Share

3. Dia Bisa Tertawa

William terpaksa menggandeng tangan Jelita setibanya di bandara Soekarno-Hatta. Khawatir kalau-kalau gadis itu tertinggal jauh di belakangnya lalu hilang karena kebanyakan menoleh seperti orang linglung. Kalau sampai hilang, bakal lebih merepotkan dan bikin pusing saja. Dia tak boleh lupa kalau yang dia bawa ini gadis kampung yang baru pertama kali menginjakkan kakinya di bandara sebesar ini.

Dua jam kemudian, mobil yang membawa mereka sampai di sebuah komplek perumahan. Jelita tertegun memandangi rumah-rumah besar di sekelilingnya. Mulutnya nyaris menganga sepanjang waktu. Ini memang bukan jenis komplek perumahan biasa, komplek ini ditinggali golongan orang-orang menengah atas, bahkan ada juga politisi dan artis ternama ibukota.

“Masuk,” perintah William karena sejak tadi Jelita diam mematung saja memandangi rumahnya. Meskipun rumah William tak semegah rumah Nyonya Cindy di kampung, tetapi rumah ini terlihat cantik dan estetik.

“Wah. Rumahnya Bapak bagus banget.” 

Rumah William memang bagus, seperti rumah-rumah punya selebriti yang pernah ditayangkan di televisi. Taman mininya asri dengan berbagai tanaman dekoratif. Jelita menyukai tumbuhan perdu hijau yang merambat di sepanjang jalan setapak menuju beranda. Jenis lanskap berbiaya mahal. Furniture yang mengisi ruangan pun diatur sedemikian rupa, membuat rumah ini terasa nyaman dan modern. Jenis interiornya pun jelas mahal dan berkelas.

“Ini cuma ditempati Bapak sendirian?” Jelita berdecak kagum.

“Ada Bik Yuni, pembantuku juga tinggal di sini.”

Jelita berkedip-kedip bingung. “Eh, jadi Bapak sebenarnya sudah punya pembantu? Kenapa Nyonya Cindy mengira belum?”

“Bik Yuni sedang pulang kampung karena anaknya kecelakaan dan dirawat di rumah sakit, dia izin selama sebulan.”

“Jadi, ... saya bekerja di sini cuma buat sebulan?”

Ada kekecewaan yang teramat kentara dalam suara Jelita, serta merta William menoleh dan mengamati wajah cantiknya yang berubah pias. Ya, meski sederhana tapi William akui jika gadis itu memiliki kecantikan alami yang tak terbantahkan. Bukan hanya cantik, gadis itu juga menarik dengan pesona tersendiri.

“Kamu ingin bekerja denganku lebih lama?”

Jelita mengangguk-angguk dengan tatapan penuh harap.

“Sayangnya aku cuma butuh satu ART. Dan aku sudah cocok dengan Bik Yuni."

Ada kesedihan yang tersorot dalam mata gadis itu. Bahunya tampak melunglai dan matanya menyorot putus asa hingga sanggup menggugah rasa iba di hati William. Maka pria itupun berkata, "Tapi aku bisa membantumu bekerja di tempat lain, mungkin saja nanti ada temanku yang butuh ART begitu Bik Yuni kembali. Tunjukkan saja kemampuanmu selama sebulan ini, agar aku tak malu merekomendasikan kamu."

Seketika tampak harapan menyala dalam sorot mata Jelita.

"Ehm. Maaf, Pak. Kalau misalnya ... saat Bik Yuni kembali, tapi belum ada orang lain yang mempekerjakan saya, apa boleh ...," dia menggigit bibir seraya menatap William takut-takut, "... saya tetap di sini dulu sampai dapat kerja?"

"Boleh saja, tapi nggak gratis. Kamu harus bayar sewa kamar padaku."

"Iya, nggak apa-apa. Nanti dipotong saja dari gaji saya."

Sekonyong-konyong William terbahak atas keluguan Jelita yang terlalu serius menanggapinya tentang uang sewa. Sedangkan Jelita tertegun memandangi William yang tertawa lepas. ‘Ternyata dia bisa tertawa seperti ini,’ batinnya takjub.

“Hei,” panggil William, “mau mengajakku perang mata? Kenapa melihatku seperti itu?”

Jelita memutuskan tatapannya dari wajah William. Malu ketahuan mengamati pria itu lebih lama dari seharusnya.

“Daripada berdiri terus di situ mendingan beresin barang-barangmu. Kamarmu di atas, lewat sini,” kata William sambil menunjuk ke arah tangga.

Jelita menurut dan membawa barangnya ke atas, bersama William yang memimpin jalan di depannya sambil menenteng sebuah kopor besar miliknya.

Jelita terpaku menatap rak buku di sudut ruangan yang diatur secara estetik. Lalu tersenyum kecut. Sewaktu kecil, dia pernah meminjam buku punya teman, tapi emaknya malah menyobek lembar demi lembarnya sebagai alas gorengan tanpa izin dulu kepadanya. Tapi saat Jelita protes, justru omelan panjang dan jeweran menyakitkan yang diterimanya. Sejak saat itu, tak ada lagi teman yang mau meminjaminya buku. Jelita cukup puas membaca dari koleksi perpustakaan sekolah saja, tanpa berani meminjam untuk dibawa pulang.

“Ini kamarmu,” kata William sambil menyeret kopor Jelita dan meletakkannya di dekat lemari yang tampak tenggelam di dalam dinding.

Jelita yang membuntuti William pun ikut masuk. Warna putih menyambutnya, menawarkan kenyamanan yang terasa elegan dan bersih. Semua perabotnya pun berwarna putih.

"Apa ini kamar Bik Yuni juga?" Jelita bertanya karena kamar ini cukup luas dan terlalu bagus buat ditempatinya sendirian, bahkan ada televisi pribadi dan kamar mandi dengan fasilitas bath tub dan shower air panas.

"Bik Yuni punya kamar sendiri."

"Apa kamar ini tidak kebesaran buat saya, Pak?"

"Daripada kosong, lebih baik kamu tempati saja."

Setelah William keluar kamar, Jelita merebahkan dirinya ke ranjang dengan kualitas busa terbaik, sensasi empuknya mengendurkan syaraf punggungnya yang tegang. Mimpi apa dia bakal menempati kamar semewah ini?

Puas rebahan, Jelita beranjak untuk menggeser pintu kaca yang memisahkan kamar dengan balkon di luar. Angin pun berembus masuk, meniupkan udara baru ke dalam kamar. Dari balkon, ia bisa menikmati pemandangan di luar dengan bebas.

Jelita menghela napas panjang dan mengagumi segalanya, semua yang dia lihat serasa mengukuhkan modernisasi ibukota dengan aneka bangunan dan tempat-tempat yang berlomba-lomba menampilkan estetika.

Ada sebuah fitness center area yang letaknya tak jauh dari sudut rumah ini. Bangunan dua lantai itu kelihatannya baru selesai dibangun, atau mungkin sedang direnovasi. Terlihat dari beberapa bagian dindingnya yang masih belum selesai dicat. Beberapa petugas berseragam tampak sedang melakukan instalasi di sana-sini.

Jelita kemudian mengalihkan tatapan ke bangunan rumah tetangga yang berada tepat depannya, yang sama-sama terdiri dari dua lantai. Tiba-tiba saja pintu balkon di sana terbuka lebar, dan seorang pria muda tampak berjalan keluar dengan hanya memakai celana pendek dan bertelanjang dada, memperlihatkan tatonya yang memanjang mulai dari lengan atas hingga mencapai sebagian dadanya yang bidang. Pria itu menyulut sebatang rokok, lalu mengisap dan mengembuskan asapnya ke udara. Dan tatapan pria itupun bertabrakan dengan Jelita yang terlambat memalingkan wajah.

“Halo ...?” sapa pria itu sambil melambaikan tangan dengan seraut senyum ramah, sikapnya cukup imut dan berbanding terbalik dengan tatonya yang terkesan angker.

“Hei, I've never seen you before. What’s your name, baby?”

Jelita mengerutkan kening, pria itu bicara terlalu cepat dan dalam bahasa Inggris yang tak begitu jelas terdengar dari tempatnya. Bingung harus merespons bagaimana, iapun hanya mengangguk kikuk seraya tersenyum sambil berjalan mundur untuk kembali memasuki kamar.

“Hei, jangan pergi dulu! Nama elo siapa? Gue Bimo."

Tetapi Jelita menutup pintu tanpa menjawab.

"Woooi,... you hear me?”

Diabaikannya saja panggilan pria bernama Bimo di luar sana. 

***

Comments (1)
goodnovel comment avatar
rosita sari
tetangga cute hehe
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status