Kali ini mereka diantar sopir, “kamu kok bisa bilang gitu sama Amel, mas?” Luna bersandar di bahu sang calon suami. Tapi dia sangat penasaran kenapa Devan bisa menyebut tes DNA pada Amel. Bahkan ucapan Devan membuat wajah Amel merah padam.“Secara selama ini kamu yang dituduh mandul, sayang. Buktinya kamu hamil sekarang, kan. Tapi jujur tadi refleks saja mau balas ucapannya dengan cara yang menyakitkan juga. Ternyata reaksinya kayak gitu,” Devan tertawa, “berarti tuduhanku benar. Udah cocok belum aku jadi peramal, sayang?” Devan bertanya sambil mengusap lembut perut calon istrinya. “Setelah dukun Mayang, apa sekarang terbit lagi dukun Devan. Wah hidupku dikelilingi para dukun,” sahut Luna sambil menggeleng.“Peramal, sayang. Bukan dukun,” protes Devan.“Beda penyebutan saja, Mas. Tempat kerjanya aja yang beda.”Devan hendak membantah, namun suara Luna kembali terdengar, “gak boleh protes. Harus nurut sama Bumil.” Mulut Devan kembali terkunci.*Prewedding Sesi prewedding mereka di
“Kenapa dia bisa hamil?” tanya Arkana pada Amel. Wajahnya tampak tidak senang, jelas ada sesuatu yang mengganggu pikirannya. Segala hal yang terjadi dengan Luna masih membuat Arkana gelisah. Terlebih melihat Luna dan Devan bahagia hatinya sangat sakit.“Mana aku tahu, sayang. Bayi tabung kali,” jawab Amel sengaja menekankan suaranya. “Bayi tabung? Memangnya wanita mandul bisa lakukan bayi tabung? Atau jangan-jangan Luna tidak mandul?” Tapi Arkana yakin banget Luna yang tidak bisa punya anak bukan dirinya. Buktinya sekarang Amel bisa hamil. Tapi kok aneh barusan ada yang memanggilnya dengan sebutan Bumil.“Harusnya gak bisa sih,” jawab Amel. Hening. Dan Amel tahu apa yang sedang dipikirkan oleh Arkana. Lalu suaranya kembali membuat Arkana menoleh ke arahnya.“Bukankah mereka belum menikah? Kok tiba-tiba hamil? Wah Luna murahan sekali kali sampai hamil anak atasannya.” Ia berharap Arkana terpancing kemudian pria itu akan menghina Luna, tetapi reaksinya justru di luar dugaan Amel. Kali
Devan akhirnya mengalah dan masuk ke ruang pribadi di ruang kerjanya. Sementara itu Luna merapikan meja kerjanya yang berada persis di samping meja kerja Devan. Calon suami istri ini memang sedang bucin-bucinnya. Hampir tiap hari terlihat saling menempel kayak amplop dan perangko. Bahkan Ryan beberapa kali tak sengaja melihat kemesraan mereka saat mengantarkan dokumen ke ruang kerja atasannya. Bagi Ryan, pemandangan itu sudah bukan hal baru. Dia tidak risih, malah merasa bersyukur karena suasana kerja jauh lebih santai tidak ada ketegangan antara dirinya dan sang atasan. Bahkan Devan jauh lebih care dan bisa diajak kerjasama, ketimbang isu yang ia dengar sebelum pindah ke kantor pusat tentang pimpinan mereka yang sulit diajak ngobrol ataupun kerjasama.Devan juga bersyukur mendapatkan sekretaris pengganti seperti Ryan. Cepat tanggap, tidak banyak bertanya, dan paham ritme kerja di kantor. Hanya satu dua kali saja Luna perlu memberi arahan, selebihnya Ryan bergerak sendiri. Seminggu t
“Barusan saya sudah ke rumah Pak Devan, sudah ketemu langsung sama Nyonya Wijaya. Tapi beliau menyerahkan terkait pemilihan menunya pada calon pengantin,” ucap salah satu tim EO menemui Luna dan Devan di kantor.Luna menoleh pada Devan lalu berkata pelan, “pilih aja, Mas.”Devan justru menggeleng. “Kamu aja yang pilih, sayang. Ini pasti menu premium yang mereka punya.”Dari cara bicaranya terlihat jelas bahwa ia betul-betul percaya pada pilihan Luna. Sejak awal persiapan pernikahan, Devan tidak pernah sekalipun ikut campur soal pilihan baik dari dekorasi ataupun pemilihan busana pengantin mereka. Semua diserahkan pada pilihan Luna, seolah apa pun yang dipilih wanita itu akan selalu benar di matanya.Luna mengangguk pelan sambil membuka beberapa daftar menu yang diberikan tim EO. Ia membaca satu per satu dengan teliti. Bukan karena cerewet, tapi Luna tahu, acara ini akan menjadi sorotan banyak orang, terutama karena hubungan mereka sudah jadi bahan gosip sejak lama. Sekali salah pilih
TingPonsel Mayang berdering. Ada pesan masuk dari M-bankingnya. Mayang meraih ponselnya untuk melihat pesan yang masuk, dan matanya membulat saat nama Devan mentransfer jumlah fantastis.“Seratus juta?” Mulutnya menganga. Jantungnya berdebar kencang. Dia mengenal betul nama pengirimnya Devan Erlangga Putra Wijaya. Dan itu nama bosnya.Mayang buru-buru mengetik pesan yang dikirim ke Luna. Namun sayangnya, pesan yang dikirim ke Luna centang 1. Dia memutuskan untuk langsung naik ke lantai atas menuju meja kerja Luna. Awalnya Mayang sempat tertegun melihat sosok pria asing di meja kerja Luna, namun akhirnya ia teringat dengan informasi yang ia dengar tadi kalau Devan sudah mendapatkan sekretaris baru. “Permisi, Bu Luna di mana?” tanya Mayang. “Selamat pagi, Bu.” Ryan berdiri menyapa Mayang, “Bu Luna, meja kerjanya pindah ke ruangan Pak Devan. Apa ibu mau menemui beliau?” tanya Ryan.Suara intercom di meja kerja sekretaris terdengar. Ryan mengangkatnya dan mendengar perintah dari Deva
“Siapa kira-kira yang menyebarkan unggahan kita di grup?” tanya wanita berambut pendek itu.“Apa mungkin Bu Mayang?” celetuk yang lainnya.“Nah iya. Bisa jadi dia yang ngomong sama sahabatnya. Aku gak ikhlas hanya karena unggahan itu kita dipecat. Pokoknya kita harus temui Bu Mayang sekarang. Dia harus bertanggung jawab mengembalikan pekerjaan kita!” Seru yang lainnya. Mereka sama sekali tidak merasa bersalah kalau yang mereka lakukan itu salah.Mereka semua pun mengangguk setuju dan langsung menuju divisi keuangan untuk menemui Mayang. Mereka gak akan tinggal diam kalau sampai dugaan mereka benar.“Bu Mayang!” Seru salah satu dari mereka. Lebih tepatnya orang yang memprovokasi masalah tersebut dan menyebarkan foto tentang Devan di grup mereka.Mayang mendongak, “bisa gak adabnya digunakan kalau masuk ruangan divisi lain?” tegurnya. Beberapa orang yang berada di divisi keuangan menoleh ke arah Mayang yang sedang di serbu 4 orang karyawan Wijaya Group. “Sudahlah jangan basa-basi. Puas