LOGIN"Kita, hubungan ini." Genggaman tangan Dirga pada gelas bening itu menguat, bahkan tanpa sadar memecahkannya. TAR! Suara yang tajam dan memecah keheningan itu terdengar seperti sebuah ledakan kecil di ruang tamu yang megah. Darah mengalir dari tangan Dirga yang terluka, menciptakan kontras yang mengerikan dengan lantai marmer putih di bawahnya. Sebuah aliran merah yang menetes perlahan, simbol dari sebuah kehancuran yang baru saja dimulai.Nora terlonjak kaget, sebuah seruan tertahan di tenggorokannya. Instingnya membuatnya maju, ingin meraih tangan Dirga, ingin membantu, menyembuhkan luka yang ia ciptakan. Tapi Dirga menjauhkannya dengan gerakan tiba-tiba yang tajam, sebuah penolakan yang lebih menyakitkan daripada luka itu sendiri. Ia membiarkan darahnya mengalir dan menetes ke lantai marmer, matanya terus menatap Nora, membeku oleh sebuah kekecewaan yang begitu dalam."Ulangi ucapanmu tadi," kata Dirga, suaranya rendah dan berbahaya, membalikkan tubuhnya sepenuhnya untuk menatap
Kehidupan Nora di penthouse Saphira berubah menjadi sebuah rutin sunyi yang memenjarakan. Hari-hari berlalu dalam sebuah lingkaran emas yang terbuat dari kenyamanan material dan kehampaan emosional. Sementara dunia luar bergolak, ia terjebak di dalam gelembung mewah ini. Saphira, dengan semua kebaikannya, berusaha mengisi kekosongan itu. Ia akan membawakan buku-buku bagus, mengajak Nora berkebun di atap, atau sekadar duduk menemaninya minum teh sore. Tapi semua itu terasa seperti plester pada luka yang lebih dalam. Setiap senyum Saphira, setiap usaha untuk mengalihkan perhatian Nora, hanya mengingatkannya bahwa ia adalah seorang pasien yang sedang dirawat, bukan seorang anggota keluarga.Kesepian itu menjadi lebih menusuk saat malam tiba. Dirga sering pulang larut, wajahnya ditarik oleh kelelahan yang mendalam dan bayangan-bayangan dari peperangan yang tidak bisa ia tinggalkan di kantor. Ia akan membawa aroma dingin kota dan bau stres ke dalam kamar mereka, sebuah aura yang tidak bi
"Sebentar, saya ngapain kata Pak Dirga?"Suara Agatha yang berusaha seolah-olah tidak bersalah itu membuat Dirga mendengus kesal. Kepura-puraan wanita itu begitu tipis, namun cukup untuk membuatnya muak. Mereka sekarang duduk di ruang tengah rumah Agatha, sebuah ruangan yang luas dan minimalis namun terasa sangat kecil dan sesak karena kehadiran para pengawal berbaju hitam yang berdiri seperti patung di setiap sudut. Pemandangan ini sempat membuat Agatha bergidik ngeri; ia merasa seperti seekor tikus yang dikepung oleh kucing-kucing besar.Dengan gerakan yang tegas dan penuh amarah, Dirga meletakkan tumpukan foto-foto yang ia temukan di dalam ruang kerja Agatha. Ia meletakkannya kasar di meja pendek yang ada di hadapan mereka, sebuah pembatas yang memisahkan dua dunia: dunia Dirga yang penuh amarah, dan dunia Agatha yang penuh ketakutan. Setiap foto Nora yang tersenyum, kini menjadi senjata di tangan Dirga."Masih tidak mau berbicara jujur?" desak Dirga, suaranya rendah dan berbahaya
Panggilan telepon itu menjadi penutup yang tiba-tiba bagi pertengkaran hebat mereka, sebuah pengalihan yang paksa namun sangat disambut. Di ruang tamu yang megah itu, udara yang tadinya panas dan penuh dengan tuduhan kini menjadi dingin dan penuh dengan fokus baru. Dalam sekejap, monster yang ada di antara mereka—ketakutan dan kekecewaan—digantikan oleh target yang nyata: Agatha."Kita berhasil menemukan lokasi Agatha," kata Dirga pada Nora, suaranya datar, tanpa ekspresi. Ia mengusap puncak kepala Nora lembut, sebuah gerakan yang terasa lebih seperti upaya untuk menenangkan dirinya sendiri daripada Nora. "Saya akan pergi sebentar."Sebelum Nora bisa merespons, Dirga sudah berbalik. Ia berjalan keluar dengan langkah yang pasti, meninggalkan Nora di dalam sangkar emas yang tiba-tiba terasa terlalu besar dan terlalu sunyi.Di bawah, sebuah sedan hitam sudah menunggu. Dirga masuk tanpa kata-kata, diikuti oleh Matthew dan Lucas yang langsung mengambil posisi di depan. Perjalanan dihuni de
Keputusan itu dibuat segera setelah mereka kembali dari parkiran basement mall, masih dengan sisa-sisa adrenalin yang memalukan di pembuluh darah mereka. Dalam perjalanan menuju penthouse Saphira, suara Dirga dingin dan final, tidak meninggalkan ruang untuk negosiasi."Kamu akan tinggal di sini, bersama Ibu, sampai ini semua selesai."Nora setuju pada saat itu, terlalu shock dan lelah untuk membantah. Ia pikir ini hanya untuk semalam, atau paling lama beberapa hari. Tapi pagi berikutnya, ketika ia hendak bersiap pergi ke kantor, Dirga menghalanginya di pintu."Jangan datang ke kantor dulu untuk sementara," kata Dirga, wajahnya keras. "Tidak sampai orang itu tertangkap."Awalnya, Nora pikir ini hanya kekhawatiran berlebihan yang akan segera reda. Tapi hari-hari berikutnya berubah menjadi siklus yang monoton dan mencekik. Ia hanya mondar-mandir di dalam penthouse mewah itu, sebuah sangkar emas yang indah namun memenjarakan. Jendela dari lantai ke lantai menawarkan pemandangan kota yang
Senyum yang tersisa di bibir Nora dari obrolan ringan dengan Deanda membeku saat ia melihat Dirga sudah menunggu di lantai kerjanya. Bersandar santai di dinding, senyum misteriusnya langsung memicu kecurigaan, sebuah senyum yang tidak biasa dan menyimpan sesuatu."Mas Dirga... kenapa?" tanya Nora, matanya menyelidik, mencoba menebak teka-teki lelaki itu.Tanpa jawaban, senyum Dirga melebar. Dengan gerakan dramatis, ia mengeluarkan sepasang kunci dari dalam kantong jasnya. Gantungan kecil berbentuk 'N' berkilau di bawah lampu lorong, sebuah pernyataan yang tak perlu diucapkan.Mata Nora melebar. "Mobilnya udah bener?!"Dirga mengangguk, senyumnya penuh kemenangan. Mereka berjalan menuju lobi, dan di sana, terparkir cantik di samping mobil Ford Mustang hitam Dirga, adalah Porsche baby pink-nya. Sempurna. Tidak ada satu pun goresan, tidak ada satu pun noda. Seolah serangan beberapa waktu lalu hanya mimpi buruk yang berhasil diusir oleh fajar."Hadiah," kata Dirga, suaranya rendah dan ber







