“Nina?”
“Iya, Mbak Sarah?”
“Karena pagi tadi kamu gak ngerjain apa-apa, sekarang giliran kamu yang ngangkat jemuran sama ngelipat ya! Gak banyak kok, cuman pakaian Tuan Muda aja.”
Nina mengangguk dengan senang hati. “Oh, baik, Mbak Sarah.”
“Eh, jangan lupa juga. Kalau baju kerjanya Tuan kamu setrika aja terus digantung dalam lemari. Jangan dilipat. Ok?” kata Sarah lagi.
“Siap, Mbak Sarah.”
Tetiba Laras muncul entah dari mana dan mengompori Sarah.
“Kok tugasnya dikit banget sih, Mbak? Enak banget dong dia! Udah bangunnya telat, gak ngerjain apa-apa seharian, ehhh malah dikasih tugas yang gampang doang. Kalau cuman ngelipat baju doang mah, saya juga mau, Mbak Sarah!” ucap Laras sambil menatap sinis ke arah Nina.
“Semua pekerjaan rumah kan sudah pada beres, Laras. Jadi saya harus kasih kerjaan apa lagi ke Nina? Sisa itu doang yang ada.”
Bryan bingung saat mendapati Nina yang ternyata sedang duduk di kursi teras. Istrinya itu menundukkan kepala dan menenggelamkan wajahnya di telapak tangannya.“Sayang, kamu ngapain malam-malam gini malah duduk di teras?” tanya Bryan bingung.Sedetik kemudian, Bryan menyadari bahwa istrinya itu sedang tersedu-sedu. Bisa dilihat dari bahunya yang berguncang dan suara napas yang terputus-putus.Bryan menghampiri Nina dan mencolek bahunya. “Hei, kamu menangis?”Nina yang sadar akan kehadiran Bryan di sampingnya langsung berhenti menangis. Dia mendongak lalu menyeka air matanya dengan cepat. Nina pun menoleh setelah itu. “Kok kamu terbangun, Mas?”Bryan melihat mata Nina yang sembab dan hidungnya yang tampak merah. “Kamu kenapa menangis?”“Aku tidak apa-apa kok. Kamu masuk saja lagi, Mas. Lanjutin tidur kamu. Jangan peduliin aku.”“Bagaimana bisa aku tidur kalau kamu sendiri malah duduk sendirian di sini? Kamu cerita ke aku, kamu ada masalah apa? Kenapa kamu menangis tiba-tiba? Tadi juga ka
Singkat cerita, Bryan dan yang lainnya telah tiba di rumah Paul. Mereka menyantap makan siang bersama dan saling menanyakan kabar masing-masing. Sekian lama, Jenna baru sempat berkunjung lagi ke rumah orang tuanya. Dan inilah saatnya dia melepas rindu bersama kedua orangtuanya itu.Di saat Jenna dan Nina sedang asik mengobrol dengan Paul dan Zulaikah, Bryan justru pamit dari ruang makan, diikuti oleh Fredrinn.“Kamu langsung mau pulang ke Jakarta, Bry?” tanya Fredrinn saat melihat anaknya sibuk mengemas barang-barangnya.“Iya, Pa.”“Kok buru-buru sekali? Istrimu baru saja sampai loh. Dia pasti butuh waktu untuk istirahat sejenak.”“Mau bagaimana lagi, Pa? Kalau kami gak pulang sekarang, Nina mau tidur di mana nanti malam? Di sini gak ada kamar kosong lagi. Masa iya Nina harus tidur di ruang tamu juga kayak aku selama ini? Mau tidur di hotel pun susah, kami harus ke kota lagi dan jaraknya jauh. Mendingan sekalian pulang saja.”Fredrinn mengangguk paham. “Benar juga katamu. Di sini suda
Lima bulan kemudian…Ini hari yang ditunggu-tunggu oleh Bryan dan juga anak-anaknya. Hari kedatangan Nina ke Malaysia. Dan sore ini Bryan mengajak keempat anaknya untuk pergi ke kota, mereka ingin menyambut kedatangan Nina di bandara.Menempuh dua jam perjalanan, Bryan dan anak-anaknya sampai juga di bandara Kota Kinabalu. Mereka segera berlari masuk menuju terminal kedatangan sesuai dengan pesawat yang Nina tumpangi.Bryan mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang dinanti-nantikannya.Jonathan menarik-narik jari telunjuk Bryan. “Papa, itu Mama!” serunya sembari menunjuk ke arah depan.Bryan refleks melihat ke arah yang ditunjuk Jonathan. “Mana Mama? Yang mana?”“Itu, Pa! Yang pakai baju coklat.”Sorot mata Bryan mendadak berbinar-binar kala mendapati sosok wanita dengan memakai dress selutut berwarna coklat yang saat ini berdiri di tengah-tengah kerumunan orang. Wanita itu tidak sendiri,
Sebenarnya Bryan berniat menyusul Nina ke Amerika, tetapi berhubung anak-anaknya sudah terlanjur bersekolah di Malaysia, maka Fredrinn pun melarang Bryan untuk pergi.“Kalau kamu pergi ke Amerika, anak-anakmu ini bagaimana?” tanya Fredrinn.Bryan tampak berpikir keras. “Sepertinya aku bawa mereka sekalian ke sana. Daripada mereka aku tinggal, pasti mereka bakal menangis lagi.”“Berarti anak-anakmu bakal dipindahin lagi dong sekolahnya? Kamu pikir gampang apa ngurus-ngurus dokumen dan segala macamnya?”“Gak ada pilihan lain, Pa.”“Kenapa sih kamu tidak tinggal di sini saja dulu? Cuman lima bulan loh sampai istrimu menyelesaikan terapinya di Amerika.”“Aku gak betah loh, Pa.”“Tidak betah apanya, Bry?” Fredrinn heran. Padahal belum ada sehari Bryan di rumah ini.“Papa lihat kan tadi ada janda yang godain aku? Aku risih kalau ketemu dia tiap hari, Pa. Masa aku harus ngumpet di dalam rumah tiap hari sih, biar gak ketemu sama si tetangga genit itu.”Fredrinn menghela napas panjang. “Papa ki
Betapa bahagianya Brianna, Cattleya, Khaylila, Jonathan, dan anak-anak tetangga yang lain melihat Bryan berada di rumah Paul Lawrence (nama kakek Bryan). Keempat anak kecil itu langsung memeluk sang ayah erat-erat.“Akhirnya Papa datang juga menemui kami. Kami capek tau nungguin Papa tiap hari! Kenapa Papa datangnya lama sekali?” celetuk Brianna.“Maafin Papa ya. Soalnya Papa banyak kerjaan di Jakarta, makanya Papa baru sempat berkunjung ke sini,” sahut Bryan sembari melepaskan pelukannya dari anak-anaknya.“Terus Mama mana, Pa? Kok Papa doang yang ke sini?” tanya Jonathan.Bryan tersenyum tipis kepada anak bungsunya. “Mama kamu gak bisa datang ke sini untuk sekarang. Maaf ya, sayang. Tapi Mama bakalan mengunjungi kalian juga kok.”“Mama emangnya ada di mana, Pa? Mama ada di rumah aja, kan?” timpal Cattleya ikut bertanya.Bryan mengangguk pelan. “Iya, sayang. Mama kamu ada di
Berhubung hari sudah gelap dan cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan penerbangan. Fredrinn dan Bryan akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Malaysia di hari esok.Sembari menghabiskan malam, Fredrinn mengajak Bryan mengunjungi sebuah coffe shop di pusat kota.“Huãn yíng. Nà nĭmen xiăng hé shénme ne?” tanya pelayan.“Wŏ diănle liăng bēi nóngsuõ kăfēi,” jawab Fredrinn.Bryan hanya diam. Tak paham dengan percakapan mereka. “Apa artinya, Pa?” tanyanya penasaran.“Papa memesan dua gelas kopi espresso,” jawab Fredrinn singkat.Bryan mengangguk pelan. “Ouhh. Kok Papa bisa bahasa Mandarin?”“Karena belajar, Bry! Papa sudah menguasai bahasa ini semenjak Papa kuliah. Papa bahkan menguasai bahasa yang lain, seperti Prancis, Rusia, Jepang, dan Korea.”“Woah! Daebak! Papa hebat sekali. Semenjak kuliah sudah mengu
“Maaf mengganggu waktunya, Pak. Saya cuman mau ngasih tau kalau Tuan Bryan sudah lima hari tidak pulang-pulang ke rumah. Saya sudah coba menghubungi nomor Tuan Bryan tapi tidak aktif. Saya juga sudah nelpon ke kantor, tapi mereka juga bilangnya Tuan Bryan selama lima hari ini tidak pernah datang ke kantor.”Karena cemas Bryan tidak pulang-pulang dan tidak ada kabar, Bi Ilis memutuskan untuk menghubungi Fredrinn. Mungkin saja Fredrinn tau di mana keberadaan Bryan.Di seberang sana, Fredrinn terkejut. Seakan tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh Bi Ilis. “Yang benar saja? Apa Bryan tidak meninggalkan pesan apa-apa ke orang rumah? Mungkin dia keluar kota untuk liburan atau apa gitu?”“Tidak, Pak Fredrinn. Tuan tidak berkabar sama sekali ke kami. Sebelum Tuan Bryan menghilang begini, sikap Tuan Bryan kelihatan seperti orang ketakutan. Tuan Bryan bahkan menyuruh kami agar mengunci pagar dan semua pintu di rumah. Tuan Bryan juga
Sampai malam tiba, Bryan masih belum berani keluar dari kamarnya. Dia begitu cemas seperti orang ketakutan. Rasa lapar yang dia rasakan sekarang tidak sebanding dengan rasa takutnya. Bryan berpikir keras agar dirinya tidak dicurigai oleh polisi. Bryan kembali mengingat-ingat saat dirinya melakukan pembunuhan brutal itu. Dia takut apabila ada saksi mata yang tak sengaja melihatnya, entah saat memotong tubuh Alex di gedung tua itu ataupun saat melemparkan potongan tubuh Alex dan Melissa di sungai.“Seingatku tidak ada yang melihat, karena saat itu langit masih gelap dan kondisi sekitar tampak sepi,” gumam Bryan, berusaha meyakinkan diri sendiri.Setelahnya, Bryan kembali diserang oleh rasa takut dan pikiran buruknya. “Tapi bagaimana dengan bukti yang lain? Aku masih tidak yakin apakah aku sudah menghilangkan jejakku sepenuhnya di lokasi pembunuhan itu? Lantai villa memang sudah ku bersihkan, begitupun dinding dan yang lainnya. Tapi bagaimana dengan sidi
Langkah Bryan terpaku saat melihat dua orang polisi sedang berdiri menunggunya di depan ruangan rapat.“Ada yang bisa saya bantu?” ucap Bryan yang membuat kedua polisi itu menoleh ke sumber suara.Polisi itu tersenyum. “Pak Bryan.”“Iya. Apa yang ingin Anda bicarakan kepada saya?” tanya Bryan dengan perasaan gugup. Namun dia menyembunyikan rasa gugup itu dengan bersikap biasa saja.“Jika Bapak berkenan untuk meluangkan waktu. Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan kepada Bapak.”“Mengenai apa?”“Apa benar Saudari Melissa Novya pernah bekerja di sini?” tanya polisi.Tentu saja Bryan mengangguk. “Benar.”Mendengar nama Melissa membuat hati Bryan was-was. Bryan lalu menyuruh kedua polisi itu agar membicarakan hal ini di ruangan kerja pribadinya agar tidak terdengar oleh orang lain.Polisi itu kembali berbicara setelah mereka telah masuk k