Maya sibuk di dapur, menata meja makan sambil memastikan semua hidangan tersaji dengan rapi. Ia berperan sebagai istri yang perhatian dengan harapan Revan akan menyukainya.
Begitu semuanya siap, Maya menyeka tangannya dengan lap, lalu berjalan ke arah tangga. Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar Arman yang sedikit terbuka, lalu mengetuk pelan. “Mas… makan malamnya udah siap,” ucapnya lembut. Dari dalam, suara Arman terdengar pelan, nyaris seperti gumaman. “Iya, bentar lagi, Sayang.” Maya pun turun kembali ke ruang makan. Alya sudah duduk di sana, diam, menatap piring kosong di depannya. Beberapa menit kemudian, Arman turun sambil merapikan lengan kemejanya. Ia tersenyum tipis saat melihat mereka. “Revan mana?” tanyanya sambil menarik kursi. Maya menggeleng. “Belum turun, Mas. Mungkin masih di kamar.” Ia lalu menoleh ke Alya. “Alya, coba kamu panggil Revan, ya.” nadanya sedikit tinggi. Arman menoleh cepat. “Kamu kayak gitu aja kok malah nyuruh Alya? Harusnya kamu yang ajak dia turun, biar pelan-pelan Revan mulai terima kamu.” Maya menghela napas panjang, agak kesal. “Mas, aku capek. Dari tadi sibuk di dapur nyiapin semuanya. Lagian biar mereka akrab, kan.” Arman terdiam sejenak, menatap istrinya. Ia tidak menyangka respons Maya akan sesantai itu. Tapi ia tak ingin memperpanjang. “Ya udah,” katanya akhirnya, menoleh ke Alya. “Alya, tolong ya... panggilin Revan. Bilang makan malamnya udah siap.” Alya mengangguk sopan. “Iya, Pa.” Alya bangkit dari kursinya, sempat ragu sebelum melangkah ke arah tangga. Napasnya pelan, seolah menyiapkan diri. Bukan karena takut, tapi karena ia tahu, bicara dengan Revan bukan hal yang mudah. Lelaki itu dingin dan sulit ditebak. Salah ucap sedikit saja, suasana bisa langsung jadi canggung atau lebih buruk. Langkahnya pelan saat menyusuri lorong menuju tangga. Di wajahnya, terlihat sedikit ragu. Ini pertama kalinya ia berdiri di depan kamar Revan dan ia tahu, kemungkinan tak akan disambut dengan ramah. Ia berdiri di depan pintu Revan dan mengetuknya. Tok… tok… “Revan… makan malamnya udah siap,” ucapnya, suaranya rendah. Tak ada jawaban. Alya menunggu sebentar, lalu mengetuk sekali lagi, kali ini lebih pelan. Tiba-tiba, terdengar suara dari dalam kamar. “Apa sih, berisik banget! Ganggu orang tidur aja!” bentak Revan, suaranya serak dan kesal. Alya menarik napas pelan, menahan diri untuk tidak terpancing. “Kamu tidur Magrib-magrib?” tanyanya, nada suaranya datar. “Itu nggak bagus, Revan. Pamali” “Bukan urusan kamu,” sahut Revan cepat, masih dengan nada tajam. Alya mengangkat bahu, setengah malas menanggapi. “Ya udah... terserah kamu juga. Aku cuma mau ngasih tahu kalau makan malam udah siap.” “Bodo amat,” jawab Revan sambil menutup pintu keras-keras. Alya hanya menggeleng kecil dan berbalik. Ia menuruni tangga dengan langkah ringan tapi ekspresinya menyimpan kekesalan yang ditahan. Saat tiba di ruang makan, Arman yang sedang menuang air putih menoleh padanya. “Revannya mana, Alya?” Alya tersenyum tipis, berusaha tetap tenang. “Dia baru bangun, Pa. Mungkin mau mandi dulu.” Arman mendengus pelan. “Kebiasaan. Dulu waktu masih ada Mamanya, selalu diingatin jangan tidur magrib. Sekarang, udah nggak ada yang ingetin dia lagi.” Maya yang sedang merapikan sendok-garpu di meja ikut angkat bicara, suaranya pelan tapi terasa menyentuh. “Pantes dia sesayang itu sama Ratri…” Arman mengangguk pelan. “Iya. Makanya, kamu juga harus bisa seperti Ratri supaya bisa ambil hatinya pelan-pelan.” Maya tersenyum samar, tak menjawab. Hanya anggukan kecil sebagai tanda ia mendengar. Tak lama, langkah kaki terdengar dari tangga. Revan turun dengan rambut sedikit basah, wajahnya masih terlihat malas. Maya mencoba bersikap hangat, suaranya lembut. “Ayo makan, Van. Tadi Mama—eh, aku masak sup kesukaan kamu.” Revan tidak menjawab. Ia hanya menoleh sebentar ke arah Arman, lalu membuka mulutnya pelan. “Aku makan di luar aja, Pa.” Maya menahan kecewa yang mulai merayap di dada. Tapi ia tetap tersenyum kecil, berusaha sabar. “Coba dulu sedikit, Van… Kalau nggak enak, kamu boleh makan di luar. Nggak apa-apa.” Arman menimpali, suaranya terdengar lebih tegas. “Iya, Van. Hargain dong usaha Maya. Dia masak khusus buat kamu, loh. Masakan kesukaan kamu juga.” Revan mengangkat alis, lalu menggeleng perlahan. “Lain kali aja.” Suasana jadi hening sejenak, sampai Alya yang sejak tadi diam mencoba mencairkan ketegangan. “Mau ke mana, Revan?” tanyanya pelan, nada suaranya ringan, mencoba akrab. Tapi Revan malah menoleh tajam. “Mau tahu banget, sih urusan orang.” Alya terdiam, matanya sedikit melebar, tak menyangka akan mendapat jawaban setajam itu. Arman langsung angkat suara, nadanya meninggi. “Revan! Yang bener kalau ngomong. Dia itu adik kamu.” Revan mendengus, lalu menjawab dengan datar. “Adik tiri, kan?” Ucapannya meluncur begitu saja, dingin, menusuk, dan membuat udara di ruang makan seolah ikut membeku. Alya menggigit bibir bawahnya, menahan sesuatu yang nyaris pecah di dadanya. Arman hanya bisa menatap Revan dengan kecewa. Anak itu belum siap, pikirnya. Dan luka lama rupanya masih terlalu dalam untuk digantikan apa pun, bahkan oleh niat baik. Setelah makan malam selesai, piring-piring kotor masih berserakan di meja. Arman sudah kembali ke ruang kerja di lantai atas, dan Revan entah ke mana. Hanya Maya dan Alya yang tersisa di ruang makan. Maya menguap kecil, lalu berdiri sambil menepuk pelan pinggangnya. “Alya, Mama capek mau istirahat,” ujarnya sambil melirik meja makan. “Kamu beresin ini semua, ya?” Alya menoleh sekilas, lalu mengangguk pelan. “Iya, Ma.” Maya melangkah pelan menuju tangga, tapi sempat berhenti dan menoleh lagi. “Oh iya,” tambahnya, nada suaranya ringan tapi tajam. “Kalau nanti Papa kamu tanya kenapa bukan Mama yang beresin, bilang aja itu kemauan kamu sendiri.” Alya hanya menjawab pelan, “Iya, Ma,” lalu mulai mengumpulkan piring-piring kotor dengan tenang. Maya pun naik ke atas tanpa menoleh lagi, meninggalkan Alya sendirian dengan sisa-sisa makan malam yang belum tersentuh Revan. Di dapur, bunyi air mengalir dan denting sendok bertemu piring terdengar pelan. Alya bekerja tanpa suara, tanpa mengeluh.Setelah sarapan selesai. Arman beranjak lebih dulu. Ia melirik ke arah Revan sebentar, lalu menepuk pundaknya pelan sebelum berjalan meninggalkan ruang makan. Revan bangkit menyusul beberapa detik kemudian, tak berkata apa pun, ia hanya melirik sekilas ke arah Alya sebelum benar-benar berlalu.Maya masih duduk di kursinya. Tatapannya tajam mengarah ke Alya yang kini mulai bangkit dari duduknya untuk membereskan meja makan.Tanpa menunggu aba-aba. Tanpa instruksi Alya sudah tau perannya. Dengan langkah ringan namun cepat, ia mulai mengambil piring-piring kotor, sendok, sisa roti, cangkir yang belum di cuci, lalu menumpuknya dengan rapi di atas nampan. Bukan karena senang melakukannya, tapi karena sudah terlatih dari kecil untuk bergerak sebelum dipanggil, sebelum disuruh.Di tengah gerakannya yang sibuk, sambil mengambil cangkir yang kosong, Maya membuka mulutnya pelan, namun cukup terdengar di telinga Alya."Alya, awas ya kamu nerima tawaran kuliah dari Papa kamu," bisik Maya tajam.
Keesokan paginya… Alya sudah duduk lebih dulu di meja, bersama Maya dan Arman yang tengah menikmati sarapan. Tangannya menggenggam sendok, tapi dari tadi ia hanya memainkannya di dalam mangkuk tanpa benar-benar menyuap. Pikirannya masih terjebak pada kejadian semalam, pada tatapan Revan yang menusuk tajam, pada suara Revan yang seperti bisikan dosa. Alya berharap pagi ini Revan tidak akan ikut makan bersama. Ia berdoa dalam hati agar laki-laki itu memilih keluar rumah atau sekadar menghindar seperti yang biasa ia lakukan. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang menuruni tangga. Sontak detak jantung Alya melonjak. Ia menoleh perlahan, dan benar saja Revan muncul dengan kaos oblong yang santai. Rambutnya sedikit acak, namun langkahnya mantap. Revan berjalan perlahan menuju meja makan. Suara langkah kakinya di tangga terdengar begitu jelas di telinga Alya, seolah setiap langkah mengukir getaran di dadanya. Ia tak berani menoleh, hanya bisa memperhatikan dari ujung matanya. Aly
Sementara itu, Revan hanya menatap mereka satu per satu, datar, tanpa penyesalan sedikit pun. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah pergi.Beberapa detik berlalu dalam keheningan, sebelum Arman menarik napas dan mencoba tersenyum tipis, meski jelas terasa dipaksakan.“Ya udah... kita lanjut sarapannya,” ucapnya pelan. “Nggak apa-apa ya, kita cuma bertiga lagi…”Ia menoleh ke Alya, suaranya lebih lembut, hampir terdengar menyesal. “Papa minta maaf, atas kelakuan Revan barusan. Papa juga nggak nyangka dia bakal segitu kasarnya.”Alya tersenyum tipis dan menggeleng. “Nggak apa-apa, Pa. Aku ngerti kok… mungkin dia memang belum bisa nerima kita.”Maya pura-pura menyeka sudut matanya dengan ujung jari, lalu mengambil sendok dan mulai menyuap nasi di piringnya. “Ayo makan, nanti keburu dingin…”Alya dan Arman mengikuti, mencoba menikmati sarapan yang sempat tertunda. Suasana masih sedikit kaku, tapi setidaknya tak ada lagi kata-kata yang menyakitkan.Malam turun perlaha
Alya membuka pintu kamar pelan-pelan, berharap ranjangnya sudah kosong. Tapi harapannya pupus begitu melihat Revan masih terbaring di sana.“Kok belum bangun, sih” gumam Alya kesal. Ia memutuskan mandi dulu, lalu akan membangunkannya. Ia mengambil handuk dan perlengkapan mandi, lalu keluar kamar menuju kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Revan perlahan membuka mata. Ia mengerjap bingung, memandangi langit-langit kamar yang terasa asing. Setelah beberapa detik, ia sadar ini bukan kamarnya. Ia terduduk perlahan, memegangi kepala yang berat, dan mencium aroma samar sabun dari udara kamar.“Astaga…” desisnya, mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Potongan ingatan datang seperti kilatan kilat, wajah Alya, suara bentakannya, lalu bibir mereka yang bersentuhan.Wajah Revan langsung memerah. “Gila... gue apaan sih...” bisiknya dengan nada kesal pada diri sendiri.Saat itu, pintu kamar terbuka, dan Alya muncul masih dengan rambut basah dan hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuhnya
Saat tengah malam, hujan turun membasahi jendela kamar Alya yang belum bisa terlelap. Pikirannya melayang ke banyak hal, rumah baru, dan terutama Revan.Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dengan kasar.Klek...Alya tersentak duduk. Revan masuk dengan langkah sempoyongan, tubuhnya sedikit oleng, aroma alkohol langsung menyeruak memenuhi kamar."Revan?" Alya memanggil, terkejut sekaligus bingung. “Kamu ngapain kesini!”Revan memicingkan mata, seperti baru sadar ada orang lain di dalam. "Hah… seharusnya aku yang nanya, kamu ngapain di kamar aku?” katanya dengan suara berat.Alya berdiri, menjaga jarak. “Ini kamarku. Kamarmu yang di sebelah.”Revan menyandarkan tubuhnya ke pintu, tertawa pendek namun getir. “Kamu mau godain aku kayak Mama kamu godain Papaku, ya?”Alya menahan napas. Ia mencium bau alkohol yang tajam dan tahu bahwa Revan tidak dalam kondisi sadar. Tapi ucapan itu seperti tamparan.“Kamu mabuk?" kata Alya dingin. “Ini kamarku dan nggak ada yang mau godain kamu.”Revan
Maya sibuk di dapur, menata meja makan sambil memastikan semua hidangan tersaji dengan rapi. Ia berperan sebagai istri yang perhatian dengan harapan Revan akan menyukainya.Begitu semuanya siap, Maya menyeka tangannya dengan lap, lalu berjalan ke arah tangga. Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar Arman yang sedikit terbuka, lalu mengetuk pelan.“Mas… makan malamnya udah siap,” ucapnya lembut.Dari dalam, suara Arman terdengar pelan, nyaris seperti gumaman. “Iya, bentar lagi, Sayang.”Maya pun turun kembali ke ruang makan. Alya sudah duduk di sana, diam, menatap piring kosong di depannya.Beberapa menit kemudian, Arman turun sambil merapikan lengan kemejanya. Ia tersenyum tipis saat melihat mereka.“Revan mana?” tanyanya sambil menarik kursi.Maya menggeleng. “Belum turun, Mas. Mungkin masih di kamar.”Ia lalu menoleh ke Alya.“Alya, coba kamu panggil Revan, ya.” nadanya sedikit tinggi.Arman menoleh cepat. “Kamu kayak gitu aja kok malah nyuruh Alya? Harusnya kamu yang ajak dia turu