William terpaksa menggandeng tangan Jelita setibanya di bandara Soekarno-Hatta. Khawatir kalau-kalau gadis itu tertinggal jauh di belakangnya lalu hilang karena kebanyakan menoleh seperti orang linglung. Kalau sampai hilang, bakal lebih merepotkan dan bikin pusing saja. Dia tak boleh lupa kalau yang dia bawa ini gadis kampung yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di bandara sebesar ini.
Dua jam kemudian, mobil yang membawa mereka sampai di sebuah komplek perumahan. Jelita tertegun memandangi rumah-rumah besar di sekelilingnya. Mulutnya nyaris menganga sepanjang waktu. Ini memang bukan jenis komplek perumahan biasa, komplek ini ditinggali golongan orang-orang menengah atas, bahkan ada juga politisi dan artis ternama ibukota.“Masuk,” perintah William karena sejak tadi Jelita diam mematung saja memandangi rumahnya. Meskipun rumah William tak semegah rumah Nyonya Cindy di kampung, tetapi rumah ini terlihat cantik dan estetik.“Wah. Rumahnya Bapak bagus banget.”
Rumah William memang bagus, seperti rumah-rumah punya selebriti yang pernah ditayangkan di televisi. Taman mininya asri dengan berbagai tanaman dekoratif. Jelita menyukai tumbuhan perdu hijau yang merambat di sepanjang jalan setapak menuju beranda. Jenis lanskap berbiaya mahal. Furniture yang mengisi ruangan pun diatur sedemikian rupa, membuat rumah ini terasa nyaman dan modern. Jenis interiornya pun jelas mahal dan berkelas.“Ini cuma ditempati Bapak sendirian?” Jelita berdecak kagum.“Ada Bik Yuni, pembantuku juga tinggal di sini.”Jelita berkedip-kedip bingung. “Eh, jadi Bapak sebenarnya sudah punya pembantu? Kenapa Nyonya Cindy mengira belum?”“Bik Yuni sedang pulang kampung karena anaknya kecelakaan dan dirawat di rumah sakit, dia izin selama sebulan.”“Jadi, ... saya bekerja di sini cuma buat sebulan?”Ada kekecewaan yang teramat kentara dalam suara Jelita, serta merta William menoleh dan mengamati wajah cantiknya yang berubah pias. Ya, meski sederhana tapi William akui jika gadis itu memiliki kecantikan alami yang tak terbantahkan. Bukan hanya cantik, gadis itu juga menarik dengan pesona tersendiri.“Kamu ingin bekerja denganku lebih lama?”Jelita mengangguk-angguk dengan tatapan penuh harap.“Sayangnya aku cuma butuh satu ART. Dan aku sudah cocok dengan Bik Yuni."Ada kesedihan yang tersorot dalam mata gadis itu. Bahunya tampak melunglai dan matanya menyorot putus asa hingga sanggup menggugah rasa iba di hati William. Maka pria itupun berkata, "Tapi aku bisa membantumu bekerja di tempat lain, mungkin saja nanti ada temanku yang butuh ART begitu Bik Yuni kembali. Tunjukkan saja kemampuanmu selama sebulan ini, agar aku tak malu merekomendasikan kamu."
Seketika tampak harapan menyala dalam sorot mata Jelita.
"Ehm. Maaf, Pak. Kalau misalnya ... saat Bik Yuni kembali, tapi belum ada orang lain yang mempekerjakan saya, apa boleh ...," dia menggigit bibir seraya menatap William takut-takut, "... saya tetap di sini dulu sampai dapat kerja?"
"Boleh saja, tapi nggak gratis. Kamu harus bayar sewa kamar padaku."
"Iya, nggak apa-apa. Nanti dipotong saja dari gaji saya."
Sekonyong-konyong William terbahak atas keluguan Jelita yang terlalu serius menanggapinya tentang uang sewa. Sedangkan Jelita tertegun memandangi William yang tertawa lepas. ‘Ternyata dia bisa tertawa seperti ini,’ batinnya takjub.
“Hei,” panggil William, “mau mengajakku perang mata? Kenapa melihatku seperti itu?”Jelita memutuskan tatapannya dari wajah William. Malu ketahuan mengamati pria itu lebih lama dari seharusnya.“Daripada berdiri terus di situ mendingan beresin barang-barangmu. Kamarmu di atas, lewat sini,” kata William sambil menunjuk ke arah tangga.Jelita menurut dan membawa barangnya ke atas, bersama William yang memimpin jalan di depannya sambil menenteng sebuah kopor besar miliknya.Jelita terpaku menatap rak buku di sudut ruangan yang diatur secara estetik. Lalu tersenyum kecut. Sewaktu kecil, dia pernah meminjam buku punya teman, tapi emaknya malah menyobek lembar demi lembarnya sebagai alas gorengan tanpa izin dulu kepadanya. Tapi saat Jelita protes, justru omelan panjang dan jeweran menyakitkan yang diterimanya. Sejak saat itu, tak ada lagi teman yang mau meminjaminya buku. Jelita cukup puas membaca dari koleksi perpustakaan sekolah saja, tanpa berani meminjam untuk dibawa pulang.“Ini kamarmu,” kata William sambil menyeret kopor Jelita dan meletakkannya di dekat lemari yang tampak tenggelam di dalam dinding.Jelita yang membuntuti William pun ikut masuk. Warna putih menyambutnya, menawarkan kenyamanan yang terasa elegan dan bersih. Semua perabotnya pun berwarna putih."Apa ini kamar Bik Yuni juga?" Jelita bertanya karena kamar ini cukup luas dan terlalu bagus buat ditempatinya sendirian, bahkan ada televisi pribadi dan kamar mandi dengan fasilitas bath tub dan shower air panas."Bik Yuni punya kamar sendiri.""Apa kamar ini tidak kebesaran buat saya, Pak?""Daripada kosong, lebih baik kamu tempati saja."Setelah William keluar kamar, Jelita merebahkan dirinya ke ranjang dengan kualitas busa terbaik, sensasi empuknya mengendurkan syaraf punggungnya yang tegang. Mimpi apa dia bakal menempati kamar semewah ini?Puas rebahan, Jelita beranjak untuk menggeser pintu kaca yang memisahkan kamar dengan balkon di luar. Angin pun berembus masuk, meniupkan udara baru ke dalam kamar. Dari balkon, ia bisa menikmati pemandangan di luar dengan bebas.Jelita menghela napas panjang dan mengagumi segalanya, semua yang dia lihat serasa mengukuhkan modernisasi ibukota dengan aneka bangunan dan tempat-tempat yang berlomba-lomba menampilkan estetika.Ada sebuah fitness center area yang letaknya tak jauh dari sudut rumah ini. Bangunan dua lantai itu kelihatannya baru selesai dibangun, atau mungkin sedang direnovasi. Terlihat dari beberapa bagian dindingnya yang masih belum selesai dicat. Beberapa petugas berseragam tampak sedang melakukan instalasi di sana-sini.Jelita kemudian mengalihkan tatapan ke bangunan rumah tetangga yang berada tepat depannya, yang sama-sama terdiri dari dua lantai. Tiba-tiba saja pintu balkon di sana terbuka lebar, dan seorang pria muda tampak berjalan keluar dengan hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada, memperlihatkan tatonya yang memanjang mulai dari lengan atas hingga mencapai sebagian dadanya yang bidang. Pria itu menyulut sebatang rokok, lalu mengisap dan mengembuskan asapnya ke udara. Dan tatapan pria itupun bertabrakan dengan Jelita yang terlambat memalingkan wajah.“Halo ...?” sapa pria itu sambil melambaikan tangan dengan seraut senyum ramah, sikapnya cukup imut dan berbanding terbalik dengan tatonya yang terkesan angker.“Hei, I've never seen you before. What’s your name, baby?”Jelita mengerutkan kening, pria itu bicara terlalu cepat dan dalam bahasa Inggris yang tak begitu jelas terdengar dari tempatnya. Bingung harus merespons bagaimana, iapun hanya mengangguk kikuk seraya tersenyum sambil berjalan mundur untuk kembali memasuki kamar.“Hei, jangan pergi dulu! Nama elo siapa? Gue Bimo."Tetapi Jelita menutup pintu tanpa menjawab.
"Woooi,... you hear me?”
Diabaikannya saja panggilan pria bernama Bimo di luar sana. ***Jelita menuruni tangga dan mencari-cari letak dapur. Tadi William sempat berpesan padanya agar tak sungkan untuk mempelajari isi rumah ini tanpa perlu izin dulu darinya. Dan gadis itu ternganga begitu menemukan ruang dapur yang sungguh apik. Beberapa perlengkapan memasak tergantung rapi dan terlihat masih seperti baru. Entah jarang dipakai atau memang karena terawat baik. Tapi ia rasa yang kedua. Jelita haus dan mengambil minum dari dalam kulkas yang pintunya dipenuhi magnet souvenir dari berbagai kota dan negara. Lalu duduk di kursi konter yang tinggi dengan bantalan empuknya yang berwarna merah. Jelita mengangguk hormat melihat William juga memasuki dapur. “Bapak suka warna merah, ya?” Jelita berkata untuk mengurai kecanggungan, sambil mengedarkan pandang mengamati aneka perabot dan furniture dapur yang didominasi warna merah, kemudian menyodori William segelas air dingin. “Silakan, Pak."William menerima dan meneguknya sampai habis, lalu meletakkan gelas kosongnya di meja sambi
Jelita merapikan peralatan makan dan mencuci piring, lalu membersihkan dapur. Sedangkan William keluar dari ruang makan dengan agak terburu-buru sambil menerima telepon. Kemudian pria itu berkutat di depan laptop dengan mimik tegang dan serius di sebuah meja. Jelita yang memperhatikannya membatin, ‘Dia sudah kembali menjadi William yang dingin dan kaku.’Dua jam kemudian, William memanggil. “Lita ..., tolong bikinin kopi.” Pria itu bicara tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop yang menampilkan aneka grafik yang rumit.“Iya, Bang.” Jelita menyahut sambil mengelap tangannya yang basah sehabis mengepel area dapur dan ruang makan. Gadis itu membuka-buka rak mencari kopi dan menemukannya dalam dua wadah tabung kaca yang berbeda. Dia tak tahu kopi mana yang diinginkan William. Jelita pun menghampiri William dan bertanya ingin kopi yang mana, dengan menunjukkan keduanya.William menoleh dengan kening yang dipenuhi kerut, dan menghela napas yang kedengarannya tidak enak. “Ini,” kata
William merenggangkan tubuhnya yang mulai terasa pegal setelah tak terasa sekian jam duduk di kursi dan bergelut dengan pekerjaan. Pria itu menutup laptop setelah hari menjelang malam. Dia merasa penat dan butuh kopi panas. Mulutnya hampir saja menyerukan nama Jelita, tapi kemudian dia teringat kejadian tak mengenakkan soal kopi tadi. "Kubikin sendiri saja," gumamnya sambil beranjak ke dapur. Saat menyalakan kompor, keningnya berkerut dan mengecek gas. Kemudian dia baru teringat jika sepertinya tadi Jelita sempat membahas soal gas habis ketika menyela urusannya. William pun memakai ketel listrik untuk mendidihkan air. "Padahal tadi dia bisa pakai ini kalau gas habis." Tapi kemudian pria itu termenung dan memikirkan beberapa hal. William menghela napas setelah menyadari sesuatu. Bagaimanapun Jelita asisten rumah tangganya yang baru dan benar-benar baru datang dari kampung. Gadis itu masih dalam proses adaptasi dengan rumah ini dan pekerjaan barunya, bahkan William lupa tidak memberita
"Nah, aku akan memberi training singkat padamu. Kuharap kamu cepat belajar, aku terlalu sibuk kalau harus mengajarimu lagi besok-besok.” William meluangkan waktu di hari libur terakhirnya ini untuk memberikan training pada Jelita. Dia menjelaskan banyak hal terkait pekerjaan yang perlu dilakukan Jelita dirumahnya. Juga mengajari gadis itu cara memakai beragam peralatan rumah tangga. 'Canggih banget,' pikir Jelita takjub saat William mengajarinya cara menggunakan remote untuk menyalakan fungsi robot buat menyapu, memvakum, dan mengepel lantai. "Oya. Kalau ini namanya diffuser, alat untuk aromaterapi. Ini gunanya bisa buat terapi pernapasan, peningkatan mood, relaksasi, pemurnian udara, dan banyak lagi, tergantung dari essential oil yang digunakan." William menjelaskan sambil menunjukkan stok essential oil yang dia miliki dan menerangkan masing-masing manfaatnya. "Tolong dinyalakan saat aku pulang kerja, selama 30 menit atau sampai satu jam saja, biar aroma ruangan jadi nyaman dan bi
Sudah genap sebulan Jelita menjadi asisten rumah tangga William. Jelita mulai bertanya-tanya apakah William sudah mendapatkan calon majikan baru buatnya. Tapi Jelita tak berani membuka percakapan untuk membahasnya karena William terlihat sangat sibuk. William berangkat ke kantor pagi-pagi dan pulang setelah larut malam. Bahkan sampai begadang di depan laptop, sambil berkutat dengan tumpukan kertas di meja kerjanya. Jelita tak berani mengusiknya kalau sudah begitu. Jelita akhirnya pilih sabar menunggu, William pasti akan memberitahunya sendiri cepat atau lambat. Dan pagi ini, Jelita melihat William sudah berpenampilan rapi untuk berangkat kerja. Pria itu baru saja memasuki ruang makan, menuju meja di mana Jelita sedang menyajikan sarapan berupa roti panggang, alpukat, dan telur rebus. "Avocado toast?" William menoleh kepada Jelita sambil menarik sebuah kursi untuk didudukinya. Jelita menuangkan air minum ke gelas William seraya berkata, "Proses pembuatannya tanpa penggorengan sehingg
Jelita bekerja rajin dan disiplin. Dia tak suka menunda-nunda pekerjaaan sekecil apapun. Rumah William jadi tampak lebih bersih dan rapi sejak Jelita menjadi pembantu di rumah itu. Jelita juga punya selera yang baik tentang makanan, sehingga William nyaris tak pernah melewatkan makanan apapun yang dimasak olehnya. Hal itu membuat Nyonya Cindy jadi tenang karena putera bungsu kesayangannya itu tak pernah melewatkan waktu sarapan. William punya riwayat sakit lambung, karena itulah Nyonya Cindy selalu menyarankan pembantu yang pintar masak buat William agar makanan buat puteranya itu terurus baik. Jelita pun memang bertekad ingin menunjukkan kepada William bahwa dia memang layak dipekerjakan bukan hanya atas dasar iba semata. Agar jika nanti William harus memilih antara dirinya atau Bik Yuni, maka pria itu akan memilih dirinya karena dia memang layak dipilih karena kemampuannya bekerja yang baik daripada Bik Yuni. Karena Jelita gesit, maka pekerjaannya jadi lebih cepat selesai. Itu mem
PT Prima Jaya Propertindo, Tbk merupakan sebuah perusahaan developer besar. William sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan CEO dari perusahaan developer milik keluarga Subrata itu. Kelak dialah yang akan mengemban tanggung jawab terbesar di perusahaan. Dia bakal memegang hampir semua area manajerial perusahaan, dan berperan menjembatani seluruh elemen perusahaan dengan para karyawannya. Juga bertanggung jawab membuat semua keputusan terkait perusahaan. Tak heran jika sejak sekarang dia sudah mulai digembleng dan diawasi ketat oleh dewan komisaris dan para eksekutif di perusahaan itu. Membuatnya berkubang dengan kesibukan sepanjang waktu. William saat ini ditempa di bagian legal dan perencanaan. Dia bertanggung jawab memantau tim yang merencanakan suatu kawasan perumahan secara umum yang dilengkapi fasilitas penunjang. Bersama tim ahli, dia turut menganalisa kebutuhan perusahaan tentang lokasi, dan juga lingkungan di sekitar bangunan, kemudian berdiskusi dengan tim arsitek tentang
William buru-buru menutup akses cctv di ponselnya. Pria itu mengusapi wajahnya yang memerah karena jengah. Astaga. Dia melihat tubuh polos Jelita dengan teramat jelas tadi. Dan semakin dia ingin melupakan, tubuh itu justru makin tergambar jelas dalam ingatannya. "Ah. Sial." William mendesah sambil memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut pusing. Sesuatu dalam dirinya mulai terasa tak nyaman dan tubuhnya seketika jadi panas dingin. Sebenarnya sudah sejak lama Jelita diam-diam membuatnya gelisah. Pertama kali melihatnya,William seperti melihat sosok Dina, teman semasa kuliah yang sempat menjadi gebetannya. Kebetulan wajah mantan gebetannya itu mirip dengan Jelita. William teramat kaget saat Nyonya Cindy memperkenalkan Jelita kepadanya dulu. Pertemuan pertamanya dengan Jelita itu membuat hatinya kembali terkoyak marah. Karena itulah sikapnya kepada Jelita menjadi dingin dan tak ramah kala itu. William memijiti keningnya kala teringat kembali pada momen kebersamaannya dengan Dina sewa