Nora benar-benar menepati janjinya. Pagi itu, surat pengunduran diri terasa begitu berat di genggaman Nora, seolah-olah kertas itu bukanlah sekadar dokumen, melainkan seluruh enam bulan perjuangan dan harapannya di perusahaan ini. Setiap langkah menuju ruangan Pak Ezra terasa seperti berjalan di atas awan yang siap menghempaskannya. Dengan napas yang ditahan, ia mengetuk pintu dan masuk."Pak Ezra," kata Nora, suaranya sedikit bergetar. Ia menyerahkan secarik kertas itu di atas meja pak Ezra, dengan jari-jari yang hampir tidak mau melepaskannya.Pria berumur empat puluh tahunan itu mengangkat kacamatanya, matanya mengerjap membaca judul di atas surat itu sebelum beralih ke wajah Nora yang pucat. "Kamu yakin?" tanyanya dengan lembut, suaranya penuh pengertian.Nora hanya bisa mengangguk mantap, meski di dalam dadanya terasa ada yang hancur berkeping-keping. Pak Ezra menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis. "Baiklah. Saya terima."Kembali ke meja kerjanya yang tampak asing sekaran
"Ingin langsung mempraktekannya?" bisik Dirga, suaranya rendah dan bergelombang, sebuah tantangan yang tergantung di antara mereka. Wajahnya hanya bersentuhan satu jengkal dari Nora, cukup dekat untuk menghitung bulu matanya, cukup dekat untuk merasakan napasnya yang membasahi bibir Nora yang sedikit terbuka.Nora menelan ludahnya, sebuah gerakan yang terasa berat dan kaku. Matanya berkedip, berusaha memfokuskan kembali pada realitas yang tampaknya melarikan diri. Senyum kecil di wajah Dirga, senyum yang selalu berhasil melumpuhkan pertahanannya, mengembang. Tanpa sadar, Nora membalasnya dengan senyum miringnya, sebuah isyarat dari kekalahan yang sudah di depan mata.Tapi di dalam kekalahan itu, sebuah percikan keberanian menyala. Mungkin karena lelah menahan rindu, atau mungkin karena ia sudah tidak peduli lagi. Dengan satu gerakan yang lancar, Nora bangkit dari posisinya. Tangannya yang sedikit gemetar meraih kerah kemeja Dirga, menariknya turun dengan paksa hingga lelaki itu terdu
Hening menemani perjalanan mereka malam itu. Jalanan lengang, lampu kota memantul di kaca mobil, dan suara hujan tipis menambah dingin yang tidak hanya terasa di udara, tapi juga di hati Nora. Ia bersandar diam, matanya kosong menatap jendela. Bayangan Dewa masih terlintas, suara marahnya, genggamannya yang terlalu kuat, dan luka yang tersisa bukan hanya di lututnya, tapi juga di pikirannya.“Mas Dirga…” suaranya pelan, “Kalau bukan karena saya, Dewa nggak akan seperti itu.” Sementara Dirga tak langsung menjawab. Tangannya yang menggenggam kemudi sempat mengendur.Hanya satu kalimat yang keluar setelah beberapa detik, tenang namun tegas, “Jangan salahkan diri kamu atas pilihan orang lain.”Ia melirik Nora sejenak lalu mengusap kepalanya lembut, seolah ingin meredakan kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. Mobil sempat berhenti di depan apotek. Dirga turun tanpa berkata, membeli perban, kapas, dan obat merah, lalu kembali dengan wajah serius.Perjalanan dilanjutkan. Kali ini tak ada pe
Nora sempat berpikir lelaki itu akan membiarkannya pergi sendiri. Tapi seperti biasa, Dirga tidak pernah benar-benar memberi ruang untuk berdebat.“Saya bisa pergi sendiri, Mas Dirga,” ucapnya pelan, menatap pria di samping kemudi. “Mas Dirga masih ada meeting sama beberapa investor, kan?”Namun Dirga hanya menyalakan mesin mobil tanpa menoleh. “Saya antar.”Nada itu tegas, tak memberi celah untuk penolakan. Nora hanya bisa menarik napas dalam, menatap jalanan Jakarta yang mulai basah oleh hujan tipis di luar. Lampu-lampu kota berpendar lembut di balik kaca Ford Mustang hitam yang melaju mulus di bawah langit gelap.Tak ada percakapan berarti sepanjang perjalanan. Hanya suara wiper dan napas yang saling berkejaran.Hingga akhirnya, mobil berhenti di depan sebuah restoran Cina dengan bangunan modern, hangat diterangi lampu kuning redup yang memantul di permukaan basah aspal. Sementara jam di dashboard menunjukkan pukul tujuh malam.Dirga menoleh perlahan. “Saya tunggu di sini.”Nora me
Nora sempat mengira Dirga akan membawanya ke sebuah rumah makan yang keberadaannya diluar kantor, tapi langkah lelaki itu malah berhenti di depan sebuah pintu kaca besar bertuliskan Canteen. Membuat gadis itu mengerutkan kening ragu.“Mas Dirga, serius?” tanyanya ragu.Lelaki itu menoleh sekilas, senyum tipis terbit di wajahnya. “Kenapa? Kantin ini juga milik saya.”Nora mendengus kecil, tapi tak menjawab lagi. Begitu pintu otomatis terbuka, aroma nasi hangat dan lauk-lauk kantin langsung menyeruak. Suasana siang itu cukup ramai meski hari Sabtu, tidak semua karyawan masuk, tapi beberapa tim proyek dan staf penting terlihat makan di sana.Begitu sosok Dirga muncul, hampir semua kepala menoleh. Gumaman lirih terdengar, dan pandangan mereka tak hanya berhenti pada Dirga, tapi juga pada Nora yang berjalan di sisinya. Sebagian wajah tampak terkejut, sebagian lain pura-pura sibuk dengan piring masing-masing.Namun bisik-bisik halus tetap terdengar di udara.“Bukannya itu mantan karyawan da
Pagi itu, aroma kopi dan wangi kayu cendana milik Dirga memenuhi kamar apartemen. Nora membuka matanya perlahan, melihat lelaki itu sudah berdiri di depan cermin dengan jas biru tua yang terpasang sempurna. Wajahnya tampak segar, tapi sorot matanya menyimpan lelah yang sulit disembunyikan.Saat bibir Dirga mendarat di keningnya, Nora mengerjap pelan. Ia bahkan tak sadar kapan tertidur malam tadi. Seingatnya, ia menemani Dirga menyiapkan berkas-berkas untuk konferensi pers hingga larut malam. Entah kapan lelaki itu mengangkat tubuhnya ke tempat tidur.“Saya berangkat dulu,” katanya lembut. “Tidurlah lagi.”Nora melirik jam di nakas, pukul lima pagi. “Mas Dirga tidur jam berapa semalam?”“Hanya sebentar, tapi cukup,” jawab Dirga dengan senyum samar yang tentu tak Nora tak percayai. Ia bangun setengah, menjulurkan tangan, dan memeriksa dahi Dirga. “Masih demam. Selesai kerja nanti, kita panggil Dokter Darmaji lagi.”“Saya baik-baik saja, Nora. Hanya sedikit demam, tidak akan membuat sa