Lala menatap air yang ada di taman tepi danau di kampusnya. Air itu tenang tanpa ada yang ngusik. Guguran bunga Angsana masih setia berjatuhan menghiasi sekitaran taman mesti tanpa diminta.
Lala merapikan rambutnya yang tertiup angin. Kemudian mengambil selembar kertas dan pena dari dalam tasnya. Kemudian dirinya menulis untuk batinnya sendiri.
Hei kekasih
Jika kita untuk saat ini
Ditakdirkan untuk berpisah
Aku tak ingin kau hadirkan
Duka yang kian gelisah
Jika kita untuk saat ini
Ditakdirkan untuk tidak bertemu lagi
Aku tak ingin kau hadirkan
Luka yang menggantung di hati
Biar kugulung rinduku sendiri
Tanpa kau berhak mencampuri
Lala menyimpan kembali penanya, dan meletakkan kertas itu di kursi tepi danau.
Kaki beralas flatshoes warna putih itu melangkah menuju bulevard hendak pulang.
“Tunggu, La!” Suara yang sangat dirindukannya akhirnya
Putus cinta untuk pertama kalinya pacaran dirasakan oleh lala. Rasanya sakit melebihi sakitnya dicaci maki Glenn. Lala kini membenamkan diri dalam bacaan novel pilihannya. Tangis yang tak kunjung berhenti mengaliri kedua pipinya. Tisu-tisu berserakan di sana-sini tidak dipedulikan lagi. Salah! Novel pilihannya bukan membuat Lala melupakan kesedihannya, tapi itu malah membuatnya nangis sejadi-jadinya. Lantaran kisah cinta dalam novel itu mengharu biru dan mengaduk-aduk perasaan Lala. Astaga, begitu lihainya sang author memainkan perasaannya. Sadar diri sudah larut dalam cerita novel itu Lala segera bangkit ke dunia nyata. Membereskan tisu yang berserakan dan memasukkannya dalam tempat sampah. Cinta harus diperjuangkan! Itu hikmah yang ia temukan dalam bacaan novelnya. Gadis itu meraih ponselnya dan mencoba menghubungi Alan. Tapi sia-sia sebanyak 16 kali panggilan tidak satu pun dijawab oleh Alan. Kiranya laki-laki itu benar-benar sudah
Ada apa dengan hati Lala? Mungkinkah dia jatuh cinta dengan Glenn? Tidak! Semoga saja tidak, mungkin saja itu pelarian rasa sedihnya karena putus sama Alan. Alan Arya Wibisono namanya. Lala mengenalnya pertama kali saat acara out Bound pelantikan anggota baru teater sastra. Lelaki itu berbeda dengan yang lain, pendiam dan suka menyendiri. Pelantikan itu di adakan di puncak tepatnya di lereng gunung Anira. Alan adalah seniornya di UKM teater sastra fakultas Nuansa. Bodohnya sudah tahu acara di adakan di puncak Lala tidak membawa jaket. Sudah tentu tubuhnya menggigil. Malam itu seluruh rangkaian acara telah usai. Lala masih belum bergeming dari duduknya, gadis itu sendirian menekuk kaki dan memeluknya sesekali tertunduk menenggelamkan kepalanya. Ketika tiba-tiba Alan datang dan mengulurkan sweater army berbahan rajut. “Sudah pakai saja,” ucap Alan. “Tapi bagaimana dengan kamu, bukankah cuaca begitu dingin?” tolak Lala. “B
PART 32_NYONYA BESAR Mengingat Alan itu menyakitkan, bersama Glenn jauh lebih makan hati. Alan dan Glenn jangan di bandingkan ibaratnya langit dengan bumi. Alan bersama sifat rendah hatinya sementara Glenn mendominasi sifat sombong. Soal fisik tentu saja Glenn lebih gagah, tapi Alan juga tidak terlalu buruk. Lala selalu nyaman bersandar di bahu itu. Alan menghembuskan nafas kasar kenapa isi kepalanya terus-terusan diisi ke dua laki-laki itu. TOK!! TOK!! TOK!! Siapa yang datang malam-malam begini? Pakai ketuk pintu pula. Lala mematikan Chanel televisinya. Kemudian membuka pintu. “Buka pintu lama sekali! Lagian ponsel kenapa gak aktif sih?!” ucap wanita dengan dress maroon, mungkin usianya setara dengan Iriani. Lala tersentak mendengar Omelan itu, Dahi Lala mengernyit baru pertama kali melihat wanita itu dan tiba-tiba saja langsung marah-marah. “Kamu?!! Siapa kamu?” Wanita itu tak kalah kagetnya melihat Lala. “Apa yang kau lakuka
Pasangan kekasih itu sudah datang membuat Lala sedikit lega. Glenn memeluk dan menciumi Sintia bertubi-tubi seperti tidak bertemu mamanya selama bertahun-tahun. Sudut hati Lala tersentil, kapan momen seperti itu dapat ia rasakan? Sabila mencium tangan Sintia dengan takzim, kemudian keduanya berpelukan. “Mama kangen kamu, cantik! Kamu apa kabar?” ucap Sintia, masih terus memandangi calon menantunya itu. “Sabila baik, Ma.” “OKE, Ayo kita duduk, ngobrol-ngobrol cantik dulu.” Sintia menarik tangan calon menantunya dan mengajaknya duduk, “ Ehh ... Siapa tadi namamu,” ucapnya sambil memegangi kepalanya, kemudian menunjuk ke arah Lala. “Lala, o iya ... Lala! bikin minum atau apa kek? cemilan ini itu dikeluarin semua, bagaimana sih! Masa iya harus ditunjukkan.” “Persis ... Sum
Sepulangnya di Indonesia Sintiya jadi sering datang ke apartemen Glenn. Sintiya sengaja datang karena ingin bertemu calon besan dan calon menantunya. Sebagai bentuk peduli, meskipun pertunangan mereka masih tiga bulan lagi. Tetapi Handoko, tidak ikut pulang mengingat pekerjaannya di Singapura tidak bisa di tinggalkan. Handoko adalah ayah Glenn yang workaholic. Selama di Indonesia Sintiya tinggal di rumah Melati, tentu saja neneknya Glenn sangat merindukan Sintiya. Lagi pula apartemen Glenn tidak nyaman buat Sintiya. Meskipun begitu setiap hari Sintiya datang ke apartemen itu sekedar mengirimi makanan kesukaan putranya dan terkadang mampir makan bersama. “La, atur yang benar makanan ini, dengerin baik baik, wanita itu harus terampil masalah dapur. Jangan sampai suami kamu kelak selingkuh dengan restoran! UPS... Lupa nggak level ya? Aku ralat. Jangan sampai suami mu kelak selingkuh dengan warteg!! Paham nggak?” ucap Sintiya panjang lebar menyuruh Lala menyusun makan ma
Lampu sudah menyala, tautan bibir itu belum terlepas. Lala tersentak menyadari dirinya begitu terbuai dalam pesona Glenn. Tidak terkira begitu merahnya pipi Lala dan tidak tahu harus disembunyikan di mana lagi. “Astaga Lala tanganmu berdarah?!” Glenn kaget melihat darah di telapak tangan Lala, dan di kemejanya juga. “Kakimu juga berdarah,” serunya. Kemudian laki-laki itu pergi mengambil kotak obat. Perih, memang perih tapi itu tidak seberapa di bandingkan ketakutan Lala. Lala kecil tidak takut gelap, sebelum dia bertemu makhluk mengerikan di kamarnya saat mati lampu. Saat itu di rumah hanya ada bi Narti dan bi Narti datang terlambat. Lala terlanjur pingsan di kamarnya. Sejak itu Lala begitu takut gelap. “Akhh ...” Lala meringis menahan sakit. Ketika obat dalam botol itu di oleskan ke bagian lukanya. “Sakit banget ya?” tanya Glenn begitu khawatir. “Iya,” ucap Lala mengangguk. “Sudah di obatin masih sakit?” tanya Glenn lagi.
Lala tertatih kembali ke kamarnya, hari ini dia bolos kuliah. Luka di kakinya masih terasa nyeri. Di depan laptop gadis itu fokus merangkai untaian kata, menyambung satu demi satu menjadikan kalimat. Terkadang terjeda sejenak karena butuh berpikir, setelah mendapat inspirasi jemari lentik itu kembali menari di atas keyboard.Sudah beberapa sinopsis berhasil ia kirimkan, dari platform lokal dulu baru merambah ke platform yang lebih besar dan banyak di kenal. Apalagi yang bisa ia lakukan selain mengandalkan kerajinannya menulis. Guru bahasanya pernah berkata Apa pun pekerjaanmu jika di tekuni dengan baik pasti mendatangkan rezeki. Bukankah kerja hannyalah cara paling indah dalam menjemput rezeki, setelah itu biarkan doa bertarung di angkasa demi merayu sang Maha pemberi rezeki.Thing.Lala membuka ponselnya. d[Sudah makan]_Glenn.Lala menatap angka di sudut atas ponselnya pukul 14.00. Astaga dirinya dari pagi baru makan roti. Tetapi ada yang aneh, t
Sepanjang perjalanan pulang, Sabila terus mendiamkannya. Semua jurus sudah di coba Glenn, tetapi tetap saja tiada guna. Mulai dari merayu, menawari barang branded, mengajak ke salon untuk perawatan, sampai ngajak nonton. Sabila tetep saja bertahan pada posisi marah. Pikirannya buntu. Glenn memutuskan mengantarnya pulang saja. Besok dia akan memikirkan cara untuk mencairkan hati beku kekasih. “Cill, aku sudah pulang? Kamu di mana?” Sebenarnya percuma saja teriak-teriak. Lala nggak bakal menyahutnya. Glenn mencari pembantu kecilnya itu, di mana lagi kalau bukan di kamar? “Enak ya, pembantuku makan gaji buta. Kerjanya di kamar, main hape, main laptop, makan, tidur!” sindir Glenn dan tanpa basa-basi langsung ngeloyor masuk dan merebahkan tubuhnya di kasur. Lala menutup laptop, sebenarnya dirinya sedang membaca kontrak untuk novelnya, tapi membaca dengan buru-buru itu sungguh tidak bagus dan memperbesar resiko kesalahan. Lala me