ingin melihat apakah sang suami berani menuruti nafsunya dibanding kemarahan madunya nanti?

Lama Dedy terdiam, sebelum akhirnya pria itu berkata, “Nanti Rara keburu bangun. Dia pasti marah aku ada di kamarmu tadi malam.” 

Dedy lalu berdiri dan berlalu pergi. 

Kekecewaan datang di hati Wati begitu mendengar Dedy membuka pintu kamar di seberangnya. Tak lama, pria itu masuk dan mengunci pintu. 

Wati tahu bahwa Dedy telah pindah tidur ke kamar Rara–seolah tak menghabiskan satu malam pun dengan Wati.

******

Sepanjang hari, Wati mengerjakan segala pekerjaan rumah dengan penuh rasa kecewa. Meski demikian, semua dilakukannya dengan baik. Tubuhnya seolah bergerak otomatis.

Pada pukul 8 pagi, Rara belum keluar dari kamarnya. Tidak biasanya, Rara bangun sesiang ini. 

Seketika, Wati termenung. Apakah Rara sakit ataukah Dedy yang menahannya untuk bangun? 

Wati diliputi perasaan cemburu.

“Mbak, sarapanku mana?” teriak Rara begitu keluar dari dalam kamar.

Wati yang sedang mencuci peralatan bekas memasak, terlonjak kaget. Ia cepat-cepat membasuh tangan yang dipenuhi busa sabun cuci piring, lalu lekas menghampiri Rara di depan kamarnya.

Penampilan Rara terlihat acak-acakan. Dari wajahnya, terlihat jelas bahwa dia baru bangung tidur. Rambutnya yang keriting panjang juga terlihat belum disisir. Sosoknya sangat mirip dengan singa baru bangun tidur.

Rara tidak ada cantik-cantiknya sedikit pun di dalam pandangan Wati. Mengapa Dedy mau menikahinya? Betulkah Dedy menikahinya hanya karena harta?

“Mau aku ambilkan sarapan?” tanya Wati dengan suara yang datar.

“Iya. Bawakan ke kamar. Badanku enggak enak,” ketus Rara. Tanpa menunggu jawaban Wati, Rara masuk kembali ke dalam kamarnya.

Sebelum pintu kamar ditutup di hadapan Wati, ia masih melihat Dedy yang tidur bertelanjang dada di ranjang. Tubuhnya hanya ditutupi selimut dari pinggang ke bawah.

Hati Wati serasa diremas. Wati mengepalkan kedua tangannya. Ia berbalik dan menuju ruang makan dengan perasaan hati yang panas karena cemburu. 

Suaminya itu terlihat begitu plin-plan! Semalam beromantis ria dengannya. Pagi ini, sudah berlagak menjadi suami siaga untuk madunya.

“Mas, sebenarnya, apa maumu?” lirih Wati kepada dirinya sendiri. Kebimbangan mulai menyergap benaknya. 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Rania Humaira
wati anjing, g usah banyak tanya dlm hatl. krn kau dungu maka terima aja nasibmu jd babu
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   77. Penangkapan (TAMAT)

    AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   76. Perburuan

    "Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   75. Pergumulan

    Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   74. Sosok Dalam Gua

    Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   73. Identifikasi Mayat

    AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol

  • Pembalasan untuk Madu yang Menjadikanku Babu   72. Tubuh di Bantaran Sungai

    Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status