Meskipun divisi Publisher bukanlah jantung dari bisnis raksasa Ardawijaya Group, dampak skandal yang melibatkan Dirga dan ayahnya terasa seperti gempa susulan yang terus bergemuruh di koridor-koridor mereka. Udara di lantai ini, yang biasanya dipenuhi oleh semangat kreatif dan bau kertas baru, kini terasa berat dan penuh kecemasan. Sponsor yang sudah menandatangani kontrak tiba-tiba menunda kerja sama, beberapa proyek peluncuran buku yang telah direncanakan selama berbulan-bulan dibatalkan tanpa penjelasan yang jelas, dan reputasi perusahaan yang dibangun selama bertahun-tahun perlahan terkikis oleh isu yang beredar di media.Dan di tengah pusat badai ini, ada Nora. Gadis yang beberapa waktu lalu masih berjuang dengan blus putihnya kini duduk di ruangan kerja yang luas, dengan sebuah papan nama bertuliskan "Nora—Chief Content Officer" yang terasa begitu asing di matanya. Ia harus belajar cepat, tenggelam dalam lautan informasi baru, atau ia akan tenggelam bersama perusahaan ini.Bar
Setelah mengantar Nora, dengan berat hati Dirga kembali pada lantainya. Dengan setiap langkah di karpet tebal yang menelan suara, ia membangun kembali tembok di sekeliling diri, setinggi mungkin. Senyum yang tadi ia berikan untuk Nora dihapus sepenuhnya, digantikan oleh topeng dingin seorang CEO. Tak ada sapaan hangat, tak ada basa-basi. Ia kembali menjadi Dirga yang tangguh, yang tak tersentuh, yang kehadirannya saja cukup untuk membuat ruangan menjadi lebih dingin.Sekretarisnya membukakan pintu ruang kerja yang luas, dan di dalamnya, para dewan direksi sudah menunggu di sekitar meja kayu jati yang mengkilap. Namun, bukan mereka yang langsung menarik perhatian Dirga. Di sana, di kursi yang seharusnya kosong di sebelah kursi utamanya, sudah duduk Ravindra Pranata. Sepupunya. Mengenakan jas abu-abu muda yang tampak kontras tajam dengan interior gelap ruangan rapat, kehadirannya seperti sebuah percikan api di tumpukan minyak, sebuah anomali yang menjanjikan bahaya.Suasana pagi itu
Pagi itu, Nora tidak tahu apa yang sedang dipersiapkan Dirga. Satu-satunya instruksi yang diterimanya adalah untuk berdandan rapi dan bersiap. Jadi, di sinilah ia sekarang, berdiri di bawah kubah megah gedung Ardawijaya Group, dengan Dirgantara, sosok yang telah mengubah hidupnya, berdiri tepat di sisinya.Sebuah blazer tanpa lengan dengan aksen monogram dari Louis Vuitton dan celana panjang berwarna nude terasa aneh di tubuhnya. Ini adalah salah satu dari banyak pakaian mewah yang Dirga belikan, sebuah pakaian yang harganya hampir setara dengan gajinya selama setahun. Nora merasakan kain halus itu menyentuh kulitnya, sebuah pengingat konstan akan betapa jauh ia telah melangkah dari blus putih murah dengan kancing yang menguning yang dulu menjadi seragamnya.Di sampingnya, Dirga berdiri dengan kacamata hitam yang menutupi ekspresinya, menampilkan aurat otoritas yang tak tergoyahkan. Sebelum melangkah, ia melempar sekilas pandangan ke arah Nora, sebuah penilaian cepat, lalu ia berjal
Suasana di apartemen Nora jauh berbeda dengan rumah mewah Dirga yang megah dan seringkali terasa dingin. Di sinilah, di antara dinding-dinding yang lebih kecil dan perabotan yang ia pilih sendiri, Nora merasa memiliki sedikit kendali. Hari itu, ia memilih untuk berada di sini, mencari ketenangan di dapurnya yang kecil. Aroma daging asam manis yang sedang ia masak mulai menyebar, sebuah upaya untuk mengisi perut yang keroncongan dan mungkin, mengisi kekosongan di hatinya.Ketukan keras di pintu apartemen mengusir kesunyian, membuatnya sedikit terlonjak. Nora menghentikan aktivitasnya, mematikan api kompor sejenak. Ia tahu siapa yang akan berada di balik pintu itu. Dengan napas yang dihela pelan, ia berjalan membukanya.Benar saja. Dirga berdiri di sana, sosoknya yang tinggi tegap memenuhi ambang pintu. Wajahnya keras, tanpa senyuman."Saya sudah bilang untuk pulang ke rumah," kata Dirga, suaranya dingin dan berwibawa, seperti seorang atasan yang memberi perintah.Nora hanya memandangn
Pintu mobil Porsche baby pink tertutup dengan bunyi thump yang tegas, mengunci Nora di dalam kapsul privat yang terasa dingin dan asing. Sebelum pintu benar-benar menutup, tangan Dirga muncul di ambang jendela. Jarang-jarannya lembut menyapu puncak kepala Nora, sebuah sentuhan yang bertentangan dengan kekerasan di matanya."Saya akan pulang nanti," katanya, suaranya rendah dan penuh penekanan, sebuah perintah yang tersamar sebagai permohonan. "Dan saya mohon, tetap di rumah."Nora tidak menjawab. Ia hanya menatap lurus ke depan, pandangannya kosong melihat lobi kaca yang megah. Dirga menarik tangannya, dan dengan gerakan yang cepat, pintu itu tertutup sepenuhnya, memisahkan mereka.Lelaki itu berbalik. Saat ia memutar tubuh, bahunya yang tadianya sedikit lunglai karena kelelahan kembali tegak. Wajahnya kembali menjadi topeng dingin sang CEO, tanpa celah, tanpa ampun. Setiap langkahnya kembali ke ruangan itu terasa berat, namun penuh tekad.Di dalam, Ravindra sudah bersantai di sofa t
"Ravindra?"Nama itu meluncur dari bibir Dirga bukan sebagai pertanyaan, melainkan sebagai sebuah desahan yang sarat akan kelelahan dan amarah yang tertahan. Alisnya yang hitam pekat bertaut, matanya yang semula sayu karena kurang tidur kini melebar, waspada mengamati sepupu satu-satunya itu yang melangkah masuk dengan angkuh bak seorang raja yang memasuki wilayahnya.Pandangan Ravin tak segera bertemu dengan Dirga. Sebaliknya, ia menyapu Nora dari ujung rambut hingga ujung kaki dengan tatapan tajam yang penuh penilaian, sebuah tatapan tak suka yang tak ia usahakan untuk sembunyikan. Lalu, dengan langkah terukur yang menunjukkan kepercayaan diri berlebih, ia berjalan mendekat.Insting Dirga langsung memicu alarm bahaya. Dengan gerakan cepat dan reflek, ia melangkah maju, menempatkan tubuhnya sebagai tembok kokoh di depan Nora. Tangannya yang tadi mengendurkan dasi kini mengepal, siaga. "Cukup," kata Dirga, suaranya rendah, berat, dan penuh peringatan yang tak bisa disangkal.Tindaka