Share

Bab 3 Mengusir Yuni

Pagi hari, aku sudah berada di dapur sebelum Mbak Yuni. Setelah menyaksikan kejadian semalam, mataku sama sekali tidak bisa terpejam.

“Bu, tumben udah bangun. Saya baru mau masak,” tegur Mbak Yuni sesaat setelah berdiri di sampingku.

Pisau yang aku gunakan untuk mengiris daging, rasanya ingin sekali aku pindahkan untuk mengiris urat nadi wanita sialan di sampingku ini.

“Emang kenapa kalau saya bangun lebih awal? Ada yang salah? Ini kan rumah saya!” ucapku ketus tanpa mau melirik wanita siluman di sampingku. Aku merasa sangat jijik melihatnya.

“Iya sih, Bu. Saya hanya tanya,” sahut Mbak Yuni.

“Rapikan barang-barang kamu! Mulai hari ini, kamu saya pecat!” ucapku tanpa basa basi. Aku sudah muak melihat dia.

“Hah? Kenapa, Bu? Saya buat kesalahan apa?” bingung Mbak Yuni mencoba memprotes.

Dalam batinku, apa masih pantas dia bertanya apa kesalahannya?

“Saya gak perlu alasan buat mecat kamu! Kapan aja saya bisa lakukan itu! Ingat, kamu itu cuma pembantu di sini!” sarkasku menatap tajam padanya. Pisau sudah aku genggang dengan begitu erat.

“Tapi, Bu Fitri gak bisa pecat saya seenaknya! Semua itu tergantung Pak Tito. Kalau beliau masih ingin saya di sini, maka Bu Fitri gak punya hak apa-apa!” bantah Yuni. Dengan lantang dia berani menatapku tanpa ada rasa takut sedikitpun.

Pisau yang tadi aku genggang erat, secara tiba-tiba aku langsung hunuskan ke arah wajah Yuni, tepat membidik bola matanya.

“Matiii saja kamu wanita sialan!” teriakku sambil mengayunkan pisau dengan ujungnya yang begitu tajam mengkilat.

Namun, apa yang terjadi membuatku tak bisa bergerak.

Mas Tito menahan tanganku begitu kuat, lalu ia membanting tubuhku hingga ambruk di atas lantai dengan sangat kencang.

Bugh

“Aduhhhh!” rintihku menahan sakit karena tulangku beradu dengan kerasnya lantai. Suara pisau yang terjatuh juga bisa aku dengar.

“Kamu sudah gila, Fitri? Kamu bosal hidup? Atau kamu ingin punya tempat tinggal baru di dalam jeruji besi? Iya, begitu?” bentak Mas Tito sambil memeluk tubuh Yuni yang terlihat gemetar.

Aku berusaha bangkit sendiri sambil merasakan ngilu di seluruh tubuhku.

“Persetan dengan penjara, Mas! Aku tidak perduli! Aku bahkan rela jika harus mendekam selamanya di sana, asalkan aku berhasil membunuh siluman itu!” lantangku berapi-api sambil menunjuk wajah Yuni dengan begitu penuh amarah.

Aku semakin mendekatkan langkah pada mereka berdua. Mas Tito berusaha melindungi Yuni dan menjauhkannya dariku.

“Wanita siluman! Apa yang sudah kalian lakukan di belakangku?”

“Dan kamu, Mas! Apa kurangnya aku, sampai-sampai kamu lebih memilih janda kampungan seperti dia? Aku bahkan rela mengorbankan semuanya untuk kamu!”

“Aku rela melepaskan karierku demi bisa mengabdi untuk kamu! Lalu, apa balasannya untukku? Apa yang kamu cari dari wanita ini?”

Amukku tidak tertahan. Aku mengambil wadah air dan langsung mengguyurkannya pada wajah mereka berdua.

Keduanya berusaha menghindar, namun terlambat. Wajahnya sudah basah, penuh dengan air.

“Yuni! Sekarang juga kamu keluar dari rumahku! Dan kamu, Mas, kamu itu bukan apa-apa dan siapa-siapa tanpa campur tangan Ayahku! Semua yang kamu dapatkan itu atas pemberian orang tuaku! Lalu, sekarang apa yang akan kamu lakukan? Jawab Mas???”

Aku sama sekali sudah tidak bisa lagi berfikir jernih. Dalam benakku, aku hanya ingin menghabisi Yuni detik ini juga.

“Dengar dulu penjelasanku, Fitri! Apa yang membuat kamu begitu marah pada Yuni sampai-sampai kamu ingin melukai dia??” sentak Mas Tito menjawab.

Aku hanya tertawa mendengarnya, “Kamu kira aku ini perempuan bodoh? Kamu tanpa keluargaku hanya akan jadi gelandangan, Mas! Kamu tidak akan bisa sampai seperti sekarang ini!”

“Cukup, Fitri! Ini hanya sebuah kesalahpahaman. Hentikan semua ini! Ayo, aku mau bicara sama kamu,”

Mas Tito berusaha merayuku. Perlahan ia menyulurkan tangannya untuk meraih jemariku.

Dengan cepat aku mengibaskannya, “Jangan pernah sentuh aku, Mas! Aku gak sudi berdekatan sama lelaki yang sudah bersetubuh dengan wanita lain!”

Mendengar itu, ketuanya terperangah. Mas Tito dan Yuni saling bersilang tatap dengan penuh tanda tanya.

“Kenapa? Kaget ya? Aku sudah tahu semuanya! Yuni, saya kasih kamu waktu kurang dari satu jam. Segera kemasi barang-barang kamu, dan ke luar dari rumah ini!”

Tak menunggu lagi, setelah mengusir Yuni aku berlari menuju kamarku. Mengunci pintu rapat-rapat dan mengambrukkan diri di atas kasur.

Aku menangis sejadi-jadinya. Meratapi nasibku yang begitu pahit. Pernikahan yang sudah lama terjalin harus hancur karena datangnya orang baru yang merupakan pembantuku sendiri.

Awal aku melihat Yuni, aku merasa sangat iba kala mendengar ceritanya yang begitu pedih. Sebagai sesama wanita, aku juga ikut merasakan sakit yang dirasakan Yuni. Selain itu, Yuni juga tampak dewasa. Aku sudah menganggapnya sebagai kakak sendiri.

Tapi ternyata, semua itu salah. Apa yang aku lakukan pada Yuni dibalas dengan kepedihan oleh wanita sialan itu. Aku benar-benar tidak habis pikir.

“Tega banget kamu, Yun! Salah apa saya sama kamu?” rintihku sambil meremas selimut dengan begitu kuat. Aku merasa, Dunia sudah tidak lagi ingin aku tinggali.

***

Pukul Sembilan pagi, aku sudah bersiap. Perasaanku sudah sedikit tenang. Aku teringat pada Asila, bagaiaman anakku sekarang, apakah dia mendengar pertengkaran kami tadi pagi?

Aku bergegas menuju kamarnya.

Kosong, tidak ada dia di sana. Sepertinya dia pergi ke sekolah, namun entah dengan siapa dia pergi.

Rumah juga tampak begitu sepi, mungkin Yuni sudah meninggalkan rumah ini.

Aku merasa sedikit lega meskipun rasa sakit hati masih mengganjal di dadaku.

Hari ini, rasanya aku ingin berkunjung ke rumah orang tuaku. Aku butuh transfer energi dari Ibu yang selalu memberikan afirmasi positif untukku.

Aku belum ingin mengadukan ini semua padanya. Aku takut, mereka akan terbebani dengan semua ini.

Kulihat, satu mobil tidak ada di carpot depan. Mungkin, Mas Tito menggunakannya untuk mengantarkan Asila sekolah.

Baiklah, saatnya aku pergi sekarang.

Begitu aku membuka pintu, tiba-tiba saja seseorang memelukku dari belakang. Aku sempat menoleh, dan ternyata itu adalah Mas Tito. Dia menarik tubuhku hingga aku kembali masuk ke dalam. Aku terus meronta, namun tidak mampu melepaskan pelukan Mas Tito yang begitu kuat. Aku tidak mengira jika ternyata dia masih berada di dalam rumah. Lalu, siapa yang menggunakan mobil?

Mas Tito membawaku ke dalam kamar tamu. Dengan cepat, ia membaringkanku di atas kasur.

“Apa-apaan kamu, Mas?” bentakku sambil berusaha bangun.

Mas Tito terlihat mulai menanggalkan pakaiannya hingga tersisa celana dalam dan aku melihat ada sesuatu yang menonjol.

“Jangan gila kamu, Mas! Aku gak sudi bersentuhan sama kamu lagi!”

“Aku ini masih suami kamu, Fitri!” sahutnya dan langsung menindih tubuhku dengan kasar.

Aku berusaha melepaskan diri dari tubuh Mas Tito. Namun sepertinya sia-sia. Tenaga dia jauh lebih kuat dariku.

Mas Tito melancarkan aksinya, dia berhasil menyetubuhiku. Lelaki yang dulu begitu aku cintai dan kagumi, namun sekarang tidak ada lagi rasa cinta itu sedikitpun. Kegiatan bercinta yang selalu aku rindukan kini terasa benar-benar hambar. Aku sama sekali tidak menikmatinya.

“Bajingan kamu, Mas! Setelah kamu main gila sama Yuni, sekarang kamu kembali menggauliku? Menjijikan!” Aku menangis sambil memunguti pakaianku.

“Apa yang kamu lihat itu tidak benar, sayang! Aku tidak pernah bermain gila dengan Yuni! Hanya kamu yang aku cintai!”

“Cuih!”

Aku meludah di atas lantai, “Menjijikan sekali! Kata-kata yang gak pantas keluar dari mulut busuk kamu, Mas!”

“Aku masih sayang sama kamu, Fitri! Apa yang kamu duga dan tuduhkan tadi pagi itu tidak benar! Aku tidak pernah berbuat apapun dengan Yuni.

“Hahaha, omong kosong! Percuma kamu jelaskan apapun. Semua bukti sudah aku lihat tadi malam, dengan mata kepalaku sendiri dan itu begitu jelas!”

“Memang apa yang kamu lihat?” Mas Tito sampai bangkit dari tidurnya dan berdiri di depanku.

“Jawab! Apa yang kamu lihat tadi malam?” ulang Mas Tito sambil mengangkat daguku hingga kini mata kami saling beradu.

Mata bulatnya yang selalu aku kagumi. Tak terasa, air mata semakin mengalir deras.

“Aku melihat kamu sedang bercinta dengan Yuni! Puas kamu! Kalian berbuat hal gila di rumahku, Mas! Apa yang kurang dariku? Kenapa kamu lebih memilih janda itu dari pada aku?”

“Apa? Bercinta? Apa kamu sudah gila, Fit? Aku gak mungkin melakukan itu sama Yuni! Dia itu hanya pembantu kita! Aku bahkan bisa bercinta kapan saja dengan istri sahku yang cantik ini! Untuk apa aku melakukannya dengan orang lain? Ayolah sayang, berpikir jernih.”

Sorot mata Mas Tito benar-benar seperti sedang berusaha meyakinkanku. Aku tidak melihat adanya keraguan juga kebohongan dari cara bicaranya. Jika dipikir-pikir, apa yang dikatakan Mas Tito ada benarnya juga.

Tapi, jika itu bukan suamiku, lalu yang semalam aku lihat itu siapa?

“kalau bukan kamu, terus siapa yang meniduri Yuni? Hanya kamu satu-satunya laki-laki di rumah ini!” Aku tidak langsung mempercayai begitu saja ucapan Mas Tito. Tidak semudah itu.

“Apa kamu yakin dengan apa yang kamu lihat? Semalam aku tidur di kamar tamu, kan kamu tahu itu,” elak Mas Tito.

Aku menggeleng tidak percaya, “Gak mungkin kamu gak tahu, Mas. Lagi pula kamar tamu jaraknya tidak jauh dengan kamar Yuni. Kalaupun ada orang asing masuk ke rumah ini, kamu pasti akan mendengarnya,”

“Sumpah, sayang. Aku sama sekali tidak mendengar suara apapun. Aku terlelap karena seharian pekerjaan aku begitu padat. Ditambah lagi, aku masih harus berdebat panjang dengan kamu. Itu benar-benar menguras tenagaku,” sambung Mas Tito.

“Lain kali, kamu itu harus selidiki dulu sebelum langsung menyerang begitu saja. Beruntung tadi kamu belum sempat melukai Yuni. Kalau sampai dia terluka atau bahkan sampai meregang nyawa, bagaimana nasib aku dan Asila? Aku gak mau melihat kamu harus mendekam di penjara,”

“Terus, kenapa dari kemarin kamu selalu saja membela si Yuni? Kalau kamu gak ada main sama dia, seharusnya kamu gak perlu bela dia saat aku sedang kasih dia pelajaran!” Aku mulai mempertanyakan semua. Nada bicaraku sudah sedikit lebih tenang.

“Tadikan aku udah bilang, aku gak mau lihat kamu menyakiti orang lain, karena yang akan rugi itu kamu sendiri!”

Lagi-lagi ucapan Mas Tito masuk akal. Tapi aku masih belum bisa terima sepenuhnya penjelasan Mas Tito sebelum aku mengetahui langsung siapa lelaki yang meniduri Yuni semalam.

“Aku akan cari tahu siapa laki-laki yang bersama Yuni tadi malam! Aku akan mempercayai semua penjelasan kamu setelah aku menemukan laki-laki itu!”

“Baiklah, sayang. Aku mengerti,”

“Ngomong-ngomong Asila diantar oleh siapa ke sekolah?” Aku kembali teringat putriku.

“Oleh Andri. Hari ini mobil perusahaan terpakai semua, aku memutuskan untuk gak pergi bekerja. Aku ingin meluruskan ini dulu sama kamu, kamu gak usah khawatir, Asila aman sama Andri.”

Andri itu sekretarisnya Mas Tito di kantor. Ya, sudah biasa sih mobil kami dipakai oleh dia. Aku percaya itu.

“Lalu Yuni, apa dia sudah pergi?”

Mas Tito mengangguk yakin, “Sudah, tadi aku menelepon PT tempat kita mengambil dia. Orang sana sudah menjemputnya,” sambung Mas Tito.

Kelegaan hatiku semakin bertambah.

“Siang nanti kita jemput Asila di sekolahnya, ya? Sudah lama juga kan kita tidak menjemput bersama? Setelah itu, aku mau ajak kamu ke suatu tempat,” tukas Mas Tito sambil tersenyum lembut padaku.

Aku hanya mengangguk tanpa ekspresi. Mungkin untuk saat ini aku sedikit mempercayai ucapannya, tapi aku akan tetap waspada dan terus mencari kebenarannya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status