Belum sempat Wati menjawab lagi, Rara sudah berada di hadapan mereka berdua.
Tatapan matanya terlihat tidak suka saat mendapati Wati berbicara di dekat Dedy. Wati mundur, memberikan tempat buat Rara untuk naik ke boncengan sepeda motor Dedy.
“Kami pergi sekarang. Jangan lupa antar makan siang buat kami dan pegawai,” ketus Rara.
Salah satu tugas Wati mengantarkan makan siang buat Dedi dan Rara, juga beberapa pekerja toko yang berbilang tak sampai lima orang.
Rara memerintahkan Wati untuk memasak makan siang bagi para pegawainya, agar dia tak perlu memberi uang makan bagi para pekerja itu.
Dedy dan Rara pun berlalu—meninggalkan Wati yang menatap dua sejoli itu pergi.
Sambil memandang kepulan asap dari sepeda motor Dedy yang meraung pergi, Wati menentukan sikap. Ia berbalik masuk kembali ke dalam rumah, lalu masuk ke dalam kamarnya.
Saat tadi Dedy menolak permintaannya untuk mengunjungi Bu Nara, Wati sudah tahu bahwa Dedy tak akan pernah mengizinkannya menemui Bu Nara.
Untuk menemui Bu Nara, ia harus melakukannya sendiri secara diam-diam. Tekad Wati sudah bulat.
“Aku harus menemu Bu Nara dan mengambil ijazah yang dulu kutitip,” lirih Wati.
Ia akan melamar pekerjaan dengan ijazah itu. Pekerjaan apa saja yang penting ia punya penghasilan sendiri. Wati tak berkeberatan meskipun hanya menjadi pelayan di warung makan atau buruh pabrik yang hanya bertugas buang benang baju-baju produksi konfeksi.
Dari tetangga di rumah gubuknya dulu Wati mengetahui, bahwa gaji pelayan warung makan dan buruh pabrik itu kecil, sementara jam kerjanya sangat panjang dan melelahkan. Mendengar itu, Wati tidak tertarik untuk menjadi buruh sama sekali.
Akan tetapi, sekarang Wati tidak takut untuk bekerja keras. Paling tidak, ia digaji.
Tidak seperti sekarang, ia mengerjakan semua pekerjaan rumah, tetapi hanya diganjar makan sehari-hari.
Suami pun harus berbagi, itu juga ia jarang mendapatkan jatah.
Wati tak ingin lagi dihina Rara karena tak punya uang dan tak punya pekerjaan. Kalau ia keluar dari rumah ini, Wati ingin pergi dalam keadaan mulia dan tak lagi terhina.
Satu-satunya hal yang masih mengganjal pikiran Wati hanyalah ia masih berstatus sebagai istri Dedy.
Wati masih penasaran, apakah betul Dedy masih mencintainya? Buktinya, Dedy tak mau menceraikannya.
Tak bisa Wati pungkiri, ia masih mencintai Dedy. Hubungan mereka sudah terjalin lama. Cinta itu juga yang membuat Wati mau menikah dengan Dedy meskipun Dedy belum punya pekerjaan tetap. Sekarang baru terasa oleh Wati, betapa gegabahnya dulu keputusannya.
Apakah betul Dedy menikahi Rara agar mereka bisa hidup bahagia berdua? Betulkah Rara sakit parah dan akan segera meninggal? Wati diombang-ambingkan perasaan. Ia kebingungan.
“Arggh.” Kepala Wati serasa ingin pecah.
Niat Wati untuk menemui Bu Nara semakin mantap. Ia harus meminta pendapat Bu Nara tentang banyak hal. Ia harus menemui Bu Nara.
Wati berlari masuk ke dalam rumah Rara kembali. Sebuah rencana mulai tersusun di kepalanya.
*****
Wati mengambil tas kain jelek yang menjadi satu-satunya tas yang dimilikinya setelah menikah dengan Dedy.
Ia memasukkan dompet ke dalam tas dan bersiap-siap untuk pergi pada waktu yang telah direncanakan.
Sekarang, ia harus mengantarkan makan siang lebih dulu. Ia kenakan pakaiannya yang terbagus, meskipun itu pun warnanya sudah pudar dan terlihat lusuh.
Semua sudah Wati rencanakan matang-matang.
*****
Tepat pukul satu siang.
Setelah mengantarkan makan siang ke toko kelontong milik Rara, Wati melaksanakan aksi.
Pada jam-jam begini, Dedi dan Rara sedang sibuk di toko. Mereka tidak akan pulang sampai sore menjelang malam. Wati bebas!
Wati keluar dari rumah dengan hati gembira. Harapan akan bertemu lagi dengan ibu pengurus panti yang baik membuat Wati bersemangat. Dengan bersenandung kecil, Wati berjalan menuju tepi jalan besar untuk menunggu angkutan kota.
Wati tidak bisa menggunakan ojek online untuk bepergian karena tidak punya ponsel.
Rara juga tidak pernah mengizinkan Wati untuk memiliki alat komunikasi itu– meskipun ponsel dengan harga paling murah.
Hanya Dedy yang diberi ponsel oleh Rara, setelah mereka resmi menikah.
Jarak antara rumah Rara dengan panti asuhan tempat dulu Wati dibesarkan tidak terlalu jauh. Wati bersyukur karena itu artinya ia tak perlu banyak menghabiskan waktu.
Tiga puluh menit di perjalanan, Wati sampai di depan rumah yatim piatu tempatnya dulu dibesarkan. Melihat bangunan itu saja sudah membuat hati Wati merasa senang.
Bangunannya masih seperti dua tahun yang lalu, saat ia meninggalkan rumah yatim itu untuk menikah dengan Dedy. Hanya cat temboknya saja sudah diperbaharui sehingga rumah itu terlihat lebih berseri.
“Permisiii,” seru Wati setelah mengetuk pintu utama rumah yatim piatu itu.
Tidak lama menunggu, Wati mendengar langkah-langkah kaki mendekati pintu.
Saat pintu terbuka, Wati melihat ibu pengurus panti yang telah semakin tua terbelalak di hadapannya. “Wa—wati? Kamu Wati, kan?”
AKP Helmi dan polisi lainnya melangkah dengan hati-hati di sepanjang lorong sempit palka kapal yang gelap. Cahaya remang-remang dari senter yang mereka bawa menciptakan bayangan-bayangan yang menyeramkan di sekitar mereka. Suara langkah mereka bergema di dinding kapal yang berkarat, menciptakan suasana horor yang meningkatkan adrenalin.AKP Helmi memasuki palka kapal dengan hati-hati, bersama beberapa polisi lainnya. Lalu mereka melihatnya. Dedy terlihat lemah dan kesakitan, duduk di lantai palka kapal dengan tangan memegangi kepalanya yang berdarah. Tatapan mata AKP Helmi penuh dengan tekad, menunjukkan bahwa ia tidak akan membiarkan Dedy melarikan diri lagi. Polisi lainnya dengan sigap mengelilingi Dedy, siap untuk merespons apapun yang ia lakukan.“Dedy, akhirnya kami menemukanmu! Jangan bergerak atau melakukan hal bodoh!” AKP Helmi mengacungkan senjatanya. Saat AKP Helmi mendekati Dedy, wajahnya penuh dengan ketegasan.Dedy mengepalkan tangan dengan ekspresi wajah dipenuh rasa sak
"Pak Byzan, bisa berikan informasi detail mengenai kepergian Dedy. Ke mana dia pergi?" ulang AKP Helmi dengan nada suara lebih tenang."Ya, Pak. Dia pergi ke arah laut. Saya yakin. Bunyi kakinya menjauh ke arah bunyi deburan ombak di kejauhan." Byzan memejamkan mata saat memberikan keterangan, seolah-olah tengah menghadirkan kembali masa-masa ia bergulat dengan Dedy."Baik, terima kasih atas informasinya. Akan segera kami kejar dia." AKP Helmi mengangguk puas, lalu berpamitan kepada Shelia dan Byzan.Setelah mendapatkan keterangan dari Byzan, AKP Helmi segera mengumpulkan anak buahnya. Ia memberi perintah, "Segera kirim patroli ke sekitar pantai dan cari tahu keberadaan target kita. Kalau menemukannya, segera tangkap kalau perlu dengan paksaan.""Siap!" Anak-anak buah AKP Helmi menjawab serempak.Regu polisi yang dipimpin oleh AKP Helmi segera bergerak setelah mendapatkan informasi bahwa Dedy pergi ke arah laut. Mereka tiba di sebuah pantai yang luas, dengan pasir putih yang halus dan
Byzan mengerang saat berusaha untuk bangun.“Saya bantu, Pak.” Salah seorang pengawal berkata. Gesit sekali ia menghampiri Byzan dan berusaha memapah. Pengawal yang lain mengikuti jejak rekannya.Byzan dipapah oleh kedua pengawal. Mereka mengangkat dan membawanya ke tempat yang lebih aman.“Lebih baik kita lapor polisi saja, Pak.” Pak Arya kembali angkat bicara. Wajahnya terlihat ketakutan dan dipenuhi dengan kecemasan.“Betul juga. Kalau Dedy kita temukan, bisa langsung diringkus oleh polisi,” sahut Shelia.Akhirnya, diambil keputusan bersama bahwa mereka tidak jadi mencari tempat Dedy terlihat terakhir kali. Mereka langsung membawa Byzan ke mobil.“Kita langsung ke rumah sakit saja, Pak,” kata Shelia kepada Pak Arya yang menjadi sopir.“Siap, Non!” jawab Pak Arya sigap.Pak Arya melajukan mobilnya dengan cukup cepat. Seolah-olah, keluarganya sendiri yang sakit dan memerlukan pertolongan secepatnya.Di dalam perjalanan menuju rumah sakit, Shelia sibuk mengabari kedua orang tuanya ten
Shelia berlari ke arah yang belum pernah dilewatinya sebelumnya di pantai itu. Dia merasakan adrenalin memacu hatinya ketika ia menyusuri tepi pantai yang masih jarang dilalui orang. Angin pantai meniup anak rambutnya, sebagian rambut berkibar menutupi pipinya.“Tunggu, Non!” teriak Pak Arya dari belakang, tetapi Shelia tak menghiraukan seruan Pak Arya sama sekali. Kedua pengawal Shelia pun terus mengikuti Shelia tanpa kata.Akhirnya, Shelia sampai di daerah di mana pasir bergunduk-gunduk dan terdapat sebuah gua di kejauhan. Gundukan pasir itu sedikit menghalangi pandangan Shelia dari gua di kejauhan, tetapi ke sanalah Shelia menuju. Ada sebuah desakan kuat yang menyuruhnya untuk mendekati gua itu. Semacam kata hati, atau sesuatu yang memanggil-manggil dirinya untuk melangkah terus ke sana.“Jangan ke sana, Non! Biarkan kami yang ke sana lebih dulu!” teriak Pak Arya lagi.Akan tetapi, Shelia terus tidak menghiraukan Pak Arya. Shelia mendekati gua itu. Tiba-tiba, hatinya tercekat ketik
AKP Helmi mengangguk dengan penuh kemantapan. Ekspresinya datar dan perasaannya tak tertebak. Mendadak, Shelia menangis sesenggukan. Bu Sultan terkejut, lalu bergegas mendekati Shelia dan langsung memeluknya.“Jangan sedih dulu, Shelia. Belum tentu mayat itu Byzan. Bukankah kita harus mengeceknya dulu?” ujar Bu Sultan lembut, seraya mengusap-usap kepala Shelia penuh kasih sayang. Namun, tangis Shelia tak kunjung reda.“Aku takut, Bu.” Shelia berkata lirih, sambil merebahkan kepala di pundak Bu Sultan.“Kamu boleh takut, tetapi jangan memastikan dulu sebelum melihat wajah orang itu,” ucap Bu Sultan lagi. Bu Sultan masih terus mengusap-usap kepala Shelia dengan lembutnya.“Bapak dan Ibu, demi kejelasan masalah ini, bagaimana kalau kita langsung berangkat saja?” usul AKP Helmi. Ia tak mau suasana melankolis yang kurang perlu ini terjadi berlarut-larut.“Ayo kalau begitu. Lebih cepat lebih baik,” sahut Pak Sultan sambil mengangguk setuju.Pak Sultan bergerak untuk keluar rumah, diikuti ol
Rombongan polisi yang mencari Byzan kembali pada pukul sembilan pagi. Dari raut wajah mereka yang lelah dan lesu, Shelia langsung tahu bahwa pencarian Byzan berakhir nihil.“Bagaimana, Pak?” tanya Pak Sultan tak sabaran.“Kami sudah menyisir seluruh wilayah ini, tetapi tidak ada jejak. Mungkin, Pak Byzan sudah tidak berada lagi di sini,” jawab AKP Helmi, koordinator pencarian Byzan.Shelia langsung bertukar pandang dengan kedua orang tuanya. Mereka berbagi resah dan gelisah melalui tatapan mata.“Pencarian ke wilayah di luar area ini bisa memakan waktu hingga berhari-hari. Semoga saja dalam waktu kurang dari seminggu, Pak Byzan sudah kami temukan,” kata AKP Helmi lagi.“Huft! Ibu rasa, lebih baik kita pulang dulu ke rumah,” ujar Bu Sultan dengan raut wajah letih.Meskipun hanya duduk dan menunggu tanpa aktivitas