“Jadi waktu itu kamu ajak dia keluar malam? Kamu tidak aneh-aneh kan sama dia? Kamu tidak perlakukan dia seperti kamu perlakukan wanita di luar sana kan?” cecar Vika pada Parta. Dari kejauhan Vika sesekali melirik Parta yang sedang berlaku seperti anak kecil dimarahi ibunya.
Vika sebagai ketua unit organisasi menggandeng Parta sebagai wakilnya karena nilai akademis dan kecakapannya dalam menjalin komunikasi. Ia tahu bahwa di luar lingkungan kampus Parta akan menjadi orang yang berbeda, tapi ia memiliki profesionalitas yang bisa diandalkan. Kehidupan pribadinya sangat jarang ia bawa dalam urusan organisasi. Kedewasaan Vika dalam menilai seseorang itu juga lah yang membuat Parta nyaman berteman dengan Vika bahkan sesekali bercerita tentang kehidupannya.
“Sudah?”
Satu kata yang keluar dari mulut Parta terasa mengisyaratkan kalau dirinya ingin dipukul oleh Vika yang sudah berdiri dan berjalan ke arahnya.
“Aku serius Parta! Nyla itu gadis baik-baik. Kamu jangan macam-macam sama dia!” Satu jitakan jemari Vika tepat mengenai dahi Parta, membuat orang itu meringis kesakitan.
“Sebegitunya kamu menganggap aku brengsek, Vik. Aku juga tahu Nyla itu gadis baik-baik. Aku hanya ajak jalan saja, menikmati pemandangan,” jelas Parta yang masih duduk di tempatnya dengan kursi terbalik. Ia memeluk punggung kursi dan tampak nyaman dengan posisi itu.
“Syukur deh kalau begitu. Kasihan itu anak hanya hidup sendiri di kota ini.” Vika menyandarkan tubuhnya pada bangku di depan Parta kemudian mengembuskan napas lega. “Terus kamu sudah tanya mengapa dia tidak dekat lagi sama Yoga?” telisik Vika mengamati wajah Parta yang masih berekspresi sok lugu.
“Memangnya aku ini cewek yang harus kepo seperti kalian?” Parta membalas Vika dengan menjitak dahinya. Ia berdiri dari tempat duduknya dan berjalan menuju meja depan untuk melihat data yang tadi sempat dikerjakan Vika. “Lagian aku sudah tahu sebelumnya. Aku kan cerdas,” lanjutnya sambil mengerling nakal selaras dengan senyumnya yang tersungging tipis.
“Maksud kamu?” tatapan Vika menunjukkan kecurigaan. Ia menangkap ada yang tidak beres dari temannya itu.
“Apa sih. Tatapanmu itu menuduh sekali. Aku hanya bilang sama Nyla kalau kamu sudah lama suka sama Yoga. Itu saja.” Parta mengangkat bahunya dan membuka kedua telapak tangannya ke atas.
“Apaaaa?” Vika menunjukkan ekspresi kaget. Ia tidak menyangka akan mendengar jawaban tak terduga semacam itu. “Jadi? Mereka seperti sekarang ini karena itu? Astaga Partaaa,” lanjutnya.
Vika berjalan mondar-mandir sambil memegangi dahinya yang tidak sakit. Ia tidak habis pikir dengan teman satunya itu. Ide gila yang tanpa izin sudah mencatut namanya.
“Kamu sudah setuju kan kalau aku pisahkan mereka. Bagus juga kan Nyla jadi lebih mandiri, lebih fokus sama organisasi. Dan pasti ke depannya bisa kita olah menjadi lebih baik.” Parta kembali fokus pada laptop Vika, sesekali dia terlihat menggeser mouse, mengeklik, dan juga mengetik sesuatu.
Parta tidak merasa berdosa. Bagi dia hal semacam itu bukanlah hal besar, itu hanya hal kecil yang tak perlu dipermasalahkan. Sementara itu, Vika membayangkan dirinya berada di posisi Nyla. Jika gadis itu bukan gadis tangguh, tentu dia tak akan berani mengambil keputusan apa pun baik menyerah maupun bertahan. Perlu banyak waktu untuk kembali move on dari perasaan dan pikirannya.
“Tapi, tidak harus dengan membawa namaku. Aku kan jadi tidak enak hati. Mau ditaruh di mana mukaku ini, Parta!”
“Taruh depan lah. Memangnya mau kamu pindah ke mana?” goda Parta. “Untuk apa juga harus merasa tidak enak? Nyla sendiri yang memutuskan itu. Ingat ya aku tidak ada andil mengenai hubungan mereka,” bela Parta.
Vika menyapu wajah dengan salah satu tangannya sesaat sambil melirik Parta yang bersikap sok sibuk membenahi pekerjaan Vika.
“Sudah lah, bagus juga kan kamu bisa mengisi kekosongan hati Yoga,” lanjutnya mencoba mengurai kekesalan Vika.
“Aku tidak seposesif dan tidak sepicik itu. Mengerti?” Vika menekankan kata-katanya.
Vika berpikir bahwa Parta mempertimbangkan untuk menyukai Nyla saat ia menyetujui untuk memisahkan Nyla dan Yoga. Vika merasa frustrasi mengingat kegilaannya waktu itu–menyepakati rencana Parta. Wanita, selalu ada saat di mana emosi lebih menguasai dari pada logika yang masuk akal. Vika sudah berlatih untuk membuang segala emosinya menjadi sikap netral yang bisa mencerna semua permasalahan dengan lebih realistis. Namun kenyataan sekarang menunjukkan celah bahwa ia tetap bisa kalah.
Minggu yang teramat padat bagi penghuni basecamp badan eksekutif. Unit kegiatan itu mempersiapkan dengan matang segala keperluan untuk kegiatan olahraga antarjurusan–semacam classmeeting. Nyla yang paling sibuk. Beberapa kali Vika memintanya untuk membuat surat, meminta tanda tangan ke sana dan ke mari. Setelah itu Alex yang akan menyerahkannya ke setiap jurusan dan pihak terkait sebagai undangan maupun pemberitahuan.
Lelah, tentu saja. Menjalin relasi dengan para petinggi kampus memang tidak bisa dilalui dengan mudah. Untuk sekadar mendapat tanda tangan dekan saja, Nyla harus dua kali mengorbankan jam kuliahnya. Omelan tiada henti pun sempat membuat penghuni basecamp kepanasan. Nyla memang perfect ia ambisius, ingin berhasil di lingkungan organisasi tapi tidak mau rugi juga di bidang akademis.
“Kali lain kalau minta dibuatkan surat itu jangan dadakan. Aku jadi ketinggalan mata kuliah,” gerutu Nyla.
“Bukan aku dan Vika, tapi ituuu…” Alex menunjuk Parta yang sibuk dengan telepon genggamnya dan mulai berjalan ke arah mereka.
“Aku sudah dapat tempat yang pas buat pertandingan nanti. Di luar kampus biar ada suasana berbeda. Jadi, Alex hubungi bendahara untuk siapkan uang muka buat sewa, dan kamu…” Parta beralih menunjuk Nyla. “Siapkan surat yang diperlukan,” katanya ringan.
Hampir sepanjang hari itu mereka disibukkan. Vika hanya mengizinkan mereka pulang jika semua target sudah dikerjakan, bahkan jika harus sampai malam maka Vika akan menunggu mereka.
Satu per satu datang memberi laporan. Silih berganti menyampaikan informasi kemajuan tugas mereka. Bagian acara yang paling merasa sibuk karena daftar peserta diterima paling lambat dan hari H sudah semakin dekat. Saat seperti itu, Nyla kembali menjadi tangan kedua. Daftar yang sudah ada harus dia rapikan, jika belum lengkap dia juga yang harus follow up. Belum lagi run down acara semua harus diketik dengan rapi dikonsultasikan dengan seksi perlengkapan dan baru dipublikasikan.
Beruntung semua itu terselenggara dengan kucuran dana dari pihak kampus, jika tidak Nyla akan lebih repot lagi karena harus membantu bendahara menyiapkan keperluan mencari sponsor dan donatur.
Di luar hari sudah gelap dan akhirnya mereka selesai dengan tugas masing-masing. Esok adalah hari libur dan Vika mengajak mereka untuk makan malam bersama sebagai ganti lelah atas kerja mereka hari itu. Kesempatan yang sangat jarang.
Vika menentukan pilihan tidak jauh dari kampus. Sebuah kafe dengan live musik dan udara terbuka. Menu makan sederhana ala mahasiswa sudah mereka pesan dan tersaji siap untuk disantap. Sekeliling meja itu ada Vika, Parta, Nyla, dan Alex. Teman lainnya lebih memilih untuk pulang dan makan malam bersama keluarga. Satu lagi yang tak kalah ketinggalan, dia adalah Renata. Meskipun bukan anggota organisasi, tapi Renata sering bergabung, alasannya untuk menemani Alex, kekasihnya. Tak ada yang melarang atau keberatan karena sejauh ini keberadaannya tidak mengganggu dan menyulitkan.
Keadaan kafe belum terlalu ramai. Suara musik mengalun menyebar di kafe itu. Masih belum terlalu larut malam, musik masih lembut menyapa berpadu dengan gemercik air pancuran kecil yang diletakkan di depan panggung pentas. Seadanya, band yang tampil malam itu juga masih tergolong band baru yang belum begitu dikenal sehingga pengunjung belum bisa request lagu.
Bunyi cutlery yang tadinya beradu kini sudah berhenti. Mereka sudah selesai mengisi ulang energi. Bincang-bincang mereka lanjutkan seputar band anak SMP yang saat itu pentas. Vokalisnya memesona dengan style syal yang melingkari leher berpadu kaos longgar dan chinos panjang hingga mata kaki. Sepatu yang dikenakan terlihat trendy namun sayang bertali warna-warni khas anak-anak.
“Mereka masih SMP tapi sudah terlihat dewasa. Bukankah mereka seharusnya belajar?” Nyla masih tidak paham mengapa anak SMP diizinkan tampil di kafe. Di malam hari saat mereka perlu istirahat atau mungkin belajar.
“Ny, besok itu hari libur. Mereka diberi kesempatan untuk menyalurkan hobi mereka. Lagian dibatasi juga kok. Paling hanya satu jam dan itu pun di jam seperti sekarang ini. Mereka juga dapat uang jajan. Lumayan kan,” jelas Renata yang diangguki dan dijawab dengan ‘oooh’ oleh Nyla.
“Sepertinya kamu perlu tahu lebih banyak tentang kehidupan malam di kota,” tambah Alex berusaha sepelan mungkin agar Vika dan Nyla tidak mendengar.
Setelah menghabiskan isi gelas dan merasa perut sudah nyaman mereka akhirnya pulang. Alex dan Renata tentu saja melanjutkan malam berdua. Vika yang awalnya mau mengantar Nyla harus mengatupkan kedua tangannya meminta maaf karena sudah ditunggu keluarga di rumah. Kini tinggal Parta dan Nyla yang masih duduk di tempatnya.
“Mau diantar pulang atau mau tunggu band lain tampil?”
“Aku sudah coba pesan ojek online,” jawab Nyla sambil menunduk memperhatikan telepon genggamnya.
“Batalkan saja. Ikut aku yuk? Aku ada janji sama teman, tapi lagi malas. Kalau kamu ikut nanti aku bisa alasan buat pulang cepat.”
“Itu artinya kamu minta bantuan aku.” Nyla kembali fokus pada ojek pesanannya.
“Ya sudah kalau begitu. Aku pergi dulu saja.” Parta mengambil kunci mobilnya yang di atas meja dan melangkahkan kakinya.
“Tunggu. Aku ikut, Parta!” Teriak Nyla sambil terburu-buru mengejar Parta.
Pucuk dicita ulam pun tiba. Tak disangka Nyla membuntuti Parta hingga mendekati parkiran mobil. Nyla yang terengah mengejar akhirnya sampai dan membungkuk mengatur napas. Di depannya Parta terus memasang senyum mengejek dengan tangan bersedekap di depan dada. Gaya khasnya yang menyombongkan diri merasa dibutuhkan dan diandalkan. “Mereka menolak pesananku,” kata Nyla masih dengan napas yang belum teratur. “Aku tahu itu.” Jawaban tenang Parta membuat Nyla melongo. Orang itu selalu merasa tahu lebih awal. Sangat menyebalkan apalagi dengan senyum seringainya. Ia menelengkan kepalanya, satu gesture untuk menyuruh Nyla masuk ke dalam mobil. “Aku sudah katakan kalau aku ada janji dengan temanku.” Parta kembali mengingatkan sembari memasang seatbelt sebelum dia menancap gas keluar dari area parkir kafe itu. “Ya, aku tahu. Aku hanya akan diam dan menunggu untuk diantar pulang.” Nyla memandang Parta meyakinkan diri dengan keputusannya.
Berbagai kegiatan di luar akademis ditiadakan selama ujian semester. Semua mahasiswa bertekun dalam belajar untuk mendapatkan nilai terbaik. Selama seminggu penuh Nyla hanya belajar dan belajar. Temannya adalah buku, baik di kos maupun di kampus. Baik di kelas, di taman, di kantin, maupun di perpustakaan. Kunci ruang kegiatan semua dipegang oleh Vika, termasuk kunci cadangan yang sering dibawa Nyla sehingga Nyla tidak bisa memanfaatkan ruang itu untuk belajar. Nyla merasa beruntung dengan kecerdasan yang dimilikinya. Sedikit belajar saja sudah membuat Nyla bisa mengingat semua materi juga cara mengaplikasikannya. Setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Karena itu ia merasa tidak baik jika harus iri dengan kelebihan orang lain. Nyla bisa dikatakan berhasil dalam dunia akademis, namun tak ada yang tahu bagaimana kehidupan melingkupi dan membentuk kepribadiannya. Beruntung, ketegaran yang diwariskan ibunya selalu ia pegang untuk bertahan hidup sesulit apa
Para panitia kegiatan sudah bersiap sejak pagi hari. Mulai dari basecamp, seksi perlengkapan sudah membawa beberapa keperluan untuk dibawa ke gedung olahraga yang telah mereka sewa. Beberapa volunteer dari jurusan diizinkan untuk membantu di belakang. Setelah semua siap, sekitar pukul tujuh secara resmi acara dibuka oleh dekan yang telah diundang. Selanjutnya, pertandingan pun dimulai. Bulu tangkis dipilih sebagai olahraga pembuka untuk menghangatkan suasana. Penonton masih silih berganti sesuai dengan pemain yang bertanding. Jika pemain yang didukung sudah tidak bertanding mereka akan pergi digantikan oleh pendukung dari pemain lainnya. Kesibukan panitia masih seputar seksi perlengkapan dan pertandingan. Keramaian belum kentara hingga pemain yang melaju ke babak semifinal ditentukan. Berikutnya pertandingan yang ditunggu. Futsal. Lebih ramai dari pertandingan sebelumnya. Nyla turut bergabung di tribune untuk meramaikan acara.
“Vik. Kita tukar jadwal ya, hari ini kamu yang atur. Aku tidak bisa bantu. Ada urusan mendesak,” kata Parta. Ia memutuskan mengikuti Vika ke dalam ruang panitia di dekat lapangan. Ada hal yang mengusik pikirannya dan harus segera ia cari tahu. “Sama Nyla?” Vika bertanya karena pertemuan mereka sebelumnya. “Anggap saja begitu. Masih ada Alex sama seksi acara. Aku pergi dulu.” Tatapan Parta bertemu dengan Yoga yang berada di dekat Vika. Sama halnya dengan Parta, Yoga menatap dengan sengit menunjukkan keengganannya karena melihat secara langsung gadis yang pernah didekatinya ternyata berhubungan dengan Parta dan itu tidak hanya anggapan atau isapan jempol belaka. “Okey. Hati-hati,” pesan Vika. Parta pergi ke luar. Yang disampaikan Nyla memang benar. Dia sendiri melihat Bela dengan mata kepalanya sendiri. Tidak ingin dia kehilangan jejak, Parta berlari ke luar mencari ke sekeliling gedung olahraga tapi tidak juga menemukan. Ia kembali ke dalam, kali ini d
“Semua sudah datang? Lengkap?” tanya Vika retoris. Pandangannya beredar. Bibirnya menghitung dengan bantuan telunjuk tangan. Ia mencocokkan jumlah panitia dan mencatatnya pada kertas di papan jalan yang dipegangnya. “Ok. Sebelum kita mulai. Kita ambil sikap doa. Berdoa dimulai.” Vika memimpin. Mereka berdoa sesuai dengan keyakinan masing-masing. Semua menciptakan suasana khusyuk dengan menundukkan kepala. “Berdoa selesai.” Vika menutup sesi berdoa. “Setelah dua hari kita berhasil melaksanakan pertandingan dengan lancar, hari ini adalah hari penentuan. Hari final bagi para pemain dan tim yang lolos di babak sebelumnya. Tentu hari ini akan sangat ramai. Antusias mereka akan lebih menyala, baik dari peserta maupun tim pendukung. Aku sangat berharap semua bekerja dengan sungguh-sungguh. Mohon bantuan dari kalian yang sudah off untuk membantu seksi keamanan. Terjun ke berbagai sudut lapangan, tribune, juga penjagaan bagian luar gedung.” “Sudah pah
“Aku tidak apa-apa, Kak. Hanya luka ringan saja. Tidak perlu dikhawatirkan.” Nyla mencoba melepaskan diri dari pegangan Parta meski jalannya masih sedikit linglung akibat obat pereda pusing yang diminum di rumah sakit. Kondisinya tidak begitu parah. Hanya luka luar di bagian kepalanya dan itu sudah dibalut dengan perban. Pertolongan pertama yang dilakukan Parta untuk Nyla mendapat pujian dari dokter karena dilakukan dengan rapi dan tepat. “Terlalu percaya diri. Aku tidak khawatir sama kamu. Aku cuma tidak mau dianggap menelantarkan kamu. Kan aku yang antar kamu. Bisa digorok Vika kalau dia dengar yang tidak-tidak.” ”Takut banget sih sama kak Vika.” “Dia kan ketua kita.” Setelah menebus obat di apotek, mereka kini dalam perjalanan pulang. Parta akan mengantar Nyla ke kos baru kemudian dirinya kembali ke gedung olahraga. Renata memutuskan untuk mendahului pergi kembali ke gedung setelah memastikan keadaan Nyla baik-baik saja. “Jadi aku h
“Sudah lama menunggu?” Seorang wanita berpenampilan sedikit terbuka mendekati pria yang tengah duduk sendirian. “Lumayan,” jawab orang itu. Dua orang itu duduk di bangku tinggi depan meja bar. Alunan musik masih terdengar ramah di telinga. Pengunjung pun belum terlalu ramai. Mereka datang lebih awal dari biasanya. Si pria memegang gelas yang berisi cairan bening agak kecokelatan. Es di dalamnya memancarkan kilau saat bertabrakan dengan cahaya lampu yang silih berganti warna. Ditenggaknya minuman itu hingga es di dalamnya berbunyi, beradu dengan gelas bening yang polos. “Aku pikir kamu sibuk dengan pacarmu itu.” Si wanita masih mengamati wajah pria itu dari samping. Ia sedang menunggu minuman yang sama yang masih diracik oleh orang di balik meja. “Orang itu suruhan kamu, kan?” Parta langsung pada inti persoalan. “Kamu selalu terus terang. Yap. Benar sekali.” Sorot mata tajam Parta
“Lo sudah dengar belum?” “Itu tuh itu.” “Shutt diem, diem.” Nyla merasa risih dengan pandangan dan beberapa bisikan orang-orang di sepanjang lorong kelas. Dari kejauhan ia melihat mereka sedang asyik berbincang, tapi begitu Nyla sudah dekat mereka langsung terdiam. Nyla tidak mendengar dengan jelas, tapi firasatnya mengatakan adanya keanehan yang sedang dipergunjingkan. Sesuatu yang berkaitan dengan dirinya. Tak mau ambil pusing, Nyla langsung masuk kelas. Tak jauh berbeda. Meskipun di kelas itu berisi teman-temannya. Pandangan mereka pun sama dengan orang-orang yang ia temui sebelumnya. Mereka diam begitu Nyla memasuki kelas dan duduk di bangkunya. Para mahasiswa putri, terutama, terkesan menjaga jarak dari dirinya. Sementara itu, para mahasiswa putra menatapnya dengan rasa tak percaya. “Ada apa sih?” Nyla memberanikan diri bertanya pada teman yang duduk di bangku sebelah kanannya. Orang itu hanya mengangkat bahu. Ti