LOGIN“Tapi, Pak—”
“Saya sedang banyak pekerjaan. Kalau kamu tidak mau, silahkan keluar,” potong Devan datar tanpa mengangkat wajahnya dari tumpukan dokumen di depannya. Luna menarik napas panjang, mencoba menenangkan detak jantungnya yang tak karuan. Ia lalu kembali menatap Devan. Sepertinya tak ada jalan lain untuk mendapatkan pinjaman itu. “Sa–saya mau, Pak,” ucapnya gugup. Devan hanya melirik sekilas, lalu kembali fokus pada berkas di mejanya. “Besok jam makan siang, kamu tanda tangani surat perjanjiannya. Setelah itu, baru saya akan berikan ceknya,” ucap Devan, tetap tanpa menoleh ke arah Luna. “Baik, Pak. Kalau begitu saya permisi dulu,” pamit Luna pelan. “Hmmmmm,” jawab Devan dengan bergumam. Luna pun berdiri dan melangkah menuju pintu dan meraih gagangnya. Baru saja pintu itu terbuka sedikit, suara Devan kembali terdengar. “Setelah keluar dari sini, kamu langsung ke ruang HRD,” perintahnya singkat. Luna menoleh sebentar, tapi Devan sudah kembali sibuk menandatangani dokumen, seolah pembicaraan mereka tadi tak pernah terjadi. Ia akhirnya keluar, menutup pintu dengan hati-hati. Namun, langkahnya terhenti. Ada sesuatu yang ingin ia tanyakan, tapi lidahnya terasa kelu. Saat ia hendak berjalan menjauhi ruangan itu, seorang wanita berpenampilan nyentrik mendekat. “Sudah dari ruangan Pak Devan, atau baru mau masuk?” tanyanya sambil melirik Luna dari ujung kepala hingga kaki. “Sudah, Bu. Oh ya, saya mau tanya, di mana ruang HRD ya, Bu?” Wanita itu mengernyit. “Saya kepala HRD-nya. Tunggu sebentar di sofa itu,” jawabnya sambil menunjuk ke sofa di depan meja dengan papan nama Sekretaris CEO. Sayangnya meja itu kosong, sepertinya Devan memang sedang membutuhkan sekretaris. Luna mengangguk dan duduk. Tak sampai lima menit, wanita itu keluar lagi dari ruangan Devan. “Mari ikut saya,” ucapnya singkat. Luna berdiri dan mengikutinya. Setibanya di ruang HRD, wanita itu menjelaskan bahwa besok Luna harus mulai bekerja dan akan menjalani training singkat. Ia diberitahu untuk mengenakan pakaian putih-hitam, rapi, dan menarik sesuai prosedur perusahaan. Mulai besok, ia akan langsung bertugas sebagai sekretaris CEO. Hampir dua jam Luna berada di sana, menanyakan berkas dan persyaratan yang harus ia lengkapi. Setelah semua selesai, ia pun pulang ke rumah—membawa rasa lega bercampur cemas menghadapi hari esok. “Apa semahal ini bayaran yang harus aku lakukan demi mendapatkan pinjaman itu?” Luna membatin. Hatinya sangat perih membayangkan dirinya akan bersentuhan fisik dengan pria yang bukan suaminya. Saat Luna tiba di rumah, langkahnya terasa berat. Begitu masuk, ia mendapati sang Ibu mertua dan Arkana sedang duduk di ruang tamu. Keduanya terlihat berbincang serius, namun percakapan itu terhenti begitu melihat Luna datang. “Gimana? Dapat nggak pinjamannya?” tanya Arkana tanpa basa-basi. Seolah yang dia inginkan hanya jawaban yang menguntungkannya. Luna menelan ludah, mencoba memilih kata. “Apa… kamu benar-benar nggak ada jalan lain untuk mendapatkan pinjaman, Mas? Soalnya… syarat dari Pak Devan sangat berat untuk aku jalani,” ucapnya lirih. Ia sangat berharap sang suami akan membatalkan niatnya untuk meminjam uang dari Pak Devan. Namun jawaban yang keluar justru membuat dadanya semakin sakit seperti tertimpa benda berat. “Aku nggak peduli apa pun syarat yang diberikan Devan untukmu. Yang penting kamu dapat pinjaman itu darinya. Aku nggak peduli meskipun kamu harus jual diri. Aku nggak peduli! Yang aku butuhkan hanya uang itu, agar bisnisku nggak bangkrut,” jawab Arkana tanpa keraguan sedikitpun. Air mata Luna jatuh, membasahi pipinya. Ia memandangi pria di depannya dengan tatapan tak terbaca. Ada perasaan hancur, kecewa, dan tidak percaya kalimat itu keluar dari mulut suaminya. Sejahat inikah lelaki yang dulu ia kira mencintainya? Ternyata impiannya untuk memiliki pernikahan yang bahagia hanyalah mimpi belaka. “Pak Devan menyuruhku untuk menjadi sekretarisnya, Mas, dan—” ucap Luna, namun belum sempat menyelesaikannya, Arkana memotong dengan suara keras. “Sudah kubilang, aku nggak peduli kamu mau disuruh ngapain sama dia! Yang penting kamu dapatkan pinjaman itu. Hanya itu yang aku mau, TITIK! Kalau sampai besok kamu nggak membawa uang itu… kamu akan tahu sendiri akibatnya!” seru Arkana penuh ancaman. Setelah berkata demikian, Arkana berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan rumah tanpa menoleh sedikit pun ke arah istrinya. Luna hanya berdiri mematung, menatap punggung suaminya yang semakin menjauh. Dadanya terasa sesak, matanya panas. Tubuhnya seperti terbakar oleh perasaan marah, sedih, dan putus asa yang bercampur menjadi satu. Dan yang paling menyakitkan, mulai besok tubuhnya sudah tergadai pada Devan Wijaya. “Ngapain kamu menangis? Tidak diceraikan saja, harusnya kamu sudah bersyukur,” ujar Bu Yuli ketus, menatap menantunya dari ujung kepala sampai kaki. Luna mengusap air mata yang mulai membasahi pipinya. “Luna siap diceraikan kapan saja oleh Mas Arkana, Bu, daripada Luna harus meminjam uang dengan jumlah besar,” sahutnya pelan. “Kamu ini benar-benar sombong, ya. Tidak tahu terima kasih, tidak tahu balas budi. Apa kamu lupa pada kebaikan Ayahnya Arkana pada keluargamu dulu, huh? Sudah mandul, tidak punya bakat apapun, hanya jadi beban suami. Sekarang baru sekali akan menolong, sudah berlagak seperti malaikat penolong,” balas sang ibu mertua tanpa perasaan. Tanpa memberi kesempatan Luna untuk menjawab, wanita paruh baya itu berdiri dan memilih masuk ke kamarnya, meninggalkan Luna yang berdiri terpaku di ruang tamu. “Ya Tuhan, mau sampai kapan aku seperti ini,” gumamnya dengan suara lirih. Luna pun memilih masuk ke dalam kamarnya untuk mempersiapkan pakaian yang akan dia pakai esok hari. * Esok harinya, Luna resmi diumumkan sebagai sekretaris CEO yang baru. Saat itu juga, ia baru mengetahui bahwa tak ada seorang pun yang betah bekerja lama sebagai sekretaris Devan. Namun, Luna tak punya pilihan lain. Ia harus menjalani semuanya demi pinjaman dua miliar. Sejak pagi, Luna telah mendapat pelatihan singkat dari tenaga ahli di kantor itu. Siang harinya, ia sudah mulai menempati meja kerjanya yang terletak persis di depan ruang kerja CEO. Tepat pukul 13.00, Devan membuka pintu ruang kerjanya lalu menyembulkan kepalanya di sana. Ia menatap ke arah Luna yang masih duduk di meja kerjanya dan berkata, “Ke ruangan saya sekarang.” “Baik, Pak.” Luna segera berdiri dan melangkah masuk karena pintu ruang kerja Devan memang dibiarkan terbuka. “Kunci pintunya,” ucap Devan dari balik meja kerjanya. “Ma–maksud, Bapak?” Devan berdecak. “Kunci pintunya kalau kau masih membutuhkan pinjaman dua miliar itu.” Deg. Jantung Luna berdegup kencang. Wajahnya pucat mendengar perintah atasannya. Ia terpaku di tempat, sementara Devan berdiri dan berjalan ke arahnya. Luna melangkah mundur, tetapi langkahnya terhenti ketika punggungnya menempel pada dinding. Devan mengikis jarak, sangat dekat. Bahkan Luna bisa merasakan hembusan napas pria itu menyentuh kulitnya. Tatapan matanya menusuk, membuat napas Luna tercekat, dan saat itu juga, sesuatu yang tak pernah ia bayangkan pun terjadi.“Mom, apa Daddy akan pulang telat lagi?” Sudah beberapa hari ini Devan pulang melewati batas jam pulang. El selalu sedih kalau sang Daddy gak ada saat mereka makan malam bersama. Kadang sang Daddy berangkat kerja saat mereka masih terlelap dan pulang setelah mereka kembali tidur di malam hari. El sedih gak bisa bermain sama Daddy-nya.“Semoga hari ini pekerjaan Daddy lancar jadi bisa pulang tepat waktu,” jawab Luna.Keduanya mengangguk. Luna memang tak pernah memberi jawaban pasti kepulangan Devan pada anak-anaknya. Dia takut kalau tiba-tiba sang suami ada pekerjaan di kantor sehingga menyebabkannya kembali terlambat pulang. Luna yang sudah pernah menjadi sekretaris Devan tentu tahu betul pekerjaan yang sering menyita waktu. Terlebih perusahaan Devan sekarang jauh lebih berkembang ketimbang saat dirinya masih menjadi sekretaris sang suami. “Hmmmm, El nanti mau berdoa sama Tuhan biar Daddy pulang tepat waktu,” ucap El.“Me too,” jawab Nia.Luna menyajikan makan siang untuk anak-anakn
“Kamu ngapain tidur di kamar aku? Kalau istrimu bangun gimana?” pekik Maria terkejut saat tangan kokoh menggerayangi tubuhnya. Dan Maria tahu ini pasti Arkana.“Dia kalau tidur kayak orang mati. Besok pagi baru bangun. Tadi aku kurang puas, sayang,” jawab Arkana. Tangannya meremas dada Maria. Dia benar-benar kecanduan untuk menghisap dada besar itu. Aku lagi selama 3 tahun ke belakang dia tak menyentuh Maria. Bahkan Arkana jauh lebih merindukan untuk menyentuh Maria ketimbang Briella.“Tapi tetap saja ini bahaya, sayang,” ucap Maria. Dia mencoba mendorong tubuh Arkana agar menjaga, justru pria itu semakin menempel. “Dia gak akan bangun, sayang.”Akhirnya Maria menyerah. Dia membiarkan Arkana membuka seluruh pakaiannya, lagian Maria juga tadi memang belum puas saat berhubungan badan dengan Arkana, dia takut Amel keluar dari kamar mandi sementara mereka masih memadu cinta.“Kenapa kamu gak nyentuh istrimu saja?” tanya Maria.“Tubuhmu lebih menggoda dan membuatku tak bisa tidur,” balas
Ternyata keinginan Amel untuk disentuh oleh Arkana kandas sudah. Saat dia keluar dari kamar mandi justru Arkana sudah terlelap di atas ranjang bahkan mengenakan pakaian tidur lengkap. Arkana memang jarang sekali pergi seperti dulu, tapi entah kenapa karena seperti tak memiliki nafsu seperti dulu. Rasanya mustahil kalau Arkana memiliki perempuan lain di luar sana yang menjadi pelampiasan nafsunya. Sementara dia selalu ada di rumah dan kalaupun pergi tidak terlalu lama. “Kenapa ya? Apa dia gak nafsu sama aku, atau-” Tak ingin mengotori pikirannya sendiri dengan hal-hal yang menyakitkan hati, Amel pun memilih menganggap kalau Arkana saat ini sedang kelelahan. Lalu dia teringat dengan ucapan Luna yang memintanya melihat rekaman CCTV. Kebetulan CCTV hanya ia pasang di luar rumah. Dan itu pun baru ia pasang setelah ia benar-benar kembali lagi ke rumah ini ketika Bu Yuli sudah tiada. Amel langsung mengambil ponselnya, untuk segera melihat kebenaran yang sebenar-benarnya. “Kalau sampai Lu
Devan pun masuk ke dalam rumah untuk segera membersihkan diri. Kedua anaknya menuju ke ruang keluarga ditemani oleh sang nenek. Nyonya Wijaya kampak puas melihat keduanya kena hukuman oleh sang Daddy. Nia tetap manyun sementara El memilih pasrah.“Udahlah jangan ngambek. Lagian mau ulang tahun pasti banyak kado mainan yang bagus-bagus,” El menirukan ucapan nenek buyutnya tempo hari dalam situasi yang berbeda. Mereka mampu merekam apapun dan mengingatnya. Sehingga baik nyonya Wijaya maupun kedua orang tua mereka harus berhati-hati bicara di depan si kembar. Mereka benar-benar persis seperti Devan. Dan nyonya Wijaya sudah hafal karakter El dan Nia yang mewarisi Daddy-nya.“Kalau dapat kado, kalau enggak gimana? Duduuuuuuuuuu kasihan cucu nenek gak bisa ngoleksi mainan tiap Minggu hanya gara-gara makan 1 es krim, mana makannya berdua lagi,” Nyonya Wijaya dengan penuh kesadaran menggoda kedua cucu buyutnya. El dan Nia tampak pasrah. Keputusan sang Daddy gak akan bisa mereka tawar lagi.R
“Jangan ikut campur urusan wanita ya, Mas, apalagi kalau sampai Mas melabrak Amel dan Maria. Kalau itu sampai terjadi, aku nggak akan izinin kamu tidur di kamar!”Pesan dari Luna itu langsung membuat Devan berdecak kesal. Baru saja dia menurunkan ponselnya ke atas meja kerja, niat untuk menemui Maria dan Amel sudah berputar-putar di kepalanya. Ada banyak hal yang ingin dia tuntaskan. Rasa kesal karena Luna diperlakukan tidak menyenangkan, ditambah perasaan tidak terima karena nama istrinya diseret-seret, membuat dadanya terasa sesak. Tapi satu pesan dari Luna langsung menghancurkan semua rencana itu.“Dari mana lagi dia tahu?” gumam Devan sambil menghela napas panjang. Tangannya mengusap wajah kasar. “Apa dia cenayang?”Devan mengenal betul istrinya. Luna bukan tipe yang asal bicara. Kalau sudah mengirim pesan seperti itu, artinya Luna sudah tahu hampir semuanya. Pasti Inem sudah bercerita panjang lebar, dari awal sampai akhir. Devan bisa membayangkan Luna membaca cerita itu sambil me
“Ngapain kamu datang ke rumah ini mencari suamiku? Apa kamu tidak sadar kamu itu adalah mantan istri suamiku? Ngapain harus ketemu dengan suamiku? Segitu gatalnya kamu kah sampai harus menemui suamiku langsung? Atau suamimu tidak berhasil memuaskanmu sehingga kamu harus menggoda suami orang lagi? Dasar perempuan gatal!” umpat Amel penuh amarah saat dia sudah membuka pagar rumahnya dan berhadap-hadapan langsung dengan Luna.Apalagi melihat Luna dengan penampilan nyentrik dan semakin cantik membuat Amel cemburu dan takut kalau suaminya masih menyimpan perasaan pada mantan istrinya ini.“Siapa bilang aku mau ketemu Arkana? Aku bilang aku hanya mau bertemu tuan rumah, entah kamu atau suamimu. Aku datang ke sini untuk niat baik memberikan undangan agar anakmu bisa datang ke acara ulang tahun anak-anakku. Tapi kamu justru menuduhku seperti ini,” jawab Luna. Suaranya masih lembut meski darahnya sudah mendidih.“Bohong! Kamu pasti bohong! Nggak mungkin Maria berbohong sama aku. Jelas-jelas di







