LOGINPagi itu tidak lagi terasa indah. Langit Jakarta yang semula cerah kini terasa tertutup awan kelabu, seolah ikut meratapi kekacauan yang baru saja meledak di dunia maya. Nora duduk di meja makan, dengan sisa sarapan yang sudah tidak lagi berselera di hadapannya. Jarinya gemetar saat menggeser layar tablet, membaca kembali headline yang membuat perutnya mual."SKANDAL DINASTI ARDAWIJAYA: MOTIF ASLI DIRGANTARA TERUNGKAP, GUGATAN AYAH DEMI HARTA WARISAN?"Di bawahnya, artikel itu merinci narasi yang keji dan licik dengan presisi yang menakutkan. Mereka menulis bahwa gugatan Dirga bukanlah tentang keadilan bagi ibunya dan korban lain, melainkan sebuah manuver licik yang diatur dari balik layar. Sumber "terpercaya" mereka mengklaim bahwa Ardawijaya, dalam sebuah surat wasiat terbaru, telah mengubah seluruh bagiannya. Seluruh asset perusahaan, properti, dan investasi—semuanya—akan disumbangkan kepada sebuah yayasan amal besar, dan tidak ada satu pun pun yang akan jatuh ke tangan Dirgantara
Pagi ini, langit Jakarta seolah ikut menahan napas, menyajikan sinar emas yang terlalu indah untuk sebuah drama keluarga yang kelam. Suasana indah itu menjadi latar yang ironis untuk persidangan kedua dari kasus kontroversial yang sudah berhasil menarik perhatian publik secara nasional. Kasus ini bukan sekadar gugatan biasa; ini adalah pertempuran darah di antara keluarga terkaya di negara ini, sebuah drama dinasti yang dipertontonkan di panggung pengadilan. Anak melawan ayah. Penerus tahta melawan sang raja. Inilah mengapa kasus ini menjadi yang paling banyak ditunggu hasilnya, sebuah cerita dari kalangan elite yang memuaskan rasa penasaran publik akan kehidupan di balik tembok istana.Kilau kamera kembali menyilaukan mata Dirga saat Matthew membukakan pintu mobil untuknya, sementara Lucas dengan sigap membukakan pintu untuk Nora di sisi lain. Sebelum melangkah menaiki anak tangga pengadilan yang dijaga ketat, Dirga memutar badan, menyambut Nora, dan menggenggam tangannya erat. Ini
Setelah insiden di kantor tadi siang, Dirga tidak berencana sekalipun untuk meninggalkan Nora dari jangkauannya, bahkan sejengkal pun. Ia memutuskan untuk bekerja dari rumah, mengubah ruang tengah yang megah menjadi markas perang sementara. Bahkan saat besok adalah sidang kedua yang akan menentukan nasib ayahnya—sebuah pertempuran yang seharusnya membutuhkan fokus penuh—ia justru bersikeras agar Nora berada di sampingnya.Di sana, di sofa kulit hitam yang empuk, Nora duduk anteng dengan piyama panjang berwarna abu-abu dan rambutnya yang tergerai bebas. Dahi yang luka ditempelkan plaster putih yang kontras dengan kulitnya yang pucat. Di tangannya, sebuah mangkuk berisi es krim rasa vanilla yang sempat Dirga belikan saat perjalanan pulang dari rumah sakit. Gadis itu menonton televisi dengan volume rendah, sesekali menyendokkan es krimnya, sebuah pemandangan domestik yang hampir tidak nyata di tengah ketegangan yang menggumpal di ruangan itu.Di sekelilingnya, lima orang pengacara pilih
Sepertinya, omongan Dirga mengenai akan mengeluarkan Agatha bukan sekadar ancaman kosong di malam itu. Desas-desusnya sudah menyebar lebih cepat dari virus di kantor, berbisik dari satu meja ke meja lain, membawa aroma skandal yang manis bagi para penikmat drama kantor. Nora merasakannya saat ia pergi ke pantry untuk mengambil segelas kopi, berusaha mengusir rasa kantuk yang mulai menyerang setelah makan siang."Iya, gue denger dari divisi keuangan. Surat pemecatannya udah ditandatangani Pak Dirga pagi ini.""Agatha? Bukannya dia salah satu karyawan yang bawa impact bagus buat perusahaan? Dia kan aset di divisi pengembangan bisnis.""Gue pikir juga gitu. Gue juga gak tau kenapa dia sampe dikeluarin tiba-tiba gitu. Katanya sih gara-gara masalah pribadi yang nggak pantas."Obrolan itu yang Nora tangkap dari dua karyawan yang tak ia kenal namanya, terasa seperti jarum-jarum kecil yang menusuk kulitnya. Sebagian merasa bersalah, tapi sebagian lainnya, sebuah bagian yang gelap dan protekti
Jika kalian berpikir adegan selanjutnya adalah Nora dan Dirga yang menikmati nasi goreng gila Mas Budi di tengah canda tawa, maka kalian sama sekali salah. Malam itu, ruangan di lantai paling atas Ardawijaya Group berubah menjadi medan perang yang sunyi.Lihatlah bagaimana Nora menghujani Dirgantara dengan tatapan menusuknya, dingin dan tajam seperti belati es. Kedua tangannya dilipat di depan dada, menciptakan barikade tak terlihat di antara mereka. Kepergian Agatha tidak menyurutkan amarahnya; justru meninggalkan luka yang masih terasa perih di udara, membuat suasana begitu menyayat hati."Nora, kamu tahu saya tadi berusaha melepaskan pelukan itu, kan?" suara Dirga terdengar, begitu hati-hati sembari melangkah mendekati Nora seperti mendekati hewan yang terluka. Ia berusaha mengusap kedua sisi bahu Nora, sebuah gestur yang biasanya mampu menenangkan.Tapi malam ini berbeda. Nora melangkah mundur, gerakan kecil namun begitu keras, membuat Dirga membuka mulutnya terkejut. Untuk pertam
Jam di dinding ruang keluarga itu sudah menunjukkan pukul dua belas lewat lima belas. Setiap detik yang bergerak lambat itu terasa seperti cambukan bagi Nora yang duduk di sofa yang terlalu besar dan terlalu sunyi. Ia sudah mencoba menelepon Dirga sebanyak tujuh kali, dan setiap kali, suara operator yang sama menyatakan nomor yang dihubungi tidak dapat dijangkau. Kegelisahan yang awalnya hanya embun di pagi hari, kini telah berubah menjadi badai yang mengamuk di dalam dadanya.Dengan baju tidur sutra berwarna lavender yang sudah ia kenakan dan rambutnya yang masih setengah basah dari mandi air hangat, Nora akhirnya tidak bisa lagi diam. Ia berdiri, tekadnya mengeras. Ia harus ke kantor. Ia harus melihat dengan mata kepala sendiri apa yang sebenarnya terjadi.Langkahnya yang hampir tanpa suara di atas lantai marmer langsung diikuti oleh dua bayangan setia. Matthew dan Lucas muncul dari posisi tersembunyi mereka, wajah mereka siaga. "Nyonya?" panggil Matthew pelan."Mas Dirga masih di







