“Semua berbaris! Tiga berbanjar di belakang papan nama masing-masing jurusan! Barisan tersusun rapi! Semakin ke belakang semakin tinggi! Perhatikan jarak kalian! Satu rentang tangan!”
Parta berbicara lantang di depan pengeras suara yang selalu ia pegang dengan tangan kanannya. Geraknya mondar-mandir di depan semua barisan. Ia mengamati pergerakan ratusan mahasiswa baru yang hari itu akan dilantik secara resmi. Dengan tinggi tidak kurang dari seratus delapan puluh sentimeter, ia bisa menjangkau pandangan hingga baris paling belakang. Tatapan matanya kadang menyipit, menghalau cahaya yang pagi itu bersinar cerah. Cuaca yang semakin memanas memunculkan titik-titik keringat di dahi pemuda berusia dua puluh tahun itu. Sesekali ia mengusapnya dengan punggung tangan.
“Hei, kamu! Mundur ke belakang! Kalau tinggi baris di belakang!” Parta menunjuk seorang mahasiswa baru berambut lurus sebahu dengan poni rata di atas alis mata. Gadis itu hanya diam, tatapannya terpaku pada Parta yang sudah membentaknya, membuat Parta terpaksa melangkahkan kaki hendak menghampiri.
“Iya, Kak.” Gadis itu menunduk, memutar tubuhnya dan segera berjalan ke belakang tepat setelah Parta hampir satu langkah lagi padanya.
Upacara pelantikan mahasiswa baru di kampus itu berjalan dengan baik. Setelah dijemur hampir satu setengah jam akhirnya mahasiswa baru dan panitia diberi waktu istirahat sebelum melanjutkan kegiatan orientasi. Mereka mengambil tas masing-masing dari tempat pengumpulan tas kemudian berbaur bersama.
Kesempatan baik yang digunakan para mahasiswa untuk makan dan mencari teman baru. Mereka saling berkenalan dan bertukar informasi, nomor handphone maupun akun sosial media. Wajah-wajah bahagia terpancar dari tawa dan senyum yang lebar.
Nyla, tidak seperti kebanyakan dari mahasiswa baru yang lain. Gadis yang ambisius itu lebih memilih berkeliling untuk melihat lingkungan kampus. Ia melepas jaket almamater yang terasa semakin membuatnya berkeringat. Disampirkannya jaket itu di salah satu tali tas ranselnya.
Mulai dari taman dekat lapangan upacara ia berjalan pelan menikmati udara sejuk yang dihasilkan beberapa pohon yang tumbuh rindang. Di taman itu ada beberapa gazebo yang digunakan oleh para mahasiswa untuk berkumpul mengerjakan tugas.
Selesai menjangkau taman, Nyla melihat kantin yang penuh berjejal. Semua didominasi oleh mahasiswa baru. Ia mengurungkan niatnya untuk mencicipi makanan ala mahasiswa yang dijual di kantin itu. Ada martabak, bakso, soto, rawon, gado-gado, sate, nasi ayam, dan beberapa minuman terpampang dalam gambar yang menarik di sebuah spanduk lebar di atas kantin. Lengkap dengan harga masing-masing.
Nyla melanjutkan langkah kaki, saatnya memasuki gedung. Setiap lorong masih terlihat sepi, kelas-kelas terkunci dengan rapi. Hanya beberapa orang saja yang bisa ditemui Nyla yang kemudian diketahui sedang mengambil semester pendek karena minggu itu masih merupakan hari libur semester.
Di ujung lantai dua Nyla melihat ada pintu kelas yang terbuka dengan beberapa suara orang berbincang dari dalamnya. Setelah menengok ke kanan dan kiri, rasa penasaran Nyla mendorongnya untuk maju mendekati ruang itu. Dari jendela kaca ia melihat beberapa mahasiswa sedang berdiskusi. Seorang gadis duduk mengoperasikan laptop dengan beberapa orang mengelilinginya. Seorang lelaki berdiri dengan spidol di tangan dan memperhatikan hasil coretannya di papan tulis. Mereka semua memakai jaket almamater, tapi mereka bukan mahasiswa baru. Mereka adalah panitia. Nyla melihat salah satu dari mereka berdiri dengan tangan bersedekap dan badan bersandar di dinding bagian depan, terlihat mengawasi teman lainnya dengan angkuh. Nyla mengenal wajah tampan itu.
Bruuk… Beberapa buku terjatuh tepat di samping Nyla berdiri. Pemiliknya sedang menunduk memungut dan merapikan buku itu. Sementara orang di dalam ruangan berhambur keluar memunculkan wajah mereka ke depan pintu, tak terkecuali orang angkuh yang seketika maju mendekati Nyla. Ekspresi curiga tergambar dengan jelas.
“Kamu menguping pembicaraan kami ya!” Suara itu, wajah itu. Orang yang tadi menegur Nyla di lapangan itu kini kembali membuat Nyla terpaku. Ada rasa takut di dalam hatinya. Ia terdiam mengolah alasan untuk diucapkan.
“Dia mahasiswa baru, Par. Aku ajak dia berkeliling gedung tadi. Sorry kalau sudah ganggu kalian.” Laki-laki yang menjatuhkan buku itu sudah selesai merapikan bukunya, berdiri dan mengajak Nyla pergi.
Parta memblokir jalan mereka. Membuat laki-laki itu melepas napas jengah sementara Nyla berdiri di belakangnya, masih menunduk dengan tangan yang tak bisa tenang.
“Ada banyak jalan. Mengapa harus lewat sini? Lagian ajak mahasiswa baru berkeliling itu tugas kami. Harusnya dia gunakan waktu istirahat untuk makan. Dan kamu! Harusnya bisa mengatur waktu istirahat dengan baik. Jangan sampai nanti pingsan kelaparan. Merepotkan!” Tatapan mata Parta menunjukkan permusuhan.
“Gak usah bentak-bentak juga kali, Par. Ini aku mau ajak dia makan. Masih cukup waktunya, kalau kamu kasih jalan.” Nyla dan laki-laki itu berjalan melewati Parta yang masih berdiri di tempatnya.
“Sudah cukup pertunjukannya, masuk Par. Pekerjaan harus selesai, tinggal sedikit lagi. Kita juga perlu istirahat.” Vika, gadis yang tadi mengoperasikan laptop memanggil Parta dan mengajak teman lainnya kembali bekerja.
“Pasangan yang serasi. Bagaimana bisa Yoga ketemu sama Nyla?” Alex membuka pembicaraan saat mereka tengah menyantap nasi kotak usai menyiapkan materi presentasi.
“Mungkin mereka sudah kenal sebelumnya. Makanya mereka dekat. Sampai sempat-sempatnya Yoga mengajak dia ke perpustakaan. Dia kan paling anti diganggu, apalagi kalau lagi di perpustakaan,” jawab Vika.
“Kalian ngomongin Yoga? Sama siapa?” Parta yang sudah selesai makan bertanya dengan rasa ingin tahunya.
“Nyla! Namanya Nyla” Alex menjawab dengan nasi yang masih penuh di mulutnya.
“Nyla? Cewek tadi namanya Nyla? Terus apa hebatnya si kutu buku sama mahasiswa baru?” Parta membuat pernyataan yang meremehkan. Ia enggan mendengar Yoga yang terkesan hebat di mata teman-temannya.
“Kamu itu kalau ngomong hati-hati! Dia kutu buku, tapi bukan orang cupu. Dia cakep dan cerdas.” Vika yang diketahui menyukai Yoga tidak terima dengan nada pernyataan yang disampaikan Parta.
Parta tidak memedulikan perkataan Vika. Ia memakai jaket almamater yang tadi sempat diletakkan di meja kosong saat makan. Ia keluar tanpa berpamitan pada teman lainnya.
Melewati kantin ia melihat Yoga dan Nyla sedang makan bersama. Meski terlihat sedang berbincang, keduanya tampak canggung di mata Parta.
“Kak Parta, kan? Boleh minta tanda tangan?” Beberapa mahasiswa mendekati Parta dengan mata berbinar. Mereka membawa buku agenda serta bolpoin yang kemudian disodorkan pada Parta. Dengan tatapan kosong Parta mengabaikan buku itu.
“Kan belum disuruh. Ngapain sudah minta-minta?” Parta bersedekap dan menatap mereka satu per satu yang justru membuat mereka tersenyum terpana.
“Kami ingin mendahului, Kak. Sekalian minta nomor handphone dan akun sos…,” salah satu dari mereka belum selesai menjawab, tapi Parta sudah berbalik melangkah keluar dari kerumunan yang semakin berdatangan. Gadis-gadis yang mulai terpancing oleh pesona Parta.
“Iiieeeh, sombong. Tapi cakeeep!”
“Namanya siapa tadi?”
“Dia cool banget, tauuu.”
Di belakangnya, samar-samar Parta mendengar mereka berbisik-bisik. Parta yakin bagaimana ekspresi para gadis itu. Ia juga tahu bagaimana pertunjukannya itu membuat para mahasiswa putra diam-diam mulai menahan iri. ‘Aku kakak tingkat kalian yang tidak pantas buat jadi saingan kalian’ batinnya sambil tersenyum tipis.
“Kamu habis dari kantin ya? Lihat Yoga sama Nyla makan bareng? Aku lihat loh dari sini.”
Vika menggoda Parta yang baru saja kembali ke lantai dua. Ia menumpukan kedua sikunya pada batas balkon di selasar dekat tangga yang sepi. Sambil tersenyum ia mengalihkan pandangannya pada Parta yang diam tak percaya.
“Yang lain mana? Buruan turun. Bentar lagi sudah mulai.” Parta mengabaikan kata-kata Vika, membuat Vika tertawa kecil.
“Masih beres-beres, bentar lagi juga keluar.” Mereka berdua memandang ke arah bawah. Kantin dan taman yang mulai ramai. “Nyla keren ya. Sudah bisa dekat saja sama Yoga,” lanjut Vika.
“Kalian peduli banget sih sama mahasiswa baru. Dari sekian banyak, kenapa juga harus Nyla? Cemburu karena dia bisa dekat sama Yoga?” Kini giliran Parta yang menatap Vika dengan senyum sinisnya.
“Bagaimana tidak cemburu. Aku sudah mati-matian tunjukkan kelebihanku ke dia. Tapi dia tidak menoleh sedikit pun. Sekarang, ada Nyla yang hebat itu. Mundur deh aku,” jelas Vika dengan putus asa.
“Memangnya apa hebatnya Nyla? Kelihatan polos, tapi pembangkang. Dia gadis bodoh yang tidak paham instruksi.” Kata-kata Parta membuat Vika tercengang.
“Maksudmu apa? Dia mahasiswa baru yang jadi perwakilan saat upacara pelantikan tadi. Sudah bisa dipastikan kalau dia itu punya prestasi, cerdas. Bentar lagi dia bakalan jadi saingan banyak orang,” jelas Vika dengan antusias. “Ah, orang egois kayak kamu tidak akan bisa mengerti perasaan cewek!” lanjut Vika mengingat kedekatan Yoga dan Nyla.
“Tunggu! Dia? Jadi perwakilan mahasiswa baru?” Wajah Parta menatap Vika dengan penuh tanya. Tangannya mengarah pada kantin temapt Nyla dan Yoga sedang makan bersama. Ia tidak yakin dengan apa yang didengar. Baginya Nyla tetap gadis menyebalkan. Jika dibandingkan dengan gadis-gadis lain, Nyla adalah gadis pertama yang berani menatapnya dengan berbeda
“Iya! Ke mana tadi? Pasti kamu tadi cari tempat adem saat upacara, ya kan?” tebak Vika dengan tepat sambil mengerucutkan bibirnya.
Memang benar, Parta melewatkan waktu upacara dengan duduk di gazebo taman. Tugasnya untuk menertibkan calon mahasiswa baru di pagi hari dianggapnya selesai ketika upacara pelantikan sudah dimulai. Ia tidak melihat bahwa Nyla, gadis yang dibentak untuk mundur ke barisan belakang adalah salah satu perwakilan mahasiswa baru yang dilantik. Kesempatan yang sangat jarang dan sangat sulit ditebak pemiliknya. Tapi, gadis itu mendapatkannya.
Lebih parah lagi, gadis yang menurut Parta menyebalkan itu kini dekat dengan Yoga. Mahasiswa yang selalu bersaing nilai akademis dengan Parta.
Parta mengeratkan genggaman tangannya. Ia bertekat untuk mengalahkan mereka berdua.
Selamat membaca dan mohon masukannya. :)
Seharian duduk di dalam ruang kelas membuat Nyla merasakan kantuk. Beberapa kali ia menguap dan berusaha melebarkan pandangan matanya. Permen kopi yang ia beli di kantin tidak sempat ia nikmati. Kakak-kakak panitia tidak akan mentoleransi jika ada mahasiswa baru yang berani makan di ruang kelas saat mereka sedang presentasi. Ia melihat ke kanan dan kiri, semua terlihat sama dengan dirinya, menahan kantuk dan memaksa diri mengikuti penjelasan para panitia. Materi hari itu adalah pengenalan kegiatan mahasiswa. Berbagai unit kegiatan dipresentasikan dengan sangat apik. Hanya satu yang menjadi perhatian Nyla, Badan Eksekutif. Ia sangat ingin bergabung di dalamnya. Pengalamannya menjadi ketua OSIS baginya merupakan bekal yang cukup. “Kak, kapan kami boleh daftar kegiatan?” tanya Nyla saat sesi tanya-jawab dibuka. Ia merasa kantuknya sudah hilang seiring selesainya presentasi yang ditampilkan panitia. “Pertanyaan yang bagus. Jadi, setelah kegiatan ini nanti akan ad
Sudah hampir tiga puluh menit Parta mondar-mandir di parkiran motor. Ia menunggu Yoga yang tidak ada kabarnya meskipun sudah dihubungi beberapa kali. Karena tidak kunjung datang, Parta pun memainkan game di handphone-nya dengan naik di atas motor Yoga. Langkah kaki mulai terdengar jelas dan Parta menghentikan gerak tangannya lalu mengarahkan pandangannya pada sosok yang semakin mendekat. Yoga sudah tiba dengan langkah yang tenang seolah tidak peduli dengan tatapan Parta. Dia tahu bahwa Parta akan mencarinya karena sedari tadi handphone-nya bergetar dan memperlihatkan nama pemuda itu. Kali ini orang itu sudah berada di depannya dan tak bisa diabaikan lagi. “Ada apa?” Yoga pura-pura tidak mengetahui maksud kedatangan Parta yang saat itu tetap duduk bergeming di atas motor. “Ke mana saja? Dihubungi susah sekali. Punya hobby baru?” Pertanyaan dengan nada tinggi keluar dari mulut Parta. Dia tipe orang yang tidak mau diabaikan. “
Menjadi seorang mahasiswa tidak jauh berbeda dengan siswa SMA. Yang membedakan hanya lah pakaian yang mereka kenakan. Pakaian yang bebas dari seragam sehingga memungkinkan adanya persaingan jati diri melalui fashion. Selebihnya sama. Tetap duduk di bangku kelas dan mendengarkan dosen mengajar di depan kelas. Belajar mulai pagi hingga siang hari –meskipun ada beberapa yang memilih jadwal khusus dari siang hingga malam. Begitulah kesan pertama Nyla sebagai mahasiswa. Semester pertama di bangku kuliah lebih banyak digunakan oleh mahasiswa baru seperti Nyla untuk mempelajari beberapa teori. Sebagian besar aktivitas selalu berjibaku dengan buku. Perpustakaan menjadi pilihan Nyla untuk memperdalam teori mengenai teknik pertanian. Tidak sulit bagi Nyla karena dia berasal dari daerah pedesaan yang acap dengan dunia pertanian. Air, tanah, dan tanaman sudah seperti saudara bagi Nyla. “Mengapa Kak Yoga memilih menekuni teknik informatika?” “Pertama karena buat
Hari Minggu ini Nyla ditemani Yoga untuk membeli beberapa keperluan, khususnya keperluan untuk latihan kepemimpinan. Mereka lebih memilih pusat perbelanjaan alih-alih ke toko khusus. Selain karena harga yang bersaing –berkemungkinan mendapat yang lebih murah— barang yang ditawarkan pun jauh lebih beragam dan mereka juga tidak perlu berpindah-pindah ke tempat yang jauh. Yoga berkeliling di lorong tersendiri saat mereka berada di toko alat perkemahan. Ia berada di deretan topi yang dengan aneka jenis dan warnanya. Satu topi rimba berwarna hijau tua dengan jahitan berpola daun semanggi di bagian depannya menjadi pilihan Yoga. Diraihnya topi itu dan dibawanya ke kasir. Setelah melakukan pembayaran, segera ia memasukkan topi itu ke dalam kantong belanja yang sedari tadi ia bawa. Berharap Nyla tidak mengetahui. Ia akan memberikannya sebagai kejutan saat pulang mengantarnya. “Ada yang ingin dibeli?” Yoga mendekati Nyla yang sedang menunduk memperhatikan beberapa gantungan k
Di depan basecamp unit kegiatan, sebelum mereka berangkat menuju tempat perkemahan Renata membagi scraf pada para peserta latihan kepemimpinan. Vika dan Parta sudah berada di depan sementara Alex berada di mobil, siap mengangkut segala perlengkapan dengan beberapa teman yang lain. “Lima belas menit lagi kita akan berangkat. Pastikan keperluan pribadi kalian tidak ada yang terlewatkan. Semua akan naik kendaraan yang sudah disediakan panitia. Perjalanan kurang lebih tiga jam dan sampai di sana kita akan langsung melakukan kegiatan. Jadi, manfaatkan waktu perjalanan dengan baik,” jelas Vika memberi instruksi pada peserta yang ada di depannya. Di depan barisan Nyla duduk dengan kaki bersila. Semua duduk di lantai. Di belakang Nyla berbisik beberapa anggota lain yang membicarakan ketampanan Parta. Sosok yang memesona kaum hawa itu terlihat berbeda dengan setelan kaos berwarna hijau tua berpadu celana pantalon dengan warna senada juga sepatu gunung yang s
“Kamu tidak istirahat? Yakin mau masuk hari ini?” tanya Yoga di depan pintu pagar kos Nyla. Yoga sudah terbiasa menjemput Nyla saat mereka ada jam kuliah dengan waktu yang bersamaan. Seperti hari ini, sepulang dari latihan kepemimpinan Nyla memutuskan untuk mengikuti perkuliahan yang memang terjadwal di siang hari. “Aku tidak mau ketinggalan satu pertemuan pun,” kata Nyla sambil menerima helm yang disodorkan Yoga. “Gadis yang rajin,” Yoga mengelus puncak kepala Nyla dari atas motornya. Setelah menggunakan helm dengan baik, Nyla naik ke atas motor Ninja warna merah milik Yoga. Mereka meluncur ke kampus tercinta. “Aku langsung ke kelas ya, Kak,” kata Nyla seraya menyerahkan helmnya pada Yoga. “Tunggu,” Yoga memegang tangan Nyla. Ia menatap Nyla dengan lembut. “Semangat ya,” lanjutnya. “Pasti, Kak Yoga juga ya. Daaa.” Yoga membalas lambaian tangan Nyla dengan masih duduk di atas motornya. Yoga bisa melihat senyum dan kegir
Dalam beberapa hari Nyla mencoba menghindari Yoga. Bayangan Vika yang menyukai Yoga membuatnya enggan untuk lebih dekat dengan Yoga hingga semuanya menjadi jelas. Ia merasa bersalah sudah menjalin hubungan akrab dengan Yoga dan akan menjadi rasa yang terus tidak nyaman jika ia lanjutkan. Setelah mengetahui kenyataan Vika menyukai Yoga, seolah Nyla adalah orang yang tidak tahu diri, tidak tahu berterima kasih atas segala sikap baik yang diterima dari Vika. Trtrtrtrtrt….. Handphone Nyla di atas nakas bergetar. “Aku di depan kos kamu, Ny. Kamu di mana?” Tampilan pop up menunjukkan detail isi pesan yang dikirimkan oleh Yoga. Nyla melanjutkan menyisir rambutnya di depan kaca. Ia mengabaikan pesan itu. Trtrtrtrtrt….. Lagi. “Aku tunggu kamu ni, buruan ya, sudah mulai panas ini, nanti kita bisa telat.” “Maaf, Kak. Aku lupa memberitahu. Aku sudah di kampus, tadi berangkat buru-buru.” Nyla mengetik pesan balasan u
Dua minggu sejak penolakan, Nyla merasakan sepi yang semakin menjadi. Di luar urusan perkuliahan, ia tidak memiliki teman. Pun juga ia tidak menghabiskan waktu lama di kampus. Seusai jam kuliah ia menyempatkan diri ke perpustakaan untuk meminjam buku kemudian pulang dan menghabiskan waktu di kos. Jika ada pertemuan di unit organisasi baru dia akan pulang sedikit lebih terlambat, itu pun seminggu sekali. Perasaan seperti itu bukan hal baru bagi Nyla. Waktu masih sekolah ia sering kesepian. Dulu dengan kesepian ia bisa menjadi dirinya sendiri dan bisa menjadi pribadi yang lebih produktif. Tapi, berbeda dengan saat ini. Kebiasaannya bersama dengan Yoga membuat dia mulai bergantung pada kenyamanan semu itu. Ingin rasanya Nyla bertanya tentang keadaan Yoga pada Vika. Dia pasti tahu tentang Yoga karena mereka teman sekelas. Namun itu bukan pilihan yang baik. Seperti kertas yang dilempar ke bara yang menganga tentu akan keluar api yang menghanguskannya. Ia tidak ingin menye