Share

Mengikis Jarak

Auteur: Atieckha
last update Dernière mise à jour: 2025-08-21 23:15:22

“Tapi, Pak—”

“Saya sedang banyak pekerjaan. Kalau kamu tidak mau, silahkan keluar,” potong Devan datar tanpa mengangkat wajahnya dari tumpukan dokumen di depannya.

Luna menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan. Ia lalu kembali menatap Devan. Sepertinya tak ada jalan lain untuk mendapatkan pinjaman itu.

“Sa–saya mau, Pak,” ucapnya gugup.

Devan hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada berkas di mejanya.

“Besok jam makan siang, kamu tanda tangani surat perjanjiannya. Setelah itu, baru saya akan berikan ceknya,” ucap Devan, tetap tanpa menoleh ke arah Luna.

“Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit Luna pelan.

“Hmmmmm,” jawab Devan dengan bergumam.

Luna pun berdiri dan melangkah menuju pintu dan meraih gagangnya. Baru saja pintu itu terbuka sedikit, suara Devan kembali terdengar.

“Setelah keluar dari sini, kamu langsung ke ruang HRD,” perintahnya singkat.

Luna menoleh sebentar, tapi Devan sudah kembali sibuk menandatangani dokumen, seolah pembicaraan mereka tadi tak pernah terjadi. Ia akhirnya keluar, menutup pintu dengan hati-hati. Namun, langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, tapi lidahnya terasa kelu.

Saat ia hendak berjalan menjauhi ruangan itu, seorang wanita berpenampilan nyentrik mendekat.

“Sudah dari ruangan Pak Devan, atau baru mau masuk?” tanyanya sambil melirik Luna dari ujung kepala hingga kaki.

“Sudah, Bu. Oh ya, saya mau tanya, di mana ruang HRD ya, Bu?”

Wanita itu mengernyit. “Saya kepala HRD-nya. Tunggu sebentar di sofa itu,” jawabnya sambil menunjuk ke sofa di depan meja dengan papan nama Sekretaris CEO. Sayangnya meja itu kosong, sepertinya Devan memang sedang membutuhkan sekretaris.

Luna mengangguk dan duduk. Tak sampai lima menit, wanita itu keluar lagi dari ruangan Devan.

“Mari ikut saya,” ucapnya singkat.

Luna berdiri dan mengikutinya.

Setibanya di ruang HRD, wanita itu menjelaskan bahwa besok Luna harus mulai bekerja dan akan menjalani training singkat. Ia diberitahu untuk mengenakan pakaian putih-hitam, rapi, dan menarik sesuai prosedur perusahaan. Mulai besok, ia akan langsung bertugas sebagai sekretaris CEO.

Hampir dua jam Luna berada di sana, menanyakan berkas dan persyaratan yang harus ia lengkapi. Setelah semua selesai, ia pun pulang ke rumah—membawa rasa lega bercampur cemas menghadapi hari esok.

“Apa semahal ini bayaran yang harus aku lakukan demi mendapatkan pinjaman itu?” Luna membatin. Hatinya sangat perih membayangkan dirinya akan bersentuhan fisik dengan pria yang bukan suaminya.

Saat Luna tiba di rumah, langkahnya terasa berat. Begitu masuk, ia mendapati sang Ibu mertua dan Arkana sedang duduk di ruang tamu. Keduanya terlihat berbincang serius, namun percakapan itu terhenti begitu melihat Luna datang.

“Gimana? Dapat nggak pinjamannya?” tanya Arkana tanpa basa-basi. Seolah yang dia inginkan hanya jawaban yang menguntungkannya.

Luna menelan ludah, mencoba memilih kata. “Apa… kamu benar-benar nggak ada jalan lain untuk mendapatkan pinjaman, Mas? Soalnya… syarat dari Pak Devan sangat berat untuk aku jalani,” ucapnya lirih. Ia sangat berharap sang suami akan membatalkan niatnya untuk meminjam uang dari Pak Devan.

Namun jawaban yang keluar justru membuat dadanya semakin sakit seperti tertimpa benda berat.

“Aku nggak peduli apa pun syarat yang diberikan Devan untukmu. Yang penting kamu dapat pinjaman itu darinya. Aku nggak peduli meskipun kamu harus jual diri. Aku nggak peduli! Yang aku butuhkan hanya uang itu, agar bisnisku nggak bangkrut,” jawab Arkana tanpa keraguan sedikitpun.

Air mata Luna jatuh, membasahi pipinya. Ia memandangi pria di depannya dengan tatapan tak terbaca. Ada perasaan hancur, kecewa, dan tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut suaminya. Sejahat inikah lelaki yang dulu ia kira mencintainya? Ternyata impiannya untuk memiliki pernikahan yang bahagia hanyalah mimpi belaka.

“Pak Devan menyuruhku untuk menjadi sekretarisnya, Mas, dan—” ucap Luna, namun belum sempat menyelesaikannya, Arkana memotong dengan suara keras.

“Sudah kubilang, aku nggak peduli kamu mau disuruh ngapain sama dia! Yang penting kamu dapatkan pinjaman itu. Hanya itu yang aku mau, TITIK! Kalau sampai besok kamu nggak membawa uang itu… kamu akan tahu sendiri akibatnya!” seru Arkana penuh ancaman.

Setelah berkata demikian, Arkana berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan rumah tanpa menoleh sedikit pun ke arah istrinya.

Luna hanya berdiri mematung, menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Dadanya terasa sesak, matanya panas. Tubuhnya seperti terbakar oleh perasaan marah, sedih, dan putus asa yang bercampur menjadi satu. Dan yang paling menyakitkan, mulai besok tubuhnya sudah tergadai pada Devan Wijaya.

“Ngapain kamu menangis? Tidak diceraikan saja, harusnya kamu sudah bersyukur,” ujar Bu Yuli ketus, menatap menantunya dari ujung kepala sampai kaki.

Luna mengusap air mata yang mulai membasahi pipinya. “Luna siap diceraikan kapan saja oleh Mas Arkana, Bu, daripada Luna harus meminjam uang dengan jumlah besar,” sahutnya pelan.

“Kamu ini benar-benar sombong, ya. Tidak tahu terima kasih, tidak tahu balas budi. Apa kamu lupa pada kebaikan Ayahnya Arkana pada keluargamu dulu, huh? Sudah mandul, tidak punya bakat apapun, hanya jadi beban suami. Sekarang baru sekali akan menolong, sudah berlagak seperti malaikat penolong,” balas sang ibu mertua tanpa perasaan.

Tanpa memberi kesempatan Luna untuk menjawab, wanita paruh baya itu berdiri dan memilih masuk ke kamarnya, meninggalkan Luna yang berdiri terpaku di ruang tamu.

“Ya Tuhan, mau sampai kapan aku seperti ini,” gumamnya dengan suara lirih.

Luna pun memilih masuk ke dalam kamarnya untuk mempersiapkan pakaian yang akan dia pakai esok hari.

*

Esok harinya, Luna resmi diumumkan sebagai sekretaris CEO yang baru. Saat itu juga, ia baru mengetahui bahwa tak ada seorang pun yang betah bekerja lama sebagai sekretaris Devan. Namun, Luna tak punya pilihan lain. Ia harus menjalani semuanya demi pinjaman dua miliar.

Sejak pagi, Luna telah mendapat pelatihan singkat dari tenaga ahli di kantor itu. Siang harinya, ia sudah mulai menempati meja kerjanya yang terletak persis di depan ruang kerja CEO.

Tepat pukul 13.00, Devan membuka pintu ruang kerjanya lalu menyembulkan kepalanya di sana. Ia menatap ke arah Luna yang masih duduk di meja kerjanya dan berkata, “Ke ruangan saya sekarang.”

“Baik, Pak.”

Luna segera berdiri dan melangkah masuk karena pintu ruang kerja Devan memang dibiarkan terbuka.

“Kunci pintunya,” ucap Devan dari balik meja kerjanya.

“Ma–maksud, Bapak?”

Devan berdecak. “Kunci pintunya kalau kau masih membutuhkan pinjaman dua miliar itu.”

Deg.

Jantung Luna berdegup kencang. Wajahnya pucat mendengar perintah atasannya. Ia terpaku di tempat, sementara Devan berdiri dan berjalan ke arahnya. Luna melangkah mundur, tetapi langkahnya terhenti ketika punggungnya menempel pada dinding.

Devan mengikis jarak, sangat dekat. Bahkan Luna bisa merasakan hembusan napas pria itu menyentuh kulitnya. Tatapan matanya menusuk, membuat napas Luna tercekat, dan saat itu juga, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan pun terjadi.

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Pemuas Hasrat Atasanku   Chapter 156

    TingPonsel Mayang berdering. Ada pesan masuk dari M-bankingnya. Mayang meraih ponselnya untuk melihat pesan yang masuk, dan matanya membulat saat nama Devan mentransfer jumlah fantastis.“Seratus juta?” Mulutnya menganga. Jantungnya berdebar kencang. Dia mengenal betul nama pengirimnya Devan Erlangga Putra Wijaya. Dan itu nama bosnya.Mayang buru-buru mengetik pesan yang dikirim ke Luna. Namun sayangnya, pesan yang dikirim ke Luna centang 1. Dia memutuskan untuk langsung naik ke lantai atas menuju meja kerja Luna. Awalnya Mayang sempat tertegun melihat sosok pria asing di meja kerja Luna, namun akhirnya ia teringat dengan informasi yang ia dengar tadi kalau Devan sudah mendapatkan sekretaris baru. “Permisi, Bu Luna di mana?” tanya Mayang. “Selamat pagi, Bu.” Ryan berdiri menyapa Mayang, “Bu Luna, meja kerjanya pindah ke ruangan Pak Devan. Apa ibu mau menemui beliau?” tanya Ryan.Suara intercom di meja kerja sekretaris terdengar. Ryan mengangkatnya dan mendengar perintah dari Deva

  • Pemuas Hasrat Atasanku   Chapter 155

    “Siapa kira-kira yang menyebarkan unggahan kita di grup?” tanya wanita berambut pendek itu.“Apa mungkin Bu Mayang?” celetuk yang lainnya.“Nah iya. Bisa jadi dia yang ngomong sama sahabatnya. Aku gak ikhlas hanya karena unggahan itu kita dipecat. Pokoknya kita harus temui Bu Mayang sekarang. Dia harus bertanggung jawab mengembalikan pekerjaan kita!” Seru yang lainnya. Mereka sama sekali tidak merasa bersalah kalau yang mereka lakukan itu salah.Mereka semua pun mengangguk setuju dan langsung menuju divisi keuangan untuk menemui Mayang. Mereka gak akan tinggal diam kalau sampai dugaan mereka benar.“Bu Mayang!” Seru salah satu dari mereka. Lebih tepatnya orang yang memprovokasi masalah tersebut dan menyebarkan foto tentang Devan di grup mereka.Mayang mendongak, “bisa gak adabnya digunakan kalau masuk ruangan divisi lain?” tegurnya. Beberapa orang yang berada di divisi keuangan menoleh ke arah Mayang yang sedang di serbu 4 orang karyawan Wijaya Group. “Sudahlah jangan basa-basi. Puas

  • Pemuas Hasrat Atasanku   Chapter 154

    Berita tentang Luna dan Devan sudah tersebar di grup yang di dalamnya tidak ada Devan dan Luna. Bahkan beberapa petinggi yang dianggap dekat dengan Devan juga tidak ada dalam grup tersebut. Sementara Mayang ada di sana dan melihat salah satu rekan kerjanya mengirim foto Luna dan Devan saat bergandengan tangan di restoran.Mayang segera mengirim foto itu kepada Luna melalui pesan singkat.“Luna, anak-anak di kantor mulai gaduh ngomongin kamu dan Pak Devan. Katanya ada yang melihat kamu di restoran barusna. Ribut banget mereka, Lun. Bahkan ada yang berani memprovokasi obrolan dan menuduh Pak Devan menjadi penyebab perceraianmu dengan si brengsek Arkana.”Luna tertegun membaca isi pesan yang Mayang kirim. Bahkan fotonya dan Devan diambil dari arah samping dan belakang. Siapa pelakunya? Kenapa Luna tidak menyadari itu? pikirnya. Wajahnya yang tadi berseri mendadak menjadi muram.Devan yang menyadari itu langsung bertanya pada Luna, “ada apa, sayang?”Luna tak menjawab namun dia menyerahka

  • Pemuas Hasrat Atasanku   Chapter 153

    “Sayang, kamu kenapa?” tanya Devan. Luna bergerak gelisah di kursi penumpang persis di samping Devan. Pria itu hanya takut kalau Luna mual lagi.Luna menoleh lalu berkata, “setelah tahu hamil, aku jadi kayak takut bergerak, sayang,” jawab Luna. Bisa hamil anak kembar seperti jackpot terbesar dalam hidup Luna. Dia yang selama ini mengira kalau dirinya benar-benar mandul, tapi sekarang semua terpatahkan dengan dua janin kembar yang sedang berkembang di dalam rahimnya. “Dokter kan bilang kandunganmu kuat. Asal tetap ikuti saran dokter aku yakin semuanya aman kok, sayang. Anak kita pasti sehat di dalam sini,” jawabnya mengusap perut Luna. Dia ingin memberi keyakinan pada Luna kalau semuanya akan baik-baik saja. Luna mengangguk sambil tersenyum. Senyum manis yang selalu berhasil membuat Devan mabuk kepayang.Mobil pun melaju dengan kecepatan sedang menuju ke restoran yang dimaksud. Luna masih bisa menggunakan mini dress miliknya, hanya bagian dadanya saja yang tampak sedikit ketat. Semen

  • Pemuas Hasrat Atasanku   Chapter 152

    “Apa itu, Mas?” tanya Luna.“Orang butik bawain kado yang kita pesan buat nenek.”Devan meletakan box beludru berwarna biru tua di atas meja sofa, namun ada box beludru berwarna merah marun yang masih ia pegang dan diserahkan pada Luna.“Ini untuk Mommy,” ucap Devan.“Loh kok aku, Mas? Kan yang ulang tahun nenek.” “Ini hadiah untukmu, sayang. Karena hari ini aku hampir mati berdiri setelah mendengar kamu nyaris tertabrak mobil dan dilarikan ke rumah sakit. Setelah itu, aku justru mendapatkan kabar baik yang bahkan sebelumnya tak berani aku khayalkan.”Ucapan Devan membuat mata Luna berkaca-kaca. Tuhan sangat baik pada mereka berdua, sesuatu yang nyaris saja tidak berani mereka khayalkan, tapi kini benar-benar tumbuh di rahim Luna.Melihat Luna hanya diam, Devan kembali buka suara, “Bukalah, sayang.”Devan menyerahkan box itu kepada Luna. Setelah Luna membukanya ternyata di dalam box itu berisi sebuah jam tangan mewah yang ada berliannya. “Wow cantik banget,” puji Luna. Jam itu berwa

  • Pemuas Hasrat Atasanku   Chapter 151

    “Permisi, Nyonya, Tuan. Ini ada kiriman parcel dari Bu Yuli,” ucap salah satu pelayan di rumah keluarga Wijaya. Pelayan wanita itu mendekat ke arah Nyonya Wijaya sambil membawa sebuah box yang berisi parcel. “Siapa yang mengantarkannya? Parcel untuk acara apa ini?” tanyanya pada sang pelayan setelah melihat isi dari parcel tersebut.“Tadi dibawakan saudaranya. Katanya sih iparnya Bu Yuli yang tugas keliling membawa parcel ke tetangga, nyonya. Dia bilang ini hanya syukuran karena Bu Yuli sudah punya cucu,” jawabnya.Nyonya Wijaya mengernyit, “sudah brojol aja?” “Nek,” tegur Devan. Devan sudah mendengar keributan sang nenek dengan Bu Yuli serta Amel.“Buang saja itu. Jangan dimakan dan jangan digunakan. Saya pernah berselisih paham soalnya dengan dia, jangan sampai itu di gunakan buat menyakiti kita. Jangan dibuang utuh seperti itu ya, Inem. Dibuka dulu bungkusnya baru dibuang ke bak sampah,” ujarnya memberi perintah.“Baik, Nyonya. Saya izin ke belakang dulu,” pamitnya.Setelah pelay

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status