Share

Bab 6 Mas Tito Mengusir Fitri

Sepanjang kami menunggu kedatangan Mas Tito, mantan ART-ku itu terlihat gelisah. Bolak-balik dia membuka ponsel mengecek apakah Mas Tito menghubunginya. Gerak gerik itu membuatku dan Desi menahan tawa.

“Tenang aja, Yuni! Kalau emang kamu berhak atas rumah ini, saya gak masalah! Dengan suka rela akan saya berikan untuk kamu, kan harta Ayah saya masih sangat banyak! Hilang satu, bukan masalah baginya!” Aku semakin memanas-manasinya.

Yuni membuang muka saat mendengarku mengatakan hal barusan. Wanita kampungan seperti dia bisa apa? Sudah pasti dia sangat mengharapkan harta ini?

“Jangan sombong, Bu Fitri! Manusia itu tidak selamanya di atas! Nanti ada kalanya ngerasain juga di bawah!” Yuni menceramahi.

“Hahahaha! Contohnya, seperti kamu saat ini? Apa yang saya bilang kan benar. Apalagi, semua kekayaan yang dimiliki keluarga saya hasil kerja keras mereka, bukan hasil merebut apalagi menipu! Sangat beda jauh, Yuni!” timpalku gemas. Sok-sokan mau ceramahin aku, padahal dia aja rebut suami orang. Dasar gak tahu malu!

Yuni semakin memanas. Bibirnya terus maju saking kesalnya mendengar penuturanku yang semuanya fakta.

“Sabar, Yun! Kamu gak usah ladenin mereka,” ucap wanita tua yang wajahnya sangat mirip dengan Yuni.

Aku teringat sesuatu, “Ngomong-ngomong, Mbok ini siapa? Pembantu di rumah ini?” tanyaku asal sambil menunjuk dengan koran yang aku gulung.

“Jangan sembarangan, Bu Fitri! Dia itu Ibu saya!” sentak Yuni tidak terima Ibunya disebut pembantu olehku. Bukan salahku kan? Dari segi penampilan sudah terlihat jelas kok.

“Oh Ibu kamu! Jadi, saking semangat dan percaya dirinya kamu dengan rumah ini, kamu sampai mengajak Ibu kamu untuk tinggal di sini? Lalu anak kamu?”

“Bukan urusan Bu Fitri! Lagi pula, apapun yang menyangkut keluarga saya, Bu Fitri gak berhak tahu!” tukas Yuni.

Aku dan Desi saling tatap, lalu kembali tertawa, “Iya, iya, Mbak Yuni si paling rahasia! Kita juga gak pengen-pengen amat tahu kok, gak penting juga! Bay the way, mana nih yang katanya suami kamu? Kok belum datang juga? Atau jangan-jangan, dia lagi cari cara buat bikin surat palsu?” Kini Desi yang mengulti Yuni.

Yuni tidak menggubris. Ia kembali melihat ponselnya dan terus mengotak-atik benda pipih itu dengan wajah.

Tak berapa lama, suara gerbang dibuka terdengar. Dengan cepat Yuni lari ke luar untuk melihat siapa yang datang.

Aku dan Desi pun segera mengikuti langkah Yuni. Gak sabar rasanya melihat reaksi Mas Tito saat tahu ada aku di sini dan apa tujuanku saat ini.

Di samping mobil, terlihat Yuni langsung memeluk Mas Tito saat lelaki itu muncul dari balik pintu.

“Halo, Mas Tito! Mobilnya udah selesai diperbaiki di bengkel? Lama juga, ya?” selorohku dengan wajah angkuh.

“Ngapain kamu di sini? Tahu dari mana kalau Yuni tinggal di rumah ini?” Mas Tito tidak menjawab pertanyaanku tapi malah bertanya hal lain.

“Bukan hal sulit buat aku, Mas! Seneng udah berhasil menikahi janda itu? Ucapan kamu tempo hari ternyata benar-benar hanya omong kosong! Dan itulah kenapa aku sulit mempercayainya!”

“Biarkan Yuni hidup tenang! Aku akan bersikap adil sama kalian, Fitri! Aku hanya ingin membantu Yuni! Kasihan dia butuh sosok lelaki untuk menemaninya! Lagi pula, anaknya Yuni sangat membutuhkan figure Ayah!” racau Mas Tito yang otakku mencoba berfikir keras.

“Apa kamu bilang? Berbagi dengan pembantuku sendiri? Kamu sudah gila? Jangankan dengan pembantu, dengan perempuan yang selevel aja sama aku, aku gak sudi! Aku ini bukan wanita sembarangan! Lebih baik aku hidup sendiri dari pada harus mempunyai suami macam kamu gini! Gak level, Mas!”

“Jawab jujur, apa motif kamu memilih dia untuk jadi pelakorku? Apa gak ada perempuan lain yang lebih pantas?”

“Aku mencintai Yuni! Dia itu perhatian sama aku, dia pandai merawat diri dan juga memanjakanku! Tidak seperti kamu! Sehari-hari kamu hanya sibuk sama Asila!”

Aku tertegun.

Mas Tito dengan entengnya mengatakan itu.

Yuni merasa di atas awan. Dia semakin menempelkan tubuhnya dengan Mas Tito. Aku rasanya ingin muntah melihat pemandangan itu.

“Kurang perhatian kamu bilang? Aku bahkan rela menghabiskan waktuku hanya buat kamu, Mas Tito! Dan sekarang, dengan mudahnya kamu mengatakan itu?”

“Dan kamu janda, pelet apa yang kamu kasih ke suami saya sampai-sampai dia bertekuk lutut sama kamu? Secara dari segi penampilan, saya jauh di atas kamu!”

“Hentikan Fit, kamu sudah keterlaluan!”

Mas Tito terus membela Yuni dan itu membuatku semakin geram.

“Dasar laki-laki bajingan! Gak sudi aku punya suami kaya kamu! Suami gak modal dan gak punya perasaan! Laki-laki MOKONDO kaya kamu gini gak pantes hidup!” Aku memaki dengan penuh amarah.

Mas Tito tampak mengertakkan giginya, wajahnya memerah saat mendengar ucapanku barusan. Ia melepaskan tubuh Yuni dan maju beberapa langkah, hingga jarak kami begitu dekat saat ini, “Oke kalau itu mau kamu! Detik ini juga kamu aku talak! Tinggalkan rumah ini, sekarang!”

“Hahaha! Kamu yang harus meninggalkan rumah ini! Ini rumah Ayahku! Bukan rumahmu! Bawa janda ini pergi dari sini! Aku gak sudi melihat harta kekayaan Ayahku ditinggali oleh parasit macam kalian!”

“Siapa bilang ini rumah Ayahmu! Apa kamu lupa? Ayah kamu sudah memberikan rumah ini untukku! Bahkan, sertifikat rumah ini sudah berganti nama atas namaku!” Mas Tito tetawa, “Kenapa? Kaget ya sama faktanya?”

Aku sedikit terhenyak. Coba berfikir sejenak, kapan kira-kira Mas Tito melakukan itu. Kenapa Ayah tidak pernah membicarakan ini padaku sebelumnya.

Desi menyenggol sikutku, ia kemudian berbisik, “Bener apa yang dibilang Tito? Kok kamu bisa gak tahu?”

Aku hanya menggeleng lemah, “Kalau benar, coba tunjukkan surat itu! Aku mau lihat!”

Mas Tito merapikan jasnya. Dengan penuh rasa percaya diri, dia membuka pintu kabin mobil. Tubuh Mas Tito terlihat mengungkung ke dalam dam mengambil sesuatu.

Sebuah map berwarna merah dia genggang erat lalu diserahkannya padaku, “Buka ini! Di dalam map itu, semuanya sudah tertulis jelas, siapa pemilik rumah ini!”

Dengan ragu, aku perlahan menyodorkan tanganku dan meraih map tersebut. Aku menelan saliva, tenggorokanku seketika terasa sangat kering. Aku melirik pada Desi, dia mengangguk menandakan aku harus membukanya.

Lembar demi lembar aku buka dan ….

Pada sebuah halaman, tertulis jelas di sana ada nama Tito Trikusuma. Aku menatap nama itu dalam beberapa detik.

Seketika aku menjadi sedikit lunglai. Jadi, apa yang dikatakan Mas Tito benar adanya. Rumah megah ini sudah berganti kepemilikan.

“Kembalikan!” Mas Tito merebut map itu dan menutupnya rapat, “Tunggu apalagi? Udah jelaskan semua! Sekarang, kalian berdua pergi dari sini dan jangan pernah ganggu lagi kehidupan kami berdua! Satu lagi, Fitri, mulai hari ini aku bukan lagi suami kamu, jadi kamu gak punya hak apa-apa atas aku! Mengerti?”

Aku seperti sedang berada di alam lain. Sangat sulit rasanya menarik diri kembali ke alam nyata.

“Fit, Fit, Fitriiii!” Desi mengguncangkan tubuhku. Dia menarik diriku dari lamunan.

“Apa saya bilang, Bu. Ibu Fitri gak boleh sombong! Sekarang juga pergi dari rumah kami! Bu Fitri sudah gak punya hak lagi atas rumah ini!” Yuni ikut mengusirku. Dia merasa sangat merdeka.

“Biadab! Lihat aja nanti! Ini pasti ada yang gak beres! Ingat kalian semua, karma akan segera datang, jadi jangan bersenang dulu!”

“Udahlah, Fit! Kamu sudah kalah telak! Des, bawa teman kamu pergi! Aku gak sudi lihat kalian berdua di sini!”

“Bajingan! Binatang kalian! Lihat saja, tunggu pembalasanku! Apapun yang didapatkan hasil merebut, itu tidak akan pernah bertahan lama!”

Sambil terus memaki, Desi memaksaku untuk pergi. Aku tidak terima dengan semua ini. untuk kesekian kalinya, aku harus kehilangan lagi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status