Jelita merapikan peralatan makan dan mencuci piring, lalu membersihkan dapur. Sedangkan William keluar dari ruang makan dengan agak terburu-buru sambil menerima telepon. Kemudian pria itu berkutat di depan laptop dengan mimik tegang dan serius di sebuah meja. Jelita yang memperhatikannya membatin, ‘Dia sudah kembali menjadi William yang dingin dan kaku.’
Dua jam kemudian, William memanggil. “Lita ..., tolong bikinin kopi.” Pria itu bicara tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop yang menampilkan aneka grafik yang rumit.
“Iya, Bang.” Jelita menyahut sambil mengelap tangannya yang basah sehabis mengepel area dapur dan ruang makan. Gadis itu membuka-buka rak mencari kopi dan menemukannya dalam dua wadah tabung kaca yang berbeda. Dia tak tahu kopi mana yang diinginkan William. Jelita pun menghampiri William dan bertanya ingin kopi yang mana, dengan menunjukkan keduanya.
William menoleh dengan kening yang dipenuhi kerut, dan menghela napas yang kedengarannya tidak enak. “Ini,” katanya sambil menunjuk sebuah tabung, kemudian lekas mengalihkan perhatiannya lagi ke layar laptop.
Jelita balik ke dapur dan menyeduhkan kopi yang diminta Wiliam. Beberapa menit kemudian dia kembali dengan secangkir kopi yang mengepul. “Ini, Bang.” Jelita meletakkannya di meja William.
“Thank’s.” William menyahut singkat tanpa menoleh.
Jelita mengangguk dan kembali lagi ke dapur untuk mengembalikan nampan ke tempatnya. Kemudian dia ingin melanjutkan menyapu dan mengepel ke area rumah yang lain. Meskipun lantainya tampak bersih tetapi pasti ada debu yang menempel setelah ditinggal William pulang kampung selama dua hari kemarin. Dan gadis itu tak merasa lelah hanya karena usai melakukan perjalanan beberapa jam saja dari Lampung ke Jakarta, apalagi naik pesawat. Jelita justru merasa senang karena itu pengalaman baru baginya, sehingga perasaannya masih dipenuhi euforia dan membuatnya semangat untuk langsung bekerja sebagai asisten rumah tangga di rumah ini.
“Litaaa!”
Jantung Jelita bagai mencelat ke atap mendengar teriakan William yang tiba-tiba dan menggelegar. Diapun tergopoh-gopoh menghadap William. “I-iya, Bang? Kenapa?” tanyanya dengan wajah pias mendapati ekspresi William yang masam tidak enak.
“Kamu pakai air apa ini tadi?”
“Air panas, Bang.” Jelita bingung mendengar pertanyaan William, tentu saja bikin kopi itu pakai air panas.
William memutar bola mata sebelum bertanya lagi, “Air panas yang kamu didihkan dulu, atau air panas dari dispenser?”
“Dari dispenser, Bang.”
William menghela napas. Pria itu sebetulnya merasa kesal tapi berusaha sabar. Dia baru ingat kalau Jelita asisten rumah tangganya yang masih baru dan bukanlah Bik Yuni yang terbiasa membuatkan kopi untuknya.
“Lain kali jangan pakai air panas dari dispenser, tapi pakai air yang benar-benar kamu masak sampai mendidih dan diamkan sebentar saja baru kamu seduh. Sebab bikin rasanya jadi beda dan tidak enak. Ngerti?”
“I-iya, Bang. Maaf.”
William tak menjawab apa-apa. Pria itu langsung mengalihkan perhatiannya ke laptop seraya mendorong cangkir kopi itu jauh-jauh. “Padahal aku sedang butuh kopi panas,” gerutu William teramat lirih. Rasa nikmat kopi bisa membangkitkan suasana hatinya dan membuat jadi lebih segar bertenaga. Tapi semua itu jadi tak berarti tanpa cita rasanya yang istimewa.
Jelita segera mengambil cangkir itu dan membawanya ke dapur, lalu ingin membuatkannya lagi yang baru sebab suara William yang bilang sedang butuh kopi panas itu bisa terdengar olehnya.
“Waduh!” Jelita berdecak kesal begitu menyadari gas kompornya habis. Jelita memeriksa tabung gas yang lain dan ternyata habis semua. Dia yakin Bik Yuni punya toko gas dan galon langganan untuk layanan pesan antar, sayangnya tak ada catatan di mana nomor telepon tokonya. Mau tak mau dia memberanikan diri bertanya pada William.
“Permisi, Bang ...? Boleh saya minta nomor teleponnya Bik Yuni? Ada yang mau saya tanyakan ke dia.”
William tak menyahut, pria itu terlihat sibuk mengetik sesuatu, tangannya bergerak begitu lincah bagai sedang menari-nari di atas keyboard laptop. Untuk sejenak, Jelita sempat dibuat kagum akan kelentikan jemari tangan William yang panjang. Tangannya itu sangat indah untuk ukuran seorang pria.
“Maaf, saya belum bisa buatin kopinya soalnya gasnya habis—“
“Don't disturb me, please!”
Jelita tersentak karena William memotong ucapannya dengan membentak.
“Ma-maaf, Bang. Saya cuma—“
William menggebrak meja, menoleh pada Jelita dengan tatapan marah. “Sudah kubilang jangan ganggu aku. I have an important business and I don’t care anymore about the shit coffee!” Lalu pria itu menghela napas panjang dan bicara lagi. “Aku sedang melakukan hal penting, tapi kamu malah bolak-balik menyela dan mengganggu terus...,” ujarnya seraya menatap gadis itu lekat-lekat, “... dan urusan pentingku barusan jadi kacau karena gangguanmu yang nggak penting tadi,” lanjutnya penuh penekanan.
Jelita gemetaran menerima kemarahan William. Padahal pria itu begitu baik saat makan bersama tadi. Mata gadis itupun memerah menahan tangis.
Melihatnya membuat kemarahan William jadi mengendur. Dia tak berniat semarah itu sebenarnya, hanya saja lepas kontrol. William sedang trading dan jengkel telah melewatkan momen breakout, istilah yang merujuk pada analisis teknikal saham di mana harga saham berhasil melewati area support atau resistance, dan itu menjadi saat yang tepat untuk melakukan pembelian atau penjualan saham. Barusan dia sangat membutuhkan konsentrasi sebelum sesi kedua perdagangan saham hari ini keburu ditutup, tapi Jelita datang menyela di waktu yang tidak tepat, sehingga William telat ambil posisi dan merasa kehilangan opportunity.
William melepas kacamata dan memijiti keningnya yang berkerut-kerut, masih merasa dongkol tapi berusaha menetralkan amarahnya. Marah hanya akan membuat urusannya tambah kacau saja.
“Masuk saja ke kamarmu dan menangislah di sana, jangan di depanku,” ujar William karena tak mau melihat drama air mata wanita dalam situasinya saat ini.
Jelita yang merasa diusir bergegas pergi tanpa berkata-kata lagi. Dan dia benar-benar menjatuhkan air matanya di dalam kamar, menangis di sudut ruangan.
Jelita buru-buru berjingkat kaget saat ponselnya berdering. Ternyata panggilan itu dari Nyonya Cindy. “Ha-halo, Nyonya?” sapanya menyamarkan suaranya yang sehabis menangis.
“Bagaimana, kau betah di rumah William?” tanya Nyonya Cindy tanpa banyak basa-basi.
“Saya ... betah, Nyonya.” Jelita tak bohong soal ini. Meskipun sikap William tadi tidak menyenangkan tetapi dia menyukai rumah ini dan kamarnya. Bagaimanapun dia hanyalah asisten rumah tangga dan William majikannya. Pria itu berhak memarahinya kalau salah. Dirinya tak boleh besar kepala hanya karena William tadi mengajaknya makan semeja dan mengobrol ramah seperti seorang teman.
"Sedang apa William? Apa dia ada di dekatmu?" Nyonya Cindy setengah berbisik.
"Tidak, Nyonya. Abang sedang di meja kerjanya di lantai bawah, sedangkan saya sedang di lantai atas."
"Abang?"
"Maaf, Nyonya. Pak William tidak mau dipanggil Pak, katanya membuatnya terasa tua. Dia menyuruh saya memangil Abang saja mulai sekarang."
Nyonya Cindy tertawa lirih. "Ckckc. Sebentar lagi dia tiga puluh dan harus menikah, masih saja menolak tua." Lalu dia berdeham sebelum lanjut bicara. "Ingat, Jelita. Kalau sewaktu-waktu William pulang membawa pacarnya, cepat beri tahu aku. Akan kulacak dulu seperti apa ‘bibit, bebet, bobot’ perempuan yang akan jadi calon menantuku," katanya mewanti-wanti.
"Baik, Nyonya."
"Bagus. Itu gunanya kamu di situ. Mengerti?” Perempuan itu bicara penuh penekanan. Sekilas Jelita bisa melihat dari mana cara bicara William tadi diturunkan.
***
William merenggangkan tubuhnya yang mulai terasa pegal setelah tak terasa sekian jam duduk di kursi dan bergelut dengan pekerjaan. Pria itu menutup laptop setelah hari menjelang malam. Dia merasa penat dan butuh kopi panas. Mulutnya hampir saja menyerukan nama Jelita, tapi kemudian dia teringat kejadian tak mengenakkan soal kopi tadi. "Kubikin sendiri saja," gumamnya sambil beranjak ke dapur. Saat menyalakan kompor, keningnya berkerut dan mengecek gas. Kemudian dia baru teringat jika sepertinya tadi Jelita sempat membahas soal gas habis ketika menyela urusannya. William pun memakai ketel listrik untuk mendidihkan air. "Padahal tadi dia bisa pakai ini kalau gas habis." Tapi kemudian pria itu termenung dan memikirkan beberapa hal. William menghela napas setelah menyadari sesuatu. Bagaimanapun Jelita asisten rumah tangganya yang baru dan benar-benar baru datang dari kampung. Gadis itu masih dalam proses adaptasi dengan rumah ini dan pekerjaan barunya, bahkan William lupa tidak memberita
"Nah, aku akan memberi training singkat padamu. Kuharap kamu cepat belajar, aku terlalu sibuk kalau harus mengajarimu lagi besok-besok.” William meluangkan waktu di hari libur terakhirnya ini untuk memberikan training pada Jelita. Dia menjelaskan banyak hal terkait pekerjaan yang perlu dilakukan Jelita dirumahnya. Juga mengajari gadis itu cara memakai beragam peralatan rumah tangga. 'Canggih banget,' pikir Jelita takjub saat William mengajarinya cara menggunakan remote untuk menyalakan fungsi robot buat menyapu, memvakum, dan mengepel lantai. "Oya. Kalau ini namanya diffuser, alat untuk aromaterapi. Ini gunanya bisa buat terapi pernapasan, peningkatan mood, relaksasi, pemurnian udara, dan banyak lagi, tergantung dari essential oil yang digunakan." William menjelaskan sambil menunjukkan stok essential oil yang dia miliki dan menerangkan masing-masing manfaatnya. "Tolong dinyalakan saat aku pulang kerja, selama 30 menit atau sampai satu jam saja, biar aroma ruangan jadi nyaman dan bi
Sudah genap sebulan Jelita menjadi asisten rumah tangga William. Jelita mulai bertanya-tanya apakah William sudah mendapatkan calon majikan baru buatnya. Tapi Jelita tak berani membuka percakapan untuk membahasnya karena William terlihat sangat sibuk. William berangkat ke kantor pagi-pagi dan pulang setelah larut malam. Bahkan sampai begadang di depan laptop, sambil berkutat dengan tumpukan kertas di meja kerjanya. Jelita tak berani mengusiknya kalau sudah begitu. Jelita akhirnya pilih sabar menunggu, William pasti akan memberitahunya sendiri cepat atau lambat. Dan pagi ini, Jelita melihat William sudah berpenampilan rapi untuk berangkat kerja. Pria itu baru saja memasuki ruang makan, menuju meja di mana Jelita sedang menyajikan sarapan berupa roti panggang, alpukat, dan telur rebus. "Avocado toast?" William menoleh kepada Jelita sambil menarik sebuah kursi untuk didudukinya. Jelita menuangkan air minum ke gelas William seraya berkata, "Proses pembuatannya tanpa penggorengan sehingg
Jelita bekerja rajin dan disiplin. Dia tak suka menunda-nunda pekerjaaan sekecil apapun. Rumah William jadi tampak lebih bersih dan rapi sejak Jelita menjadi pembantu di rumah itu. Jelita juga punya selera yang baik tentang makanan, sehingga William nyaris tak pernah melewatkan makanan apapun yang dimasak olehnya. Hal itu membuat Nyonya Cindy jadi tenang karena putera bungsu kesayangannya itu tak pernah melewatkan waktu sarapan. William punya riwayat sakit lambung, karena itulah Nyonya Cindy selalu menyarankan pembantu yang pintar masak buat William agar makanan buat puteranya itu terurus baik. Jelita pun memang bertekad ingin menunjukkan kepada William bahwa dia memang layak dipekerjakan bukan hanya atas dasar iba semata. Agar jika nanti William harus memilih antara dirinya atau Bik Yuni, maka pria itu akan memilih dirinya karena dia memang layak dipilih karena kemampuannya bekerja yang baik daripada Bik Yuni. Karena Jelita gesit, maka pekerjaannya jadi lebih cepat selesai. Itu mem
PT Prima Jaya Propertindo, Tbk merupakan sebuah perusahaan developer besar. William sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan CEO dari perusahaan developer milik keluarga Subrata itu. Kelak dialah yang akan mengemban tanggung jawab terbesar di perusahaan. Dia bakal memegang hampir semua area manajerial perusahaan, dan berperan menjembatani seluruh elemen perusahaan dengan para karyawannya. Juga bertanggung jawab membuat semua keputusan terkait perusahaan. Tak heran jika sejak sekarang dia sudah mulai digembleng dan diawasi ketat oleh dewan komisaris dan para eksekutif di perusahaan itu. Membuatnya berkubang dengan kesibukan sepanjang waktu. William saat ini ditempa di bagian legal dan perencanaan. Dia bertanggung jawab memantau tim yang merencanakan suatu kawasan perumahan secara umum yang dilengkapi fasilitas penunjang. Bersama tim ahli, dia turut menganalisa kebutuhan perusahaan tentang lokasi, dan juga lingkungan di sekitar bangunan, kemudian berdiskusi dengan tim arsitek tentang
William buru-buru menutup akses cctv di ponselnya. Pria itu mengusapi wajahnya yang memerah karena jengah. Astaga. Dia melihat tubuh polos Jelita dengan teramat jelas tadi. Dan semakin dia ingin melupakan, tubuh itu justru makin tergambar jelas dalam ingatannya. "Ah. Sial." William mendesah sambil memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut pusing. Sesuatu dalam dirinya mulai terasa tak nyaman dan tubuhnya seketika jadi panas dingin. Sebenarnya sudah sejak lama Jelita diam-diam membuatnya gelisah. Pertama kali melihatnya,William seperti melihat sosok Dina, teman semasa kuliah yang sempat menjadi gebetannya. Kebetulan wajah mantan gebetannya itu mirip dengan Jelita. William teramat kaget saat Nyonya Cindy memperkenalkan Jelita kepadanya dulu. Pertemuan pertamanya dengan Jelita itu membuat hatinya kembali terkoyak marah. Karena itulah sikapnya kepada Jelita menjadi dingin dan tak ramah kala itu. William memijiti keningnya kala teringat kembali pada momen kebersamaannya dengan Dina sewa
"Ugh. Kucing reseh, ... aku jadi kudu mandi lagi deh!" Jelita menggerutu sambil berdiri dan melilitkan lagi handuknya. Dia menoleh ke jendela dan berjalan ke sana sambil memegangi ujung handuk agar tak terlepas lagi dari tubuhnya. "Pasti kucing itu masuk lewat sini," gumamnya sambil menutup jendela. Saat sedang menggapai daun jendela, Jelita dikejutkan cahaya kilat yang memantul di kaca. Gadis itu terkesiap dan menengok ke arah langit, tapi langit kelihatan cerah dan tak ada tanda-tanda mau turun hujan. Juga tak terdengar suara gemuruh yang biasanya mengikuti cahaya kilat beberapa detik kemudian. Kening Jelita berkerut-kerut. "Terus, apa itu tadi ya?" pikirnya bingung. Melalui sudut matanya, tiba-tiba Jelita seperti melihat sesuatu dan dia cepat-cepat menoleh ke arah balkon rumah seberang, tapi tak tampak apa-apa. Namun entah kenapa dia seperti merasa sedang diawasi. Sementara itu di seberang sana, tubuh Bimo merosot lunglai di bawah jendela. "Njiir, ... hampir aja gue ketahuan!" o
Kerumunan orang asyik bergoyang di tengah suasana remang-remang dengan gelegar musik yang memenuhi ruangan yang disebut diskotek. Parfum bercampur keringat dan bau alkohol menjadi satu senyawa yang tidak bisa dihilangkan. Tubuh Bimo bergerak-gerak mengikuti irama musik yang mengentak keras. Jika duduk diam-diam saja malah membuat kepalanya jadi pusing. Toh gelegar sound system memang dibuat untuk memfasilitasi aktifitas motorik para pengunjung agar pas buat mengimbangi hentakan musik yang disajikan DJ. Bimo melantai di antara gadis-gadis yang juga haus hiburan malam sepertinya. Tubuh mereka bergerak bersama, berjoget mengikuti musik tak peduli enak ditonton atau tidak, yang penting asyik. "Bim ...!" panggil gadis bernama Windy di depannya. Bimo tersenyum, meskipun Windy belum tentu melihat senyumnya dalam keremangan cahaya. "Yup?" sahutnya sambil tetap berjoget, kemudian menahan tubuh berkeringat Windy yang tahu-tahu sudah menempel saja kepadanya. "Mau balik ke sofa?" tanya Bimo den