LOGINDari hotel, Ozkhan sengaja langsung berangkat ke kantor. Selain dia tidak suka mondar-mandir, Ozkhan juga sedang ingin menghindari istrinya.
Namun, ketika melewati meja sekretaris, Ozkhan tak melihat keberadaan Shanum di sana. Padahal, biasanya sekretarisnya itu selalu datang tepat waktu dan paling awal darinya.
Seketika, Ozkhan pun kepikiran masalah semalam.
'Apa dia juga berniat libur hari ini?'
Belum lama Shanum bekerja dengan Ozkhan. Dan sekarang, dia malah terlibat masalah pribadi yang sangat sensitif. Entah harus bagaimana Ozkhan mengambil sikap setelah ini.
Ozkhan menduduki kursi, tak lama kemudian asisten kepercayaannya masuk.
"Selamat pagi, Tuan." Emir memberi salam hormat pada atasannya dengan anggukan kecil.
Sementara Ozkhan hanya membalasnya dengan anggukan sambil mengeluarkan ponsel dari saku jas. Raut dan sorot matanya begitu datar seperti biasa.
"Sepertinya hari ini Shanum izin tidak masuk, Tuan," ucap Emir, sekadar memberi informasi pada sang atasan.
Informasi barusan cukup membuat Ozkhan sedikit terkejut dan terganggu. Pasalnya, dia sangat tahu alasan Shanum tidak masuk hari ini.
Bisa jadi karena perempuan itu ingin menghindarinya, pikir Ozkhan.
"Tidak masuk? Apa dia memberitahu alasannya?" Sebenarnya, Ozkhan hanya ingin memastikan saja.
"Dia mengatakan sedang ada urusan mendesak," kata Emir.
Sebelah alis kiri Ozkhan naik. "Urusan mendesak?" Rautnya terlihat sangat tidak yakin dengan alasan tersebut.
Emir mengangguk.
Ozkhan menghela panjang, mengendurkan sedikit lilitan dasi di leher sambil menyandarkan punggung.
"Lalu bagaimana dengan jadwal saya hari ini?"
"Tadi Shanum juga sudah memberitahu saya mengenai jadwal Anda. Hari ini Anda ada pertemuan dengan dewan direksi. Siangnya pertemuan dengan para calon investor di restoran yang sudah direservasi Shanum." Emir sedikit memaparkan sesuai dengan apa yang ditulis Shanum dalam pesan singkatnya.
Semua itu disimak baik-baik oleh Ozkhan. Lantas tiba-tiba Ozkhan bertanya, "Kira-kira sudah berapa lama Shanum bekerja di sini?"
"Baru sekitar tiga bulan, Tuan," jawab Emir.
"Tiga bulan." Ozkhan mengurut pangkal hidung sambil memejamkan mata.
Seingat Ozkhan, waktu itu Shanum mengatakan jika dulunya pernah bekerja di sebuah perusahaan kecil. Dan Ozkhan tak pernah mempermasalahkan hal tersebut.
"Emir."
"Ya, Tuan?"
Ozkhan menatap Emir dengan serius. "Hari ini cancel semua jadwal saya. Bisa 'kan?"
"Ya?" Emir memasang raut bingung. "Maksud Anda …"
Canggung rasanya untuk mengatakan alasan di balik perintahnya itu. Akan tetapi, Ozkhan hanya ingin mencari tahu mengenai informasi pribadi sang sekretaris.
Bisa saja 'kan Shanum sengaja mendekatinya hanya karena ingin mengambil keuntungan?
Sebab, selama ini banyak sekali orang-orang yang mendekatinya hanya untuk mengambil keuntungan pribadi. Ozkhan pun berpikir demikian pada Shanum.
Setelah menghabiskan malam panas tak terduga, dan sekarang libur tiba-tiba, Ozkhan merasa masalah tersebut sangat janggal. Dia ragu dan mulai sangsi dengan pengakuan Shanum yang katanya dijual oleh suaminya sendiri.
"Kamu tahu alamat rumahnya Shanum?"
Pertanyaan itu meluncur begitu saja dari mulut Ozkhan, hingga Emir mencoba mencernanya perlahan.
"Saya akan coba periksa kembali di data pribadinya, Tuan." Mau tak mau Emir akan mencari tahu.
"Hmm. Saya tunggu."
"Baik. Secepatnya saya akan memeriksanya. Saya permisi." Emir lantas pergi dari ruangan Ozkhan.
Tatapan Ozkhan tertuju pada pintu ruangannya yang ditutup oleh Emir. "Sebentar lagi aku akan memastikannya sendiri. Jika benar dia sengaja mendekatiku hanya karena ingin mendapatkan keuntungan pribadi. Aku bisa pastikan dia tidak akan pernah menginjakkan kakinya lagi di sini."
^^^
"Cepatlah, Shanum! Kenapa kamu lama sekali!"
Orhan benar-benar sudah kehilangan kesabaran, karena Shanum tak kunjung keluar dari kamar. Sudah hampir dua jam dia menunggu sang istri yang hari ini akan dia kembalikan pada lelaki yang sudah memberinya pinjaman.
Tak ada sahutan. Namun, pintu kamar terbuka, dan muncullah Shanum dengan penampilan yang sudah terlihat sangat cantik dan enak dipandang.
"Aku sudah siap," ucap Shanum sambil berjalan mendahului Orhan.
Shanum sudah tidak memiliki tenaga untuk berdebat dengan suaminya itu, akan lebih baik dia menghemat tenaga karena setelah ini dia harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan biologis pria tak dikenal.
Namun, tiba-tiba saja Orhan ingin menanyakan sesuatu pada Shanum. "Tunggu sebentar, Shanum. Ada yang mau kutanyakan."
Langkah Shanum spontan berhenti, dia menoleh.
Orhan mendekat, sambil matanya menatap intens raut Shanum yang datar. "Semalam, kamu pergi ke mana saja? Dan kenapa kamu baru pulang pagi?"
Pias. Raut Shanum pias seketika mendapat pertanyaan semacam itu dari Orhan. Kedua telapak tangannya reflek menaut, dan saling meremas.
'Aku tidak mungkin berkata yang sebenarnya pada Orhan kalau semalam aku bermalam dengan Tuan Ozkhan.' Shanum membatin resah.
"Shanum?"
"Ya?" Shanum terkesiap, kemudian buru-buru menjawab sekenanya, "A-aku semalam menginap di rumah teman kantorku. Semalam aku tidak sengaja bertemu dengannya dan meminta tolong padanya."
Manik Orhan memicing curiga. "Benarkah?"
"Hmm." Shanum mengangguk cepat.
Orhan tak sepenuhnya percaya, tetapi dia pun tidak ingin ambil pusing karena masalah itu. Yang terpenting Shanum sudah kembali padanya.
"Ayo kita berangkat." Orhan lebih dulu melangkah dan keluar rumah, dan Shanum menyusulnya tanpa bersuara.
***
Sementara Orhan dan Shanum bersiap hendak ke tempat tujuan, di seberang jalan rumah mereka ada sebuah mobil sedan hitam terparkir cukup jauh dengan jarak beberapa meter.
"Itu Shanum, Tuan," ucap Emir, yang baru saja melihat Shanum keluar dari rumah.
Pandangan Ozkhan seketika tertuju pada sosok perempuan yang baru tiga bulan menjadi sekretarisnya itu. Dia melepas kaca mata dan bertanya, "Siapa laki-laki yang bersamanya itu?"
"Mungkin suaminya, Tuan." Emir hanya menjawab apa adanya, karena dia sendiri belum pernah melihat suami Shanum. "Sepertinya mereka akan pergi, Tuan. Apa kita ikuti mereka?"
Ozkhan tak langsung menjawab, karena dia sedang fokus berpikir mengenai sosok Shanum yang sungguh membuatnya bertanya-tanya.
"Mau pergi ke mana mereka? Bukankah semalam dia mengatakan kalau suaminya sudah menipunya? Lalu kenapa dia kembali lagi pada suaminya itu? Apa dia sudah membodohiku? Apa dia benar-benar sudah menipuku?"
Rahang Ozkhan serta telapak tangannya spontan mengetat. Sorot matanya memancarkan amarah dan kekesalan lantaran merasa sudah ditipu oleh Shanum.
Telinga Emir yang tak sengaja mendengar gerutuan Ozkhan membuat lelaki itu tak urung turut berpikir keras. Sebenarnya, ada apa dengan atasannya itu dan Shanum. Kenapa tiba-tiba atasannya meminta untuk diantar ke rumah sekretarisnya?
Dari sini Ozkhan bisa melihat jika mobil yang ditumpangi Shanum dan suaminya hendak melaju. Dia pun segera memberi perintah pada Emir.
"Ikuti mereka, Emir."
"Baik, Tuan." Emir bergegas menancap gas, dan segera menyusul mobil yang membawa Shanum pergi.
***
Emir cukup lihai mengemudi hingga Orhan tak menyadari jika dia sedang dibuntuti. Kondisi jalanan yang tidak terlalu lengang memudahkan asisten pribadi Ozkhan itu mengatur jarak antara mobilnya dan mobil Orhan.
Sementara Ozkhan makin penasaran dengan tujuan Shanum sebenarnya. Pria itu sampai tak menghiraukan dering ponselnya yang berkali-kali menyapa. Melirik pun dia enggan.
"Bukankah ini jalan menuju hotel semalam?" tanya Ozkhan ketika menyadari bahwa mobil yang membawa Shanum menuju hotel—tempatnya menginap.
"Benar, Tuan. Jalan ini menuju hotel Raffles." Emir pun membenarkan, lalu dia memutar kemudi memasuki area parkir hotel. "kita tunggu di sini saja atau ...?" tanya Emir, menghentikan mobilnya tak jauh dari mobil Orhan.
"Kamu bisa masuk dan lihat apa yang mereka lakukan di hotel ini. Pantau mereka dan kabari saya," titah Ozkhan, menatap nyalang Shanum dan suaminya yang sudah memasuki lobby hotel.
"Baik, Tuan." Emir bergegas turun dari mobil untuk segera melaksanakan perintah atasannya, walau banyak sekali pertanyaan di kepalanya.
Ozkhan menghela panjang, semakin tak sabar untuk mengetahui segalanya mengenai Shanum. Dia berharap jika instingnya tentang sekretarisnya itu tidak benar.
"Untuk apa kamu kembali ke sini, Shanum? Apa tujuanmu sebenarnya?"
****
Bersambung.....
"Ozkhan, apa aku boleh menemui Gul? Aku sangat ingin bertemu dengannya. Aku janji aku akan tetap tutup mulut." "Kamu... bilang apa?" Raut Ozkhan seketika berubah dingin karena permintaan Keenan yang dirasa terdengar konyol. "Kamu ingin menemui Gul?" Nada bicaranya terdengar agak sinis. Keenan menelan ludah dengan perubahan sikap Ozkhan yang tiba-tiba, membuat nyalinya seketika menciut. Membasahi bibir, dia pun menjawab gugup, "I-iya. Aku ingin menemui Gul, walau hanya sekali saja. Aku hanya ingin melihatnya secara langsung. Aku—" "Bukankah kamu sudah pernah menemuinya diam-diam?" Ozkhan menyela Keenan, membuat pria itu makin pucat. Raut Keenan pias mendengar pertanyaan Ozkhan yang semacam sindiran. Tenggorokannya tercekat, dan mendadak dia kehilangan keberanian untuk menyampaikan keinginannya lagi. Bagaimana Ozkhan bisa tahu hal itu? pikirnya. Punggung Keenan menegak, tatapan matanya mengiba. Lantas dengan sisa keberaniannya Keenan pun berkata, "Maafkan aku, Ozkhan. Aku t
Rapat hari ini selesai dari waktu yang semestinya. Banyak hal yang harus dibahas bersama. Ozkhan selaku pimpinan utama meminta kerja sama dengan beberapa pihak yang akan membantunya meninjau proyek resort di Dubai. Keberangkatan yang kurang dari empat hari lagi sudah dipersiapkan secara matang oleh Emir dan dibantu oleh rekannya. Dari ruang rapat, Ozkhan kembali ke ruangannya. Duduk di kursi kebesarannya, lalu memeriksa beberapa dokumen yang perlu tanda tangannya. Selesai tanda tangan, Ozkhan lantas mengecek ponsel. Ada banyak sekali pesan yang masuk. Termasuk pesan dari Malik—selaku pengacara yang saat ini sedang bekerja sama dengannya. Malik menyelesaikan tugasnya dengan cepat, padahal belum ada satu hari Ozkhan memintanya untuk mengajukan surat permohonan cerai ke pengadilan negeri. [Ada kemungkinan besar prosesnya tidak membutuhkan waktu lama, karena tergugat saat ini berada di penjara. Proses mediasi nampaknya tidak diperlukan, mengingat mantan suami Shanum adalah pel
"Bibi Shanum!" Gul yang sedang menyantap sarapannya langsung loncat dari kursinya, dan berlari ketika melihat sosok yang semalam dia tunggu kedatangannya baru saja memasuki Vila. Gadis kecil itu begitu riang menyambut Shanum. Kedua tangan Shanum terentang lebar sambil sedikit membungkukkan badan. Gul menghambur ke pelukannya. "Gul!" "Bibi akhirnya datang," ucap Gul di pelukan Shanum. Shanum tersenyum seraya mengusap-usap punggung Gul. "Gul senang?" "Senang sekali, Bibi." Gadis kecil itu tak mau lepas dari pelukan Shanum barang sejenak. "Bibi Shanum menginap di sini 'kan?" "Gimana, yaa..." Gul sontak menarik diri dari pelukan Shanum yang ragu-ragu menjawab pertanyaannya. Bibirnya merengut sesaat. "Bibi Shanum tidak bisa, ya?" Manik beningnya memancarkan rasa kecewa serta kesedihan. Melihat Gul yang langsung bersedih Shanum jadi tidak tega karena sudah mengerjai gadis berambut panjang itu. Menekuk kedua lututnya agar sejajar dengan tinggi Gul, Shanum lantas mencu
Untuk seperkian detik, Shanum dan Ozkhan saling menatap dengan posisi yang sangat intim. Bahkan mereka bisa merasakan hangatnya deru napas masing-masing, menyapu permukaan kulit yang saling menempel. Perlahan Ozkhan lebih mendekat pada Shanum, agar dia mudah menjangkau kening wanita itu. Sementara Shanum sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Paham dengan keinginan lelaki ini. Sepasang matanya memejam erat, seolah dia menyambut dengan senang hati ciuman yang akan mendarat di bibirnya. Namun... Alih-alih mencium bibir Shanum, yang sedikit terbuka, lelaki itu justru mengecup kening sang wanita. Merasa ada yang aneh, sepasang mata Shanum sontak terbuka. Ozkhan menyeringai seolah tahu isi kepala wanita ini. Dia berkata, "Kalau kamu sudah ngantuk, tidurlah lebih dulu. Aku mau mandi dan setelah itu ada sedikit pekerjaan yang harus kuselesaikan." Malu sendiri sebab yang terjadi barusan di luar ekspektasi. "I-iya," jawab Shanum, bergegas pergi begitu lilitan di pinggangnya terl
Tercengang! Apa yang diungkapkan oleh Shanum tak pelak membuat seluruh mata di ruangan itu membelalak lebar. Sebuah fakta yang didengar secara langsung dari saksi membuat sekujur tubuh mereka merinding. Rupanya, kabar tersebut memang benar adanya. Pemilik tempat mereka bernaung selama ini ternyata sengaja dilenyapkan. Betapa keji perbuatan orang itu. Ada perasaan lega bercampur rasa puas dari sorot mata Shanum, kendati rasa sedih lebih dominan, sebab dia harus kembali mengingat peristiwa kelam itu. Cairan bening secara spontan menetes dari bola matanya. Shanum mengusapnya dengan cepat. Ozkhan yang peka langsung merangkul pundak wanitanya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya karena dia melihat Shanum meneteskan air mata. Shanum mendongak, lalu tersenyum. "Aku baik-baik saja. Terima kasih karena sudah memberiku kesempatan yang sama sekali tidak pernah kudapatkan." Sepasang matanya mengerling polos, menatap Ozkhan dengan lembut. "Kamu berhak mendapatkannya, Shanum. Cukup sel
Kedatangan Ozkhan sempat membuat para staf yang berada di ruangan rapat terkejut sekaligus merasa lega. Pasalnya, pria itu sama sekali tidak pernah ikut campur dalam masalah yayasan selama ini. Semua kendali sepenuhnya dipegang oleh Numa. Selama beberapa hari ini keadaan di yayasan sangat kacau, semenjak terkuaknya kasus pencucian uang yang dilakukan oleh pemiliknya sendiri. Tak ada yang berani membuka suara mengenai permasalahan tersebut. Berbagai spekulasi bermunculan sebab Ozkhan sendiri tidak pernah memberi klarifikasi mengenai kasus, yang menjerat sang mantan istri. Bukannya tidak ingin, hanya saja Ozkhan merasa tidak perlu memberi klarifikasi sebab dia dan Numa sudah bercerai. Semua mata tertuju pada Shanum. Sosok perempuan cantik dan masih terlihat muda begitu menarik perhatian. Mereka tentu pernah melihat Shanum sebelumnya di pesta anniversary Numa dan Ozkhan beberapa bulan yang lalu. Namun, tidak sempat saling menyapa dikarenakan sibuk dengan urusan masing-masing. "







