Share

4. Gadis 19 Tahun

Jelita menuruni tangga dan mencari-cari letak dapur. Tadi William sempat berpesan padanya agar tak sungkan untuk mempelajari isi rumah ini tanpa perlu izin dulu darinya. Dan gadis itu ternganga begitu menemukan ruang dapur yang sungguh apik. Beberapa perlengkapan memasak tergantung rapi dan terlihat masih seperti baru. Entah jarang dipakai atau memang karena terawat baik. Tapi ia rasa yang kedua.

Jelita haus dan mengambil minum dari dalam kulkas yang pintunya dipenuhi magnet souvenir dari berbagai kota dan negara. Lalu duduk di kursi konter yang tinggi dengan bantalan empuknya yang berwarna merah.

Jelita mengangguk hormat melihat William juga memasuki dapur. 

“Bapak suka warna merah, ya?” Jelita berkata untuk mengurai kecanggungan, sambil mengedarkan pandang mengamati aneka perabot dan furniture dapur yang didominasi warna merah, kemudian menyodori William segelas air dingin. “Silakan, Pak."

William menerima dan meneguknya sampai habis, lalu meletakkan gelas kosongnya di meja sambil menoleh pada Jelita. “The power of colour. Merah itu warna yang menarik dan emotif. Sebenarnya paling baik untuk restoran. Untuk orang yang sedang tegang, mungkin bisa dianggap menganggu tapi akan menyenangkan bagi orang yang kondisinya tenang. Warna merah memacu kelenjar dibawah otak dan kelenjar adrenal serta melepaskan adrenalin. Bisa meningkatkan tekanan darah dan pernapasan, serta merangsang selera makan dan indera penciuman,” ocehnya panjang lebar dan membuat kening Jelita berkerut-kerut mencernanya.

'Dih, ribet. Tinggal bilang aja untuk merangsang selera makan.' Jelita membatin.

“Omong-omong, ... sudah waktunya makan siang.”

Mendengarnya, Jelita langsung mengambil inisiatif. “Kalau gitu saya masak dulu,” katanya sambil turun dari kursi.

"Aku nggak yakin apa ada stok bahan makanan. Biasanya Bik Yuni yang mengurusi isi dapur. Kita pesan g*food saja."

Jelita mengecek isi lemari dan kulkas, mencari bahan apa saja yang tersedia. Tapi memang tak banyak bahan yang bisa dia olah. "Ada bahan buat bikin mie goreng, meski tanpa sayuran hijau, tapi masih ada tomat dan wortel. Mau, Pak?" tanyanya sambil menoleh pada William.

William mengangguk setuju, pikirnya biar lebih cepat daripada menunggu lama jika membeli makan secara online.

Saat Jelita memasak, denting spatula yang beradu dengan wajan terdengar membelah keheningan ruang. Dalam beberapa menit, aroma lezatnya yang khas memenuhi udara. Membuat perut William yang sedang menunggu sambil bekerja di depan laptop jadi semakin keroncongan.

Jelita memanggil William setelah selesai menyiapkan meja dan makanan buat mereka.

William lekas melahap hidangan yang tersaji tanpa basa-basi karena kelaparan. Sedangkan Jelita menuangkan segelas air minum sambil tersenyum senang melihat William makan selahap itu.

“Enak,” ceplos William mengagetkan.

Untuk pertama kalinya lelaki itu memuji masakannya, membuat Jelita berbunga-bunga hanya karena menerima pujian sesingkat itu karena terasa jujur.

“Mau kerupuk, Pak?”

William menggeleng.

“Aku nggak suka kerupuk.”

Kening Jelita berkerut. “Tapi kok punya sekaleng kerupuk?”

“Bik Yuni yang beli, dia nggak bisa makan tanpa kerupuk.”

“Oh,” Jelita mengangguk-angguk. 

“Eh, kamu jangan banyak-banyak makan kerupuk. Biarpun terkesan seperti makanan ringan, tapi sebenarnya kalorinya tinggi.”

Ah, Jelita mana peduli soal kalori dalam makanan. Menurutnya hanya orang sedang diet yang sibuk memikirkan soal kalori.

"Saya nggak diet, Pak."

“Diet itu biar sehat, bukan cuma soal menjaga berat badan ideal. Jaga makananmu. Soalnya penuaan itu sebenarnya karena melemahnya kekuatan enzim. Ingat apa itu enzim?”

Jelita tercekat ditembak pertanyaan itu. Dia mengingat-ingat pelajaran biologi semasa sekolah. “Katalis protein yang dibentuk di dalam sel makhluk hidup. Enzim terlibat dalam semua kegiatan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan, seperti penggabungan dan pemecahan zat di dalam tubuh, pencernaan, pembuangan, detoksifikasi,” jawabnya kemudian.

William tersenyum. “Nah, jika kekuatan enzim ini terus melemah, proses penuaan akan terus berlanjut,” jelasnya.

Jelita takjub, biasanya William jutek dan irit bicara. Tapi hari ini dia cerewet dan ... tersenyum! Wah. Ajaib.

“Jadi, kalau mau mencegah penuaan kita harus menjaga pola makan agar tubuh tidak mengalami proses oksidasi dan menjalani hidup yang tidak menguras kekuatan enzim. Makanya penting banget menjaga kualitas bahan dan proses pengolahan makanan yang akan masuk ke tubuh.” William melanjutkan sambil memotong telur di piringnya.

Jelita mengangguk-angguk seolah betulan menyimak, padahal tidak juga. Dia lebih banyak memerhatikan wajah tampan William daripada isi ucapannya. Ketampanan yang betul-betul enak dan sedap dipandang. Hidungnya mancung dan sepasang matanya tegas seperti Nyonya Cindy. Rambutnya tebal dan ikal. Rambut-rambut halus yang tumbuh di dagu dan sepanjang garis rahangnya yang tegas pun mengukuhkan kejantanannya sebagai pria.

"Oya, jangan panggil aku dengan sebutan Bapak. Panggilan itu membuatku terasa tua saja. Lebih enak dipanggil Bang daripada Pak."

"Baik, Pak. Eh, maksud saya ... Bang."

“Kamu suka baca buku?” William mengganti topik pembicaraan dengan cepat.

“Suka, Bang. Tapi udah lama nggak baca karena nggak sempat.”

“Sayang banget, padahal bagi orang dewasa membaca itu latihan mental untuk mempelajari hal-hal baru, sekaligus mengembangkan lima sistem belajar. Emosional, sosial, kognitif, fisikal, dan reflektif. Nah, mulai sekarang biasakanlah membaca. Ada banyak hal yang bisa kamu baca di atas sana,” kata Wiliam sambil menunjuk koleksi bukunya di lantai atas dengan isyarat mata.

“Jadi saya boleh baca buku-bukunya Abang?”

“Ya bolehlah. Kan barusan kubilang, agar kamu mulai membiasakan diri membaca.”

Mata Jelita berbinar cantik menyambut kesempatan itu. Bisa membaca berbagai buku dengan bebas adalah impian sederhananya yang terasa mahal karena situasi dan kondisinya selama ini. Selain tak punya cukup uang untuk beli buku, waktu dan tenaganya juga sudah banyak terkuras untuk bekerja mencari uang.

“Dulu emak saya suka marah kalau saya asyik baca buku, buang-buang waktu dan nggak berguna katanya.” Jelita mendadak menceritakan pengalamannya semasa kanak-kanak dulu.

William menyimak dengan prihatin. Memang masih banyak orang di kampungnya yang berpikir seperti itu. Kesadaran literasi mereka masih sangat rendah. Masih bagus Jelita bisa sekolah sampai lulus SMA, kebanyakan gadis di kampungnya cuma mentok sampai SMP saja dan berakhir menikah atau bekerja di kota. Dan William yakin kalau sebenarnya Jelita cukup pintar, terbukti dia masih bisa mengingat dengan baik pelajaran biologinya tentang enzim tadi.

“Emak saya horor kalau marah.” Jelita tanpa sadar bicara lebih jauh. Padahal biasanya Jelita bukan jenis orang yang suka mengumbar masalah pribadi. Mungkin karena merasa nyaman dengan sikap William yang mulai terbuka dan menerimanya.

Sedangkan William sendiri, entah kenapa mulai tertarik mendengarkan Jelita. Dan perasaannya diremas-remas begitu mendengar kekerasan yang mendera Jelita semasa kecil. “Emakmu pernah menyirammu dengan air panas?” William bergidik ngeri. Astaga. Hati seperti apa yang sanggup melakukan kekejian semacam itu pada anak kecil? Dan hatinya merasa trenyuh melihat Jelita malah tersenyum, seakan sudah memaafkan segala hal yang pernah terjadi di belakangnya dengan begitu mudah, padahal William yakin itu tidaklah mudah.

“Kamu sungguh baik-baik saja?” William berkata dengan kelembutan yang terasa menyentuh.

Jelita mengangguk. “Yang saya yakini selama ini, Tuhan nggak akan memberi ujian melebihi kemampuan kita. Dan kita nggak bisa memilih oleh siapa kita dilahirkan. Nggak ada pula buku panduan sebagai orangtua saat anaknya lahir. Semua orangtua belajar dari nol besar untuk menjadi orangtua. Belajar dari kesalahan. Belajar dari orang lain. Ada juga yang tidak mau belajar dan tetap egois, mungkin emak saya salah satunya. Abang beruntung punya ibu seperti Nyonya Cindy, yang sangat baik dan luar biasa mencintai anak-anaknya,” ujarnya seraya tersenyum.

William menatap Jelita jauh ke dalam matanya, membuat Jelita tersipu ditatap William seintens itu.

'Pikirannya lebih dewasa dari usianya,' batin William.

William juga pernah mengenal dekat sosok gadis berusia 19 tahun seperti Jelita pada beberapa tahun yang lalu di sebuah nightclub. Gadis itu juga lebih dewasa dari usianya, tapi sayangnya dewasa dalam konteks yang lain.

***

Komen (1)
goodnovel comment avatar
rosita sari
gadis desa polos dan pintar, walau pun masa kecilnya kurang bahagia
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status