Share

Part- 05 Nasib Rumit

Dalam mimpi pun bahkan Lala tidak menginginkan bertemu dengan laki-laki semacam Glenn. Kalau bisa ditawar Lala memilih bertemu kera sakti saja, karuan hidupnya menjadi berguna, bisa ikutan ke barat mengambil kitab suci. Daripada bertemu Glenn yang ada hanya dicaci maki terus.

Tampaknya bertemu Glenn di kota Violens adalah takdir dan Lala tidak bisa menukarnya dengan siapapun. Seandainya bisa, Lala mau kok tukar tambah. Mungkin tambah sepuluh ribu tukar lelaki yang lebih sopan dan lebih menghargai orang lain.

Nasib baik yang di awal menghampirinya ternyata berbuntut masalah yang cukup rumit. Tiga bulan lalu tepatnya ketika Lala menginjakkan kakinya di kota impian. Ya, Violens adalah kota yang akan mewujudkan segala mimpinya.  

Setiba di kota Violens Lala mendapatkan kost yang jaraknya cukup dekat dengan kampus, bahkan Lala cukup berjalan kaki saja jika ingin pergi ke kampus. Itu artinya rencana pertama berjalan mulus. Meskipun Lala harus membayar cukup mahal untuk harga kos itu hingga menguras hampir separuh uang tabungannya.

Keesokan harinya Lala berangkat ke kampus Nuansa hendak daftar ulang. Sialnya, sisa tabungannya tidak cukup untuk membayar daftar ulang kuliahnya.

Sungguh tidak lucu.

Bukankah seharusnya Lala cari kos yang sederhana saja, yang terpenting dirinya bisa daftar ulang? Lala bahkan tidak berpikir ke situ.

Lala berjalan gontai pulang ke kos kembali. Masih ada harapan bagi Lala, sebab sisa waktu satu hari besok untuk daftar ulang.

Sesampai di kos Lala melempar tasnya di kasur. Mendung di kedua bola matanya sudah berubah menjadi gerimis, lama-kelamaan hujan pun turun membanjiri kedua pipinya. Lala bukan lagi terisak kini dirinya sudah menangis meraung-raung.

Tok! Tok! Tok!

Suara ketukan pintu itu pun tidak di dengarnya. Lala terlalu terlena menikmati tangisnya sendiri.

"La, kamu kenapa?" tanya Dewi setelah membuka pintu yang tak terkunci itu. Dewi adalah anak kos yang memiliki kamar tepat di samping kamar Lala.

Lala menoleh ke sumber suara, tampak dewi menatapnya penuh rasa khawatir. Kemudian mengulurkan tisu untuk Lala.

Lala sepertinya lupa, bahwa mulai saat ini dirinya tidak boleh cengeng. Tidak ada lagi Ayahnya yang menjadi superhero yang siap menolongnya. Tidak ada lagi bi Narti yang selalu membujuknya agar diam ketika Lala menangis. Tidak ada Bunda yang selalu bertutur halus menasehatinya, dan tidak ada Adrian yang menghiburnya ketika dirinya sedih.

Ya. Lala kini sendiri.

Dan itu pilihannya sendiri tidak ada satu orang pun yang memaksanya. Lala seolah tersadar segera menghapus semua air mata itu.

"Nggak apa-apa, Wi. Aku hanya kangen sama orang rumah," dusta Lala. Keadaan yang membuatnya harus berdusta, tidak mungkin Lala menceritakan masalah pribadinya pada orang lain. Apalagi soal kekurangan uang, bukankan itu memalukan?

"Kalau ada apa-apa kamu boleh cerita La, kita bisa berteman baik," ucap Dewi tulus.

Lala menarik kedua sudut bibirnya, mencoba membuat senyuman. Sepertinya senyum buatan itu bisa meyakinkan Dewi kalau Lala memang baik-baik saja. 

"Oke deh, La. Aku mau keluar nih, apakah kau nitip beli sesuatu?” tawar Dewi tulus.

Lala menggelengkan kepala dengan tetap mempertahankan senyumnya.

"Baiklah, aku pergi dulu ya," pamit Dewi meninggalkan Lala. Setelah Dewi keluar, Lala menutup pintu dan menguncinya.

Di ruangan tiga kali empat meter itu Lala berpikir. Bagaimana caranya besok pagi mendapatkan sejumlah uang untuk daftar ulang. Setidaknya setelah berhasil menjadi mahasiswa Lala akan mencari pekerjaan untuk biaya hidup selanjutnya. Itu rencana Lala.

Tapi bagaimana mungkin Lala mendapatkan dalam waktu secepat ini? Satu-satunya orang yang bisa menolongnya hanya Ayahnya. Haruskah Lala balik badan dan minta tolong pada Harjito?

Tidak!

Keputusan untuk pergi dari rumah sudah dia ambil, yang berarti Lala harus setia dengan keputusannya sendiri?

Meminta pertolongan Adrian?

Tiba-tiba saja Lala ingat kakak lelakinya. Dirinya segera meraih tas yang tadi ia lempar di kasur. Mengaduk-aduk isinya untuk menemukan keberadaan ponselnya.

Selang berapa menit lala serius mengamati layar datar ditangan kirinya dan sesekali jari telunjuk kanannya menari-nari di atas ponsel itu.

Lala hendak menelpon Adrian begitulah kiranya.

Kring kring kring nada sambung itu belum juga berubah menjadi suara sang kakak, itu berarti Adrian tidak mengangkat teleponnya.

Namun Lala tidak putus asa dan mencobanya kembali. Tepat pada percobaan keenam terdengar sahutan dari seberang.

“Haloo...,” suara familiar Adrian terasa menyejukkan Lala. Itu berarti petolongan akan segera datang.

“Iya Halo. Kak, Lala mau minta tolong,” ucap Lala tanpa basa basi.

“Minta tolong apa, dek? Apa kamu kekurangan makanan di sana? Mau kakak kirimi? Atau mau kakak kirimkan juga boneka teddy bear kesayanganmu itu? Atau kakak kirim juga semua koleksi novel dan komik di kamarmu?” tanya Adrian.

“Bukan kak,”

“Lalu, mau minta tolong apa? Apa ada yang mengganggumu? Oooh...... kakak, tahu sekarang. Kamu mau kakak jemput pulang, karena tidak kerasan?”

“Ish, kakak salah besar. Bukan itu,”

“Jangan membuat kakak panik, cepat katakan mau apa?”

“Lala mau pinjem duit,”

“Hah?! ..... bukannya kamu bilang tanbungan kamu banyak, masa iya sudah habis saja?”

“Ternyata uang segitu nggak cukup, kak. Plis kak bantu Lala”

“Oke kamu butuh berapa nanti kakak transfer,”

“Lima juta dulu deh, kak......... Hallo.....  hallo.....”

Thut thut thut

“Akh, kenapa malah menutupnya?” keluh  Lala sambil melempar ponsel itu di kasurnya.

Lala berbaring memandangi langit-langit kamarnya. Berdoa sedalam-dalamnya harap, mencoba mengundang nasib baik agar segera datang menghampirinya.

Thing!

Ponsel Lala kembali berbunyi, memberitakan ada sebuah pesan masuk. Lala segera meraih ponselnya. Mungkin saja Adrian yang mengirimnya.

Apa??

Mata lala membulat sempurna saat membaca pesan masuk tersebut.

Transfer masuk Rp. 200.000.000 ke rekening Aquilla Anaya Pribadi pada 03/08/2000 19:08:54 ket.: 5371***********# ATM #TRFHM

Lala mengucek matanya, takut kesalahan terjadi pada penglihatannya. Atau ini hanya semacam pesan dari orang iseng yang sering ia terima. Jari lentik lala mencari kebenaran dengan memeriksa mutasi rekeningnya. Dan ajaibnya uang tersebut menambah saldo akhirnya.

Saat itu Lala tidak berpikir jika ada transfer nyasar ke rekeningnya. Pikirannya langsung menyangka Adrianlah yang mengirimnya.

Lala kembali menghubungi Adrian.

“Hallo....”

“Hallo, dek,” terdengar suara Adrian dari seberang.

“Kak, terimakasih ya transfernya sudah masuk, kakak baik banget. Maaf tadi sempat jengkel gara-gara kakak mutusin teleponku sepihak. Tapi ternyata kakak buru-buru menutupnya hanya karena mau segera transfer, so sweet banget siih.”

“Apa? Siapa yang transfer?” tanya Adrian bingung.

"Lhoo, bukannya kakak yang transfer?"

“Kakak menutup, gara-gara ada telpon lain yang masuk, dek. Dan benar saja telpon itu dari Monica pacar kakak, maaf tadi malah kakak tinggal pacaran,”

“Huhhh, ternyata kakak masih saja menyebalkan sempurna,” ucap Lala jengkel

“Ha ha ha......” Nada tertawa Adrian terdengar menjengkelkan.

“Jadi yang transfer Lala siapa kak?” tanya Lala serius dan penasaran.

“Siapa lagi kalau bukan Ayah, itu pasti ayah dek karena hanya ayah yang tahu kamu sedang butuh uang,” jawab Adrian meyakinkan.

“Mungkinkah kak?” tanya Lala tak begitu yakin.

“Ya, jelas mungkin. Kenyataannya ayah juga membiayai kuliahku dan kak Reno meskipun kita melawannya.”

Saat itu Lala percaya pada Adrian karena tidak ada yang salah dari semua pernyataannya. Reno dan Adrian tetap di biayanya sampai lulus. Hanya saja Reno memilih jauh dari orang tuanya karena sadar diri sebagai anak pertama tidak bisa memberi contoh pada kedua adiknya.

Lala segera mengambil foto Harjito dan menciuminya. “Makasih ya, Yah. Lala tahu, Ayah sayang Lala. Maafin Lala, terpaksa pergi dari rumah.”

Tapi pikiran Lala saat itu keliru. Kenyataannya bukan Harjito tapi Glenn yang transfer, dan sekarang Lala harus berhadapan dengan laki-laki menyebalkan itu.

***

BERSAMBUNG

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status