Share

Pot. 2

Seharian duduk di dalam ruang kelas membuat Nyla merasakan kantuk. Beberapa kali ia menguap dan berusaha melebarkan pandangan matanya. Permen kopi yang ia beli di kantin tidak sempat ia nikmati. Kakak-kakak panitia tidak akan mentoleransi jika ada mahasiswa baru yang berani makan di ruang kelas saat mereka sedang presentasi. Ia melihat ke kanan dan kiri, semua terlihat sama dengan dirinya, menahan kantuk dan memaksa diri mengikuti penjelasan para panitia.

Materi hari itu adalah pengenalan kegiatan mahasiswa. Berbagai unit kegiatan dipresentasikan dengan sangat apik. Hanya satu yang menjadi perhatian Nyla, Badan Eksekutif. Ia sangat ingin bergabung di dalamnya. Pengalamannya menjadi ketua OSIS baginya merupakan bekal yang cukup.

“Kak, kapan kami boleh daftar kegiatan?” tanya Nyla saat sesi tanya-jawab dibuka. Ia merasa kantuknya sudah hilang seiring selesainya presentasi yang ditampilkan panitia.

“Pertanyaan yang bagus. Jadi, setelah kegiatan ini nanti akan ada stand unit kegiatan di gazebo taman. Silakan kalian boleh datang dan bertanya lebih jauh. Jika berminat bisa langsung minta formulir untuk pendaftaran,” jelas salah satu panitia.

“Oh, ya. Kalian boleh ikut satu atau dua kegiatan. Tidak boleh lebih karena itu akan mengganggu kegiatan belajar kalian. Jadi, pastikan pilihan kalian memang kegiatan yang benar-benar kalian inginkan sehingga kalian senang dan mendapat manfaatnya.”

“Syaratnya apa saja sih, Kak?” Seorang mahasiswa putra melanjutkan pertanyaan Nyla.

“Secara umum syaratnya adalah mahasiswa di sini. Kedua, mau berkomitmen untuk menjadi anggota yang benar-benar anggota, tidak hanya menumpang status keanggotaan saja. Ketiga, punya visi-misi yang sejalan, kalau visi dan misi kalian sejalan dengan senior dan dengan identitas unit pilihan kalian tentu nantinya akan dengan mudah diterima. Terakhir, bisa menjawab pertanyaan wawancara dengan baik dan meyakinkan.”

Gazebo taman yang teduh semakin terlihat tenang dengan sore yang menjelang. Semburat kuning yang lembut di ujung barat masih mampu  menerobos pepohonan dengan samar. Beberapa stand kegiatan terlihat ramai dengan mahasiswa baru terutama stand hobby, olahraga dan kesenian. Satu stand yang terlihat ramai perlahan mulai sepi. Stand yang menjadi incaran Nyla. Stand Badan Eksekutif.

Nyla menuju stand yang terletak di bagian tengah taman itu dengan mantap. Nyla disambut baik oleh Vika yang saat itu –seperti terakhir mereka bertemu—sedang sibuk dengan laptopnya. Gadis itu tersenyum, menatap Nyla dan menghentikan jemarinya yang sibuk menari-nari di atas papan tombol.

Nyla langsung pada tujuannya, mendaftarkan diri menjadi anggota Badan Eksekutif. Ia meminta lembar formulir untuk diisi. Vika mengulurkan lembar formulir kemudian menariknya kembali sebelum Nyla sempat memegangnya.

“Kenapa, Kak?” Nyla bertanya kebingungan. Ia melihat pada penampilannya mengikuti arah pandang Vika. Merasa tidak ada yang salah dengan penampilannya, Nyla kembali tengadah dan melihat Vika sudah menunjuk sebuah bangku kosong di dekat mereka.

“Kita isi formulir di sana.” Vika berdiri dan berjalan mendahului.

Setelah duduk bersama, Nyla siap mengisi formulir yang sudah diberikan oleh Vika. Ia mengeluarkan bolpoin dari tasnya dan menuliskan identitas diri. Vika duduk di depannya memperhatikan.

“Kak, ini visi dan misi harus diisi juga?” tanya Nyla sambil menunjuk kolom yang dimaksud menggunakan bolpoin.

“Iya, semua harus diisi,” jawab Vika singkat.

“Ok.” Nyla kembali menunduk mengisi formulir. Tulisannya rapi, tata kalimatnya bagus dan isinya pun berbobot. Diam-diam Vika kembali memujanya.

“Nyla, ya? Kemarin yang jadi perwakilan saat pelantikan itu kan?” Nyla menghentikan jemarinya dan mengangguk sementara Vika masih memperhatikan formulir yang selesai diisi dan masih dipegang Nyla.

“Kamu tahu itu artinya apa?” Kini Vika menyelidik Nyla dan tidak mendapati apa pun saat Nyla menggelengkan kepala. Sesaat Vika ragu, tapi sudah menjadi tugasnya untuk memberitahu. “Artinya kamu dapat hak istimewa, semacam wildcard, buat pilih unit kegiatan tanpa seleksi.”

“Benar itu, Kak?” Mata Nyla memancarkan aura kebahagiaan. Namun, semua itu seketika hilang. Seseorang berdeham dan membantahnya. Ia berdiri di antara Nyla dan Vika dengan tangan bersedekap. Entah muncul dari arah mana dia sebelumnya.

“Sudah tidak ada yang namanya wildcard. Semua punya kesempatan yang sama. Harus melewati proses pendaftaran, wawancara tulis dan lisan, seleksi, dan baru ditentukan diterima atau tidak. Lagian kalau kamu memang berkualitas harusnya kamu malu kalau sampai dapat hak istimewa.”

“Saya juga tidak berharap akan mendapat hak istimewa itu. Saya baru tahu tentang itu di meja ini. Beberapa menit yang lalu.”

“Kamu tidak berharap? Munafik, muka kamu itu kelihatan cengar-cengir senang," tuduh pemuda itu.

“Apa salahnya kalau saya senang mendengar kabar membahagiakan? Itu bentuk penghargaan dan saya pun juga berusaha menghargai.” Nyla berdiri dan menyerahkan formulir kepada Vika yang sedari tadi hanya memperhatikan keduanya berdebat.

“Saya sudah isi semuanya, Kak. Terima kasih," kata Nyla.

“Ok, nanti kami hubungi lewat telepon.” Vika menerima formulir itu dengan tersenyum.

“Baik, Kak. Permisi.” Nyla pergi dengan wajah sebal. Dalam hati ia mengutuk untuk tidak bertemu lagi dengan orang bernama Parta itu.

Parta mengambil tempat duduk yang tadinya dipakai oleh Nyla dan mengambil formulir yang dipegang oleh Vika. Ia mengangguk kagum setelah membaca isinya. Dengan prestasi dan pengalaman organisasi yang pernah diikuti, Nyla memang kandidat yang kuat untuk bisa bergabung menjadi anggota baru Badan Eksekutif. Generasi muda yang dibutuhkan. Namun semua yang sempat terlintas di kepala Parta tak lama bersinggah. Ia menutup mata dan mencibir dengan tawa khasnya setelah mengetahui asal-usul Nyla.

“Vik, dia itu dari kampung. Memang nanti bisa mengikuti kinerja kita? Teori sih bagus, praktiknya bisa apa tidak?” Parta memicingkan matanya.

“Bisa tidak sih kamu mengurangi tingkat kesombongan kamu itu. Ini bisa jadi bumerang buat kamu. Dari kampung atau kota itu sama saja. Tergantung bagaimana kita mengolah mereka. Kamu sendiri kan yang bilang kalau semua punya kesempatan sama.” Vika mulai jengah dengan tingkah Parta yang selalu meremehkan orang baru. Ia beranjak dan merebut formulir Nyla untuk kemudian di-input di laptopnya.

***

“Menyebalkan sekali sih jadi orang. Kalau bukan karena lebih senior sudah aku abaikan dia.” Nyla menggerutu seorang diri di meja kantin. Es teh yang dia pesan sudah tandas hingga sedotan yang ia hisap hanya mengalirkan udara dan menimbulkan suara gemuruh.

Saat itu kantin sudah mulai sepi dari kejauhan Yoga mendekat dan duduk di samping Nyla. Kedatangannya tidak mengagetkan juga tidak membuat Nyla menjadi terlihat senang. Ia masih menunjukkan keengganannya.

“Ada apa kok mukanya ditekuk seperti itu?” Yoga menelisik wajah Nyla. Ia mencoba tersenyum dan menghibur, tapi Nyla tetap tidak menunjukkan perubahan.

“Itu, si Parta. Ketemu lagi tadi. Menyebalkan.”

“Kak Parta, Nyla.” Yoga mengoreksi.

“Dia tidak sebaik Kak Yoga. Malas aku panggil kakak ke dia. Huft. Bisa tidak sih kalau aku tidak ketemu dia.” Nyla melirik Yoga berharap Yoga menyampaikan pembelaan untuk mendukung dan menghiburnya.

“Kalau kamu ikut Badan Eksekutif sudah pasti kamu akan selalu ketemu sama dia. Dia aktif banget di unit itu.”

“Terus bagaimana dong?” Nyla mengerucutkan bibirnya membuat Yoga sedikit tertawa. Yoga melihat Nyla seolah masih anak kecil yang suka merajuk padahal mereka hanya selisih dua tahun.

“Ya mau tidak mau kamu harus menjalaninya. Ingat pesanku kemarin tidak? Kalau kita sudah berani memulai maka Tuhan akan memberi kita kekuatan. Kalau kita sudah bisa menjalani tahap awal maka Tuhan akan selalu menyertai hingga tahap akhir. Siapa yang setia di jalan itu, dia yang kuat dan yang akan berhasil. Kamu baru bertemu Parta, mungkin ke depan ada yang lebih menyebalkan dari pada dia. Kamu harus siap untuk itu.” Nyla mengangguk pelan dan memandang wajah Yoga kemudian tersenyum.

Mereka sudah terlihat akrab dan bisa saling bertukar pengalaman. Nyla merasa nyaman dengan perlakuan Yoga padanya. Tipe seorang kakak yang menjaga dan menasihati adiknya. Bagi Yoga, Nyla adalah sosok gadis yang polos dan cerdas.

Yoga melihat sosok dirinya sendiri ketika melihat Nyla. Jika mengingat pertama menjadi mahasiswa, Yoga juga tidak bisa bergaul dengan banyak orang karena merasa berbeda. Tapi pada bagian ini, Nyla tidak bisa disamakan. Ia memiliki keberanian yang bisa membuat dirinya semakin cemerlang. Yoga ingin membantu dalam hal itu untuk mengobati kekecewaannya pada diri sendiri.

“Terima kasih Kak Yoga. Aku senang bisa berkenalan dengan Kak Yoga.” Nyla tulus menyampaikan terima kasih. Wajahnya kini sudah sepenuhnya kembali pada Nyla yang ceria dan penuh semangat. Ia tidak pernah menyangka akan memiliki teman senior yang baik dan begitu membantu.

“Sama-sama. Aku juga senang bisa berkenalan dengan Nyla. Setiap hal baru itu memang tidak mudah, tapi kamu tidak boleh menyerah.”

Mereka menyantap bakso yang sudah diantarkan oleh pedagang. Sesekali Yoga melihat wajah Nyla begitu pula sebaliknya hingga beberapa kali mereka saling bertatapan dan tertawa bersama.

Mendapat teman dengan kepribadian yang sama memang menyenangkan. Kita merasa memiliki teman berjuang yang bisa saling mendukung dan menguatkan. Kadang kita terlalu sibuk dengan hal yang tidak kita inginkan hingga membuat kita tidak menyadari bahwa Tuhan selalu mengirimkan teman-teman itu kepada kita. Jika Tuhan mendekatkan kita pada orang yang menurut kita menyebalkan –seperti halnya Parta bagi Nyla—kita selalu menggerutu padahal itu juga merupakan cara Tuhan untuk membuat kita semakin kuat dan tumbuh berkembang.

Setelah selesai makan Yoga dan Nyla berpisah. Masing-masing berpamitan untuk pulang. Waktu perjumpaan mereka tidak pernah direncanakan sehingga kata perpisahan pun terasa ringan dilayangkan. Belum pernah mereka bertukar nomor telepon tapi mereka selalu percaya bahwa ada saat untuk mereka bertemu dan berguna untuk satu sama lain.

Nyla melambaikan tangan dan mendahului meninggalkan meja kantin. Sementara Yoga menunggu punggung Nyla menghilang di balik pepohonan kemudian mengambil kunci motor di sakunya. Ia berjalan ke arah parkiran dan mendapati seseorang sudah menunggunya. Orang itu duduk di atas motornya dan menatap dengan sorot mata yang tajam.

nana28

Selamat membaca dan mohon masukannya. :)

| Sukai
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Singgajah
Hahaa gemes
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status