LOGINPerjalanan ke rumah Dirga berlangsung dalam keheningan yang nyaman, namun penuh dengan desir-dersir energi tak terlihat. Di dalam mobil Ford Mustang yang mewah, tangan Dirga tidak pernah lepas dari genggaman Nora, ibarat jangkar yang menahannya agar tidak melayang terlalu tinggi karena kebahagiaan. Nora sesekali mencuri pandang ke arah lelaki itu, melihat bagaimana sorot lampu kota berlalu-lalang di wajahnya yang serius, dan ia tidak bisa menahan senyumnya. Mereka sudah resmi bertunangan, di atas piring nasi goreng gila. Kenyataan itu terasa begitu absurd, namun begitu sempurna.Ketika mobil meluncur masuk ke perumahan yang eksklusif dan berhenti di depan gerbang rumah Dirga, Nora sedikit heran. Dirga biasanya langsung masuk, tapi malam ini, ia mematikan mesin dan membiarkan mereka duduk sejenak dalam keheningan."Kenapa, Mas?" tanya Nora pelan.Dirga hanya tersenyum misterius. "Coba masuk saja dulu."Dengan rasa penasaran, Nora mengikuti Dirga keluar dari mobil. Begitu pintu utama t
Suasana di ruang tamu penthouse itu mewah, namun terasa membeku. Lampu gantung kristal di langit-langit memantulkan cahaya lembut ke permukaan sofa kulit mahoni yang Nora duduki dengan canggung. Setiap detik terasa seperti satu jam, diisi hanya oleh desir halus AC dan suara denting halus gelas wine yang Saphira pegang. Nora bisa merasakan tatapan wanita itu, bukan sekadar melihat, tapi meneliti, menimbang-nimbang setiap inci dirinya yang terasa begitu asing di ruangan ini. Ia adalah tetamu di dunia yang bukan miliknya, dan kehadirannya sedang diadili.Kemudian, satu kata meluncur dari bibir Saphira, memecah keheningan dengan tajamnya petir di malam kelam ini. "Menikah?"Dunia Nora seolah berhenti berputar. Darahnya mengalir dingin, dan ia bisa mendengar dentuman jantungnya di telinga, keras dan panik. Dengan reflek, ia menunduk dalam-dalam, kedua tangannya yang ia letakkan sopan di atas paha itu kini tergenggam erat sampai sendi-sendinya putih. Ia berusaha mengendalikan napasnya ya
"Ingin menikah dengan saya?"Suara Dirga yang rendah dan serius itu bukan sekadar pertanyaan; itu adalah sebuah guncangan seismik yang menghancurkan ketenangan malam itu. Nora, yang sedang menikmati sensasi pedas dan gurih ayam suwir di mulutnya, membeku seketika. Satu detik ia berada di surga kuliner, detik berikutnya ia jatuh ke jurang kekacauan emosi. Matanya membelalak, dan napasnya tercekat. Nasi goreng yang baru saja terasa seperti anugerah di langit, kini berubah menjadi gumpalan kasar yang menyumbat tenggorokannya, mencegah udara masuk."Nora!" Seruan Dirga memecah kepanikannya. Ia sudah berdiri, gerakannya cepat dan terlatih. Dua pukulan ringan namun tegas mendarat di punggung Nora. "Tenang, pelan-pelan. Bernapas."Nora menepuk dadanya, wajahnya memerah karena sesak dan malu. Setelah beberapa kali menelan dengan susah payah, gumpalan itu akhirnya turun. Ia menarik napas dalam-dalam, napas yang terasa lebih berharga dari sebelumnya. Matanya berair saat ia menatap Dirga, campu
Sebuah firasat buruk mulai merayap di benak Dirga saat Nora mengucapkan kalimat itu dengan senyum misterius, "Saya tahu mau makan apa." Kecurigaannya itu membludak saat Nora, dengan manisnya, meminta Dirga untuk mengendarai mobil Ford Mustang hitamnya sendiri dan menyingkirkan supir pribadinya untuk malam itu. Seharusnya, di situlah alarm di kepalanya berbunyi nyaring. Tapi senyum Nora, senyum yang mampu melumpuhkan logika dan menggantinya dengan keinginan untuk membahagiakannya, membuat Dirga menuruti semua permintaan itu.Lihatlah sekarang. Ikat pinggang logam yang mengkilap dari sebuah mobil sport senilai miliaran rupiah itu terparkir miring di pinggir jalan yang sepi, di depan gerobak nasi goreng yang lampu neonnya berkedip lemah. Aspal berlubang dan lampu jalan yang redup menjadi kontras yang menyakitkan mata bagi sang CEO. Hanya sesekali kendaraan lain melaju kencang, meninggalkan mereka dalam keheningan yang hanya diisi oleh desir angin malam dan suara wajan yang berdenting
Langit jingga merah di luar jendela kaca ruangan barunya telah memudar, digantikan oleh kegelapan malam yang dibelah sinar rembulan purnama. Nora merenggangkan pinggangnya yang kaku karena seharian duduk. Sebuah regangan yang melepas lelah, namun tidak mampu meleaskan kecemasan di dadanya. Ia melirik ponsel yang tergeletak di meja. Pukul tujuh lewat lima menit. Tidak ada pesan, tidak ada panggilan dari Dirga. Keheningan di ujung sana terasa mengganggu.Setelah merapikan tumpukan berkas dan memasukkan beberapa dokumen penting yang belum sempat ia baca ke dalam tas, Nora beranjak. Ia membuka pintu ruangannya perlahan, sebuah lorong kantor yang sudah sepi menyambutnya. Hanya dua orang staf yang masih terlihat sibuk di meja masing-masing, dan mereka segera menundukkan kepala dengan sopan saat Nora melangkah melewati mereka. Pandangan singkat dan cepat itu cukup untuk menunjukkan siapa yang memiliki kuasa di lantai ini.Nora masuk ke dalam lift, dinding kaca yang memantulkan bayangannya
Meskipun divisi Publisher bukanlah jantung dari bisnis raksasa Ardawijaya Group, dampak skandal yang melibatkan Dirga dan ayahnya terasa seperti gempa susulan yang terus bergemuruh di koridor-koridor mereka. Udara di lantai ini, yang biasanya dipenuhi oleh semangat kreatif dan bau kertas baru, kini terasa berat dan penuh kecemasan. Sponsor yang sudah menandatangani kontrak tiba-tiba menunda kerja sama, beberapa proyek peluncuran buku yang telah direncanakan selama berbulan-bulan dibatalkan tanpa penjelasan yang jelas, dan reputasi perusahaan yang dibangun selama bertahun-tahun perlahan terkikis oleh isu yang beredar di media.Dan di tengah pusat badai ini, ada Nora. Gadis yang beberapa waktu lalu masih berjuang dengan blus putihnya kini duduk di ruangan kerja yang luas, dengan sebuah papan nama bertuliskan "Nora—Chief Content Officer" yang terasa begitu asing di matanya. Ia harus belajar cepat, tenggelam dalam lautan informasi baru, atau ia akan tenggelam bersama perusahaan ini.Bar







