Share

Pembalasan untuk Sepupu Celamitan
Pembalasan untuk Sepupu Celamitan
Penulis: Aong_Zee

Bab 1

Sepupu Celamitan

“Dek, datang lagi,” ucap suamiku dengan nada berbisik juga datar sambil melirik ke sebuah motor vixion berwarna putih parkir di rumah kami.

Aku hanya bisa menghela nafas panjang ketika mereka mengucap salam lalu masuk ke rumahku begitu saja tanpa menunggu izin dariku pun mereka menerobos masuk ke dapur.

“Masak apa? Weh paslah ya banyak nasi, kami enggak masak. Mau numpang makan, “ celoteh istrinya setelah menggeledah tudung sajiku.

Aku hanya bisa tersenyum getir melihat tingkahnya. Karena bukan hanya sekali atau dua kali saja dia seperti itu, tetapi hampir setiap hari.

“Mas berangkat ya, Dek,” ucap suamiku sambil bermalas-malasan beranjak dari duduknya.

“Mau ke mana, Devan?” tanya abang sepupuku.

“Lihat mobil di bengkel,” jawab suamiku singkat dan berlalu.

Tanpa memandang mereka, aku masuk ke dalam rumah lewat pintu dapur, mencari sumber suara anakku yang kedua, diasedang ribut bermain.

“Latif, mandi!” ucapku pada anak sulungku dengan nada tinggi setelah aku menemukan mereka di ruang tamu. Mungkin dengan cara itu caraku melampiaskan kebosanan ini.

“Iya, Mak," sambil terus bermain dengan anak keduaku.

Setiap sore aku selalu sibuk mengurus ketiga anakku. Belum lagi pekerjaan di rumah yang hancur amburadul. Tapi mereka selalu datang di setiap jam 16.30wib.

“Itu di gulai ya, kolnya?” tanya kakak sepupuku. Panggil saja namanya Wulan.

“Iya, tapi enggak enak,” jawabku singkat tanpa memandangnya berharap mereka tidak mau makan masakanku kali ini.

Sebenarnya aku tidak tega memperlakukannya seperti itu, tapi memang sudah tidak bisa ditoleransi lagi.

Aku beranjak dari dudukku sambil membawa putri bungsuku ke kamar mandi untuk memandikannya. Entah apa yang mereka datangi di dapur akupun tak tahu. Hanya sedikit terdengar kalau abang iparku sedang lapar.

“Mandi, kita mandi, biar bau wangi,” ucapku dengan lantunan nada kepada putri kecilku. Hatiku sedikit terhibur dengan tawanya.

Setiap mereka ke rumahku, pasti di jam makan dan tidak pulang sebelum mereka makan. Entah istrinya yang pemalas entah karena suaminya tidak suka masakan istri.

Kalau dibilang kurang, tidak mungkin karena semua berkecukupan. Apalagi orang tuanya yang selalu memberi belanjaan dan uang ke mereka. Entah apa yang buat mereka selalu makan di rumahku.

“Kakak mau masak mi, Ta, abangmu lapar,” sambil meletakkan wajan di atas kompor milikku.

Aku tersenyum getir lagi. Tanpa basa basi dia memasak mi instan di rumahku, mengupas bawang dengan beberapa cabai. Abang sepupuku merebus air untuk menyeduh kopi untuk dirinya sendiri. Saat aku melintas di dapur, aku tidak memandang mereka sedikit pun. Aku ingin mereka tahu diri!

Ternyata tidak sama sekali. Rumahku di anggap seperti rumah mereka sendiri, masak sambil tertawa, entah apa yang mereka tertawakan.

“Ta, ada saos enggak?” tanya Abang sepupuku.

“Baru saja habis, tadi,” jawabku singkat.

Setelah selesai memakai baju, aku menyuapinya. Anak bungsuku masih berusia tujuh bulan. Pasti terbayang repot nya aku di setiap harinya.

“Makan, Ta! itu masih ada minya,” ucap kakak sepupu sambil memegang sepiring nasi beserta mi.

'Alhamdulillah, makannya sedikit.' batinku setelah aku melirik piring yang di pegangnya.

“Manda, sini makan!” teriaknya memanggil anak perempuannya.

'Ya ampun ternyata itu untuk anaknya.' batinku.

“Makan, Ta!” ucap Abang sepupuku dengan membawa sepiring nasi munjung beserta sayur yang kumasak tadi.

“Sebenarnya yang punya rumah ini aku atau mereka sih ya?” gumamku bertanya dalam hati.

Aku mengenal abang sepupuku dari dulu, dulu dia tidak seperti ini sebelum menikah dengan istrinya.

Kami orang baru di desa ini, yang awalnya tinggal di desa suamiku kini kami merantau di desaku sendiri guna untuk memperbaiki ekonomi. Malah kami di tumpangi makan hampir setiap hari seperti ini. Apa tanggapan orang tuanya jika mereka tahu?

"Tamunya makan, orang rumahnya melongo," ucap Abang sepupuku disela-sela makannya. Aku hanya bisa tersenyum tipis.

Hatiku bimbang antara akan bicara atau tidak karena aku tidak mau hanya karena satu manusia keluarga besar kami jadi berantakan. Tapi di sisi lain aku bosan. Aku yakin ini ulah istrinya, kalau saja istri masak pasti suami tidak akan mencari makan di rumah orang lain.

Orang tuanya sangat terpandang di desa maupun di keluarga kami, bahkan orang tuanya pernah membantu kami.

“Latif sana makan! masih ada mi itu,” ucap Wulan kepada anak sulungku.

“sudah sering makan, Bude, sudah bosan,” celotehnya polos.

Aku cekikikan mendengar ucapan Latif, dia juga sering kesal kalau mereka membeli jajan, anakku tidak sedikit pun di kasih. Aku memandang perutnya yang semakin membesar, 'Besok seperti apa calon anakmu itu, magrib selalu di rumah orang.' batinku.

“Weh, tambah ya. Selera dia,” Wulan yang sedang menyuap nasi terhenti melihat suaminya membawa sepiring nasi lagi.

“Selera sih selera, tapi jangan lupa kalau, Devan itu belum makan juga loh,” celetukku.

“Masih ada kok nasinya,” jawab abang sepupuku singkat.

Makannya memang selalu banyak, porsi dia lebih banyak dari porsi Devan. Di tambah lagi sepiring, kacau ini mah.

Selesai aku menyelesaikan anak bungsuku berlanjut aku mengurus anak ke duaku, berumur delapan tahun tapi belum beres kalau mengerjakan apa pun itu, termasuk berpakaian setelah mandi. Karena dulunya ia terkena penyakit asma, sampai sekarang saya masih terbawa suasana.

“Fatir, masak sudah besar masih di pakaikan bajunya, malulah,” Wati langsung saja berbicara padahal masih penuh nasi dalam mulutnya.

“Bude, sudah besar kok masih aja makan di rumah orang. Malulah," ceplos Fatir dengan wajah polos.

'Ya ampun anakku, dia seperti ini pasti karena selalu mendengarkan pembicaraanku dengan Ayahnya.' batinku tertawa cekikikan sampai berwajahku merah padam.

Mereka tidak menjawab, hanya saja abang sepupuku tertawa terbahak-bahak. Mungkin karena malu tapi nyata.

Selesai makan, kakak sepupuku sambil bermalas-malasan, membuka hijab lalu menghidupkan kipas angin duduk ke arahnya. Pasti segar rasanya.

Sedangkan suaminya duduk manis sambil menghidupkan sebatang rokok juga bersanding dengan kopinya. Weh enak.

“Kok, Devan, belum pulang ya?” tanya Wulan berbasa-basi.

“Mungkin banyak yang harus di perbaiki,” jawabku singkat.

“Ya sudahlah, Bude, pulang ya, Dipuu,” ucapnya mengenakan hijab lalu mencium anak bungsuku.

Lagi-lagi aku hanya tersenyum tipis, sebenarnya aku ingin menunjukkan wajah kesalku pada mereka, tapi aku belum memiliki keberanian untuk itu.

“Sebentar lagi, kopinya habis,” ucap abang sepupuku.

“Assalamualaikum....” terdengar suara suamiku dari arah dapur.

“Waalaikumussalam....“ jawab kami bersamaan.

Aku meletakkan anak bungsuku di lantai beralaskan karpet tebal, niat hati akan ke dapur menyusul suamiku tetapi suamiku dulu yang sampai ke ruang tamu.

“Loh kok enggak kedengaran suara motornya?” tanyaku.

“Mungkin karena adek sudah kenyang,” jawab suamiku dengan bahasa sindiran.

“Kenyang apa, orang makan pun belum,” timpal Wulan.

Tahu yang punya rumah belum makan, tapi mereka seenaknya aja makan tanpa izin sama yang punya rumah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status