Share

Bab 7

POV Astri.

Aku membuka mata, mencoba bangun namun kepala aku terasa pusing. 'kok aku ada di kamar? Perasaan tadi di kolam renang!' lalu aku melihat sekeliling namun tak ada orang. Syifa dan Alin juga entah kemana.

Aku menyenderkan tubuh ke kepala ranjang. Tak lama seperti ada yang membuka pintu. ternyata Alin dan Syifa yang masuk.

" Loh, kalian dari mana ?" tanyaku pelan.

" Kakak sudah bangun? Kak Astri haus? Mau minum ?" tanya Alin, terlihat panik. Memang nya apa yang terjadi sehingga Alin terlihat panik dan khawatir.

" Mama..?" tiba-tiba Syifa naik ke ranjang dan memelukku. Aku heran dengan dua bocah ini. Sebenarnya apa yang terjadi.

"Kok kak Astri malah bengong? Kaka mau minum?" tanya Alin lagi.

" Kakak kenapa dek? Kok bisa di kamar?

" Bukannya tadi kalian lagi berenang ya?"

Pertanyaan yang dari tadi ku tahan akhirnya lolos juga.

"Kakak ga kenapa-kenapa kok! Tadi kakak pingsan di kolam renang!" jawab Alin. Aku baru ingat, ketika di pinggir kolam aku merasa pusing dan tidak ingat apa-apa lagi.

"Terus siapa dek yang bawa Kaka? Ga mungkin kalian berdua kan?" tanya ku memastikan.

" Bukan ma, tadi yang gendong mama om yang kerja di hotel ini!" jawab Syifa cepat. Yang ku balas anggukan saja.

" Tadi ada Dokter yang periksa kakak!" Ucapan Alin ,aku menantap Alin. Aku meminta penjelasan secara jelas.

"Kata Dokter Kaka...."

"Kakak kenapa ?" bukan menjawab Alin malah diam sambil senyum-senyum. Membuat aku kesal sekaligus penasaran.

"Mama hamil" celetuk Syifa membuat aku diam.

" Mama sakit?" Syifa bertanya.

" Alin...?" Aku menatap Alin. Namun Alin malah senyum dan mengangguk. Ya Allah, kenapa engkau menitipkan anugrah kepada ku di saat seperti ini. Aku bingung harus bagaimana. Bukan aku menolak anugrah yang kau beri. Aku hanya belum tahu harus bagaimana. Sedangkan aku dan suamiku akan bercerai. Sungguh aku benar-benar bingung harus memberi tahu suamiku. Tapi aku tidak mau kembali ke pada mas Ardi. Aku sudah muak dengan apa yang di lakukan mas Ardi.

"Kakak ok?" Alin menepuk bahuku membuat aku tersadar dari lamunan ku.aku mengangguk kaku. Lalu aku menatap Syifa.

"Mama kenapa ?" tanya Syifa.

"Syifa mau punya adik?" tanyaku hati-hati. Aku takut Syifa keberatan mempunyai adik. Aku takut di saat adiknya lahir, namun Syifa tidak mau menerimanya.

"Kakak mau kok ma punya adik! Jadi kakak ada temennya!" jawab Syifa senang. Namun aku mengerutkan kening ku bingung.

"Kakak?" Tanyaku menatap Syifa.

"Iya kakak! Kan Syifa mau punya adik mah, jadi Syifa di panggil kakak dong!" jelas Syifa senang. Syukurlah kalau Syifa tidak keberatan. Aku jadi tau apa yang harus aku lakukan.

"Alin telpon ayah dek, coba tanya Ayah! Surat-surat pindahan nya gimana?" tanya ku pada Alin.

"Alin chat ya kak, kalau di telpon takutnya Ayah lagi sama 'nek lampir' hehehe," jawab Alin, sekarang Alin terlihat lebih ceria, dan banyak berinteraksi tidak selalu diam. Syukurlah ada kemajuan pada Alin. Mungkin merasa bebas sekarang tidak tertekan lagi.

"Ya sudah coba chat Ayah sekarang!" Alin langsung mengambil hp dan menanyakan pada Ayah."bilang ayah kakak mau sekalian bertemu ayah! Ada yang mau Kakak omongin dek!" Alin mengangguk dan melanjutkan mengirim pesan kepada ayahnya.

****

Saat ini Herdi sedang menunggu di sekolah Syifa. Herdi tentu saja merasa senang bisa membantu cucunya. Apalagi selama ini, hanya Syifa yang menganggap herdi sebagai kakek. Saat sedang menunggu tiba-tiba handphone Herdi berbunyi. Sebuah pesan masuk, Herdi langsung saja membuka nya.

[Ayah?] Ternyata pesan dari Alin Herdi lekas membalas pesan Alin.

[ Kenapa nak?]

[Kak Astri nanya soal surat pindahnya Alin sama Syifa yah.]

[Iya, ini ayah lagi di sekolah Syifa. Nunggu wali kelasnya Syifa!]

[Kata kak Astri Ayah bisa antar? Ada yang mau kak Astri omongin sama ayah!]

[Bisa nak, nanti kalau udah selesai Ayah kabarin ya!]

[Ok, makasih Ayah! Nanti Alin bilangin kak Astri.]

[Iya ]

Herdi lega akhirnya anaknya bisa menikmati hidup. Herdi merasa Allah baik padanya, di saat sudah lelah menghadapi beban nya. Allah mengirimkan seseorang, untuk membantunya mengangkat beban, yang bertahun hinggap di pundaknya. Sungguh beruntung Herdi mempunyai menantu sebaik Astri.

Herdi bertekad akan membantu Astri dalam segala hal. Meskipun dia bercerai dengan anaknya. Herdi akan tetap menganggap Astri sebagi anaknya. Dan akan melindungi Astri seperti dia melindungi Alin. Bedanya sekarang Herdi lebih berani karena Alin sudah bebas dari ancaman istrinya. Herdi tidak mau tunduk dan di perbudak oleh istrinya lagi. Cukup selama ini dia mengalah.

Setelah mendapat surat-surat yang di perlukan, Herdi memasukan ke dalam tasnya. Lantas Herdi lekas pulang,karena hari sudah sore herdi memutuskan besok untuk bertemu Astri dan menyerahkan surat-surat nya.

Sampainya di rumah herdi tidak melihat ada orang. Ternyata semua sedang pergi, Herdi segera masuk ke kamar untuk mandi dan beristirahat. Herdi tidak sabar bertemu dengan putri-putrinya dan juga cucunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status