Wati beranjak menuju ruang makan, mengambilkan sepiring nasi goreng dan lauk sosis dengan hati yang galau.
Ingin rasanya ia pergi dari rumah ini, tetapi ia merasa tak berdaya. Ia takut apabila kabur dari rumah ini, maka ia akan terlunta-lunta di jalanan.
Sebetulnya, Wati punya ijazah SMU. Tapi, ijazah itu ia titipkan kepada Bu Nara–ibu pengurus panti tempatnya dulu dibesarkan.
Wati melakukan itu karena tidak berpikir bahwa lembaran itu akan berguna. Dia memang tidak berniat bekerja setelah menikah.
Saat itu, Wati menyangka hidupnya akan lebih mudah setelah menikah. Sungguh, naif bin bodoh!
Nyatanya, kehidupan Wati menjadi lebih rumit dan morat-marit. Apalagi, saat menikah Dedy belum punya pekerjaan tetap.
Apabila sudah begini, menyesal rasanya dulu Wati menikah cepat-cepat.
Lulus SMU, kenapa dia langsung menerima lamaran Dedy yang berumur dua tahun lebih tua daripada dirinya? Hanya karena sudah berpacaran selama tiga tahun, Wati tak kuasa ketika Dedy terus mendesaknya untuk menikah.
“Ah, Mas Dedy… kamu sudah membuatku kecewa,” bisik Wati di dalam hati.
Wati hendak mengantarkan sepiring nasi itu ke kamar Rara yang tertutup. Namun, Wati kembali mendengar suara-suara dari kamar madunya. Suara desah yang diiringi cekikan tertahan.
Selama beberapa detik, Wati tidak tahu hal yang harus dilakukannya. Apakah ia sebaiknya mengetuk pintu kamar untuk memberikan sarapan yang diminta Rara? Ataukah sebaiknya ia pergi saja?
“Sudah, Mas. Sudah,” Wati mendengar bisik-bisik suara Rara.
“Kamu harus menebus kesalahanmu semalam karena tidur meninggalkanku,” balas Dedy juga berbisik.
“Aku sedang enggak enak badan,” protes Rara lagi.
“Akan aku bikin enak,” balas Dedy.
Wati tak tahan lagi mendengar itu semua. Air mata kembali mengalir di pipi. Ia berbalik pergi, mengembalikan piring nasi ke meja makan.
Di dapur, Wati menangis sesenggukan. Mengapa hidupnya jadi begini? Tiba-tiba Wati ingin sekali bertemu dengan Bu Nara di panti asuhan tempat dulu ia dibesarkan.
******
Akhirnya Rara dan Dedy keluar dari dalam kamar mereka.
Saat keluar kamar, Rara dan Dedy sudah selesai mandi dan keramas. Mereka bersama-sama menuju ruang makan sambil bergandengan tangan–mesra sekali.
Tampaknya, Rara sudah lupa akan perintahnya membawakan sarapan ke kamarnya.
Terbukti, ia tak mencari Wati dan memarahinya. Atau jangan-jangan semua itu hanya akal bulus Rara untuk menunjukkan kepada Wati bahwa dialah istri yang diinginkan Dedy?
Wati sendiri sudah tidak ada di ruang makan maupun dapur saat Dedy dan Rara masuk ke ruang makan.
Ia sibuk menjemur baju yang baru dicucinya di halaman belakang rumah.
Setelah selesai menjemur, Wati masuk kembali ke dalam rumah dan melihat Dedy dan Rara sedang sarapan di meja makan.
Tatkala melihat Wati, Rara langsung berteriak, “Mbak, ambilkan minum buatku dan Mas Dedy!”
Tanpa banyak bicara, Wati mengambil dua buah gelas lalu mengisinya dengan air dari dispenser. Saat memberikan dua gelas itu ke meja makan, Rara sedang bercanda mesra dengan Dedy.
“Mas, nakal, ah,” Rara mencubit lengan Dedy yang berada di sampingnya.
Rara sama sekali tak memedulikan kehadiran Wati yang baru masuk. Seolah-olah ia sengaja hendak memanas-manasi Wati.
“Kamu lebih nakal,” balas Dedy santai. Dedy pun tidak memandang sedikit pun ke arah Wati. Sikapnya sama sekali berbeda dengan saat tadi malam di kamar Wati.
Betulkah ia mencintai Wati seperti yang dikatakannya?
Dedy dan Rara sama sekali tidak menyadari, ekspresi Wati hanya terlihat biasa saja. Seakan-akan, ia tak terpengaruh oleh pameran kemesraan di hadapannya.
“Ini minumnya.” Usai meletakkan dua gelas di meja, Wati pergi kembali tanpa kata.
Ia lebih memilih menyapu teras di depan rumah, daripada harus mendengar obrolan Rara dan Dedy di dalam rumah.
Setidaknya, di teras ia bisa menghirup udara segar untuk melegakan sempitnya perasaan.
Teras sudah hampir selesai disapu oleh Wati,saat Dedy dan Rara keluar rumah bersama-sama.
Penampilan mereka sudah rapi, siap berangkat ke toko bersama-sama. Romantis. Sikap mereka berdua membuat Wati merasa bahwa dirinyalah tokoh jahat di dalam kisah ini.
“Ya ampun, aku ketinggalan dompet. Tunggu sebentar, Mas,” cetus Rara seraya berjalan masuk kembali ke dalam rumah.
Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Wati untuk mendekati Dedy yang sudah siap duduk di sepeda motor Ninja yang dibelikan Rara untuknya.
“Mas, aku kangen Bu Nara,” kata Wati blak-blakan.
“Lalu?” sahut Dedy seraya mengerutkan dahi.
“Aku ingin mengunjungi beliau, Mas. Mas juga sudah lama tidak bertemu Bu Nara, kan?” kata Wati pelan.
Bu Nara adalah ibu panti yang disayangi Wati. Dedy tahu itu.
Cukup lama pria itu terdiam, sebelum langkah kaki Rara terdengar mendekat.
“Aku masih sibuk. Kapan-kapan saja kita ke sana.”
“Ta–tapi, Mas…”
AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak
"Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan
Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten
Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik
AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol
Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas