Masuk"Kapan dia pergi? Kenapa dia tidak membangunkanku," gumam Ozkhan.
Ketika terbangun, Ozkhan tak mendapati Shanum di sampingnya. Perempuan itu pergi tanpa berpamitan sekaligus meninggalkan banyak pertanyaan dalam benak lelaki tiga puluh delapan tahun itu.
Di bawah kucuran air shower, Ozkhan merenung. Sekelebat adegan-adegan panas yang dia lalui bersama dengan sang sekretaris tiba-tiba muncul di ingatan, membuat Ozkhan merasakan sesuatu yang tidak dapat dijabarkan dengan kata-kata.
Desahan frustrasi meluncur dari bibir Ozkhan. "Pasti dia berpikir yang tidak-tidak tentangku. Sial! Harusnya semalam aku bisa mengontrol diri."
Kekesalan muncul dalam benak Ozkhan, sebab dia merasa apa yang dilakukannya pada Shanum kemungkinan sudah keterlaluan. Kemarahan akan sesuatu membuat dia kehilangan kendali.
Beberapa foto yang dikirimkan orang kepercayaannya menjadi pemicu. Ozkhan sadar, jika seharusnya dia tak melampiaskannya pada Shanum.
"Semua ini gara-gara wanita itu. Dia pikir, aku tidak pernah mengawasinya. Aku tahu semuanya selama ini, tapi aku sengaja diam."
Rahang Ozkhan mengetat, kesal karena selama ini dia sengaja diam demi menjaga nama baik keluarga besarnya. Termasuk sang ayah.
****
Sementara itu, Orhan terlihat marah besar di rumahnya. Semalam dia dihubungi oleh orang yang sudah akan meniduri istrinya. Orang itu memaki bahkan mengancam Orhan jika sampai dalam waktu dua puluh empat jam dia tidak membawa kembali Shanum.
Ancaman tersebut jelas membuat Orhan panik dan takut. Dia tidak menyangka jika Shanum bisa dengan mudah kabur. Padahal, dia sudah memperkirakan jika rencananya akan berhasil.
"Ke mana perginya wanita jalang itu? Siapa yang membantunya kabur?"
Sudah puluhan kali Orhan mencoba menghubungi ponsel Shanum, tetapi tidak ada jawaban. Dan Orhan pikir, Shanum pasti pulang ke rumah.
Namun, ketika tiba di rumah, Shanum tidak ada. Orhan bahkan tidak tidur, demi menunggu kedatangan istrinya.
"Apa jangan-jangan dia pergi ke suatu tempat? Kalau benar Shanum pergi, akulah yang akan mati. Tidak! Aku tidak mau mati sia-sia di tangan pria itu. Bagaimana pun caranya, aku harus menemukan Shanum."
Orhan lantas tak banyak berpikir. Dia langsung bergegas untuk mencari Shanum. Namun, ketika dia hendak membuka pintu, sang istri pun muncul di hadapan.
"Orhan?"
Tubuh Shanum menegang manakala mendapati sorot tajam penuh amarah dari suaminya. Dia cukup hapal dengan tatapan itu. Seketika dia menyesal karena memilih pulang ke neraka ini.
"Akhirnya kamu pulang, Shanum."
Seringai jahat terbit di sudut bibir Orhan. Tanpa berlama-lama, dia langsung menarik tangan Shanum, membawanya masuk ke dalam rumah. Orhan mengunci pintu agar istri tak tahu dirinya ini tidak bisa lagi pergi ke mana-mana.
Shanum yang merasa terancam bergegas berlari menuju kamar, agar Orhan tak bisa menyakitinya seperti yang sudah-sudah. Akan tetapi, dia kalah cepat. Orhan lebih dulu menahan pergelangan tangan Shanum.
"Mau ke mana kamu, Shanum? Kamu pikir, aku tidak tahu kalau semalam kamu kabur, huh?" Raut Orhan begitu menakutkan, bahkan dia mencengkeram kuat pergelangan tangan Shanum yang kecil.
Rasanya, Orhan akan mematahkan tangan Shanum. "Orhan, sakit…."
Akan tetapi Orhan tak peduli pada rintihan kesakitan sang istri. Tak cukup pada pergelangan tangan, Orhan lantas mendorong Shanum sampai punggung wanita itu membentur tembok.
"Argh!" Shanum berteriak, saat merasa tulang punggungnya nyaris remuk. "Orhan, lepaskan aku! ini sakit!"
"Sakit?" Tawa puas meluncur dari mulut Orhan. "Ini akibatnya kalau kamu sudah berani membantahku, Shanum. Harusnya kamu tidak kabur dan membuat pria itu marah bahkan mengancamku." Kelima jari Orhan mencengkeram kuat rahang Shanum..
"Aku kabur karena aku tidak mau ditiduri pria menakutkan itu, Orhan. Kamu tega menjadikanku sebagai penebus utangmu. Kamu sudah menjebakku. Kamu sudah gila, Orhan!"
Sekuat tenaga Shanum melepas cengkeraman tangan Orhan, tetapi tidak berhasil. Tenaganya kalah jauh. Apalagi dia belum tidur sama sekali sejak semalam.
"Apa salahnya membantu suamimu sendiri? Aku juga tidak menyuruhmu melakukannya setiap hari? Aku hanya memintamu untuk melayaninya semalam saja. Itu saja! Tapi kamu malah membuat masalah dan kabur." Cengkeraman Orhan makin menguat, bahkan dia pun tidak segan mencekik Shanum.
Shanum kelimpungan. Cekikan Orhan begitu menyiksa. Rautnya memucat karena napasnya hampir habis.
"O… Orh… Orhan… To-long, le-paskan a-ku. I-Ini sangat sakit. A-aku bisa ma-ti." Sebisa mungkin Shanum melepaskan cekikan Orhan yang makin mengetat, meski pandangannya kian mengabur. Kepalanya mulai terasa pusing.
'Apa aku akan mati dengan cara seperti ini, Tuhan? Ini sangat tidak adil! Kenapa aku harus mati di tangan bajingan ini?' Batin Shanum menangis, merasa jika nasibnya begitu miris.
Dan nyatanya, tangisan Shanum tak digubris. Orhan terlihat puas sekali karena istrinya terlihat tak berdaya di tangannya.
Akan tetapi Orhan tidak akan membunuh Shanum hari ini, karena dia masih membutuhkan perempuan ini. Orhan tidak bisa melukai Shanum, sebab dia akan mengirimnya lagi pada pria itu.
Orhan hanya perlu mengancamnya sedikit, agar Shanum mau menuruti perkataannya. "Biar! Kamu pantas mendapat hukuman karena sudah berani melawan perintahku, Shanum! Aku akan membunuhmu saat ini juga."
Ancaman Orhan tak lantas membuat nyali Shanum menciut. Akan lebih baik jika dia mati saat ini juga. Dengan begitu, dia tidak perlu lagi menjadi penebus utang suaminya yang berengsek ini..
"Bunuh saja aku, Orhan! Aku tidak takut!" ucap Shanum dengan lantang, kendati dia merasa akan kehilangan kesadaran karena pasokan oksigen yang kian menipis. Nyawanya seperti sedang di ujung tanduk.
Orhan cukup terkesan dengan keberanian istrinya yang tidak takut dengan ancamannya. Namun, dia masih mempunyai cara untuk membuat istrinya menurut.
Cengkeraman di rahang Shanum terlepas, Orhan lantas mengambil ponsel dari saku jaket kulitnya. Dia berniat menghubungi seseorang yang merupakan orang suruhannya, yang ada di sebuah panti jompo.
"Oh, kamu menantangku, Shanum? Kalau begitu, aku akan meminta orang suruhanku untuk membunuh ibumu saja. Bagaimana? Ibu mertuaku yang pikun itu sudah banyak menyusahkanmu, bukan?"
Shanum terbatuk-batuk seraya meraup oksigen sebanyak-banyaknya. Wajahnya yang pucat pasi makin panik dan takut.
Apabila sudah menyangkut ibunya, Shanum pasti akan langsung melunak. "Tidak! Jangan lakukan itu, Orhan! Jangan kamu sangkut pautkan ibuku. Dia tidak bersalah. Aku mohon …" Kedua telapak tangannya bahkan menangkup di bawah bibir.
Tangisan mengiba meluncur dari mulut Shanum, sementara Orhan tersenyum penuh kemenangan. Dia berhasil membuat Shanum patuh padanya.
Seraya mengembalikan ponselnya ke saku jaket, Orhan berkata, "Kalau kamu tidak ingin aku melenyapkan ibumu, lebih baik kamu turuti saja keinginanku, Shanum. Dengan begitu, ibumu tidak akan pernah aku sentuh. Dia akan hidup tenang di panti jompo selamanya." Lalu, dia mengusap rambut Shanum.
"Ba-baik. A-aku akan turuti perintahmu, Orhan. Tapi, kamu janji tidak akan pernah menyentuh ibuku," pinta Shanum mengiba sambil menggosok kedua telapak tangannya.
Seringai kemenangan makin lebar di bibir Orhan. Dan pada akhirnya, dia membuat Shanum tidak memiliki pilihan lain selain 'patuh'.
"Baiklah. Aku janji tidak akan pernah menyentuh ibumu, selama kamu mau menurut denganku."
Shanum mengangguk cepat. Air matanya menetes begitu deras. Sekeras apa pun dia berusaha melepaskan diri dari Orhan, maka usahanya itu hanya akan membawanya pada kesengsaraan lainnya. Shanum tidak akan sanggup jika harus sang ibu yang menanggung semua kesalahannya.
"Aku akan turuti kemauanmu."
"Oke. Kalau begitu kamu bisa bersiap-siap karena aku akan mengantarmu pada pria yang sudah menjualmu."
Tanpa banyak membantah, Shanum bergegas menuju kamar untuk bersiap-siap. Terpaksa dia izin libur pada atasannya.
"Aku harus minta izin sama Tuan Ozkhan."
****
"Ozkhan, apa aku boleh menemui Gul? Aku sangat ingin bertemu dengannya. Aku janji aku akan tetap tutup mulut." "Kamu... bilang apa?" Raut Ozkhan seketika berubah dingin karena permintaan Keenan yang dirasa terdengar konyol. "Kamu ingin menemui Gul?" Nada bicaranya terdengar agak sinis. Keenan menelan ludah dengan perubahan sikap Ozkhan yang tiba-tiba, membuat nyalinya seketika menciut. Membasahi bibir, dia pun menjawab gugup, "I-iya. Aku ingin menemui Gul, walau hanya sekali saja. Aku hanya ingin melihatnya secara langsung. Aku—" "Bukankah kamu sudah pernah menemuinya diam-diam?" Ozkhan menyela Keenan, membuat pria itu makin pucat. Raut Keenan pias mendengar pertanyaan Ozkhan yang semacam sindiran. Tenggorokannya tercekat, dan mendadak dia kehilangan keberanian untuk menyampaikan keinginannya lagi. Bagaimana Ozkhan bisa tahu hal itu? pikirnya. Punggung Keenan menegak, tatapan matanya mengiba. Lantas dengan sisa keberaniannya Keenan pun berkata, "Maafkan aku, Ozkhan. Aku t
Rapat hari ini selesai dari waktu yang semestinya. Banyak hal yang harus dibahas bersama. Ozkhan selaku pimpinan utama meminta kerja sama dengan beberapa pihak yang akan membantunya meninjau proyek resort di Dubai. Keberangkatan yang kurang dari empat hari lagi sudah dipersiapkan secara matang oleh Emir dan dibantu oleh rekannya. Dari ruang rapat, Ozkhan kembali ke ruangannya. Duduk di kursi kebesarannya, lalu memeriksa beberapa dokumen yang perlu tanda tangannya. Selesai tanda tangan, Ozkhan lantas mengecek ponsel. Ada banyak sekali pesan yang masuk. Termasuk pesan dari Malik—selaku pengacara yang saat ini sedang bekerja sama dengannya. Malik menyelesaikan tugasnya dengan cepat, padahal belum ada satu hari Ozkhan memintanya untuk mengajukan surat permohonan cerai ke pengadilan negeri. [Ada kemungkinan besar prosesnya tidak membutuhkan waktu lama, karena tergugat saat ini berada di penjara. Proses mediasi nampaknya tidak diperlukan, mengingat mantan suami Shanum adalah pel
"Bibi Shanum!" Gul yang sedang menyantap sarapannya langsung loncat dari kursinya, dan berlari ketika melihat sosok yang semalam dia tunggu kedatangannya baru saja memasuki Vila. Gadis kecil itu begitu riang menyambut Shanum. Kedua tangan Shanum terentang lebar sambil sedikit membungkukkan badan. Gul menghambur ke pelukannya. "Gul!" "Bibi akhirnya datang," ucap Gul di pelukan Shanum. Shanum tersenyum seraya mengusap-usap punggung Gul. "Gul senang?" "Senang sekali, Bibi." Gadis kecil itu tak mau lepas dari pelukan Shanum barang sejenak. "Bibi Shanum menginap di sini 'kan?" "Gimana, yaa..." Gul sontak menarik diri dari pelukan Shanum yang ragu-ragu menjawab pertanyaannya. Bibirnya merengut sesaat. "Bibi Shanum tidak bisa, ya?" Manik beningnya memancarkan rasa kecewa serta kesedihan. Melihat Gul yang langsung bersedih Shanum jadi tidak tega karena sudah mengerjai gadis berambut panjang itu. Menekuk kedua lututnya agar sejajar dengan tinggi Gul, Shanum lantas mencu
Untuk seperkian detik, Shanum dan Ozkhan saling menatap dengan posisi yang sangat intim. Bahkan mereka bisa merasakan hangatnya deru napas masing-masing, menyapu permukaan kulit yang saling menempel. Perlahan Ozkhan lebih mendekat pada Shanum, agar dia mudah menjangkau kening wanita itu. Sementara Shanum sudah pasrah dengan apa yang akan terjadi. Paham dengan keinginan lelaki ini. Sepasang matanya memejam erat, seolah dia menyambut dengan senang hati ciuman yang akan mendarat di bibirnya. Namun... Alih-alih mencium bibir Shanum, yang sedikit terbuka, lelaki itu justru mengecup kening sang wanita. Merasa ada yang aneh, sepasang mata Shanum sontak terbuka. Ozkhan menyeringai seolah tahu isi kepala wanita ini. Dia berkata, "Kalau kamu sudah ngantuk, tidurlah lebih dulu. Aku mau mandi dan setelah itu ada sedikit pekerjaan yang harus kuselesaikan." Malu sendiri sebab yang terjadi barusan di luar ekspektasi. "I-iya," jawab Shanum, bergegas pergi begitu lilitan di pinggangnya terl
Tercengang! Apa yang diungkapkan oleh Shanum tak pelak membuat seluruh mata di ruangan itu membelalak lebar. Sebuah fakta yang didengar secara langsung dari saksi membuat sekujur tubuh mereka merinding. Rupanya, kabar tersebut memang benar adanya. Pemilik tempat mereka bernaung selama ini ternyata sengaja dilenyapkan. Betapa keji perbuatan orang itu. Ada perasaan lega bercampur rasa puas dari sorot mata Shanum, kendati rasa sedih lebih dominan, sebab dia harus kembali mengingat peristiwa kelam itu. Cairan bening secara spontan menetes dari bola matanya. Shanum mengusapnya dengan cepat. Ozkhan yang peka langsung merangkul pundak wanitanya. "Kamu baik-baik saja?" tanyanya karena dia melihat Shanum meneteskan air mata. Shanum mendongak, lalu tersenyum. "Aku baik-baik saja. Terima kasih karena sudah memberiku kesempatan yang sama sekali tidak pernah kudapatkan." Sepasang matanya mengerling polos, menatap Ozkhan dengan lembut. "Kamu berhak mendapatkannya, Shanum. Cukup sel
Kedatangan Ozkhan sempat membuat para staf yang berada di ruangan rapat terkejut sekaligus merasa lega. Pasalnya, pria itu sama sekali tidak pernah ikut campur dalam masalah yayasan selama ini. Semua kendali sepenuhnya dipegang oleh Numa. Selama beberapa hari ini keadaan di yayasan sangat kacau, semenjak terkuaknya kasus pencucian uang yang dilakukan oleh pemiliknya sendiri. Tak ada yang berani membuka suara mengenai permasalahan tersebut. Berbagai spekulasi bermunculan sebab Ozkhan sendiri tidak pernah memberi klarifikasi mengenai kasus, yang menjerat sang mantan istri. Bukannya tidak ingin, hanya saja Ozkhan merasa tidak perlu memberi klarifikasi sebab dia dan Numa sudah bercerai. Semua mata tertuju pada Shanum. Sosok perempuan cantik dan masih terlihat muda begitu menarik perhatian. Mereka tentu pernah melihat Shanum sebelumnya di pesta anniversary Numa dan Ozkhan beberapa bulan yang lalu. Namun, tidak sempat saling menyapa dikarenakan sibuk dengan urusan masing-masing. "







