Jelita menuruni tangga dan mencari-cari letak dapur. Tadi William sempat berpesan padanya agar tak sungkan untuk mempelajari isi rumah ini tanpa perlu izin dulu darinya. Dan gadis itu ternganga begitu menemukan ruang dapur yang sungguh apik. Beberapa perlengkapan memasak tergantung rapi dan terlihat masih seperti baru. Entah jarang dipakai atau memang karena terawat baik. Tapi ia rasa yang kedua.
Jelita haus dan mengambil minum dari dalam kulkas yang pintunya dipenuhi magnet souvenir dari berbagai kota dan negara. Lalu duduk di kursi konter yang tinggi dengan bantalan empuknya yang berwarna merah.Jelita mengangguk hormat melihat William juga memasuki dapur. “Bapak suka warna merah, ya?” Jelita berkata untuk mengurai kecanggungan, sambil mengedarkan pandang mengamati aneka perabot dan furniture dapur yang didominasi warna merah, kemudian menyodori William segelas air dingin. “Silakan, Pak."William menerima dan meneguknya sampai habis, lalu meletakkan gelas kosongnya di meja sambil menoleh pada Jelita. “The power of colour. Merah itu warna yang menarik dan emotif. Sebenarnya paling baik untuk restoran. Untuk orang yang sedang tegang, mungkin bisa dianggap menganggu tapi akan menyenangkan bagi orang yang kondisinya tenang. Warna merah memacu kelenjar dibawah otak dan kelenjar adrenal serta melepaskan adrenalin. Bisa meningkatkan tekanan darah dan pernapasan, serta merangsang selera makan dan indera penciuman,” ocehnya panjang lebar dan membuat kening Jelita berkerut-kerut mencernanya.'Dih, ribet. Tinggal bilang aja untuk merangsang selera makan.' Jelita membatin.“Omong-omong, ... sudah waktunya makan siang.”Mendengarnya, Jelita langsung mengambil inisiatif. “Kalau gitu saya masak dulu,” katanya sambil turun dari kursi.
"Aku nggak yakin apa ada stok bahan makanan. Biasanya Bik Yuni yang mengurusi isi dapur. Kita pesan g*food saja."
Jelita mengecek isi lemari dan kulkas, mencari bahan apa saja yang tersedia. Tapi memang tak banyak bahan yang bisa dia olah. "Ada bahan buat bikin mie goreng, meski tanpa sayuran hijau, tapi masih ada tomat dan wortel. Mau, Pak?" tanyanya sambil menoleh pada William.
William mengangguk setuju, pikirnya biar lebih cepat daripada menunggu lama jika membeli makan secara online.
Saat Jelita memasak, denting spatula yang beradu dengan wajan terdengar membelah keheningan ruang. Dalam beberapa menit, aroma lezatnya yang khas memenuhi udara. Membuat perut William yang sedang menunggu sambil bekerja di depan laptop jadi semakin keroncongan.
Jelita memanggil William setelah selesai menyiapkan meja dan makanan buat mereka.William lekas melahap hidangan yang tersaji tanpa basa-basi karena kelaparan. Sedangkan Jelita menuangkan segelas air minum sambil tersenyum senang melihat William makan selahap itu.“Enak,” ceplos William mengagetkan.Untuk pertama kalinya lelaki itu memuji masakannya, membuat Jelita berbunga-bunga hanya karena menerima pujian sesingkat itu karena terasa jujur.“Mau kerupuk, Pak?”William menggeleng.“Aku nggak suka kerupuk.”Kening Jelita berkerut. “Tapi kok punya sekaleng kerupuk?”“Bik Yuni yang beli, dia nggak bisa makan tanpa kerupuk.”“Oh,” Jelita mengangguk-angguk. “Eh, kamu jangan banyak-banyak makan kerupuk. Biarpun terkesan seperti makanan ringan, tapi sebenarnya kalorinya tinggi.”Ah, Jelita mana peduli soal kalori dalam makanan. Menurutnya hanya orang sedang diet yang sibuk memikirkan soal kalori."Saya nggak diet, Pak."
“Diet itu biar sehat, bukan cuma soal menjaga berat badan ideal. Jaga makananmu. Soalnya penuaan itu sebenarnya karena melemahnya kekuatan enzim. Ingat apa itu enzim?”Jelita tercekat ditembak pertanyaan itu. Dia mengingat-ingat pelajaran biologi semasa sekolah. “Katalis protein yang dibentuk di dalam sel makhluk hidup. Enzim terlibat dalam semua kegiatan yang diperlukan untuk mempertahankan kehidupan, seperti penggabungan dan pemecahan zat di dalam tubuh, pencernaan, pembuangan, detoksifikasi,” jawabnya kemudian.William tersenyum. “Nah, jika kekuatan enzim ini terus melemah, proses penuaan akan terus berlanjut,” jelasnya.Jelita takjub, biasanya William jutek dan irit bicara. Tapi hari ini dia cerewet dan ... tersenyum! Wah. Ajaib.“Jadi, kalau mau mencegah penuaan kita harus menjaga pola makan agar tubuh tidak mengalami proses oksidasi dan menjalani hidup yang tidak menguras kekuatan enzim. Makanya penting banget menjaga kualitas bahan dan proses pengolahan makanan yang akan masuk ke tubuh.” William melanjutkan sambil memotong telur di piringnya.Jelita mengangguk-angguk seolah betulan menyimak, padahal tidak juga. Dia lebih banyak memerhatikan wajah tampan William daripada isi ucapannya. Ketampanan yang betul-betul enak dan sedap dipandang. Hidungnya mancung dan sepasang matanya tegas seperti Nyonya Cindy. Rambutnya tebal dan ikal. Rambut-rambut halus yang tumbuh di dagu dan sepanjang garis rahangnya yang tegas pun mengukuhkan kejantanannya sebagai pria."Oya, jangan panggil aku dengan sebutan Bapak. Panggilan itu membuatku terasa tua saja. Lebih enak dipanggil Bang daripada Pak."
"Baik, Pak. Eh, maksud saya ... Bang."
“Kamu suka baca buku?” William mengganti topik pembicaraan dengan cepat.“Suka, Bang. Tapi udah lama nggak baca karena nggak sempat.”“Sayang banget, padahal bagi orang dewasa membaca itu latihan mental untuk mempelajari hal-hal baru, sekaligus mengembangkan lima sistem belajar. Emosional, sosial, kognitif, fisikal, dan reflektif. Nah, mulai sekarang biasakanlah membaca. Ada banyak hal yang bisa kamu baca di atas sana,” kata Wiliam sambil menunjuk koleksi bukunya di lantai atas dengan isyarat mata.“Jadi saya boleh baca buku-bukunya Abang?”“Ya bolehlah. Kan barusan kubilang, agar kamu mulai membiasakan diri membaca.”Mata Jelita berbinar cantik menyambut kesempatan itu. Bisa membaca berbagai buku dengan bebas adalah impian sederhananya yang terasa mahal karena situasi dan kondisinya selama ini. Selain tak punya cukup uang untuk beli buku, waktu dan tenaganya juga sudah banyak terkuras untuk bekerja mencari uang.“Dulu emak saya suka marah kalau saya asyik baca buku, buang-buang waktu dan nggak berguna katanya.” Jelita mendadak menceritakan pengalamannya semasa kanak-kanak dulu.William menyimak dengan prihatin. Memang masih banyak orang di kampungnya yang berpikir seperti itu. Kesadaran literasi mereka masih sangat rendah. Masih bagus Jelita bisa sekolah sampai lulus SMA, kebanyakan gadis di kampungnya cuma mentok sampai SMP saja dan berakhir menikah atau bekerja di kota. Dan William yakin kalau sebenarnya Jelita cukup pintar, terbukti dia masih bisa mengingat dengan baik pelajaran biologinya tentang enzim tadi.“Emak saya horor kalau marah.” Jelita tanpa sadar bicara lebih jauh. Padahal biasanya Jelita bukan jenis orang yang suka mengumbar masalah pribadi. Mungkin karena merasa nyaman dengan sikap William yang mulai terbuka dan menerimanya.Sedangkan William sendiri, entah kenapa mulai tertarik mendengarkan Jelita. Dan perasaannya diremas-remas begitu mendengar kekerasan yang mendera Jelita semasa kecil. “Emakmu pernah menyirammu dengan air panas?” William bergidik ngeri. Astaga. Hati seperti apa yang sanggup melakukan kekejian semacam itu pada anak kecil? Dan hatinya merasa trenyuh melihat Jelita malah tersenyum, seakan sudah memaafkan segala hal yang pernah terjadi di belakangnya dengan begitu mudah, padahal William yakin itu tidaklah mudah.“Kamu sungguh baik-baik saja?” William berkata dengan kelembutan yang terasa menyentuh.
Jelita mengangguk. “Yang saya yakini selama ini, Tuhan nggak akan memberi ujian melebihi kemampuan kita. Dan kita nggak bisa memilih oleh siapa kita dilahirkan. Nggak ada pula buku panduan sebagai orangtua saat anaknya lahir. Semua orangtua belajar dari nol besar untuk menjadi orangtua. Belajar dari kesalahan. Belajar dari orang lain. Ada juga yang tidak mau belajar dan tetap egois, mungkin emak saya salah satunya. Abang beruntung punya ibu seperti Nyonya Cindy, yang sangat baik dan luar biasa mencintai anak-anaknya,” ujarnya seraya tersenyum.
William menatap Jelita jauh ke dalam matanya, membuat Jelita tersipu ditatap William seintens itu.
'Pikirannya lebih dewasa dari usianya,' batin William.William juga pernah mengenal dekat sosok gadis berusia 19 tahun seperti Jelita pada beberapa tahun yang lalu di sebuah nightclub. Gadis itu juga lebih dewasa dari usianya, tapi sayangnya dewasa dalam konteks yang lain.
***Jelita merapikan peralatan makan dan mencuci piring, lalu membersihkan dapur. Sedangkan William keluar dari ruang makan dengan agak terburu-buru sambil menerima telepon. Kemudian pria itu berkutat di depan laptop dengan mimik tegang dan serius di sebuah meja. Jelita yang memperhatikannya membatin, ‘Dia sudah kembali menjadi William yang dingin dan kaku.’Dua jam kemudian, William memanggil. “Lita ..., tolong bikinin kopi.” Pria itu bicara tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar laptop yang menampilkan aneka grafik yang rumit.“Iya, Bang.” Jelita menyahut sambil mengelap tangannya yang basah sehabis mengepel area dapur dan ruang makan. Gadis itu membuka-buka rak mencari kopi dan menemukannya dalam dua wadah tabung kaca yang berbeda. Dia tak tahu kopi mana yang diinginkan William. Jelita pun menghampiri William dan bertanya ingin kopi yang mana, dengan menunjukkan keduanya.William menoleh dengan kening yang dipenuhi kerut, dan menghela napas yang kedengarannya tidak enak. “Ini,” kata
William merenggangkan tubuhnya yang mulai terasa pegal setelah tak terasa sekian jam duduk di kursi dan bergelut dengan pekerjaan. Pria itu menutup laptop setelah hari menjelang malam. Dia merasa penat dan butuh kopi panas. Mulutnya hampir saja menyerukan nama Jelita, tapi kemudian dia teringat kejadian tak mengenakkan soal kopi tadi. "Kubikin sendiri saja," gumamnya sambil beranjak ke dapur. Saat menyalakan kompor, keningnya berkerut dan mengecek gas. Kemudian dia baru teringat jika sepertinya tadi Jelita sempat membahas soal gas habis ketika menyela urusannya. William pun memakai ketel listrik untuk mendidihkan air. "Padahal tadi dia bisa pakai ini kalau gas habis." Tapi kemudian pria itu termenung dan memikirkan beberapa hal. William menghela napas setelah menyadari sesuatu. Bagaimanapun Jelita asisten rumah tangganya yang baru dan benar-benar baru datang dari kampung. Gadis itu masih dalam proses adaptasi dengan rumah ini dan pekerjaan barunya, bahkan William lupa tidak memberita
"Nah, aku akan memberi training singkat padamu. Kuharap kamu cepat belajar, aku terlalu sibuk kalau harus mengajarimu lagi besok-besok.” William meluangkan waktu di hari libur terakhirnya ini untuk memberikan training pada Jelita. Dia menjelaskan banyak hal terkait pekerjaan yang perlu dilakukan Jelita dirumahnya. Juga mengajari gadis itu cara memakai beragam peralatan rumah tangga. 'Canggih banget,' pikir Jelita takjub saat William mengajarinya cara menggunakan remote untuk menyalakan fungsi robot buat menyapu, memvakum, dan mengepel lantai. "Oya. Kalau ini namanya diffuser, alat untuk aromaterapi. Ini gunanya bisa buat terapi pernapasan, peningkatan mood, relaksasi, pemurnian udara, dan banyak lagi, tergantung dari essential oil yang digunakan." William menjelaskan sambil menunjukkan stok essential oil yang dia miliki dan menerangkan masing-masing manfaatnya. "Tolong dinyalakan saat aku pulang kerja, selama 30 menit atau sampai satu jam saja, biar aroma ruangan jadi nyaman dan bi
Sudah genap sebulan Jelita menjadi asisten rumah tangga William. Jelita mulai bertanya-tanya apakah William sudah mendapatkan calon majikan baru buatnya. Tapi Jelita tak berani membuka percakapan untuk membahasnya karena William terlihat sangat sibuk. William berangkat ke kantor pagi-pagi dan pulang setelah larut malam. Bahkan sampai begadang di depan laptop, sambil berkutat dengan tumpukan kertas di meja kerjanya. Jelita tak berani mengusiknya kalau sudah begitu. Jelita akhirnya pilih sabar menunggu, William pasti akan memberitahunya sendiri cepat atau lambat. Dan pagi ini, Jelita melihat William sudah berpenampilan rapi untuk berangkat kerja. Pria itu baru saja memasuki ruang makan, menuju meja di mana Jelita sedang menyajikan sarapan berupa roti panggang, alpukat, dan telur rebus. "Avocado toast?" William menoleh kepada Jelita sambil menarik sebuah kursi untuk didudukinya. Jelita menuangkan air minum ke gelas William seraya berkata, "Proses pembuatannya tanpa penggorengan sehingg
Jelita bekerja rajin dan disiplin. Dia tak suka menunda-nunda pekerjaaan sekecil apapun. Rumah William jadi tampak lebih bersih dan rapi sejak Jelita menjadi pembantu di rumah itu. Jelita juga punya selera yang baik tentang makanan, sehingga William nyaris tak pernah melewatkan makanan apapun yang dimasak olehnya. Hal itu membuat Nyonya Cindy jadi tenang karena putera bungsu kesayangannya itu tak pernah melewatkan waktu sarapan. William punya riwayat sakit lambung, karena itulah Nyonya Cindy selalu menyarankan pembantu yang pintar masak buat William agar makanan buat puteranya itu terurus baik. Jelita pun memang bertekad ingin menunjukkan kepada William bahwa dia memang layak dipekerjakan bukan hanya atas dasar iba semata. Agar jika nanti William harus memilih antara dirinya atau Bik Yuni, maka pria itu akan memilih dirinya karena dia memang layak dipilih karena kemampuannya bekerja yang baik daripada Bik Yuni. Karena Jelita gesit, maka pekerjaannya jadi lebih cepat selesai. Itu mem
PT Prima Jaya Propertindo, Tbk merupakan sebuah perusahaan developer besar. William sedang dipersiapkan untuk menduduki jabatan CEO dari perusahaan developer milik keluarga Subrata itu. Kelak dialah yang akan mengemban tanggung jawab terbesar di perusahaan. Dia bakal memegang hampir semua area manajerial perusahaan, dan berperan menjembatani seluruh elemen perusahaan dengan para karyawannya. Juga bertanggung jawab membuat semua keputusan terkait perusahaan. Tak heran jika sejak sekarang dia sudah mulai digembleng dan diawasi ketat oleh dewan komisaris dan para eksekutif di perusahaan itu. Membuatnya berkubang dengan kesibukan sepanjang waktu. William saat ini ditempa di bagian legal dan perencanaan. Dia bertanggung jawab memantau tim yang merencanakan suatu kawasan perumahan secara umum yang dilengkapi fasilitas penunjang. Bersama tim ahli, dia turut menganalisa kebutuhan perusahaan tentang lokasi, dan juga lingkungan di sekitar bangunan, kemudian berdiskusi dengan tim arsitek tentang
William buru-buru menutup akses cctv di ponselnya. Pria itu mengusapi wajahnya yang memerah karena jengah. Astaga. Dia melihat tubuh polos Jelita dengan teramat jelas tadi. Dan semakin dia ingin melupakan, tubuh itu justru makin tergambar jelas dalam ingatannya. "Ah. Sial." William mendesah sambil memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut pusing. Sesuatu dalam dirinya mulai terasa tak nyaman dan tubuhnya seketika jadi panas dingin. Sebenarnya sudah sejak lama Jelita diam-diam membuatnya gelisah. Pertama kali melihatnya,William seperti melihat sosok Dina, teman semasa kuliah yang sempat menjadi gebetannya. Kebetulan wajah mantan gebetannya itu mirip dengan Jelita. William teramat kaget saat Nyonya Cindy memperkenalkan Jelita kepadanya dulu. Pertemuan pertamanya dengan Jelita itu membuat hatinya kembali terkoyak marah. Karena itulah sikapnya kepada Jelita menjadi dingin dan tak ramah kala itu. William memijiti keningnya kala teringat kembali pada momen kebersamaannya dengan Dina sewa
"Ugh. Kucing reseh, ... aku jadi kudu mandi lagi deh!" Jelita menggerutu sambil berdiri dan melilitkan lagi handuknya. Dia menoleh ke jendela dan berjalan ke sana sambil memegangi ujung handuk agar tak terlepas lagi dari tubuhnya. "Pasti kucing itu masuk lewat sini," gumamnya sambil menutup jendela. Saat sedang menggapai daun jendela, Jelita dikejutkan cahaya kilat yang memantul di kaca. Gadis itu terkesiap dan menengok ke arah langit, tapi langit kelihatan cerah dan tak ada tanda-tanda mau turun hujan. Juga tak terdengar suara gemuruh yang biasanya mengikuti cahaya kilat beberapa detik kemudian. Kening Jelita berkerut-kerut. "Terus, apa itu tadi ya?" pikirnya bingung. Melalui sudut matanya, tiba-tiba Jelita seperti melihat sesuatu dan dia cepat-cepat menoleh ke arah balkon rumah seberang, tapi tak tampak apa-apa. Namun entah kenapa dia seperti merasa sedang diawasi. Sementara itu di seberang sana, tubuh Bimo merosot lunglai di bawah jendela. "Njiir, ... hampir aja gue ketahuan!" o