Share

5. Dimarahi Majikan

Jelita merapikan peralatan makan dan mencuci piring, lalu membersihkan dapur. Sedangkan William keluar dari ruang makan dengan agak terburu-buru sambil menerima telepon. Kemudian pria itu berkutat di depan laptop dengan mimik tegang dan serius di sebuah meja. Jelita yang memperhatikannya membatin, ‘Dia sudah kembali menjadi William yang dingin dan kaku.’

Dua jam kemudian, William memanggil. “Lita ..., tolong bikinin kopi.” Pria itu bicara tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop yang menampilkan aneka grafik yang rumit.

“Iya, Bang.” Jelita menyahut sambil mengelap tangannya yang basah sehabis mengepel area dapur dan ruang makan. Gadis itu membuka-buka rak mencari kopi dan menemukannya dalam dua wadah tabung kaca yang berbeda. Dia tak tahu kopi mana yang diinginkan William. Jelita pun menghampiri William dan bertanya ingin kopi yang mana, dengan menunjukkan keduanya.

William menoleh dengan kening yang dipenuhi kerut, dan menghela napas yang kedengarannya tidak enak. “Ini,” katanya sambil menunjuk sebuah tabung, kemudian lekas mengalihkan perhatiannya lagi ke layar laptop.

Jelita balik ke dapur dan menyeduhkan kopi yang diminta Wiliam. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan secangkir kopi yang mengepul. “Ini, Bang.” Jelita meletakkannya di meja William.

“Thank’s.” William menyahut singkat tanpa menoleh.

Jelita mengangguk dan kembali lagi ke dapur untuk mengembalikan nampan ke tempatnya. Kemudian dia ingin melanjutkan menyapu dan mengepel ke area rumah yang lain. Meskipun lantainya tampak bersih tetapi pasti ada debu yang menempel setelah ditinggal William pulang kampung selama dua hari kemarin. Dan gadis itu tak merasa lelah hanya karena usai melakukan perjalanan beberapa jam saja dari Lampung ke Jakarta, apalagi naik pesawat. Jelita justru merasa senang karena itu pengalaman baru baginya, sehingga perasaannya masih dipenuhi euforia dan membuatnya semangat untuk langsung bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah ini.

“Litaaa!”

Jantung Jelita bagai mencelat ke atap mendengar teriakan William yang tiba-tiba dan menggelegar. Diapun tergopoh-gopoh menghadap William. “I-iya, Bang? Kenapa?” tanyanya dengan wajah pias mendapati ekspresi William yang masam tidak enak.

“Kamu pakai air apa ini tadi?”

“Air panas, Bang.” Jelita bingung mendengar pertanyaan William, tentu saja bikin kopi itu pakai air panas.

William memutar bola mata sebelum bertanya lagi, “Air panas yang kamu didihkan dulu, atau air panas dari dispenser?”

“Dari dispenser, Bang.”

William menghela napas. Pria itu sebetulnya merasa kesal tapi berusaha sabar. Dia baru ingat kalau Jelita asisten rumah tangganya yang masih baru dan bukanlah Bik Yuni yang terbiasa membuatkan kopi untuknya.

“Lain kali jangan pakai air panas dari dispenser, tapi pakai air yang benar-benar kamu masak sampai mendidih dan diamkan sebentar saja baru kamu seduh. Sebab bikin rasanya jadi beda dan tidak enak. Ngerti?”

“I-iya, Bang. Maaf.”

William tak menjawab apa-apa. Pria itu langsung mengalihkan perhatiannya ke laptop seraya mendorong cangkir kopi itu jauh-jauh. “Padahal aku sedang butuh kopi panas,” gerutu William teramat lirih. Rasa nikmat kopi bisa membangkitkan suasana hatinya dan membuat jadi lebih segar bertenaga. Tapi semua itu jadi tak berarti tanpa cita rasanya yang istimewa.

Jelita segera mengambil cangkir itu dan membawanya ke dapur, lalu ingin membuatkannya lagi yang baru sebab suara William yang bilang sedang butuh kopi panas itu bisa terdengar olehnya.

“Waduh!” Jelita berdecak kesal begitu menyadari gas kompornya habis. Jelita memeriksa tabung gas yang lain dan ternyata habis semua. Dia yakin Bik Yuni punya toko gas dan galon langganan untuk layanan pesan antar, sayangnya tak ada catatan di mana nomor telepon tokonya. Mau tak mau dia memberanikan diri bertanya pada William.

“Permisi, Bang ...? Boleh saya minta nomor teleponnya Bik Yuni? Ada yang mau saya tanyakan ke dia.”

William tak menyahut, pria itu terlihat sibuk mengetik sesuatu, tangannya bergerak begitu lincah bagai sedang menari-nari di atas keyboard laptop. Untuk sejenak, Jelita sempat dibuat kagum akan kelentikan jemari tangan William yang panjang. Tangannya itu sangat indah untuk ukuran seorang pria.

“Maaf, saya belum bisa buatin kopinya soalnya gasnya habis—“

“Don't disturb me, please!”

Jelita tersentak karena William memotong ucapannya dengan membentak.

“Ma-maaf, Bang. Saya cuma—“

William menggebrak meja, menoleh pada Jelita dengan tatapan marah. “Sudah kubilang jangan ganggu aku. I have an important business and I don’t care anymore about the shit coffee!” Lalu pria itu menghela napas panjang dan bicara lagi. “Aku sedang melakukan hal penting, tapi kamu malah bolak-balik menyela dan mengganggu terus...,” ujarnya seraya menatap gadis itu lekat-lekat, “... dan urusan pentingku barusan jadi kacau karena gangguanmu yang nggak penting tadi,” lanjutnya penuh penekanan.

Jelita gemetaran menerima kemarahan William. Padahal pria itu begitu baik saat makan bersama tadi. Mata gadis itupun memerah menahan tangis.

Melihatnya membuat kemarahan William jadi mengendur. Dia tak berniat semarah itu sebenarnya, hanya saja lepas kontrol. William sedang trading dan jengkel telah melewatkan momen breakout, istilah yang merujuk pada analisis teknikal saham di mana harga saham berhasil melewati area support atau resistance, dan itu menjadi saat yang tepat untuk melakukan pembelian atau penjualan saham. Barusan dia sangat membutuhkan konsentrasi sebelum sesi kedua perdagangan saham hari ini keburu ditutup, tapi Jelita datang menyela di waktu yang tidak tepat, sehingga William telat ambil posisi dan merasa kehilangan opportunity.

William melepas kacamata dan memijiti keningnya yang berkerut-kerut, masih merasa dongkol tapi berusaha menetralkan amarahnya. Marah hanya akan membuat urusannya tambah kacau saja.

“Masuk saja ke kamarmu dan menangislah di sana, jangan di depanku,” ujar William karena tak mau melihat drama air mata wanita dalam situasinya saat ini.

Jelita yang merasa diusir bergegas pergi tanpa berkata-kata lagi. Dan dia benar-benar menjatuhkan air matanya di dalam kamar, menangis di sudut ruangan.

Jelita buru-buru berjingkat kaget saat ponselnya berdering. Ternyata panggilan itu dari Nyonya Cindy. “Ha-halo, Nyonya?” sapanya menyamarkan suaranya yang sehabis menangis.

“Bagaimana, kau betah di rumah William?” tanya Nyonya Cindy tanpa banyak basa-basi.

“Saya ... betah, Nyonya.” Jelita tak bohong soal ini. Meskipun sikap William tadi tidak menyenangkan tetapi dia menyukai rumah ini dan kamarnya. Bagaimanapun dia hanyalah asisten rumah tangga dan William majikannya. Pria itu berhak memarahinya kalau salah. Dirinya tak boleh besar kepala hanya karena William tadi mengajaknya makan semeja dan mengobrol ramah seperti seorang teman.

"Sedang apa William? Apa dia ada di dekatmu?" Nyonya Cindy setengah berbisik.

"Tidak, Nyonya. Abang sedang di meja kerjanya di lantai bawah, sedangkan saya sedang di lantai atas."

"Abang?"

"Maaf, Nyonya. Pak William tidak mau dipanggil Pak, katanya membuatnya terasa tua. Dia menyuruh saya memangil Abang saja mulai sekarang."

Nyonya Cindy tertawa lirih. "Ckckc. Sebentar lagi dia tiga puluh dan harus menikah, masih saja menolak tua." Lalu dia berdeham sebelum lanjut bicara. "Ingat, Jelita. Kalau sewaktu-waktu William pulang membawa pacarnya, cepat beri tahu aku. Akan kulacak dulu seperti apa ‘bibit, bebet, bobot’ perempuan yang akan jadi calon menantuku," katanya mewanti-wanti.

"Baik, Nyonya."

"Bagus. Itu gunanya kamu di situ. Mengerti?” Perempuan itu bicara penuh penekanan. Sekilas Jelita bisa melihat dari mana cara bicara William tadi diturunkan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status