Share

Bab 2

Author: Liyusa_
last update Last Updated: 2025-07-28 19:46:03

Maya sibuk di dapur, menata meja makan sambil memastikan semua hidangan tersaji dengan rapi. Ia berperan sebagai istri yang perhatian dengan harapan Revan akan menyukainya.

Begitu semuanya siap, Maya menyeka tangannya dengan lap, lalu berjalan ke arah tangga. Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar Arman yang sedikit terbuka, lalu mengetuk pelan.

“Mas… makan malamnya udah siap,” ucapnya lembut.

Dari dalam, suara Arman terdengar pelan, nyaris seperti gumaman. “Iya, bentar lagi, Sayang.”

Maya pun turun kembali ke ruang makan. Alya sudah duduk di sana, diam, menatap piring kosong di depannya.

Beberapa menit kemudian, Arman turun sambil merapikan lengan kemejanya. Ia tersenyum tipis saat melihat mereka.

“Revan mana?” tanyanya sambil menarik kursi.

Maya menggeleng. “Belum turun, Mas. Mungkin masih di kamar.”

Ia lalu menoleh ke Alya.

“Alya, coba kamu panggil Revan, ya.” nadanya sedikit tinggi.

Arman menoleh cepat. “Kamu kayak gitu aja kok malah nyuruh Alya? Harusnya kamu yang ajak dia turun, biar pelan-pelan Revan mulai terima kamu.”

Maya menghela napas panjang, agak kesal. “Mas, aku capek. Dari tadi sibuk di dapur nyiapin semuanya. Lagian biar mereka akrab, kan.”

Arman terdiam sejenak, menatap istrinya. Ia tidak menyangka respons Maya akan sesantai itu. Tapi ia tak ingin memperpanjang.

“Ya udah,” katanya akhirnya, menoleh ke Alya. “Alya, tolong ya... panggilin Revan. Bilang makan malamnya udah siap.”

Alya mengangguk sopan. “Iya, Pa.”

Alya bangkit dari kursinya, sempat ragu sebelum melangkah ke arah tangga. Napasnya pelan, seolah menyiapkan diri. Bukan karena takut, tapi karena ia tahu, bicara dengan Revan bukan hal yang mudah. Lelaki itu dingin dan sulit ditebak. Salah ucap sedikit saja, suasana bisa langsung jadi canggung atau lebih buruk.

Langkahnya pelan saat menyusuri lorong menuju tangga. Di wajahnya, terlihat sedikit ragu. Ini pertama kalinya ia berdiri di depan kamar Revan dan ia tahu, kemungkinan tak akan disambut dengan ramah.

Ia berdiri di depan pintu Revan dan mengetuknya.

Tok… tok…

“Revan… makan malamnya udah siap,” ucapnya, suaranya rendah.

Tak ada jawaban.

Alya menunggu sebentar, lalu mengetuk sekali lagi, kali ini lebih pelan.

Tiba-tiba, terdengar suara dari dalam kamar.

“Apa sih, berisik banget! Ganggu orang tidur aja!” bentak Revan, suaranya serak dan kesal.

Alya menarik napas pelan, menahan diri untuk tidak terpancing.

“Kamu tidur Magrib-magrib?” tanyanya, nada suaranya datar. “Itu nggak bagus, Revan. Pamali”

“Bukan urusan kamu,” sahut Revan cepat, masih dengan nada tajam.

Alya mengangkat bahu, setengah malas menanggapi. “Ya udah... terserah kamu juga. Aku cuma mau ngasih tahu kalau makan malam udah siap.”

“Bodo amat,” jawab Revan sambil menutup pintu keras-keras.

Alya hanya menggeleng kecil dan berbalik. Ia menuruni tangga dengan langkah ringan tapi ekspresinya menyimpan kekesalan yang ditahan.

Saat tiba di ruang makan, Arman yang sedang menuang air putih menoleh padanya.

“Revannya mana, Alya?”

Alya tersenyum tipis, berusaha tetap tenang. “Dia baru bangun, Pa. Mungkin mau mandi dulu.”

Arman mendengus pelan. “Kebiasaan. Dulu waktu masih ada Mamanya, selalu diingatin jangan tidur magrib. Sekarang, udah nggak ada yang ingetin dia lagi.”

Maya yang sedang merapikan sendok-garpu di meja ikut angkat bicara, suaranya pelan tapi terasa menyentuh.

“Pantes dia sesayang itu sama Ratri…”

Arman mengangguk pelan. “Iya. Makanya, kamu juga harus bisa seperti Ratri supaya bisa ambil hatinya pelan-pelan.”

Maya tersenyum samar, tak menjawab. Hanya anggukan kecil sebagai tanda ia mendengar.

Tak lama, langkah kaki terdengar dari tangga. Revan turun dengan rambut sedikit basah, wajahnya masih terlihat malas.

Maya mencoba bersikap hangat, suaranya lembut. “Ayo makan, Van. Tadi Mama—eh, aku masak sup kesukaan kamu.”

Revan tidak menjawab. Ia hanya menoleh sebentar ke arah Arman, lalu membuka mulutnya pelan.

“Aku makan di luar aja, Pa.”

Maya menahan kecewa yang mulai merayap di dada. Tapi ia tetap tersenyum kecil, berusaha sabar.

“Coba dulu sedikit, Van… Kalau nggak enak, kamu boleh makan di luar. Nggak apa-apa.”

Arman menimpali, suaranya terdengar lebih tegas. “Iya, Van. Hargain dong usaha Maya. Dia masak khusus buat kamu, loh. Masakan kesukaan kamu juga.”

Revan mengangkat alis, lalu menggeleng perlahan. “Lain kali aja.”

Suasana jadi hening sejenak, sampai Alya yang sejak tadi diam mencoba mencairkan ketegangan.

“Mau ke mana, Revan?” tanyanya pelan, nada suaranya ringan, mencoba akrab.

Tapi Revan malah menoleh tajam. “Mau tahu banget, sih urusan orang.”

Alya terdiam, matanya sedikit melebar, tak menyangka akan mendapat jawaban setajam itu.

Arman langsung angkat suara, nadanya meninggi. “Revan! Yang bener kalau ngomong. Dia itu adik kamu.”

Revan mendengus, lalu menjawab dengan datar. “Adik tiri, kan?”

Ucapannya meluncur begitu saja, dingin, menusuk, dan membuat udara di ruang makan seolah ikut membeku. Alya menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang nyaris pecah di dadanya.

Arman hanya bisa menatap Revan dengan kecewa. Anak itu belum siap, pikirnya. Dan luka lama rupanya masih terlalu dalam untuk digantikan apa pun, bahkan oleh niat baik.

Setelah makan malam selesai, piring-piring kotor masih berserakan di meja. Arman sudah kembali ke ruang kerja di lantai atas, dan Revan entah ke mana. Hanya Maya dan Alya yang tersisa di ruang makan.

Maya menguap kecil, lalu berdiri sambil menepuk pelan pinggangnya.

“Alya, Mama capek mau istirahat,” ujarnya sambil melirik meja makan. “Kamu beresin ini semua, ya?”

Alya menoleh sekilas, lalu mengangguk pelan. “Iya, Ma.”

Maya melangkah pelan menuju tangga, tapi sempat berhenti dan menoleh lagi.

“Oh iya,” tambahnya, nada suaranya ringan tapi tajam. “Kalau nanti Papa kamu tanya kenapa bukan Mama yang beresin, bilang aja itu kemauan kamu sendiri.”

Alya hanya menjawab pelan, “Iya, Ma,” lalu mulai mengumpulkan piring-piring kotor dengan tenang.

Maya pun naik ke atas tanpa menoleh lagi, meninggalkan Alya sendirian dengan sisa-sisa makan malam yang belum tersentuh Revan.

Alya berdiri di depan wastafel, kedua tangannya sibuk mencuci piring yang tersisa.

Alya menarik napas pelan, mencoba menenangkan hatinya yang entah kenapa terasa sesak.

Namun semakin ia berusaha

melupakan, kata-kata Revan malah makin jelas terngiang di kepalanya.

“Adik tiri, kan?”

Satu kalimat itu meluncur tajam, sederhana tapi cukup untuk menampar kenyataan.

Ia menunduk, menatap bayangan dirinya di permukaan piring yang masih basah.

Ya, memang benar. Ia cuma adik tiri. Tidak lebih

Revan jelas tidak salah. Wajar jika pria itu seperti membangun tembok sekeras itu di antara mereka.

Alya menarik napas panjang, mencoba tersenyum meski getir.

“Setidaknya aku masih punya keluarga sekarang,” gumamnya pelan, seolah ingin meyakinkan diri sendiri.

“Biarpun mereka nggak sepenuhnya menerimaku, aku harus tetap kuat.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Sinta Ca
Suka banget ...
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 154(21+)

    Alya buru-buru menggeleng, berusaha kelihatan santai meski jantungnya lagi-lagi berdegup kencang. Ia angkat dagu sedikit, pura-pura cuek sambil menyilangkan tangan di dada. "Ngapain juga nyariin kamu? Aku cuma penasaran aja sama apartemen ini, gede banget sih," katanya, suaranya dibuat datar, tapi ada nada gugup yang susah disembunyikan. Matanya sengaja dialihkan ke kolam, pura-pura perhatiin air yang masih bergoyang pelan.Revan cuma terkekeh pelan, matanya yang basah karena air kolam malah makin tajam menatap Alya. Tanpa banyak kata, tangannya tiba-tiba meraih pergelangan tangan Alya yang paling dekat, tarikannya kuat tapi nggak kasar, cukup buat Alya kehilangan keseimbangan. "Ehh…" seru Alya pelan, tapi udah telat. Tubuhnya ambruk duduk di tepi tangga kolam, pas di sebelah Revan.Kimono tipisnya yang baru diikat asal tadi langsung bergeser sedikit. Belahannya di bagian dada terbuka sedikit, menampakkan garis lembut di tubuh Alya yang tersingkap karena gerakannya sendiri. Sadar

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 153

    Ciuman itu masih menempel di bibir Alya. Degup jantungnya belum juga turun, sementara pikirannya berlari ke mana-mana. Ia masih bisa merasakan sisa nafas Revan di kulitnya, membuat dadanya panas, antara malu dan bingung. Beberapa detik berlalu tanpa kata. Alya menunduk, mencoba mencari napas, tapi udara rasanya berat. Tangannya akhirnya terangkat pelan, menekan dada Revan yang sejak tadi tak bergerak. “Van, awas… aku mau mandi,” katanya pelan. Suaranya bergetar, tapi ia berusaha terdengar tegas. Revan cuma tersenyum kecil. Bukannya mundur, ia malah sedikit mendekat lagi. Gerakannya pelan, tapi cukup untuk membuat Alya kembali menahan napas. “Aku ikut,” katanya, nyaris seperti bisikan di telinganya. Alya langsung panik. Ia menggeleng cepat, rambutnya yang sudah berantakan makin jatuh menutupi sebagian wajah. “Nggak, Van,” ucapnya terburu-buru. Tangannya spontan menekan dada Revan lebih kuat kali ini, mendorongnya sampai tubuh Revan akhirnya bergeser. Begitu ia berhasil lepa

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 152(21+)

    Alya menatap Revan lama. Ia tak langsung paham arah ucapan pria itu barusan. Pelan, Alya membuka suara, suaranya nyaris bergetar. “Maksud kamu apa, Van?” Revan menatapnya diam-diam, lalu mengalihkan pandangannya sebentar, seperti menahan sesuatu di dadanya yang tak semestinya keluar. Ia menarik nafas, lalu menatap Alya lagi. “Aku sama dia itu sama-sama cowok, Alya,” ucapnya akhirnya, suaranya rendah dan dalam. Alya hanya bisa diam, menatap Revan dengan mata lebar, menunggu penjelasan. Revan menggeser duduknya, tubuhnya condong sedikit ke depan. “Kalau aku susah dapetin sesuatu yang aku mau, aku bakal ngelakuin apa aja buat dapet itu,” katanya pelan, tapi tegas. “Semua cara.” Ia berhenti sejenak, menatap Alya tanpa berkedip, seolah ingin memastikan gadis itu benar-benar mendengarnya. “Begitu juga dia.” Alya menelan ludah, jantungnya berdegup tak karuan. “Dia?” Revan mengangguk pelan. “Cowok itu. Kalau dia terang-terangan mau dapetin kamu, dan dia tahu kamu nggak ba

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 151

    Ponsel di dalam tas Alya tiba-tiba bergetar, memecah kesunyian kamar yang masih dipenuhi sisa nafas berat dan keheningan aneh setelah segalanya tadi.Getaran itu membuat Alya tersentak pelan. Ia menoleh, menatap tas di ujung kasur dengan alis berkerut, lalu perlahan meraih ponselnya.Begitu layar menyala, matanya langsung membulat. Nama Papa Arman terpampang jelas di sana.Jantung Alya berdegup kencang. Nafasnya yang semula mulai tenang kembali tercekat di tenggorokan.Pikiran-pikiran berhamburan di kepalanya, saling bertabrakan tanpa arah.Alisha… jangan-jangan dia benar-benar ngadu?Wajah Alya seketika memucat. Ingatannya berputar cepat ke kejadian pagi tadi, saat Alisha memergokinya bersama Revan di depan kampus. Tatapan marah Alisha masih terbayang jelas, begitu juga suaranya yang gemetar menahan emosi saat berkata ia akan memberitahu semuanya kepada Papa Arman dan Mama Maya.Alya sampai sekarang masih bisa mengingat jelas kalimat Alisha yang menusuk telinga.“Kamu lupa kalau Om

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 150(21+)

    Ponsel di saku celana Revan tiba-tiba bergetar, membuat gerakannya seketika terhenti. Alya, dengan dada yang masih naik turun dan suara nyaris tak terdengar, berbisik pelan, “Siapa, Van?” Revan menghela napas pendek, lalu merogoh saku dengan satu tangan. Sementara itu, tangan satunya masih bertahan, menyusuri titik sensitif Alya. Sekilas ia melirik layar ponsel, nama “Arman” terpampang jelas. Bukannya mengangkat panggilan itu, Revan malah mendengus pelan. Lalu melempar ponselnya ke atas kasur Alya menatap Revan dari bawah, masih dengan napas yang belum juga teratur. Getaran ponsel yang terus-menerus terdengar membuatnya sedikit terusik. Dengan suara serak yang nyaris hanya berupa bisikan, ia bertanya pelan, “Kenapa nggak diangkat, Van?” Revan tidak langsung menjawab. Ia hanya menunduk, menatap wajah Alya yang setengah tertutup rambut acaknya. Sudut bibirnya terangkat samar. “Biarin aja,” gumamnya rendah, nyaris seperti erangan tertahan. Lalu, tanpa banyak kata, i

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Bab 149

    Revan mendekat selangkah demi selangkah, sorot matanya tajam. “Kenapa kamu bisa ada di sana sama dia, Alya?” suaranya pelan, tapi mengandung amarah yang ditahan. Semakin Revan mendekat, Alya semakin melangkah mundur. Langkahnya terhenti ketika punggungnya menyentuh tepi kasur. “Van, aku–” ucapnya pelan, tapi belum sempat menyelesaikan kalimatnya. Revan tiba-tiba menarik tubuhnya dan merebahkan-nya ke ranjang. Tubuhnya menindih dari atas, nafasnya terdengar berat di telinga Alya. Ia menunduk menatap tajam wajah di bawahnya, “Kamu apa?” tanyanya tajam. “Kamu bilang ke aku kamu udah telat, ada kelas pagi. Tapi ternyata?” Tatapannya menelusuri wajah Alya yang memucat. “Ternyata kamu malah ke kafe sama dia.” Alya menggigit bibir, mencoba menenangkan diri, meski jantungnya berdetak tak karuan. “Van, aku tadi memang sudah telat,” ucapnya pelan, seperti bisikan. Namun Revan memotong cepat, jemarinya bergerak menyentuh kancing pertama di blouse Alya. “Iya, kamu telat,” uca

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status