"Apa yang kamu lakukan, Alin? Sakit!" erang Mas Alex sambil memegang senjata miliknya. Pun dengan si pelakor yang terus saja menangis meraung-raung membuat beberapa orang tetangga akhirnya datang karena mungkin penasaran.
"Ada apa ini?" tanya salah seorang tetangga yang baru saja datang."Memberi pelajaran laki-laki mata keranjang serta tidak tahu diri sama pelakornya!" jawabku sambil melelas plastik berlumur sisa sambal lalu membuangnya ke tong sampah."Pelakor? Maksud mbaknya apa?" Seorang ibu berkacamata ikut bertanya."Laki-laki itu suami saya, dan perempuan mu*ahan itu asisten rumah tangga saya. Mereka berdua tadi sedang berzina di dalam kamar, makanya saya langsung memberi mereka pelajaran!""Waduh, Siti. Ternyata diam-diam kamu seorang pelakor? Pantesan selama tinggal di sini kamu sering banget pamer perhiasan mahal, pamer baju bagus dan juga juga uang banyak. Hasil memeras suami orang toh? Nggak nyangka saya!" Bukannya menolong Siti, mereka malah asik ikut mencaci.Dua bocah yang tadinya sedang asik bermain ponsel di ruang tamu akhirnya berlari menghampiri dan ikut menangis melihat mamanya menjerit-jerit histeris.Namun tidak lama kemudian seorang ibu membawanya ke luar dari ruangan, karena menurut dia hal seperti itu tidak pantas sampai dilihat oleh anak di bawah umur.Bu RT bersama seorang scurity datang menerobos kerumunan, menyuruh warga segera menolong Mas Alex dan Siti yang sudah terlihat lemas di atas pembaringan, akan tetapi semua menolak untuk membantu."Untuk apa kita nolongin pelakor, Bu RT. Nanti habis kita tolong, sudah sembuh, suami kita diembat sama dia!" tukas ibu berdaster ungu seraya mencebik bibir.Aku tersenyum penuh kemenangan. Rasain kalian berdua. Ini baru permulaan. Aku bisa melakukan hal yang lebih sadis daripada ini nanti jika kalian masih berani berbuat macam-macam."Maaf, Mbak ini siapa? Sepertinya Mbak bukan warga sini, ya? Kenapa Mbak membuat keonaran di kampung kami?" tegur perempuan bertubuh gempal itu seraya menatap tidak suka."Saya hanya memberi pelajaran kepada pelakor dan suami saya yang tidak tahu diri itu, Bu. Memangnya salah? Lagian, masa Ibu sebagai pimpinan di sini akan membiarkan warganya berbuat zina?""Mereka tidak berzina, Mbak. Mbak Siti dan Mas Alex itu suami istri. Mereka sudah lapor kok sama saya pas baru pindah ke daerah sini!""Apa? Suami istri? Apa mereka membawa surat nikah pas melapor? Pasti tidak 'kan? Karena meraka itu memang bukan suami istri. Saya istri sahnya Mas Alex!""Mereka memang tidak membawa surat nikah, karena mereka menikah di bawah tangan."Aku terkesiap mendengar penuturan perempuan itu. Sudah sejauh itu kah hubungan mereka? Atau, semua hanya akal-akalan saja supaya mendapatkan izin tinggal.Ya Allah...jika iya Mas Alex dan Siti sudah menikah, aku tidak akan segan-segan menghancurkan hidup mereka berdua. Tidak terima melihat orang yang telah memporak-porandakan hidupku itu bahagia di atas penderitaanku."Kok Bu RT malah belain pelakor? Jangan-jangan Ibu dulu dapetin bapak dari hasil ngrebut juga? Makanya pro sama pelakor seperti si Siti!" celetuk ibu berkacamata seraya menatap mencemooh ke arah Bu RT."Saya tidak bermaksud membela Mbak Siti. Biar bagaimanapun dia itu kan warga saya, jadi saya harus membantunya. Kalau nanti dia dan suaminya sampai kenapa-kenapa kan kita juga yang repot!" sanggah wanita yang aku tafsir berusia sekitar empat puluh tahunan itu."Udah, ah. Lebih baik kita pulang saja. Biar dia tahu rasa. Sakit yang dia rasakan saat ini mungkin tidak sebanding dengan apa yang sedang dirasakan istri sahnya Mas Alex saat tahu kalau suaminya sudah membagi hati dan raga!" Seorang wanita bergamis hitam berujar seraya menarik diri dari kerumunan.Pun dengan ibu-ibu yang lainnya. Satu per satu mereka pergi, membiarkan dua insan menjijikkan itu terus merintih menahan perih di pangkal paha.Sementara Siti dan Mas Alex masih mengerang di atas tempat tidur, menatap mengiba ke arah kami semua seperti minta bantuan.Terlalu sadis memang cara yang aku lakukan, namun itu tidak sebanding dengan pengkhianatan yang sudah meraka perbuat.Selama ini aku selalu baik kepada keluarga suami. Loyal terhadap Siti yang mengaku seorang janda, tidak pernah menyangka ternyata kebaikanku dibalas dengan dusta. Menyakitkan.Sebenarnya apa sih istimewanya si Siti. Kalau dilihat dari segi penampilan dia tidak terlalu cantik. Tubuh gembrot serta kulit gelap, tetapi mampu merobohkan iman Mas Alex suamiku. Apa jangan-jangan ternyata mata Mas Alex terkena katarak sampai-sampai melihat dia saja langsung terpesona dan mengkhianati cintaku?"Alin, mau ke mana? Tolong bawa Mas ke rumah sakit, Sayang. Mas nggak kuat. Apa kamu mau Mas mati dan Maura menjadi anak yatim?" lirih suamiku penuh dengan permohonan, ketika melihatku keluar dari kamar gundiknya.Lebih baik Maura jadi anak yatim daripada memiliki ayah seperti dia.Membuka tas suami yang tergeletak di atas meja, mengambil dompet serta isinya tidak lupa juga kunci mobil aku sita."Mbak cantik yang sabar ya," kata tetangga Siti ketika aku keluar dari rumah tersebut.Aku hanya tersenyum getir, mencoba menutupi luka yang menganga di dalam dada."Pak, ada yang bisa bantu antarkan motor saya ke rumah? Nanti saya kasih upah sama ongkos ojek buat pulang lagi ke sini," ucapku kepada tukang ojek yang kebetulan mangkal tidak jauh dari tempat tinggal Siti.Tidak lama kemudian seorang pria paruh baya mengajukan diri untuk mengantar, dan aku segera menyalakan mesin kendaraan roda empat yang tadi pagi dibawa Mas Alex ke tempat gundiknya meninggalkan tempat terkutuk tersebut.Ketika dalam perjalanan, ponsel milikku terus saja berdering. Ada panggilan masuk dari Rani adik iparku. Sepertinya dia ingin menagih uang yang Mas Alex janjikan kepadanya.Lebih baik kuabaikan saja, biar nanti dia menghubungi Mas Alex dan tahu keadaan sang kakak saat ini.Ting!Aku menatap layar ponsel saat Reni mengirimkan pesan ke aplikasi berwarna hijau.[Mbak, mana jatah bulanan aku. Ini sudah tanggal berapa? Biasanya Mas Alex kirim aku lima juta pas awal bulan loh. Aku butuh uang buat makan sehari-hari sama buat ongkos ke kampus.]Keningku berkerut-kerut membaca pesan dari adik iparku. Bukannya kemarin Mas Alex bilang sudah mengirimkan uang ke adiknya? Pasti uang jatah Rani pun dia pakai untuk menyenangkan si pelakor..Kamu sudah keluar dari penjara? Kenapa kamu tidak menghubungi Mas, Ran?" tanya Alex seraya membingkai wajah sang adik seiring dengan derasnya air mata yang mengalir dari kedua sudut netra."Aku nggak punya hape dan nggak berani menghubungi Mas karena takut Mas nggak mau lagi menerima aku, sebab aku sudah sering membuat kesalahan sama Mas!""Ya Allah, Rani. Seperti apa pun kamu dulu, kamu itu tetap adik Mas. Keluarga satu-satunya yang Mas miliki di dunia ini. Maaf ya, kalau selama kamu dipenjara Mas nggak jenguk kamu.""Iya nggak apa-apa. Bagaimana kabarnya Tiara, Mas? Kalian sudah punya anak berapa?""Tiara sekarang sedang dirawat di rumah sakit jiwa. Dia terkena gangguan mental dan juga sedang sakit kanker serviks stadium akhir.""Ya Allah... Kasihan sekali.""Iya, sekarang rumah miliknya juga sudah dijual untuk mengobati penyakit yang dia derita, karena Tiara tidak punya saudara maupun kerabat di sini. Mas juga kan sudah cerai
POV Author.Rani menatap pintu keluar rutan sambil bernapas lega karena akhirnya bisa keluar dari dalam penjara. Hanya saja dia merasa bingung, setelah ini akan tinggal di mana karena rumah peninggalan orang tuanya sudah dijual dan dia juga tidak tahu alamat rumah Alex yang baru.Menatap dua lembar uang yang diberikan petugas lapas, Rani berniat pergi ke Jakarta untuk mencari sang kakak dan berniat tinggal di sana dan mencari pekerjaan.Tetapi bagi mantan narapidana seperti dia, masih adakah perusahaan yang mau menerimanya menjadi karyawan? Terlebih lagi dia hanya memiliki ijazah SMA karena sudah di-drop out oleh pihak universitas.Karena sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi di Bandung, terlebih lagi sangsi sosial yang dia dapatkan di kota Kembang tersebut, perempuan berusia dua puluh delapan tahun itu akhirnya nekat pergi ke Jakarta untuk mencari keberadaan Alex.Rumah pertama yang dia sambangi adalah tempat tinggal lama sang kakak, ber
"Ada apa, Mas?" tanyaku dengan nada ketus juta tanpa basa-basi."Alin? Kamu apa kabar?" Dia terus memindai wajahku, dan aku lihat ada rindu samar di kedua sorot netranya."Seperti yang kamu lihat. Aku sehat dan baik-baik saja. Kalau tidak ada hal penting yang mau kamu sampaikan, sebaiknya kamu pulang, Mas. Aku nggak mau timbul fitnah jika kamu berada di sini, sebab sekarang aku sudah menjadi istri orang!""Aku mau minta maaf sama kamu, karena sudah menyakiti hati kamu dan selalu berusaha mengusik kebahagiaan kamu. Bahkan aku juga berusaha mengacaukan pernikahan kamu kemarin dengan Dafa.""Aku sudah memaafkan kamu!""Alhamdulillah kalau begitu. Tolong setelah ini jangan benci aku, apalagi sampai menjauhkan Maura sama aku. Selamat juga atas pernikahan kamu dan Dafa. Semoga kalian berdua bahagia.""Aamiin, terima kasih!""Ini, aku ada rezeki sedikit. Nitip buat anak kita. Ya, walaupun aku tahu kalau Dafa bisa mencukupi semu
"Sayang, bangun." Dafa mengusap lembut lenganku, menerbitkan senyuman manis menyapa hari saat pertama membuka mata."Sebentar lagi Subuh," ucapnya lagi.Aku segera menyibak selimut yang menutup hingga ke leher, duduk menyandar di headboard mencoba mengumpulkan nyawa sebelum turun dari tempat tidur.Mata ini tidak lepas dari tubuh Dafa yang sudah terlihat rapi dengan baju koko serta sarung membalut tubuh, menambah kesan tampan memesona wajah laki-laki itu."Aku mau ke mushola. Kamu buruan mandi, gih. Biar nggak telat salat subuhnya." Tangan kekar itu terulur mengusap lembut pipi ini."Iya, Daf. Kamu hati-hati. Habis salat mau aku bikinin apa?" tanyaku tanpa melepas selimut yang menutupi dada, merasa malu kepada suami, padahal jelas-jelas kami berdua sudah saling tahu semua yang ada di tubuh kami."Bikin anak saja!" Dia menjawab sambil menyeringai, dan aku langsung melotot menatapnya."Maruk banget kamu!""Bercand
Malam kian merangkak larut. Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sepuluh malam, dan aku sudah merasa lelah karena hampir seharian berdiri di atas pelaminan menyalami para tamu undangan yang datang silih berganti hampir tidak ada henti.Jantung ini berdegup kencang ketika pintu kamar terbuka seiring munculnya sesosok laki-laki bertubuh tegap dengan senyum terkembang di bibir.Segera kuhentikan aktivitas menghapus riasan di wajah, menatap Dafa dari pantulan cermin seraya mengatur napas juga detak jantung yang mulai terasa tidak karuan."Aku mandi dulu, habis ini kita salat sunah dua rakaat." Dafa berujar sambil mencium puncak kepalaku dengan penuh kelembutan serta cinta."Iya, Daf." Aku mendongak menatap wajah suami, hingga kini jarak kami tinggal beberapa centimeter saja, dan aku bisa merasakan hangat napas menerpa muka."Aku mencintai kamu, Alina. Terima kasih karena kamu sudah bersedia menjadi istri aku. Aku berjanji akan selalu
"Ada ribut-ribut apa di depan, Kak? Siapa yang datang mengacau?" tanyaku kepada Kak Humaira."Alex datang dan berusaha menghentikan pernikahan kalian, Lin," jawab istri dari Mas Aldo membuat diri ini merasa geram.Untuk apa Mas Alex masih mengganggu hidupku? Padahal, sudah berkali-kali aku katakan tidak ingin kembali, dan dia juga kan sudah memiliki pasangan. Aneh memang pria satu itu."Tapi kamu tenang aja, Lin. Mas Aldo dan teman-temannya sudah mengurus dia. Sekarang Alex sudah pergi, dan di depan dijaga ketat sama orang-orang yang pernah menjadi bodyguard kamu."Aku sedikit bernafas lega mendengarnya. Semoga saja Mas Alex tidak kembali dan mengacaukan acara pernikahan aku dan Dafa.Melalui pengeras suara terdengar Dafa mulai mengucapkan qobul, mengalihkan tanggung jawab papa di pundaknya dan dijawab sah oleh hadirin yang ada.Tanpa terasa buliran-buliran air bening merembes dari balik kelopak membasahi pipi, merasa terhar