Share

5

Author: sidonsky
last update Last Updated: 2025-09-18 09:12:56

Nora berhenti menggosok tangannya. Ingatannya kabur. Sebelum makan malam, setelah ia merapikan catatan, ia memang sedikit menulis lanjutan dalam draft novelnya. Mencoba mengingat-ngingat saat terakhir membuka laptopnya di rumah makan, ia yakin sudah menutup naskah pribadinya itu.

Seketika muncul bayangan buruk, Dirga duduk di kursi, membuka laptopnya, lalu menemukan sesuatu yang seharusnya tak boleh orang lain lihat. Draft naskah pribadinya, dengan tokoh utama laki-laki yang..

"Naskah di laptop tadi, udah aku close kan, ya?" 

Deg

Nora berhenti menggosok tangannya. Ingatannya kabur. Sebelum makan malam, setelah ia merapikan catatan, ia memang sedikit menulis lanjutan dalam draft novelnya. Mencoba mengingat-ngingat saat terakhir membuka laptopnya di rumah makan, ia yakin sudah menutup naskah pribadinya itu.

Seketika muncul bayangan buruk, Dirga duduk di kursi, membuka laptopnya, lalu menemukan sesuatu yang seharusnya tak boleh orang lain lihat. Draft naskah pribadinya, dengan tokoh utama laki-laki yang..

"Enggak, enggak mungkin. Kayaknya tadi udah di close, kok." bisiknya, mencoba menangkan diri, "Lagian dia juga pasti gak tertarik baca yang lain selain kerjaan, kan?"

Tapi rasa ragu itu terus menancap. Jantungnya berdebar tak karuan, menunggu waktu keluar dari kamar mandi.

Dengan memberanikan diri, Nora melangkah. Matanya langsung di sambut dengan punggung tegap Dirga yang masih duduk di meja kerja. Bahunya terlihat kokoh, sedikit condong ke laptop yang terbuka.

Nora menelan ludah.

Dia tidak berani mendekat. Bahkan suaranya tercekat ketika hendak berkata, "Pak, itu… catatannya sudah kebuka?"

Tak ada sahutan segera. Yang terdengar hanya klik pelan dari touchpad.

Lalu, tiba-tiba Dirga memutar kursinya, menatapnya lurus dengan sorot mata gelap susah ditebak. Bibirnya melengkung samar, tapi bukan senyum ramah. Lebih seperti ekspresi seseorang yang baru menemukan sesuatu yang... menarik?

"Apa ini Nora?”

"Apa yang ada di pikiranmu saat menulis buku dewasa ini?" suaranya rendah, namun menghantam, "Saya?”

Dunia Nora berhenti seketika. 

"Pak.." Nora terbata dengan napas tercekat, tangannya ia pergunakan untuk meremas handuk dalam genggamannya kuat "Saya.. saya bisa jelasin."

"Jadi itu yang kamu tulis, disela-sela waktu luangmu?" sekali lagi, pertanyaan itu seperti menelanjangi Nora habis-habisan, "Siapa Dirga yang ada di tulisanmu itu? Saya?"

Nora melangkah dengan tubuh gemetar, bahkan wajahnya terasa panas ketika ia baru saja selesai mandi. Langkahnya kaku, rasanya ruangan besar ini mendadak sempit dengan napas yang juga semakin menipis.

Nora menelan ludah, ribuan sangkalan terasa kelu di lidahnya. Tak ada satupun yang bisa keluar.

Sampai Dirga terlihat menutup laptop pelan, suara klik terdengar begitu jelas di telinga Nora. Ia bangkit dan berdiri.

"Saya hanya meminta kamu mencatat hal penting, Elanora," tambahnya yang seperti sebuah bisikan di telinga, "Apa saya juga bagian dari hal penting itu?"

Nora bergerak mundur. Punggungnya hampir menabrak pintu kamar mandi yang sudah tertutup rapat. 

"I..itu kebetulan, Pak," Nora terbata dengan telinga yang ikut memerah, "Namanya hanya kebetulan sama." 

Ada dengusan singkat yang Nora dengar, selain suara langkah yang semakin mendekat.

Nora tahu, bahwa hari ini, setidaknya ia akan dikeluarkan? Atau mungkin dituntut perihal dirinya yang memakai nama lelaki itu tanpa izin. Atau kita lihat saja dari yang paling dekat, dimaki habis-habisan.

Dirga tak merespon, ia hanya menatapnya lebih lama, tatapan yang seolah kembali menelanjangi lapisan diri Nora seutuhnya. Lalu, ia melangkah lebih dekat lagi, hingga jarak mereka tak lebih dari satu meter.

Bahkan Nora sudah bisa mencium samar wangi maskulin yang selalu khas pada dirinya. Kehangatan tubuh terasa meski masih ada ruang di antara mereka.

"Orang sepertimu.." manik Dirga turun, memperhatikan detail Nora dengan wajah merendahkan dan senyum yang menyeramkan, "Membayangkan berada di posisi itu dengan saya?"

"Ma… maaf—" cicitnya.

Nyatanya , hanya kata terbata itu yang bisa Nora keluarkan sebagai respon. Karena semua pertanyaan dan ucapan Dirgantara itu seperti menelanjangi semua rahasia yang Nora simpan sendiri.

"Maaf?" ulang Dirgantara semakin menjadi-jadi, "Karna terbaca oleh saya? atau karna kamu yang terlalu jujur dengan fantasimu?" 

"Nora, adegan yang kamu tulis itu cukup berani. Tapi…” Dirga menjeda, seperti menikmati titik terendah Nora, “Dari cara kamu bereaksi, sepertinya kamu belum pernah benar-benar mengalaminya."

"Mau saya ajarkan, Nora?"

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   170

    "What the hell were you thinking?!"Suara Dirga menggelegar, pecah dalam keheningan yang menekan. Setiap kata dilontarkan dengan amarah yang terpendam, sebuah letusan dari gunung berapi yang telah lama tertidur.Dokumen yang dipegangnya terasa lebih berat dari batu karang, bukan karena kertasnya, melainkan karena pengkhianatan yang dikandungnya. Setiap halaman adalah bukti, setiap tanda tangan adalah pisau yang menancap di punggungnya.Ravin berdiri di seberang meja mahoni itu, wajahnya pucat pasi. Mulutnya terbuka sedikit, seolah-olah hendak berbicara, tetapi tidak ada suara yang keluar. Matanya, yang biasanya ceria dan penuh hidup, kini melebar menatap dokumen yang Dirga pegang—sebuah bukti tak terbantahkan dari kejahatannya. "SAY FUCKING SOMETHING!" bentaknya lagi.Kali ini dengan volume yang lebih keras. Dengan gerakan tiba-tiba dan kasar, ia melemparkan tumpukan dokumen itu ke meja. Benda itu mendarat dengan suara bentakan yang keras, beberapa helai kertas terbang melayang sebel

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   169

    "KABAR TERBARU, DIRGANTARA, PUTRA KONGLOMERAT ARDAWIJAYA MENGAKHIRI HUBUNGAN DDENGAN SANG KEKASIH."Judul itu tercetak dengan huruf tebal dan mencolok di halaman depan sebuah koran bisnis ternama. Bagi publik, ini adalah drama lain dari kehidupan para konglomerat: sebuah kisah cinta yang tragis. Tapi bagi Dirga, yang membaca judul itu di meja kerjanya yang megah, setiap huruf adalah sebuah pisau yang menusuk-nusuk jiwa, sebuah pengingat konstan akan pengorbanan yang ia buat dan kebohongan yang ia rasakan.Keputusan itu diambil setelah malam-malam yang panjang dan melelahkan, di mana ia akhirnya menyetujui rencana gila Nora. Mereka akan berpisah, di mata publik. Dan lepasnya ikatan itu membuat Nora bisa kembali ke dalam apartemen yang Dirga belikan, sebuah tempat yang seharusnya menjadi simbol kemerdekaannya. Ia juga sudah boleh kembali bekerja, mencoba sebisa mungkin untuk tidak terlihat di depan umum bersama Dirga, kembali dengan kegiatan menulisnya, berpura-pura bahwa semuanya baik-

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   168

    "Kita, hubungan ini." Genggaman tangan Dirga pada gelas bening itu menguat, bahkan tanpa sadar memecahkannya. TAR! Suara yang tajam dan memecah keheningan itu terdengar seperti sebuah ledakan kecil di ruang tamu yang megah. Darah mengalir dari tangan Dirga yang terluka, menciptakan kontras yang mengerikan dengan lantai marmer putih di bawahnya. Sebuah aliran merah yang menetes perlahan, simbol dari sebuah kehancuran yang baru saja dimulai.Nora terlonjak kaget, sebuah seruan tertahan di tenggorokannya. Instingnya membuatnya maju, ingin meraih tangan Dirga, ingin membantu, menyembuhkan luka yang ia ciptakan. Tapi Dirga menjauhkannya dengan gerakan tiba-tiba yang tajam, sebuah penolakan yang lebih menyakitkan daripada luka itu sendiri. Ia membiarkan darahnya mengalir dan menetes ke lantai marmer, matanya terus menatap Nora, membeku oleh sebuah kekecewaan yang begitu dalam."Ulangi ucapanmu tadi," kata Dirga, suaranya rendah dan berbahaya, membalikkan tubuhnya sepenuhnya untuk menatap

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   167

    Kehidupan Nora di penthouse Saphira berubah menjadi sebuah rutin sunyi yang memenjarakan. Hari-hari berlalu dalam sebuah lingkaran emas yang terbuat dari kenyamanan material dan kehampaan emosional. Sementara dunia luar bergolak, ia terjebak di dalam gelembung mewah ini. Saphira, dengan semua kebaikannya, berusaha mengisi kekosongan itu. Ia akan membawakan buku-buku bagus, mengajak Nora berkebun di atap, atau sekadar duduk menemaninya minum teh sore. Tapi semua itu terasa seperti plester pada luka yang lebih dalam. Setiap senyum Saphira, setiap usaha untuk mengalihkan perhatian Nora, hanya mengingatkannya bahwa ia adalah seorang pasien yang sedang dirawat, bukan seorang anggota keluarga.Kesepian itu menjadi lebih menusuk saat malam tiba. Dirga sering pulang larut, wajahnya ditarik oleh kelelahan yang mendalam dan bayangan-bayangan dari peperangan yang tidak bisa ia tinggalkan di kantor. Ia akan membawa aroma dingin kota dan bau stres ke dalam kamar mereka, sebuah aura yang tidak bi

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   166

    "Sebentar, saya ngapain kata Pak Dirga?"Suara Agatha yang berusaha seolah-olah tidak bersalah itu membuat Dirga mendengus kesal. Kepura-puraan wanita itu begitu tipis, namun cukup untuk membuatnya muak. Mereka sekarang duduk di ruang tengah rumah Agatha, sebuah ruangan yang luas dan minimalis namun terasa sangat kecil dan sesak karena kehadiran para pengawal berbaju hitam yang berdiri seperti patung di setiap sudut. Pemandangan ini sempat membuat Agatha bergidik ngeri; ia merasa seperti seekor tikus yang dikepung oleh kucing-kucing besar.Dengan gerakan yang tegas dan penuh amarah, Dirga meletakkan tumpukan foto-foto yang ia temukan di dalam ruang kerja Agatha. Ia meletakkannya kasar di meja pendek yang ada di hadapan mereka, sebuah pembatas yang memisahkan dua dunia: dunia Dirga yang penuh amarah, dan dunia Agatha yang penuh ketakutan. Setiap foto Nora yang tersenyum, kini menjadi senjata di tangan Dirga."Masih tidak mau berbicara jujur?" desak Dirga, suaranya rendah dan berbahaya

  • Pemuas Hasrat CEO Dingin   165

    Panggilan telepon itu menjadi penutup yang tiba-tiba bagi pertengkaran hebat mereka, sebuah pengalihan yang paksa namun sangat disambut. Di ruang tamu yang megah itu, udara yang tadinya panas dan penuh dengan tuduhan kini menjadi dingin dan penuh dengan fokus baru. Dalam sekejap, monster yang ada di antara mereka—ketakutan dan kekecewaan—digantikan oleh target yang nyata: Agatha."Kita berhasil menemukan lokasi Agatha," kata Dirga pada Nora, suaranya datar, tanpa ekspresi. Ia mengusap puncak kepala Nora lembut, sebuah gerakan yang terasa lebih seperti upaya untuk menenangkan dirinya sendiri daripada Nora. "Saya akan pergi sebentar."Sebelum Nora bisa merespons, Dirga sudah berbalik. Ia berjalan keluar dengan langkah yang pasti, meninggalkan Nora di dalam sangkar emas yang tiba-tiba terasa terlalu besar dan terlalu sunyi.Di bawah, sebuah sedan hitam sudah menunggu. Dirga masuk tanpa kata-kata, diikuti oleh Matthew dan Lucas yang langsung mengambil posisi di depan. Perjalanan dihuni de

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status