“Ya udah deh, Mas. Tapi sebelum kita pulang, aku mau berbelanja dulu di sini, bagaimana?”
Bryan mengangguk pelan. “Iya, sayang. Kamu belanja aja sepuasnya.”
“Oke, Mas. Makasih ya,” ucap Nina kemudian mengecup bibir suaminya sekilas.
Bryan tersenyum senang dengan kecupan yang baru saja Nina berikan.
“Iya, setelah itu kita kembali ke hotel, istirahat dan makan siang, lalu kita check out dari sini kemudian pergi ke bandara.”
“Iya, Mas. Oke.”
Bryan melanjutkan kegiatannya. Dia terus menciumi leher dan pipi Nina. Secara refleks, Nina mendekatkan lehernya ke arah suaminya, seolah memberikan akses pada Bryan untuk memainkan bibirnya di sana. Tanpa mereka sadari, anak mereka sudah selesai menyusu. Tatapan Brianna fokus memperhatikan kedua orang tuanya yang sibuk sendiri. Merasa diabaikan, Brianna memukul pelan dada Nina, seolah memberitahu ibunya bahwa dia sudah selesai menyusu.
Nina terkejut saat dadanya dipukul oleh anaknya. Namun keterkeju
Bryan menatap sinis ke arah pria yang sedang duduk bersebelahan dengan istrinya.‘Apa-apaan dia? Kenapa dia datang lagi menemui Nina?’Nina menyambut kedatangan suaminya dengan sebuah senyuman manis. Nina pun langsung menggenggam tangan suaminya dan berkata, “Sudah selesai semuanya, Mas?”“Iya, sudah selesai. Ayok kita pergi,” ajak Bryan yang masih melemparkan tatapan tajam kepada Dicky.Baru saja hendak mengambil Brianna yang saat ini sedang asik tidur di baby stroller, Nina pun langsung mencegat pergerakan suaminya.“Mas, aku mau ngomong sesuatu sama kamu.”“Mau ngomong apa, sayang?”“Di perusahaan Papa kamu ada lowongan kerja gak, Mas? Mas Dicky baru saja dipecat dari pekerjaannya. Kasihan dia, Mas. Sudah gak ada pegangan sama sekali karena ngelunasin utang keluarganya di bank. Bantuin dia ya, Mas. Jadi cleaning service pun gak masalah, Mas.”Bryan mengh
Mereka bersama-sama melangkah menuju lobi bandara. Pak Jaka, sopir pribadi Bryan sudah menunggu majikannya beberapa menit yang lalu. Pak Jaka sempat kebingungan saat melihat sosok pria asing yang sedang mengikuti majikannya. Namun, Bryan menjelaskan kepada sopir pribadinya itu. Pak Jaka pun mengangguk kecil.Bryan mempersilakan istrinya untuk masuk ke dalam mobil terlebih dahulu. Setelah itu dia menyusul istrinya duduk di kursi penumpang bagian belakang. Sementara Dicky duduk di sebelah kursi pengemudi dan ditugaskan untuk memangku Brianna.Pak Jaka lalu mengemudikan mobil keluar dari area bandara menuju apartemen Nina.Bryan menyempatkan diri untuk mengabari ayahnya, Fredrinn bahwa mereka telah pulang dari Bali.“Kamu ke rumah saja, Bry! Jangan ke apartemen! Apartemen itu biarlah keluarga istrimu yang menempati, kamu dan Nina serta anak kalian tinggal di rumah saja. Lagi pula rumah sepi, gak ada kalian. Papa kesepian karena di rumah cuman ada pemba
Singkat cerita, Nina dan Bryan sudah selesai menyantap makan malamnya di meja makan. Sedangkan Dicky dan Bi Lastri menyantap hidangan mereka di dapur. Ketika melihat bahwa pasangan suami istri itu sudah selesai dengan makanannya, Dicky pun langsung menghampiri meja makan dan membereskan piring kotor tersebut kemudian membawanya ke dapur.Nina menatap heran kepada sosok Dicky yang sangat antusias mengerjakan pekerjaan rumah.“Mas, dia kamu jadikan pembantu di sini ya?” tanya Nina pada suaminya. “Aku kan bilang, kamu jadikan dia sebagai cleaning service di perusahaan Papa saja, jangan pembantu di rumah ini. Jadinya dia gak tinggal di sini juga, Mas. Dia bisa ngekost atau apalah gitu. Gak tinggal bareng kita.”“Mana ada! Aku belum ngomong apa-apa loh ke orang itu! Aku nungguin Papa pulang dulu, baru aku masukin dia ke perusahaan Papa sebagai cleaning service. Kan gak mungkin aku asal mempekerjakan orang di perusahaan tanpa seizin Papa dulu, Nin.”“Terus kenapa dia malah nyuci piring, Mas
“Kata Papa kamu apa, Mas? Lowongan cleaning service di kantor Papa masih ada kan, Mas? Nah, masukin aja Mas Dicky di situ, jadi besok pagi bisa langsung kerja,” tanya Nina saat Bryan baru saja masuk ke dalam kamar mereka.Bryan menggeleng pelan. “Papa juga gak tau, Nin. Mau ditanyakan ke HRD dulu.”“Oh ya udah, Mas. Kita tungguin aja info dari Papa lagi,” ucap Nina santai.“Kelamaan, sayang. Bagaimana kalau kita usir aja si Dicky itu besok pagi?” usul Bryan. Dia lalu ikut merebahkan diri di samping istrinya yang sedang bermain hp.“Terus Mas Dicky tinggal di mana kalau kita usir? Kita tungguin saja ya info dari Papa.”“Duh, sayang. Kamu ini terlalu baik apa gimana sih? Soal dia tinggal di mana, ya itu jadi urusannya sendiri dong! Kita gak punya kewajiban untuk membantu dia!”“Kita udah bawa dia ke Jakarta, kalau kita usir begitu saja, berarti kita orang jahat dong, Mas.”Bryan hanya bisa menghela napas pasrah dengan sikap istrinya. “Ya sudahlah, sayang. Terserah kamu sajalah.”*Pukul
Nina melihat Dicky yang sedang memijat punggung suaminya. Bahkan dengan lincahnya, Dicky menuangkan minyak urut pada punggung suaminya itu.Saat ini Bryan hanya mengenakan handuk putihnya, karena dia baru saja selesai mandi. Bryan sedang tidur tengkurap dan menikmati pijatan dari Dicky.“Mas Bryan?” panggil Nina lalu mendekati ranjang, di mana suaminya sedang tiduran.Bryan dan Dicky pun langsung menoleh dengan santainya.“Mas Dicky, kamu tolong keluar. Biar aku saja yang memijat suamiku,” cetus Nina.“Baik, Nyonya.” Dicky pun langsung menghentikan kegiatannya dan berpamitan.Nina membiarkan anaknya bermain-main di atas ranjang. Nina lalu duduk di sebelah suaminya. “Kok kamu minta dipijatin sama Mas Dicky sih? Kan ada aku! Kamu bisa nyuruh aku aja!”“Tadi dia lagi nyapu di sini pas aku baru kelar mandi, eh dia nawarin aku, mau dipijat gak, karena aku kebetulan merasa pegal, yaudah aku iyain aja deh,” jawab Bryan santai.Nina menghela napas malas. “Hm, ya udah, Mas. Biar aku yang mijat
Melihat tingkah laku aneh Dicky pada hari ini membuat Nina semakin menaruh curiga. Terlebih lagi akhir-akhir ini, Dicky sering mengajak Bryan berbicara bahkan memberikan perhatian lebih pada Bryan.Nina saat ini duduk di atas karpet bulu tebal, menemani Brianna bermain. Sementara suaminya sedang mandi sore. Nina yang sedang asik melamun, tidak fokus mengawasi anaknya yang hampir saja menelan sebuah mainan bongkar pasang. Ketika menyadari bahwa Brianna sedang tersedak, barulah Nina terkejut dan panik setengah mati. Nina langsung terburu-buru mengambil benda kecil itu dari mulut anaknya dan membereskan semua mainan yang berhampuran di depan mereka.“Astaga, Brianna!! Hampir saja ketelan.” Nina menghela napas lega setelah memastikan bahwa anaknya baik-baik saja. “Huh, aku ini teledor banget sih. Bisa marah Mas Bryan kalau Brianna kenapa-kenapa,” ucap Nina yang kini menyalahkan dirinya sendiri.Brianna kemudian menangis keras karena semua mai
Pikiran negatif pun mulai bertebaran di kepalanya. Nina menduga apakah mungkin bahwa Dicky belok? Lama-lama Nina merasa mual sendiri karena memikirkan bayangan buruk di kepalanya.“Ihh, menjijikkan! Padahal waktu sekolah, dia kan hits banget dan menjadi idola para gadis. Kenapa sekarang malah belok begini ya? Masa sih dia gay? T-tapi kalau emang benar dia belok, aku gak boleh diam saja! Suamiku dalam bahaya kalau begini ceritanya.”*“Apa yang sedang kamu pikirkan, sayang? Aku lihat kamu dari sore tadi seperti banyak pikiran,” tanya Bryan kala melihat istrinya hanya termenung di depan meja rias.“Tidak ada apa-apa, Mas,” jawab Nina berbohong.Nina segera menyudahi kegiatannya skincare-an malamnya itu. Nina lalu merebahkan tubuhnya di samping Bryan, bergelung di dalam selimut tebal. Nina memaksakan matanya untuk terpejam. Beberapa detik kemudian, Nina merasakan sebuah lengan melingkari pinggangnya. Lengan itu kemu
“Dicky udah pergi dari sini, Mas. Aku baru saja mengusirnya,” jawab Nina.“Oh ya? Kok kamu usir? Padahal kemarin kamu yang mati-matian mempertahankan dia untuk tetap tinggal di sini. Tapi kok sekarang malah kebalik?”“Dia berbahaya, Mas. Dia itu gay! Makanya dia maksa kerja di sini. Dia mau ngincar kamu soalnya. Aku juga baru tau kebenarannya setelah menghubungi pihak hotel tempat kita menginap di Bali kemarin. Kata manajernya, dia dipecat karena ketahuan menyelinap di kamar turis cowok, Mas. Intinya dia meresahkan para tamu hotel, makanya sampai dipecat,” jelas Nina.Seketika Bryan merinding mendengar pernyataan itu. “Huh, baguslah kalau dia sudah kamu usir. Ku kira dari awal dia itu modus ke kamu, mau bekerja di sini supaya bisa deketin kamu, eh rupanya ngincar aku. Mengerikan sekali lelaki modelan dia. Padahal lubang punya cewek lebih nikmat, dia malah suka sama batang,” ucap Bryan sembari memeluk istrinya dari
Di sisi lain, Nina sedang meratapi nasibnya. Wanita itu berdiri di tepi jembatan flyover sembari termenung. Pandangannya kosong. Manik matanya memandangi kendaraan yang berlalu-lalang di bawah fly over tersebut.Nina kembali terisak mengingat kejadian yang dia lihat di kantor. “Ah sial. Aku menangis lagi. Kenapa air mata ini gak mau berhenti sih?” umpat Nina di sela-sela isakan tangisnya.Sudah beberapa jam Nina berdiam diri di fly over itu bagaikan orang gila. Nina sengaja tidak pulang ke rumah dan tidak mengaktifkan ponselnya agar Bryan merasa bersalah lalu mencari-carinya. Tetapi Nina merasa Bryan sudah tidak peduli lagi padanya. Buktinya, hari hampir malam, tetapi Bryan masih juga belum menemukannya di tempatnya sekarang ini.“Kenapa aku goblok banget ya nungguin dia? Dari tadi diam di sini terus. Kenapa dia belum muncul-muncul juga? Seluas apa sih kota Jakarta sampai dia gak bisa menemukan aku di sini? Atau jangan-jangan dia gak nyariin aku? Apa dia masih b
Bryan kemudian ikut berlari meninggalkan ruangan, hendak menyusul Nina.“Nina!! Tunggu aku!” teriak Bryan saat melihat istrinya sudah berada di anak tangga pada lantai bawah. “Nina! Jangan salah paham! Dengarkan penjelasanku dulu!”Bryan terus mengikuti langkah istrinya yang cepat itu sampai di lobi kantor.“Nina! Jangan lari dong. Aku gak sanggup ngejar kamu,” teriak Bryan lagi. Namun istrinya itu tetap menggerakkan kakinya keluar dari gedung. Sementara Bryan memilih untuk berhenti dan mengatur napasnya yang sudah tidak beraturan.“Oh My God! Kepalaku seperti diputar-putar. Rasanya mau pingsan,” keluh Bryan dengan napas yang terputus-putus.Salah satu karyawannya menghampirinya dan bertanya, “Pak Bryan baik-baik saja?”Bryan menggeleng. “Tidak. Saya tidak baik-baik saja. Tolong susul istri saya itu. Cegat dia. Jangan sampai dia pergi.”“Baik, Pak.”
“Tidak. Kamu ini jangan asal menuduh.”Nina merebahkan tubuhnya di ranjang mengikuti Bryan yang lebih dulu rebah di sana. Nina menoleh ke suaminya yang tidur dengan posisi membelakanginya. “Mas, kamu langsung mau tidur ya? Kamu gak mau minta jatah dulu?” tawar Nina.“Iya, sayang. Aku mau langsung tidur,” jawab Bryan tanpa berbalik badan.Tubuh Nina makin menempel ke tubuh Bryan. Nina sengaja ingin memancing gairah suaminya. Nina lalu memeluk erat Bryan kemudian berkata dengan manja. “Kok gitu, Mas? Biasanya kan kamu gak bisa tidur kalau gak dilayani dulu. Ayo, Mas. Kita habiskan malam ini dengan bercinta menggunakan seribu macam gaya.”Bryan menjauhkan tangan Nina yang melingkar di perutnya. “Lain kali saja ya, sayang. Aku benar-benar lelah malam ini. Aku mau tidur sekarang.”“Mas, ayo dong. Kita main! Aku kebelet, Mas. Pengen dicolokin sama kamu,” ucap Nina berusaha menggoda i
Sudah lima hari Nina bedrest di rumah sakit akibat pendarahan yang dialaminya, hingga menyebabkan janinnya gugur di dalam kandungan. Kini saatnya Nina kembali pulang ke rumah setelah memeriksa kondisinya. Dengan senyum yang merekah, Nina merapikan pakaiannya dan menunggu suaminya yang sedang mengurus administrasi rumah sakit.Bryan tersenyum sumringah melihat istrinya yang sudah siap dan tampak segar saat dia masuk ke dalam ruang rawat inap. Bryan lalu mencium bibir ranum Nina yang semakin hari terlihat semakin menggoda.“Sudah siap pulang ke rumah?” tanya Bryan sambil mengarahkan lengan kanannya untuk dirangkul istrinya.“Sudah dong, Mas. Aku sudah siap dari tadi. Ayo kita pulang sekarang, Mas. Aku sudah gak sabar mau ketemu dengan anak-anak,” sahut Nina. Dengan cepat dia melingkarkan tangannya di lengan kanan suaminya. Namun, Nina melepaskan lagi tangannya yang sudah melingkar manis di lengan Bryan, kala pria itu tiba-tiba menghentikan
“Sudah beribu kali aku katakan padamu. Aku cinta sama kamu.”Nina merasa sedikit lega mendengar jawaban Bryan. Meskipun belum bisa dipastikan benar atau tidaknya.Di saat Bryan tengah memeluk tubuh istrinya, tiba-tiba pintu kamar ruang rawat inap itu terbuka. Aliyah dan Rozak beserta keempat anaknya berjalan memasuki ruangan.“Mama!” seru anak-anaknya secara bersamaan.Nina sontak melepaskan diri dari pelukan suaminya dan merentangkan kedua tangan, menyambut keempat anaknya.“Nana, Yaya, Lala, Jojo, sini sayang!” ucap Nina dengan tatapan penuh kerinduan.Walaupun keempat anaknya itu setiap hari mengunjunginya di rumah sakit, tapi tetap saja Nina merasa rindu pada anak-anaknya.Bryan membawa keempat anaknya ke atas ranjang perawatan dan menempatkan mereka di sisi Nina, kiri dan kanan.“Mama kapan pulangnya? Yaya kangen sama Mama,” ucap Cattleya ketika berada dalam pelukan ibunya. Dia menatap ibunya dengan tatapan penuh kerinduan.“Iya, Lala juga kangen sama Mama. Pengen Mama cepat-cepa
Bryan mondar-mandir berjalan di depan ruang UGD seraya mengusap wajahnya berulang kali. Sementara Pak Jaka hanya duduk di kursi tunggu sembari memperhatikan majikannya yang dari tadi bergerak gelisah.“Mendingan Tuan duduk saja dulu di kursi,” ucap Pak Jaka.“Tidak bisa, Pak. Aku khawatir sama istriku. Kenapa sih dia harus menyusul aku ke hotel? Kenapa Pak Jaka mau saja mengantarkannya menemuiku?”“Maaf, Tuan. Tapi Nyonya sendiri yang mau bertemu dengan Tuan. Katanya sih ada hal penting yang mau disampaikan kepada Tuan. Nyonya juga tampaknya bersemangat sekali ingin bertemu dengan Tuan,” jelas Pak Jaka, sedikit merasa bersalah.Bryan memutuskan untuk duduk sembari menghela napas panjang. “Sesuatu yang penting seperti apa yang ingin dia katakan kepadaku sampai harus mengorbankan nyawanya?” gumam Bryan pelan kemudian kembali mengusap wajahnya.Tak lama kemudian, seorang dokter muncul dari dalam ruang UGD yang pintunya baru saja terbuka.“Apa Anda suaminya Ibu Nina Anatasya?” tanya dokte
“Mama juga gak tau. Kita samperin Papa sekarang yuk.”Nina menguatkan dirinya sendiri untuk melanjutkan langkahnya menghampiri sang suami.Bryan sedikit terkejut ketika melihat Nina dan juga anak sulungnya berada di bandara.“Nina? Kenapa kamu bisa ada di sini? Aku kan gak nyuruh kamu menjemputku di bandara,” ucap Bryan dalam kondisi yang masih bergandengan tangan dengan wanita cantik di sebelahnya.“Kenapa, Mas? Supaya kamu bisa mesra-mesraan dengan wanita ini ya?” semprot Nina. Nina menoleh lalu melemparkan tatapan tajamnya ke arah wanita itu. “Bisa lepasin tangan suami saya?”Dengan cepat wanita itu melepaskan tangannya di lengan Bryan dan berdiri agak menjauh dari Bryan. “Maaf, Bu. Saya hanya menjalankan tugas saja.”Nina menyipitkan matanya kala mendengar suara itu. Suara yang familiar. ‘Oh ternyata ini wanita yang juga mengangkat telponku waktu itu.’“
Dua minggu kemudian…Nina terkesiap ketika menatap kalender. Dia baru menyadari kalau saat ini dia telah terlambat datang bulan. Dalam perhitungannya, sudah ada dua bulanan dia tidak mengalami datang bulan. Seketika tangannya mengelus perut ratanya. Senyum merekah dari bibirnya yang ranum.Nina memang belum memeriksakan dirinya ke dokter kandungan untuk memastikan apakah benar dia hamil atau tidak. Namun, ciri-ciri kehamilan sudah dia alami saat ini. Dia sering mengantuk dan pusing pada pagi hari dengan disertai mual. Sehingga hal itu, membuat Nina yakin bahwa dirinya memang tengah mengandung buah hatinya.“Mas Bryan pasti senang kalau tau ada buah cinta kami di dalam sini. Nanti setelah Mas Bryan sampai, aku akan memintanya untuk menemaniku ke dokter kandungan. Dia pasti sangat antusias,” ucap Nina bermonolog.Sesuai janji yang pernah Bryan katakan sebelumnya, hari ini adalah hari kepulangan Bryan ke Jakarta. Saat ini Bryan sudah berad
Nina terdiam cukup lama sebelum memberanikan diri untuk menjawab pertanyaan anaknya. “Papa pasti pulang kok,” jawabnya penuh yakin di hadapan anak-anaknya.“Kalau misalnya Papa gak mau pulang gimana, Ma?”“Kenapa Lala ngomong gitu? Papa pasti pulang ke rumah.”“Siapa tau Papa ketemu anak-anak yang lebih baik dari kami. Makanya Papa gak mau nelpon dan bicara sama kami,” cetus Khaylila.“Lala kok bisa kepikiran seperti itu? Jangan pikir yang macam-macam ya, sayang. Papa di sana cuman kerja doang. Gak buat yang aneh-aneh.”“Soalnya di sekolah, Lala punya teman yang Mama Papanya udah pisah.”Kata-kata anak berusia empat tahun itu sukses membuat air mata Nina luruh seketika. “Kalau Papa ketemu anak-anak baru di sana, ya udah, berarti Mama juga harus cari Papa baru buat kalian. Bagaimana? Mantap kan rencana Mama?”“Tapi pilih Papa barunya jangan