‘Ah, sialan. Ganggu orang aja!’ umpat Bryan dalam hati. Bryan benar-benar bernafsu untuk melakukan 'itu' dengan Nina pada saat ini juga kalau saja tidak ada seseorang yang mengetuk pintu kamarnya.
“Pake bajumu cepat, Nina!” Bryan segera membantu Nina untuk duduk dan mengambilkan pakaiannya yang tercecer di lantai. “Ini bajumu, ayo buruan pake!”
“Sabar, Tuan! Sabar!” Nina dengan gerakan kalang kabutnya pun mulai mengenakan pakaiannya. Ia kesusahan mengait kancing branya membuat Bryan geram sendiri.
“Nina, kamu lama banget!” kesal Bryan. Padahal pria itu pun belum selesai berpakaian lengkap, ia hanya baru mengenakan boxernya.
“Sabar dong, Tuan! Jangan buat saya panik!” balas Nina yang juga kesal. “Ah, akhirnya.” Nina bernapas lega saat bra-nya sudah terkait dengan benar. Ia kemudian langsung memakai bajunya dan ketika ingin mengenakan celana, Nina merasa kehilangan sesuatu.<
Lima bulan kemudian…Ini hari yang ditunggu-tunggu oleh Bryan dan juga anak-anaknya. Hari kedatangan Nina ke Malaysia. Dan sore ini Bryan mengajak keempat anaknya untuk pergi ke kota, mereka ingin menyambut kedatangan Nina di bandara.Menempuh dua jam perjalanan, Bryan dan anak-anaknya sampai juga di bandara Kota Kinabalu. Mereka segera berlari masuk menuju terminal kedatangan sesuai dengan pesawat yang Nina tumpangi.Bryan mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang dinanti-nantikannya.Jonathan menarik-narik jari telunjuk Bryan. “Papa, itu Mama!” serunya sembari menunjuk ke arah depan.Bryan refleks melihat ke arah yang ditunjuk Jonathan. “Mana Mama? Yang mana?”“Itu, Pa! Yang pakai baju coklat.”Sorot mata Bryan mendadak berbinar-binar kala mendapati sosok wanita dengan memakai dress selutut berwarna coklat yang saat ini berdiri di tengah-tengah kerumunan orang. Wanita itu tidak sendiri,
Sebenarnya Bryan berniat menyusul Nina ke Amerika, tetapi berhubung anak-anaknya sudah terlanjur bersekolah di Malaysia, maka Fredrinn pun melarang Bryan untuk pergi.“Kalau kamu pergi ke Amerika, anak-anakmu ini bagaimana?” tanya Fredrinn.Bryan tampak berpikir keras. “Sepertinya aku bawa mereka sekalian ke sana. Daripada mereka aku tinggal, pasti mereka bakal menangis lagi.”“Berarti anak-anakmu bakal dipindahin lagi dong sekolahnya? Kamu pikir gampang apa ngurus-ngurus dokumen dan segala macamnya?”“Gak ada pilihan lain, Pa.”“Kenapa sih kamu tidak tinggal di sini saja dulu? Cuman lima bulan loh sampai istrimu menyelesaikan terapinya di Amerika.”“Aku gak betah loh, Pa.”“Tidak betah apanya, Bry?” Fredrinn heran. Padahal belum ada sehari Bryan di rumah ini.“Papa lihat kan tadi ada janda yang godain aku? Aku risih kalau ketemu dia tiap hari, Pa. Masa aku harus ngumpet di dalam rumah tiap hari sih, biar gak ketemu sama si tetangga genit itu.”Fredrinn menghela napas panjang. “Papa k
Betapa bahagianya Brianna, Cattleya, Khaylila, Jonathan, dan anak-anak tetangga yang lain melihat Bryan berada di rumah Paul Lawrence (nama kakek Bryan). Keempat anak kecil itu langsung memeluk sang ayah erat-erat.“Akhirnya Papa datang juga menemui kami. Kami capek tau nungguin Papa tiap hari! Kenapa Papa datangnya lama sekali?” celetuk Brianna.“Maafin Papa ya. Soalnya Papa banyak kerjaan di Jakarta, makanya Papa baru sempat berkunjung ke sini,” sahut Bryan sembari melepaskan pelukannya dari anak-anaknya.“Terus Mama mana, Pa? Kok Papa doang yang ke sini?” tanya Jonathan.Bryan tersenyum tipis kepada anak bungsunya. “Mama kamu gak bisa datang ke sini untuk sekarang. Maaf ya, sayang. Tapi Mama bakalan mengunjungi kalian juga kok.”“Mama emangnya ada di mana, Pa? Mama ada di rumah aja, kan?” timpal Cattleya ikut bertanya.Bryan mengangguk pelan. “Iya, sayang. Mama kamu ada di
Berhubung hari sudah gelap dan cuaca tidak memungkinkan untuk melakukan penerbangan. Fredrinn dan Bryan akhirnya memutuskan untuk berangkat ke Malaysia di hari esok.Sembari menghabiskan malam, Fredrinn mengajak Bryan mengunjungi sebuah coffe shop di pusat kota.“Huãn yíng. Nà nĭmen xiăng hé shénme ne?” tanya pelayan.“Wŏ diănle liăng bēi nóngsuõ kăfēi,” jawab Fredrinn.Bryan hanya diam. Tak paham dengan percakapan mereka. “Apa artinya, Pa?” tanyanya penasaran.“Papa memesan dua gelas kopi espresso,” jawab Fredrinn singkat.Bryan mengangguk pelan. “Ouhh. Kok Papa bisa bahasa Mandarin?”“Karena belajar, Bry! Papa sudah menguasai bahasa ini semenjak Papa kuliah. Papa bahkan menguasai bahasa yang lain, seperti Prancis, Rusia, Jepang, dan Korea.”“Woah! Daebak! Papa hebat sekali. Semenjak kuliah sudah mengu
“Maaf mengganggu waktunya, Pak. Saya cuman mau ngasih tau kalau Tuan Bryan sudah lima hari tidak pulang-pulang ke rumah. Saya sudah coba menghubungi nomor Tuan Bryan tapi tidak aktif. Saya juga sudah nelpon ke kantor, tapi mereka juga bilangnya Tuan Bryan selama lima hari ini tidak pernah datang ke kantor.”Karena cemas Bryan tidak pulang-pulang dan tidak ada kabar, Bi Ilis memutuskan untuk menghubungi Fredrinn. Mungkin saja Fredrinn tau di mana keberadaan Bryan.Di seberang sana, Fredrinn terkejut. Seakan tidak percaya dengan apa yang disampaikan oleh Bi Ilis. “Yang benar saja? Apa Bryan tidak meninggalkan pesan apa-apa ke orang rumah? Mungkin dia keluar kota untuk liburan atau apa gitu?”“Tidak, Pak Fredrinn. Tuan tidak berkabar sama sekali ke kami. Sebelum Tuan Bryan menghilang begini, sikap Tuan Bryan kelihatan seperti orang ketakutan. Tuan Bryan bahkan menyuruh kami agar mengunci pagar dan semua pintu di rumah. Tuan Bryan juga
Sampai malam tiba, Bryan masih belum berani keluar dari kamarnya. Dia begitu cemas seperti orang ketakutan. Rasa lapar yang dia rasakan sekarang tidak sebanding dengan rasa takutnya. Bryan berpikir keras agar dirinya tidak dicurigai oleh polisi. Bryan kembali mengingat-ingat saat dirinya melakukan pembunuhan brutal itu. Dia takut apabila ada saksi mata yang tak sengaja melihatnya, entah saat memotong tubuh Alex di gedung tua itu ataupun saat melemparkan potongan tubuh Alex dan Melissa di sungai.“Seingatku tidak ada yang melihat, karena saat itu langit masih gelap dan kondisi sekitar tampak sepi,” gumam Bryan, berusaha meyakinkan diri sendiri.Setelahnya, Bryan kembali diserang oleh rasa takut dan pikiran buruknya. “Tapi bagaimana dengan bukti yang lain? Aku masih tidak yakin apakah aku sudah menghilangkan jejakku sepenuhnya di lokasi pembunuhan itu? Lantai villa memang sudah ku bersihkan, begitupun dinding dan yang lainnya. Tapi bagaimana dengan sidi
Langkah Bryan terpaku saat melihat dua orang polisi sedang berdiri menunggunya di depan ruangan rapat.“Ada yang bisa saya bantu?” ucap Bryan yang membuat kedua polisi itu menoleh ke sumber suara.Polisi itu tersenyum. “Pak Bryan.”“Iya. Apa yang ingin Anda bicarakan kepada saya?” tanya Bryan dengan perasaan gugup. Namun dia menyembunyikan rasa gugup itu dengan bersikap biasa saja.“Jika Bapak berkenan untuk meluangkan waktu. Ada beberapa hal yang ingin kami tanyakan kepada Bapak.”“Mengenai apa?”“Apa benar Saudari Melissa Novya pernah bekerja di sini?” tanya polisi.Tentu saja Bryan mengangguk. “Benar.”Mendengar nama Melissa membuat hati Bryan was-was. Bryan lalu menyuruh kedua polisi itu agar membicarakan hal ini di ruangan kerja pribadinya agar tidak terdengar oleh orang lain.Polisi itu kembali berbicara setelah mereka telah masuk k
“Kenapa kamu tidak bilang kalau cucu-cucu ibu pergi ke Malaysia?” Aliyah terkejut saat berkunjung ke rumah Bryan. Niat hati ingin melepas rindu dengan keempat cucunya. Namun yang didapatinya hanya Bryan di rumah.“Maaf, Bu. Aku lupa mengabari ibu.” Bryan mempersilakan Aliyah dan Rozaq untuk duduk, tetapi kedua mertuanya itu tetap berdiri sembari mencari keberadaan anaknya.“Lalu di mana Nina? Kenapa Nina juga tidak kelihatan?” tanya Rozaq bingung.“Nina juga berangkat, Pak.”“Ke mana?”“Amerika,” jawab Bryan singkat.Rozaq semakin dibuat bingung lagi. “Buat apa Nina pergi ke Amerika? Dan sejak kapan dia berangkatnya?”“Nina baru saja pergi pagi tadi, Pak. Bersama dengan Papa.”“Untuk apa? Apa yang Nina lakukan di Amerika?” tanya Aliyah penasaran karena pertanyaan Rozaq tidak terjawab.Bryan merasa ragu untuk mengat
“Papa?” Bryan terkejut saat melihat Fredrinn saat ini berada di rumahnya dan duduk di ruang tengah. “Sejak kapan Papa ada di sini? Kok Papa tidak menghubungi aku dulu sebelum ke sini?”“Apa menghubungimu itu wajib? Lagian apa salahnya Papa mengunjungi rumah sendiri?”“Ini rumahku, Pa,” jawab Bryan.“Ya. Maksud Papa rumah kamu. Tapi tetap saja dulu ini adalah rumah Papa,” ucap Fredrinn lagi. Dia kemudian dengan santainya menikmati secangkir kopi susu yang tadi dibuatkan oleh Bi Cholifah.Tidak ingin berbasa-basi, Bryan kembali bertanya. “Jadi apa yang Papa ingin sampaikan? Pasti ada sesuatu yang penting sehingga Papa rela jauh-jauh terbang dari Malaysia demi menemuiku.”Fredrinn menarik napas panjang sebelum berbicara. “Ini sudah sebulan, Bryan. Sampai kapan Papa harus menjaga anak-anak kamu? Bukannya Papa keberatan. Tapi setiap hari mereka mencari-cari kamu dan ibunya. Me