MasukPagi harinya, Ariana baru saja menyelesaikan mandinya dan kini sudah keluar dari kamar. Rambutnya masih basah dan meneteskan air di pundaknya yang tertutup oleh blouse putih sederhana.
Langkahnya terhenti ketika melihat Jason berdiri di hadapannya tengah bersandar santai di dinding koridor dengan tangan disilangkan di depan dada. Mata pria itu menatapnya dengan tajam, seperti menilai setiap inci penampilannya.
“Tuan? Ada yang bisa dibantu?” tanyanya dengan nada gugup dan jemarinya meremas ujung blousenya tanpa sadar.
“Temani aku ke sekolah. Ini hari pertama Ethan masuk TK. Dia akan senang jika kau ikut.”
Ariana mengerutkan kening. Hatinya langsung diliputi rasa ragu. “Saya? Tapi … saya hanya pembantu, Tuan.”
Jason mendorong tubuhnya dari dinding dan melangkah pelan mendekati Ariana. Jarak di antara mereka hanya sekitar satu meter saat pria itu berhenti. Sorot matanya menusuk langsung ke mata Ariana.
“Kau pikir pekerjaan pembantu hanya membersihkan rumah saja? Ethan yang memintamu untuk menemaninya, jangan membantah!”
Nada suara Jason terdengar seperti perintah yang tak boleh dibantah.
Ariana merasa jantungnya berdetak lebih cepat, bukan hanya karena intimidasi dalam suaranya, tapi juga karena kehadirannya yang terlalu dekat. Harum aftershave-nya menusuk hidung Ariana, membuatnya makin gugup.
Ariana tidak berani menjawab lagi. Dia akhirnya mengangguk perlahan dan menunduk dengan patuh. “Baik, Tuan.”
Jason berbalik dan berjalan lebih dulu ke arah tangga. Ariana mengikuti di belakangnya dengan langkah ragu.
Dalam hati, ia terus bertanya—kenapa Jason bersikeras ia ikut? Dan kenapa Jason tidak meminta pengasuh atau bahkan adik perempuannya sendiri?
Sesampainya di garasi, Jason sudah masuk ke dalam mobil sedan hitamnya dan menyalakan mesin.
Tanpa banyak bicara, dia membuka pintu penumpang depan dari dalam, sebuah isyarat bagi Ariana untuk duduk di sana, bukan di belakang. Perintah halus itu membuat perut Ariana terasa mual karena gugup.
Di perjalanan, tak banyak percakapan baik Jason maupun Ariana. Jason menyetir sendiri dengan tangan kiri memegang kemudi dan tangan kanan bertumpu santai di jendela.
Ariana duduk di samping, kedua tangannya terlipat di pangkuan. Sesekali matanya mencuri pandang ke arah pria itu—rahang kokohnya, hidung mancung, dan mata yang tetap fokus pada jalan.
Pria itu tak hanya tampan, tapi juga memancarkan aura yang membuat siapa pun merasa kecil di hadapannya.
Suasana di dalam mobil hanya diisi oleh suara musik klasik yang pelan dari speaker dashboard.
Ariana menelan ludahnya sendiri. Ingin rasanya dia berkata sesuatu untuk mengusir ketegangan, namun bibirnya tak mampu terbuka.
Mereka tiba di sekolah dengan cukup cepat. TK Elite Harmony Kids—bangunan mewah dengan taman luas dan gerbang otomatis.
Nama sekolah itu tertera elegan di papan batu marmer. Ini bukan sekolah biasa, ini sekolah yang bahkan penjaganya memakai seragam formal dan berbicara dengan diksi tinggi.
Ariana sedikit canggung saat turun dari mobil, merasa seolah tempat ini terlalu mewah untuknya.
Sepatu kets putih miliknya terasa terlalu lusuh dibanding hak tinggi para ibu-ibu sosialita yang mengantar anak-anak mereka.
Gaun mereka berkilauan, rambut mereka tertata rapi, dan make-up mereka sempurna bahkan di pagi hari.
Namun semua kekakuan itu seketika mencair saat Ethan, dengan seragam putih-biru kecilnya dan ransel bergambar dinosaurus turun dari belakang kabin mobil dan menghampiri Ariana.
“Kau ikut juga ke dalam,” serunya dengan riang.
Ariana langsung membungkuk dan memeluknya balik, senyumnya mengembang dengan tulus. “Tentu. Aku tak ingin melewatkan hari istimewamu.”
Jason hanya menatap mereka dari belakang kacamata hitamnya, matanya tak lepas dari interaksi keduanya.
Ada sorot berbeda di sana—bukan hanya kekaguman, tapi juga sesuatu yang lebih dalam. Namun, ia segera menyembunyikannya dengan melirik jam tangannya.
“Waktunya masuk. Ayo,” ucap Jason tegas.
Mereka bertiga berjalan berdampingan. Ethan menggandeng tangan Ariana dengan erat, sementara Jason berjalan di sisi satunya.
Beberapa orangtua melirik mereka dengan rasa penasaran. Beberapa wanita bahkan berbisik, menatap Ariana dari ujung kepala hingga kaki. Seolah tengah menilai siapa wanita itu.
Jason memegang bahu Ethan dengan perlindungan yang alami, gestur khas seorang ayah yang tak ingin anaknya disentuh dunia luar tanpa izin.
Di depan kelas, seorang guru perempuan—mengenakan blouse pastel dan celana bahan gelap—menyambut mereka dengan senyum tulus.
“Selamat pagi, Tuan Jason,” sapa sang guru ramah.
Jason mengangguk singkat sebagai balasan, lalu menggeser tubuhnya sedikit, memperlihatkan Ariana yang berdiri satu langkah di belakangnya.
“Oh ya, kenalkan. Ini Ariana. Calon istri saya. Dia yang akan menemani Ethan selama sekolah. Jadi, jangan biarkan ada siapa pun yang pura-pura menjemput anak saya, kecuali Ariana.”
Ariana membeku di tempat. Nafasnya seolah terhenti, jantungnya berdebar begitu kencang hingga ia yakin guru di depannya bisa mendengarnya. 'Calon istri'? Apa barusan dia tidak salah dengar?
Sementara itu, mata sang guru melebar sejenak. Reaksi yang sangat manusiawi mendengar pernyataan yang begitu tak terduga.
Namun, profesionalismenya sebagai pendidik muncul dalam sekejap. Ia langsung mengulas senyum sopan dan menjulurkan tangan ke arah Ariana.
“Salam kenal, Nona Ariana. Jarang sekali saya melihat Tuan Jason membawa seseorang yang dekat dengannya. Senang sekali akhirnya kita bisa bertemu.”
Ariana hanya mampu menjabat tangan guru itu dengan kaku. Jemarinya dingin dan keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Senyum yang muncul di wajahnya adalah topeng—terbentuk karena keterpaksaan, bukan kebahagiaan.
Jason, di sisi lain, berdiri dengan tenang seolah pernyataannya barusan bukan sesuatu yang mengguncang dunia Ariana.
Wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya tajam, mengamati sekeliling dengan waspada. Sikapnya itu menunjukkan betapa seriusnya dia menjaga keamanan anaknya.
Guru itu lalu membungkuk ke arah Ethan dan merapikan dasi kecilnya dan berkata, “Yuk, Ethan. Waktunya masuk kelas. Teman-temanmu sudah menunggu.”
Ethan mengangguk semangat lalu menoleh ke Ariana. “Kau janji akan tunggu aku, ya?” katanya dengan nada polosnya.
Ariana mengangguk dan memaksakan senyum lebih lebar. “Iya, sayang. Kak Ariana di sini saja, tunggu kamu sampai selesai.”
Bocah itu melambaikan tangannya lalu masuk ke dalam ruang kelas dengan langkah ceria, meninggalkan Ariana dan Jason berdiri di koridor yang kini mulai lengang.
Begitu pintu kelas tertutup, Ariana menoleh perlahan ke arah Jason. Matanya masih dipenuhi keterkejutan, bahkan ketidakpercayaan.
“Tuan … barusan itu—"
“Formalitas,” potong Jason cepat dan dingin. Matanya tetap lurus ke depan, tak menoleh sedikit pun ke arah Ariana.
“Aku malas menjelaskan hubungan kita sebenarnya. Lebih mudah mengatakan kau calon istriku. Dan juga demi keselamatan Ethan yang masih diincar oleh Kirana—mantan istriku. Dia ingin mengambilnya dariku.”
Ariana menahan napas. Kata-kata itu seperti air dingin yang disiramkan ke seluruh tubuhnya. Ia ingin marah, ingin bertanya kenapa ia dijadikan tameng, tapi logika dan empatinya berkata lain.
Ini tentang Ethan—anak kecil yang polos dan hanya ingin hidup tenang. Bukan tentang perasaannya yang belakangan ini terlalu liar karena kedekatan dengan sang majikan.
Dalam hati, Ariana mencoba menenangkan diri. Jangan berharap lebih, Ariana. Itu semua demi kebaikan Ethan, bukan karena perasaan.
“Hari ini kau pergi belanja dengan asistenku. Semua yang harus kau pakai untuk menyenangkanku, sudah di-list oleh Jemmy.”
Kirana bangun dengan perasaan yang tidak nyaman. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya sejak pagi, sebuah firasat buruk yang membuat dadanya seperti terikat.Semalam dia mencoba menelepon Jason, dan seperti biasanya belakangan ini, panggilannya langsung dialihkan.Pesan singkatnya hanya dibaca, tidak dibalas. Dan itu membuat Kirana tersentak tiap kali layar ponselnya menyala tanpa ada notifikasi dari Jason.Ia berjalan mondar-mandir di apartemennya, tubuhnya gelisah. Rambutnya dia tarik ke belakang lalu dilepas lagi, bibirnya dia gigit hingga nyeri.Ia tidak pernah melihat Jason sebegitu jauh darinya. Dulu, Jason selalu menemuinya, bahkan ketika tidak diminta. Dulu, Jason selalu marah kalau dia tidak memberi kabar. Dulu Jason selalu berada dalam genggamannya.Namun sekarang?Jason sulit ditebak. Sulit dijangkau. Sulit dikendalikan. Dan Kirana tidak sadar jika sekarang Kirana sudah tidak dibutuhkan.Dan untuk Kirana, itu adalah ancama
Ariana tidak pernah membayangkan hari itu akan datang. Ia pikir Jason hanya ingin membawanya mencari gaun, sepatu, atau barang-barang resepsi lainnya.Namun begitu mobil berhenti dan Ariana menatap papan besar di depan mereka, warna hitam elegan dengan huruf perak bertuliskan L’Intime Lingerie—jantungnya langsung berdebar kencang.“Ja–Jason ….” Ariana memegang lengan Jason dan suaranya tercekat. “Kita tidak perlu masuk ke sini. Serius.”Jason menoleh dengan ekspresi sedatar batu marmer, tapi sudut bibirnya terangkat nakal. “Kita perlu. Calon istri Lubis harus punya koleksi lingerie yang memadai.”Ariana memerah seketika. “Aku tidak perlu lingerie apa pun! Aku bahkan belum—”Jason tidak memberi kesempatan. Dia mengunci mobil, meraih tangan Ariana, lalu menariknya ke dalam butik seakan itu hal paling biasa di dunia.Pintu kaca terbuka dengan denting lembut, memperlihatkan interior butik yang mewah: cahaya hangat, dinding krem, pajangan satin dan renda berwarna nude hingga burgundy.Aria
Pagi itu, matahari baru saja muncul menyinari ruang makan dengan cahaya lembut keemasan.Ariana sedang menuang susu ke dalam mangkuk Ethan ketika Jason turun dari lantai dua.Pria itu mengenakan kemeja putih kasual dengan lengan digulung sampai siku, rambutnya basah sehabis mandi.Ariana sempat terpaku sedetik. Jason jarang terlihat santai seperti itu.“Pagi,” ucap Jason sambil mencium puncak kepala Ethan, lalu menatap Ariana. “Kau juga.”“Pagi,” jawab Ariana dengan pelan.Jason duduk, namun sebelum Ariana sempat kembali ke dapur, Jason berkata, “Setelah sarapan, bersiaplah. Kita ke mall.”Ariana berhenti di tempat. “Mall? Untuk apa?” tanyanya bingung.Jason menatapnya dengan santai. “Ya. Ada yang perlu kita beli untuk keperluanmu.”Ariana langsung menggeleng. “Tidak perlu. Aku tidak butuh apa-apa, Jason.”Jason menegakkan tubuhnya
Jam dinding di kamar menunjukkan pukul sembilan malam ketika Ariana menutup pintu kamar Ethan perlahan.Anak itu sudah terlelap, tubuh kecilnya meringkuk memeluk boneka dinosaurus yang tadi ia ceritakan panjang lebar kepada Ariana.Senyum lembut terbit di bibir Ariana sebelum dia mematikan lampu dan melangkah keluar.Koridor rumah Jason begitu sunyi. Cahaya kuning temaram dari lampu dinding memantulkan bayangan lembut di lantai marmer.Ariana menarik napas panjang, mencoba menenangkan degup jantungnya. Ini malam pertamanya kembali tinggal di rumah ini setelah menerima lamaran Jason dan rasanya semuanya masih seperti mimpi yang terlalu cepat terjadi.Ketika dia masuk ke kamar utama, Jason sudah ada di sana.Pria itu sedang duduk di tepi ranjang, tanpa jas seperti biasanya, hanya mengenakan kaus hitam dan celana santai.Rambutnya sedikit berantakan seolah sudah beberapa kali ia mengacaknya sendiri. Namun justru itu membuatnya terlihat j
Sejak kedatangan Ariana sore itu, Ethan sama sekali tidak mau jauh darinya. Anak kecil itu seperti bayangan kecil yang terus mengikuti ke mana pun Ariana melangkah.Bahkan ketika Ariana hendak ke dapur untuk mengambil segelas air, Ethan langsung menarik ujung bajunya sambil berkata, “Aku ikut.”Ariana hanya tersenyum lalu mengusap kepala Ethan yang kini sedikit lebih panjang rambutnya.“Kalau Ethan ikut, nanti Ariana tidak bisa ambil air dengan dua tangan, Sayang.”“Aku bisa pegang gelasnya!” Ethan mengangkat kedua tangan mungilnya dengan bangga.Ariana tidak mampu menolak. Anak itu tampak begitu bahagia.Di dapur, Ethan duduk di stool bar sementara Ariana mengambil gelas dari rak. Ethan mulai bercerita panjang lebar tentang mainan barunya, bagaimana ia belajar menggambar dinosaurus bersama Jonas, bagaimana Maria membuatkan kue cokelat kemarin, sampai bagaimana dia menangis sedikit karena merindukan Ariana.Ariana mendengarkan semuanya dengan penuh perhatian. Sesekali dia tertawa keci
Perjalanan panjang yang melelahkan dari kota tempat Jason melamar Ariana akhirnya berakhir ketika mobil hitam itu perlahan memasuki halaman rumah Jason.Sore itu langit tampak cerah dengan jingga lembut menyelimuti langit, seolah ikut menyambut kepulangan mereka.Ariana memandang rumah itu tanpa sadar menggenggam ujung rok yang dia kenakan.Ada sensasi aneh berputar lembut di dadanya. Rumah ini kini bukan hanya tempat dia menginap ketika diminta membantu Ethan. Rumah ini adalah tempat masa depannya akan dimulai. Rumah calon suaminya.Mobil berhenti. Jason mematikan mesin dan menoleh ke Ariana yang tampak menelan salivanya beberapa kali.“Hey,” panggil Jason lembut sambil menyentuh tangan Ariana, “kau tidak perlu gugup seperti itu.”Ariana tersenyum canggung. “Aku tidak gugup.”Jason mengangkat alisnya, jelas tidak percaya. “Ariana, bahkan aku bisa dengar hatimu berdetak sampai tempat duduk ini







