Orhan dan Shanum langsung memasuki lift, sementara Emir masih mengikuti keduanya dengan sangat hati-hati. Beruntungnya di dalam lift tak hanya mereka bertiga yang berada dalam ruangan berjalan itu. Sebelumnya, sudah ada empat orang yang ada di dalamnya.
Agar tidak ketahuan, Emir berinisiatif memakai masker yang selalu dia bawa ke mana pun saat sedang menjalani misi seperti ini. Tugasnya tak hanya menjadi asisten Ozkhan, tetapi dia merangkap menjadi mata-mata. Maka dari itu, tugas semacam ini bisa dengan mudah dia kerjakan.
Dari tempatnya berdiri yang hanya berjarak beberapa jengkal saja dengan Shanum, Emir bisa mengamati gerak-gerik pasangan itu. Dari yang Emir lihat, jika Shanum hanya diam dan memasang raut cemas sekaligus khawatir.
Sikap Orhan pun tak lepas dari pantauan Emir. Lelaki berambut ikal itu begitu bengis pada sang istri. Dari caranya memperlakukan Shanum yang tidak sewajarnya membuat Emir menjadi makin penasaran.
"Jaga sikap kamu, Shanum. Aku tidak mau kamu membuat kesalahan lagi. Dan aku akan pastikan, kalau kamu berani kabur lagi, ibumu yang pikun itu akan aku lenyapkan," bisik Orhan, dan dia yakin sekali jika tak ada satu orang pun yang mendengar ancamannya.
Orhan tidak tahu dan tidak menyadari jika ada seseorang yang sedari tadi memantaunya. Sepasang manik Emir memicing sinis pada Orhan yang tidak melihat keberadaannya.
"Ba-baik, Orhan." Shanum menyahut lirih, dan rautnya kian memucat karena cemas.
"Good." Orhan merangkul pinggang Shanum.
Pintu lift akhirnya terbuka, dan satu persatu dari mereka keluar dari benda baja itu. Emir harus lebih berhati-hati lagi agar tidak menimbulkan kecurigaan pada Orhan dan Shanum. Dia berjalan perlahan sambil mengamati situasi yang ada.
Setelah beberapa saat mengikuti, Emir terpaksa berhenti melangkah dan reflek mengambil ponsel dari saku celana untuk berpura-pura menelepon seseorang, karena Orhan dan Shanum yang mendadak berhenti.
"Sebenarnya mereka mau ke mana? Kenapa Shanum seperti orang tertekan?" gumam Emir sambil memerhatikan sepasang suami istri yang berada tak jauh darinya.
Kesempatan bagus bagi Emir untuk mengambil foto Orhan dan Shanum. Setelah berhasil mendapatkan beberapa foto, Emir langsung mengirimkannya pada Ozkhan.
"Sepertinya mereka hendak menemui seseorang, Tuan. Dan dari yang saya lihat, Shanum seperti ketakutan."
Emir pun memberikan keterangan dalam foto tersebut. Samar-samar telinganya juga mendengar pembicaraan antara Orhan dan Shanum.
"Kondisikan muka kamu, Shanum. Kamu mau pria itu menolakmu karena dia malas melihat mukamu yang tidak menyenangkan itu, huh?" kata Orhan dengan raut geram.
Orhan juga mencengkeram kuat lengan Shanum, sambil maniknya mengawasi sekitar. Dia tidak ingin kalau sampai ada orang yang curiga padanya.
Shanum meringis kesakitan lantaran cengkeraman Orhan yang menyakitkan. Saking takutnya dia sampai tergagap."Ma-maafkan aku, Orhan. A-aku hanya gugup karena semalam aku sempat kabur."
"Kamu memang tidak becus!" umpat Orhan.
"Orhan, apa boleh aku izin ke toilet sebentar? Aku… Aku…"
"Tidak! Kamu pasti mau menipuku, Shanum. Kamu pasti mau kabur. Iya'kan?"
Shanum menggeleng. "Tidak. A-aku tidak akan berani melakukan hal konyol itu. Aku jan—"
"Cepatlah! Aku akan mengantarmu. Ayo!"
Orhan tak ada pilihan lain selain mengizinkan Shanum ke toilet. Dan untuk kali ini dia tidak akan melakukan kesalahan lagi. Dia sendiri yang akan mengantar Shanum ke toilet.
Sementara keduanya menuju toilet, Emir memilih menunggu di tempatnya. Tak lama ponselnya berdering.
"Tuan Ozkhan?"
Emir bergegas menerima panggilan tersebut. "Ya, Tuan?"
"Apa kamu yakin kalau mereka ingin menemui seseorang di kamar itu?" tanya Ozkhan.
"Sepertinya iya, Tuan. Saya sempat mendengar Orhan memarahi Shanum agar menjaga sikap."
"Lalu, apa mereka sudah menemui orang itu?"
"Belum, Tuan. Shanum dan suaminya sedang ke toilet. Kemungkinan besar mereka akan kembali lagi ke sini."
Tak ada respon dari ujung telepon. Nampaknya Ozkhan sedang berpikir.
"Emir, apa nomor kamar itu satu kosong enam?" tanya Ozkhan.
"Saya akan memeriksanya Tuan."
Emir pun melangkah untuk memastikan nomor kamar yang akan dimasuki oleh Shanum. Keningnya spontan mengernyit karena tebakan Ozkhan yang tepat.
"Anda benar, Tuan. Nomornya satu kosong enam," papar Emir, seraya melangkah menjauh dari depan pintu tersebut lalu memutar punggung, sebab bertepatan dengan itu, Shanum dan suaminya muncul. "Tuan, Shanum dan suaminya sudah kembali."
"Emir dengarkan saya baik-baik …"
****
Ozkhan mengakhiri panggilan. Napasnya terdengar berat. Untuk saat ini pikirannya benar-benar sangat terganggu dengan masalah yang sedang dihadapi oleh Shanum.
"Apa suaminya berniat mengembalikan Shanum pada pria itu?"
Entah mengapa Ozkhan berfirasat demikian. Anehnya lagi niat menolong Shanum pun terbesit di benak Ozkhan. Lelaki itu lantas tak membuang waktu lagi, bergegas turun dari mobil untuk menyusul Emir yang dia perintahkan untuk mengulur waktu sebentar, sampai dia tiba di sana.
***
"Tuan Emir?"
Sepasang manik Shanum membelalak ketika sosok pria menjulang di hadapannya membuka masker.
Begitu pun dengan Orhan yang langsung memberi tatapan tajam ke arah Emir. Lebih tepatnya, dia marah sebab pria tak dikenal ini berani mencampuri urusannya.
"Siapa kamu? Kenapa kamu mencampuri urusan saya?" Raut Orhan amat geram karena Emir hanya memberinya tatapan sinis. Orhan lantas bertanya pada Shanum yang dia pikir mengenali pria asing serta kurang ajar di hadapannya. "Dan kamu Shanum, apa kamu mengenal pria ini, huh? Ada hubungan apa antara kalian?"
Manik Shanum mengerjap. Sialnya lagi, otaknya begitu lambat untuk mencerna apa yang dilihat saat ini. Sebuah kejutan karena Emir ternyata berada di hotel ini.
"Di-Dia …"
Belum selesai Shanum menjawab, Emir sudah lebih dulu mengulurkan tangan ke hadapan Orhan. "Perkenalkan, saya Emir. Saya teman kantor Shanum."
"Apa? Teman kantor?" Tatapan Orhan makin tajam, dia bahkan tak berminat membalas uluran tangan Emir. "Apa dia teman kantormu yang sudah menolongmu semalam, Shanum?" cecar Orhan tanpa melepas tatapannya pada Emir.
Shanum membeku seraya menelan ludah. Lagi-lagi dia tergagap, "Itu … Dia ... Emmm …"
Sungguh, Orhan tidak suka dengan cara Shanum menjawab pertanyaannya. Dia pun mencengkeram lengan istrinya itu dan berkata, "Jawab yang jelas, Shanum. Jangan ada yang kamu tutup-tutupi dariku. Mengerti, huh?"
"Sakit, Orhan," rintih Shanum.
Melihat teman sekantornya diperlakukan semena-mena tentu Emir merasa geram. Sebagai pria sejati dia tidak bisa tinggal diam melihat semua itu. Dengan kasar, Emir menepis tangan Orhan dari lengan Shanum. "Anda menyakiti istri Anda, Tuan."
Shanum terkejut, sedangkan Orhan lebih terkejut lagi. Lelaki berambut ikal itu melangkah maju kemudian menarik kerah jas Emir.
Orhan bersungut-sungut, dengan tatapan penuh amarah. "Apa-apaan ini? Anda sudah melewati batas, Tuan. Anda tidak perlu repot-repot ikut campur urusan saya dan istri saya. Dan karena sikap Anda yang sok tahu, kami jadi buang-buang waktu karena meladeni Anda."
Emir menyeringai, lalu menyingkirkan tangan Orhan dari kerah jasnya. Dia sama sekali tidak takut dengan Orhan. "Maaf kalau saya sudah membuang waktu Anda," ujar Emir, lebih bersikap tenang agar tidak memancing keributan.
Orhan mendengkus.
"Sebenarnya, saya hanya ingin menawarkan sebuah kesepakatan pada Anda," lanjut Emir.
Sepasang alis Orhan spontan naik. "Kesepakatan? Apa Anda pikir saya akan tertarik?" cibirnya sambil berkacak pinggang.
"Saya yakin Anda akan tertarik, Tuan. Karena ini menyangkut uang."
Orhan berdecak keras, dan melengos ke arah lain. "Anda pikir saya akan percaya dengan Anda? Sedangkan kita baru saja kenal. Sudahlah! Saya sudah tidak punya banyak waktu. Saya harus segera membawa istri saya pada pria itu."
Orhan meraih pergelangan tangan Shanum, bersiap membawa istrinya itu pada pria yang sudah memberinya pinjaman.
Namun, perkataan Emir membuat Orhan seketika urung dengan niatnya. "Bos saya yang akan mengganti rugi uang Anda. Tiga kali lipat dari uang pinjaman yang sudah Anda terima. Dengan kata lain, dia yang akan membeli istri Anda."
"A-apa?" Bola mata Shanum membulat, antara terkejut dan shock bercampur menjadi satu di wajahnya detik ini. Dia tentu tahu siapa 'Bos' yang dimaksud Emir.
'Apa Tuan Ozkhan masih berada di hotel ini?' batin Shanum.
Saat pintu lift terbuka, ketiga pasang mata itu seketika tertuju pada sosok yang melangkah keluar dari sana.
'Tuan Ozkhan …'
***
Bersambung....
Nyatanya, Ozkhan tidak tenang di dalam ruangan lain yang ada di kantor Firma Hukum Malik. Pria berjas hitam itu terus berjalan mondar-mandir sambil sesekali mengecek arloji di pergelangan tangan. Waktu berjalan sangat lambat. Belum ada tiga puluh menit Shanum berada di ruangan Malik. Namun, Ozkhan tak berhenti kepikiran serta khawatir. Dia hanya takut kalau sampai Shanum kenapa-kenapa saat ditanya-tanya. Pedro yang duduk tenang hanya memerhatikan majikannya yang sedari tadi gelisah. Dia sempat heran dengan tingkah Ozkhan. Untuk apa tuannya ini memilih berada di sini. Padahal jelas-jelas dia bisa menggunakan kesempatan yang ada untuk bertemu dengan kekasih hatinya. "Apa mereka sudah selesai?" tanya Ozkhan sambil memandang ke arah pintu yang tertutup rapat. "Mungkin sebentar lagi, Tuan," sahut Pedro sekenanya, sebab dia sendiri tidak tahu—kapan Shanum akan selesai. Helaan napas Ozkhan terdengar panjang. Ditariknya perlahan lilitan dasi yang terasa mencekik. Dia butuh udar
'Shanum... Akhirnya aku bisa melihatmu lagi.' Malik hanya mampu mengucapkannya dalam hati. Memandang puas wajah cantik Shanum yang sama sekali tidak berubah. Namun, dia tentu dapat merasakan perbedaan di sorot mata perempuan yang siang ini mengenakan floral dress warna peach. Dia memang perempuan yang sama tapi belum tentu dia mengingatnya, pikir Malik. Pertemuannya dengan Shanum terbilang sangat singkat. Meski demikian meninggalkan kesan yang mendalam di hati pria berusia tiga puluh tiga tahun itu. Awal jumpa Malik sudah jatuh hati pada Shanum, yang dulu sempat menjadi salah satu murid bimbingan belajar kakak perempuannya. Dia masih mengingat waktu pertama kali sang kakak memperkenalkan Shanum padanya. Kebetulan, Shanum adalah murid yang sangat cerdas dan sangat rajin. Kira-kira usia Shanum masih sangat muda pada waktu itu. 'Apa dia masih mengingatku?' Malik berharap jika saat ini Shanum mengingatnya. 'Ah, tidak mungkin dia mengingatku. Kami pun hanya beberapa ka
"Benarkah Shanum setuju untuk dimintai keterangan?" "Ya. Shanum sudah menyetujuinya. Dia bersedia menemui pengacara yang akan mengurus kasus ayahnya." Siang ini Ozkhan sengaja menghubungi Hakkan untuk menanyakan perihal Shanum, yang semalam menjalani sesi terapi pertamanya. Namun, dia dibuat senang oleh apa yang disampaikan Hakkan mengenai kesediaan Shanum untuk dimintai keterangan. "Baguslah kalau begitu. Nanti aku akan menyuruh Pedro untuk mengantarnya ke Firma hukum Malik." Raut Ozkhan nampak semringah. Pasalnya, sore ini dia juga hendak ke firma hukum Malik untuk mengurus dokumen pindah nama kepemilikan yayasan. Dengan begitu, dia bisa melihat Shanum secara diam-diam. "Oke. Nanti aku akan menyampaikannya." "Terima kasih." "Sama-sama. Aku senang bisa membantumu dan Shanum." "Kalau begitu aku sudahi dulu. Aku sudah ditunggu." Ozkhan lantas menyudahi pembicaraan dengan Hakkan, sebab dia sedang ditunggu oleh seseorang. Pria itu kembali duduk di kursi putarnya, s
Tak hanya Baris yang terkejut. Jihan pun turut terkejut atas keinginan yang diungkapkan Ozkhan barusan. Selama ini keberadaannya tidak pernah diketahui siapa pun. Selain orang-orang yang berada di rumah dan keluarga besannya. Status Jihan sebagai istri kedua bukanlah hal yang patut dibanggakan. Dia tak keberatan jika hanya menjadi bayangan. Tak apa. Sebab, itulah konsekuensi yang harus dia terima atas kesalahan yang pernah dilakukannya bertahun-tahun lalu. Tak hanya itu. Jihan pun harus rela namanya tidak tercantum di kartu keluarga sang suami. Dia bahkan tak memiliki hak atas putranya sendiri selama bertahun-tahun. Statusnya memang jelas—istri kedua. Namun, Jihan tak memegang wewenang sedikit pun. Sang suamilah yang selama ini mengendalikan hidup Jihan. Seketika Jihan mengingat Aika. Istri pertama Baris sekaligus wanita berhati malaikat, yang mau menerimanya di rumah ini dengan tangan terbuka. "Nikahi dia, Baris. Saat ini Jihan sedang mengandung anakmu. Apa kamu tega membiarkan d
"A-apa?"Hal yang baru saja didengar dari mulut putranya, makin menambah keterkejutan nyonya Jihan. Ditambah dengan keseriusan yang terpancar dari sepasang mata tajam Ozkhan, yang selama ini terlihat dingin.Jadi perempuan ini yang sudah membuat rumah tangga putranya berantakan?"Apa yang baru saja kamu katakan, Ozkhan? Perempuan ini adalah perempuan yang kamu cintai, begitu?" Sorot mata nyonya Jihan memancarkan kekecewaan terhadap pengakuan Ozkhan. Namun, dia sama sekali tidak bisa marah dengan putranya itu.Ozkhan mengangguk mantap. "Ya. Aku mencintainya, Bu."Dilihatnya kembali foto Shanum yang ada di tangan. Nyonya Jihan akui jika Shanum sangatlah cantik, dan sepertinya memiliki kepribadian yang sangat baik. Hanya melihat fotonya saja, Nyonya Jihan bisa merasakan ketulusan dari sorot mata gadis itu."Shanum sempat hilang ingatan akibat kecelakaan yang dialaminya dua tahun lalu," kata Ozkhan lagi sambil memandangi foto Shanum. "Ibu ingat, waktu aku terlambat datang di pesta ulang ta
"Apa maksudmu?""Intinya dia memaksa meminta pulang," jelas Hakkan, lalu menghela panjang. Dia melipat tangan di dada sambil memerhatikan perubahan raut Ozkhan, yang makin murung. "Kamu jangan khawatir. Dia sudah lebih tenang dari sebelumnya. Perdarahannya masih bisa diatasi. Hanya saja, dia tetap kukuh ingin dipulangkan.""Bagaimana menurutmu?" Ozkhan tentu harus bertanya pada yang lebih ahli dalam hal semacam ini. Inginnya, dia melarang Shanum dipulangkan supaya dia bisa leluasa memantau kondisi wanita itu.Namun, jika Shanum tetap kukuh meminta dipulangkan, Ozkhan pun tak bisa mencegah. Sebisa mungkin dia akan meminimalisir kebencian perempuan itu agar tidak semakin bertambah.Hakkan menggaruk dagu sekilas seraya berpikir, "Aku sebagai dokter menyarankan dia dirawat beberapa hari lagi di sini. Sampai kondisinya benar-benar pulih. Lagipula, kondisi mentalnya belum benar-benar stabil. Aku menyarankan agar dia dibawa ke psikolog.""Psikolog?""Ya. Dia bisa menjalani terapi profesional