“Tapi sebaiknya kita makan dulu saja, ya,” kata Devan lagi sambil menatap Luna sekilas.
“Sa–saya sudah makan, Pak,” jawab Luna terbata. Suaranya pelan sekali, nyaris tak terdengar. Demi apapun, jantungnya berdetak tidak karuan di dalam sana. Rasanya seperti ada batu besar yang menghantam dadanya. Andai mereka berdiri sangat dekat, mungkin Devan bisa mendengar jelas detak jantung Luna yang seakan menggedor-gedor keras dari dalam rongganya. “Tapi saya mau makan dulu. Tolong temani saya makan,” sahut Devan. Tanpa menunggu respon sang sekretaris baru, pria itu sudah melangkah santai menuju meja makan. Pelayan di rumahnya rupanya sudah menyiapkan makan malam untuknya. Luna akhirnya ikut menyusul, dia tampak ragu, seperti orang yang tidak yakin harus maju atau mundur. Ia berdiri canggung di samping Devan yang sudah lebih dulu duduk. “Kenapa kamu berdiri di situ? Duduklah. Kita makan malam dulu,” kata Devan sambil meraih sendok, tanpa menoleh sedikitpun ke arah Luna. “Sa–saya…” ucapan Luna kembali terpotong, seperti tercekat di tenggorokan. “Apa saya semenakutkan itu sampai kamu takut duduk berhadap-hadapan dengan saya, hmm?” Luna menarik napas panjang. Helaannya berat sekali, jelas kalau ia sedang gugup setengah mati. Namun, tak ingin mengecewakan atasannya, akhirnya ia menggerakkan kakinya dan duduk berhadapan dengan Devan. Kursi yang ia tarik bahkan sampai berdecit, menandakan kegugupannya. “Makanlah. Kamu harus punya tenaga malam ini. Jangan sampai kamu tidak berhasil memuaskan hasrat saya. Habiskan menu ini,” ujar Devan pelan. Meski suaranya terdengar tidak keras, jelas kalimat itu seperti sebuah perintah mutlak yang tidak bisa dibantah. “Tapi, Pak—” Luna mencoba membuka suara. “Saya tidak suka dibantah, Luna.” Sekali lagi Luna hanya bisa mengangguk kecil. Ia mengambil sendok, lalu mulai menaruh makanan ke atas piringnya. Tangannya gemetar begitu nyata, sampai-sampai nasi di sendok hampir tumpah. Devan yang duduk di depannya pasti bisa melihat jelas bagaimana ia tidak bisa menguasai tubuhnya sendiri. Sementara Devan, tanpa terlihat peduli, sudah mulai memasukkan makanan ke dalam mulutnya. Luna benar-benar kesal pada dirinya sendiri. Kenapa tangannya sampai gemetar seperti itu? Ia ingin terlihat biasa saja, tapi tubuhnya sama sekali tidak mau diajak kompromi. “Saya bilang habiskan. Kamu harus punya tenaga. Jangan membantah lagi,” ucap Devan sambil melirik ke arah piring Luna. Sekali lagi Luna hanya mengangguk. Ia mulai makan dengan hati-hati, berusaha tidak menunjukkan betapa kacau pikirannya. Rasanya seperti sedang makan di bawah pengawasan dosen yang ketat. Tapi daripada membantah, lebih baik ia menurut saja. Ia tidak ingin membuat Devan marah. Suasana meja makan begitu sunyi, hanya terdengar suara sendok yang beradu dengan piring. Makan malam itu akhirnya habis juga, meski bagi Luna setiap suapan terasa sangat sulit untuk ditelan. Saat ia hendak berdiri dan membawa piring kotor ke dapur, suara Devan menghentikan langkahnya. “Apa kamu pikir saya tidak mampu membayar pelayan?” di rumah itu memang terlihat tidak ada pelayan sama sekali. Tapi Luna yakin kalau Devan tak ingin diganggu oleh siapapun. Luna terdiam. Ia menatap Devan beberapa detik, lalu buru-buru menunduk lagi, tidak berani beradu pandang terlalu lama. Jantungnya kembali berdegup kencang, kali ini bercampur dengan rasa malu dan takut. Waktu berjalan begitu lambat. Lima belas menit kemudian, Devan dan Luna sudah berada di kamar pribadi pria itu. Ruangan yang luas itu terasa sangat menyesakkan bagi Luna. Dalam hatinya, Luna masih berharap kalau malam ini Devan tak menyentuhnya. “Buka bajumu,” ucap Devan datar. Pria itu duduk santai di sofa, menatap layar ponselnya, seakan-akan tidak ada hal serius yang sedang ia katakan. Sementara Luna berdiri tidak jauh darinya. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya, tubuhnya bergetar pelan. Ia memejamkan mata, mencoba menguatkan diri. Namun, tubuhnya tidak juga bergerak. “Buka bajumu sekarang,” ulang Devan sekali lagi, kali ini lebih tegas, membuat Luna benar-benar ketakutan. “Kamu masih ingat kan perjanjian yang kamu tanda tangani? Malam ini kamu milik saya,” tambah Devan. Luna memejamkan mata, lalu membuka pakaiannya dengan tangan yang bergetar. Dia berusaha mengabaikan rasa sakit di hatinya karena akan disentuh pria lain. Bayangan Arkana yang sedang mencium Amel kembali terlintas di kepalanya, membuat Luna tidak perlu merasa bersalah jika malam ini ia harus tidur dengan pria lain. ‘Kamu yang membuatku seperti ini, Mas,’ batin Luna. Begitu pakaian bagian atasnya terbuka, kulit putih mulus Luna nyaris tidak terlihat lagi. Hampir seluruh tubuhnya tertutup lebam kebiruan. Devan meletakkan ponselnya di meja, lalu menoleh ke arah Luna. Matanya terbelalak melihat bekas-bekas pukulan di tubuh wanita itu. “Kenapa dengan tubuhmu?” tanya Devan cepat. Luna hanya menunduk. “Apa Arka yang menyakitimu?” Kali ini Luna mengangguk pelan. Air matanya langsung jatuh, tak bisa ia tahan lagi. Devan diam sejenak, lalu kembali berkata, “Malam ini kamu tetap harus berhasil memuaskan saya. Jangan menangis di depan saya. Tugasmu hanya satu, jadi pemuas nafsu.” Suara berat Devan menusuk ke relung hati Luna yang paling dalam, sakit sekali rasanya. Tidak pernah sekalipun ia membayangkan harus menjual dirinya pada pria lain. Devan bangkit, membuka pakaian bagian atasnya sendiri. Tubuhnya merespon dengan cepat kala melihat Luna dalam keadaan bertelanjang dada. Ia melangkah mendekati Luna yang masih berdiri di dekat sofa. Tangan Devan terulur, menyentuh dagu Luna, lalu bibirnya langsung melumat bibir ranum itu dengan penuh hasrat. Awalnya Luna diam, tidak membalas ciuman Devan. Tapi perlahan ciuman itu makin panas dan sulit dihindari. Devan mendorong tubuh Luna perlahan ke ranjang tanpa melepaskan ciumannya. Nafsu pria itu sudah tak terbendung lagi. Ia merebahkan Luna dan mengambil posisi di atas tubuh sang sekretaris. Mata Devan mulai berkabut. Ciuman mereka terputus hanya karena sama-sama kehabisan oksigen. Ia lalu melengkungkan tubuhnya, menurunkan ciuman ke puncak dada Luna sebelah kanan. Lidahnya bergerak nakal, sementara tangannya meremas dada sebelah kiri. Bohong kalau Luna tidak terpengaruh. Tangannya mencengkeram seprai, matanya terpejam rapat. Ia menggigit bibir bawah, menahan desahan yang hampir lolos ketika remasan tangan Devan semakin menjadi-jadi. “Saya menginginkanmu sekarang, Luna,” bisik Devan di telinganya sambil memberi gigitan kecil di sana. Tubuh Luna seketika meremang.Rasa kecewa bercampur marah membuat ulu hati Luna seperti diremas tangan tak kasat mata. Napasnya sesak, kepalanya pening. Dunia seolah hancur berkeping-keping di depan mata. Ia melihat dengan jelas, tanpa bisa menyangkal, suaminya sendiri sedang memanjakan perempuan lain. Dan parahnya lagi, Arkana bahkan sedang menunggu anak dari perempuan itu.Luna ingin percaya bahwa semua yang dia lihat hanyalah mimpi buruk, tetapi setiap kata yang meluncur dari bibir mereka terdengar jelas, menyayat hatinya. Arkana belum sadar kalau dirinya dan Devan sudah berdiri tidak jauh dari sana. Ia begitu sibuk memuja perempuan itu, seakan-akan Luna yang notabene adalah istrinya yang sah tak pernah dianggap ada.“Sayang, aku mau yang ini. Menurutmu gimana?” tanya Amel dengan suara manja.Luna bisa merasakan telinganya panas mendengar panggilan itu. “Sayang.” Kata yang dulu begitu berarti baginya, kini keluar dari mulut seorang selingkuhan, seolah gelar wanita yang paling dicintai Arka itu memang milik Amel
“Paaaaaak, nanti ada orang,” ucap Luna dengan suara bergetar. Dia melirik kanan kiri, takut kalau ada satpam yang memperhatikan mobil mereka yang sudah terlalu lama berhenti di area parkir. Perasaan tak nyaman itu membuat tubuhnya tegang, apalagi mengingat tempat mereka berada sekarang bukanlah lokasi yang aman untuk melakukan hal seperti ini.“Makanya jangan berisik. Buruan cium aku,” jawab Devan sambil mencondongkan tubuhnya, ucapannya terdengar seperti perintah. Sekilas Luna bisa merasakan kalau pria ini tak terbiasa mendengar penolakan.Luna menghela napas, lalu memejamkan matanya. Ia tidak boleh protes. Baginya, semua sudah terlambat. Uang dua miliar yang dulu sempat membuatnya gelisah kini sudah berada di tangan suaminya, Arkana, pria yang selama ini hanya memberinya penderitaan. Hidupnya seperti sudah digadaikan. Maka sekarang, apapun yang Devan lakukan padanya, ia hanya bisa pasrah.Tubuhnya sudah bukan miliknya lagi. Luna bahkan tak tahu sampai kapan ia harus menjalani kehidu
Mereka pun segera bersiap menuju tempat meeting. Untung saja Luna memang pintar dan cekatan. Meski statusnya masih sekretaris magang, ia sudah bisa benar-benar mengimbangi kinerja Devan. Semua tugas yang dibebankan kepadanya selalu ia kerjakan dengan sungguh-sungguh.Devan tahu persis soal itu. Ia sering memperhatikan gerak-gerik Luna, bagaimana perempuan itu mengatur berkas, menyiapkan dokumen, bahkan sampai hal kecil seperti cara Luna menjawab telepon klien. Dalam hati, Devan harus mengakui kalau Luna berbeda dengan sekretaris-sekretaris sebelumnya.Namun, Devan tetaplah Devan. Pimpinan yang baik, iya. Ia tak pernah segan membantu Luna setiap kali perempuan itu kesulitan dalam melaksanakan kewajibannya sebagai sekretaris. Tapi di balik kebaikannya, selalu ada imbalan yang ia tuntut. Minimal sebuah ciuman penuh hasrat dari sang sekretaris, sebagai bentuk “bayaran” kecil atas bantuan yang ia berikan. Licik iya. Tapi nafsunya sangat besar setiap kali ada Luna.Sopir perusahaan sebenarn
“Saya seperti menyusui bayi tiap pagi, pak,” ucap Luna sambil merapikan bajunya. Wajahnya terlihat kesal dan bibirnya yang mengerucut justru membuat Devan semakin gemas melihatnya.Untung saja, hanya bagian dadanya yang tadi dihisap pria itu, bukan lebih dari itu. Di tengah kesibukannya untuk mempersiapkan berkas yang dibawa saat meeting nanti, ia justru harus melayani hasrat atasannya. Tapi untung saja Devan tidak membawanya ke ruangan pribadi milik pria itu yang ada di ruang kerjanya.“Kan memang tugasmu menyusuiku setiap hari. Kapan pun aku mau, kau harus siap melayaniku tanpa boleh membantah,” jawab Devan santai, sambil meraih jas yang tersampir di kursi kerjanya.Luna hanya menghela napas pendek. Kalau saja Devan tidak ingat mereka punya meeting besar dengan klien penting, mungkin pagi ini ia sudah kembali terperangkap dalam pelukan pria itu. Devan bukan tipe yang bisa cepat selesai ketika melampiaskan hasratnya. Luna tahu benar, kalau Devan mulai, mereka bisa terjebak berjam-jam
“Hey, siapa yang mau memukulmu? Aku hanya ingin mengambil sisir yang masih nyangkut di rambutmu,” ucap Devan datar, tapi matanya tak lepas dari wajah Luna yang tampak pucat.Luna tertegun. Tangan kirinya refleks menutupi kepala, sementara tubuhnya sudah berjongkok di lantai, seakan sedang menanti tamparan yang biasanya ia terima dari Arkana. Devan hanya bisa memandangi pemandangan itu dengan heran sekaligus prihatin. Dari posisi berdirinya, ia bisa jelas melihat kalau perempuan itu menanggung trauma berat. Luka yang bukan tampak di kulit, melainkan tertanam dalam hati karena perilaku suaminya sendiri.“Ja… jadi Bapak tidak akan pukul saya?” tanya Luna terbata-bata. Suaranya lirih, tapi jelas terdengar seperti orang yang sedang ketakutan. Hatinya masih diliputi rasa bersalah karena datang terlambat ke kantor pagi ini. Semua itu bukan karena dirinya malas, melainkan akibat ulah ibu mertuanya yang sejak pagi sudah menyuruhnya membuat sarapan, menyapu, mengepel, hingga membersihkan dapur.
Byuuuuuur!Tubuh Luna seketika basah kuyup. Air dingin dari satu ember penuh mengguyur seluruh tubuhnya tanpa ampun. Ia tersentak, terbangun dari tidurnya dengan napas yang memburu. Rasa dingin meresap cepat ke kulitnya, membuat tubuhnya sedikit menggigil.“Banguuuun! Kau pikir tinggal di hotel, bisa bangun seenaknya? Dasar menantu tidak tahu diri!” teriak Bu Yuli, dengan penuh amarah. Ember kosong masih dipegangnya, lalu diletakkan dengan kasar di lantai, menimbulkan bunyi keras yang membuat dada Luna makin sesak.Air menetes dari rambut dan baju Luna, membasahi sprei tipis yang ia gunakan semalaman. Luna mengusap wajahnya yang basah, mencoba memastikan apa yang barusan terjadi bukan sekadar mimpi buruk. Namun teriakan berikutnya dari Bu Yuli menegaskan kenyataan pahit itu.“Puas kau sekarang?! Gara-gara kau, Arkana bertengkar dengan Amel! Puas kau sekarang melihat mereka tidak baikan?! Amel sampai pergi dari rumah ini! Dasar perempuan mandul! Ada saja kelakuanmu yang bikin kami muak