Home / Romansa / Pemuas Nafsu Kakak Tiri / Tamu di Rumah Duka

Share

Pemuas Nafsu Kakak Tiri
Pemuas Nafsu Kakak Tiri
Author: Liyusa_

Tamu di Rumah Duka

Author: Liyusa_
last update Last Updated: 2025-07-28 19:44:03

"Alya! Kamu ngepelnya gimana sih? Lantai masih licin gini, kalau orang jatuh siapa yang tanggung jawab?!”

Alya buru-buru meraih kain pel dan berjongkok. Tangannya bergerak cepat menyeka sudut lantai yang tadi mungkin terlewat.

“Maaf, Ma. Tadi aku buru-buru berangkat kerja, jadi belum sempat pel ulang,” ucap Alya lirih.

“Alasan terus! Kerja cuma jaga kasir aja kayaknya udah kayak gaji puluhan juta. Biarin kamu tinggal di sini aja, aku udah amal besar, tau nggak?!”

Alya tak menjawab. Sejak kecil, ia terbiasa hidup seperti itu. Menjadi “anak angkat” Maya berarti tak boleh menuntut apa pun. Ia tahu statusnya. Ia hanya numpang hidup.

Namanya Alya, dua puluh dua tahun. Sejak umur lima tahun, ia tinggal bersama Maya, perempuan yang mengaku kasihan melihatnya di panti asuhan. Tapi kenyataannya, hidup di panti dulu justru terasa lebih tenang daripada di rumah ini.

Alya dituntut menjadi tulang punggung. Ia sekolah sampai SMA karena beasiswa. Selebihnya, ia bekerja sebagai kasir di minimarket dekat rumah, dan semua gajinya diserahkan ke Maya tanpa sisa sepeser pun. "Buat bayar listrik, air, makan. Kamu pikir tinggal di sini gratis?" begitu alasan Maya, tiap kali Alya memberanikan diri menyisihkan uang untuk beli sabun atau pembalut.

Hari itu, Maya berdandan rapi. Lipstik merah menyala, baju baru yang belum pernah Alya lihat sebelumnya, dan parfum yang terlalu menyengat, ia melirik Alya yang tengah menyapu kamar.

“Kamu jangan pulang malam-malam. Besok kita mulai pindahan.”

Alya berhenti menyapu. “Pindahan ke mana, Ma?”

“Ke rumah Pak Arman. Mulai minggu depan kita tinggal di sana.”

Alya menoleh. Matanya membulat. “Pak Arman? Suaminya Tante Ratri?”

Maya memutar bola matanya, lalu menyemprotkan parfum sekali lagi.

“Dia duda sekarang, Ratri udah meninggal tiga bulan lalu. Kamu pikir dia mau terus hidup sendiri? Lagian, aku sahabatnya juga. Nggak salah dong kalau aku yang nemenin dia sekarang.”

Alya menatap lantai. Kata-kata Maya terdengar dingin dan ringan, seolah kematian Ratri bukan apa-apa.

“Ma, ini bukan soal siapa tinggal sama siapa, tapi Tante Ratri baru meninggal. Masa secepat itu?”

Maya menoleh cepat. “Secepat apa itu urusan orang hidup, bukan yang udah mati.”

Alya memberanikan diri bicara lebih jujur. “Aku cuma ngerasa nggak enak, Ma. Nggak baik manfaatin orang pas lagi berduka, apalagi itu suami sahabat Mama sendiri...”

Suara Maya meninggi. “Kamu pikir kamu siapa, ngajarin aku hidup?”

Alya terdiam. Suaranya sempat ingin keluar, tapi terjebak di tenggorokan.

“Aku cuma mau hidup lebih enak. Aku capek hidup susah, capek ngurusin kamu juga. Kamu tuh udah gede. Udah waktunya tahu diri,” lanjut Maya, mengangkat alis. “Kita bakal hidup enak, ngerti nggak? Nggak usah naik motor tua lagi, nggak usah ngirit sabun. Kamu pikir aku nggak berhak bahagia juga?”

Alya menunduk. “Tapi jangan pakai cara itu, Ma. Nggak pantas. Kalau Tante Ratri tahu...”

“Udah cukup, Alya!” bentak Maya. “Jangan sok suci deh. Kamu itu anak kecil yang cuma bisa ngabisin duit. Lagian, kamu juga bakal ikut tinggal di rumah besar, tidur di kamar yang luas, kasur yang empuk, pakai AC, makan tiap hari tanpa mikirin bayar nasi. Kamu harusnya bersyukur!”

Alya tetap diam. Di hatinya, ada rasa tidak enak. Bukan hanya karena Maya akan menikah dengan suami sahabatnya sendiri, tapi juga karena ia akan ikut tinggal di rumah itu. Rumah milik seseorang yang masih berduka, seseorang yang punya anak lelaki seumuran, bernama Revan.

---

Tiga hari kemudian, mereka resmi pindah. Rumah itu jauh berbeda dari yang biasa Alya tinggali. Besar, sepi, rapi. Setiap langkah kaki terdengar memantul di dinding.

Di depan pintu, Arman menyambut mereka dengan senyum. Tubuhnya lebih kurus dari terakhir Alya lihat. Wajahnya menyimpan gurat kehilangan yang belum sembuh.

“Selamat datang, Maya. Alya juga,” ucap Arman pelan.

Maya menggandeng lengan Arman, tertawa kecil. “Akhirnya ya rumah ini ada lagi yang ngurus.”

Alya hanya tersenyum sopan.

Dari lantai atas, suara langkah kaki terdengar. Seorang laki-laki turun perlahan. Tatapannya tajam dan dingin.

Itulah Revan, anak tunggal Tante Ratri dan Pak Arman. Usianya dua puluh lima tahun. Alya mengenalnya hanya sebatas pernah bersalaman di acara arisan dulu.

Kini, matanya menatap Maya tanpa senyum. Lalu pindah ke Alya. Tatapan itu tidak ramah.

Arman berdeham. “Revan, ini Maya dan Alya. Mereka akan tinggal bersama kita mulai hari ini.”

Revan berdiri di anak tangga terakhir, tidak menjawab. Wajahnya sulit dibaca.

Maya maju setengah langkah, mencoba tersenyum meski gugup terlihat jelas di wajahnya.

“Revan…Mulai sekarang Tante akan jadi mama kamu.”

Revan mengernyit pelan, lalu tertawa kecil.

"Apa kamu bilang? Mama?”

Maya mengangguk pelan. “Iya. Mungkin butuh—”

Revan mengangkat tangan, memotong kalimat itu.

“Dengar. Nggak ada yang bisa gantiin posisi Mama di rumah ini. Jadi jangan harap aku bakal panggil kamu dengan sebutan Mama.”

Maya terdiam. Senyumnya pudar, tapi ia tidak membalas.

Alya memberanikan diri untuk bicara, meski suaranya pelan.

“Hai, aku Alya…”

Revan menoleh sekilas, ekspresinya tidak berubah.

“Aku nggak peduli kamu siapa. Buat aku… kalian cuma orang asing yang tiba-tiba numpang tinggal.”

Alya menarik napas, mencoba tetap tenang walau ucapannya jelas menusuk.

Arman mendekat, suaranya kini lebih tegas.

“Revan, cukup. Papa tahu ini berat, tapi kamu harus terima. Ini keputusan Papa.”

Revan menatap ayahnya, tatapannya tajam.

“Berat? Tiga bulan Mama pergi, dan Papa udah bawa perempuan lain ke rumah ini. Itu bukan berat, Pa. Itu kurang ajar.”

Suasana langsung hening. Hanya suara detak jam dinding yang terdengar.

Maya mencoba meredakan ketegangan. Suaranya pelan, hati-hati.

“Revan, Tante ngerti ini nggak gampang buat kamu, tapi—”

Revan langsung menyela, tanpa menatap Maya.

“Udah. Aku nggak butuh penjelasan.”

Arman menarik napas dalam. “Maafin Revan, ya... Dia sebenarnya anak yang baik. Cuma dia belum bisa nerima kepergian Mamanya.”

Maya menoleh padanya. “Enggak apa-apa, Mas. Aku ngerti kok. Dia masih berduka, dan mungkin kedatangan aku dan Alya terlalu cepat buat dia.”

Alya yang sedari tadi berdiri di sisi Maya ikut angkat bicara. Suaranya pelan, tapi cukup jelas untuk menunjukkan isi hatinya.

“Kayaknya... dia juga enggak suka sama Alya, Om.”

Arman menoleh pada gadis itu, lalu tersenyum sambil menggeleng.

“Enggak, bukan gitu. Revan butuh waktu buat nerima semuanya. Termasuk kalian.”

Alya mengangguk pelan. Meski tak banyak bicara, jelas raut wajahnya masih menyimpan ketegangan.

“Yaudah, sekarang kalian istirahat dulu, ya.” Arman berdiri dan menunjuk arah lorong. “Alya, kamar kamu ada di sebelah kamar Revan. Di pojok, yang jendelanya menghadap taman kecil itu.”

Alya mengangguk lagi, kali ini lebih ringan. “Terima kasih, Om.”

Arman menoleh padanya dan tersenyum hangat. “Panggil Papa dong… sekarang kita kan sudah jadi keluarga.”

Alya sempat terdiam, agak ragu. Matanya menatap Arman sekilas sebelum akhirnya tersenyum kecil.

“Iya, Om… eh—iya, Pa,” ucapnya pelan, sedikit canggung.

Arman mengangguk puas, menepuk pelan bahunya. “Gitu dong. Nggak usah sungkan, anggap rumah ini rumah sendiri, ya.”

Alya hanya mengangguk lagi, tapi dalam hatinya, ia tahu semuanya tidak akan semudah itu.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Antara Tatapan dan Ancaman

    Setelah sarapan selesai. Arman beranjak lebih dulu. Ia melirik ke arah Revan sebentar, lalu menepuk pundaknya pelan sebelum berjalan meninggalkan ruang makan. Revan bangkit menyusul beberapa detik kemudian, tak berkata apa pun, ia hanya melirik sekilas ke arah Alya sebelum benar-benar berlalu.Maya masih duduk di kursinya. Tatapannya tajam mengarah ke Alya yang kini mulai bangkit dari duduknya untuk membereskan meja makan.Tanpa menunggu aba-aba. Tanpa instruksi Alya sudah tau perannya. Dengan langkah ringan namun cepat, ia mulai mengambil piring-piring kotor, sendok, sisa roti, cangkir yang belum di cuci, lalu menumpuknya dengan rapi di atas nampan. Bukan karena senang melakukannya, tapi karena sudah terlatih dari kecil untuk bergerak sebelum dipanggil, sebelum disuruh.Di tengah gerakannya yang sibuk, sambil mengambil cangkir yang kosong, Maya membuka mulutnya pelan, namun cukup terdengar di telinga Alya."Alya, awas ya kamu nerima tawaran kuliah dari Papa kamu," bisik Maya tajam.

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Sarapan Dalam Dosa

    Keesokan paginya… Alya sudah duduk lebih dulu di meja, bersama Maya dan Arman yang tengah menikmati sarapan. Tangannya menggenggam sendok, tapi dari tadi ia hanya memainkannya di dalam mangkuk tanpa benar-benar menyuap. Pikirannya masih terjebak pada kejadian semalam, pada tatapan Revan yang menusuk tajam, pada suara Revan yang seperti bisikan dosa. Alya berharap pagi ini Revan tidak akan ikut makan bersama. Ia berdoa dalam hati agar laki-laki itu memilih keluar rumah atau sekadar menghindar seperti yang biasa ia lakukan. Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki yang menuruni tangga. Sontak detak jantung Alya melonjak. Ia menoleh perlahan, dan benar saja Revan muncul dengan kaos oblong yang santai. Rambutnya sedikit acak, namun langkahnya mantap. Revan berjalan perlahan menuju meja makan. Suara langkah kakinya di tangga terdengar begitu jelas di telinga Alya, seolah setiap langkah mengukir getaran di dadanya. Ia tak berani menoleh, hanya bisa memperhatikan dari ujung matanya. Aly

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Antara Mie dan Tatapan

    Sementara itu, Revan hanya menatap mereka satu per satu, datar, tanpa penyesalan sedikit pun. Lalu tanpa berkata apa-apa lagi, ia berbalik dan melangkah pergi.Beberapa detik berlalu dalam keheningan, sebelum Arman menarik napas dan mencoba tersenyum tipis, meski jelas terasa dipaksakan.“Ya udah... kita lanjut sarapannya,” ucapnya pelan. “Nggak apa-apa ya, kita cuma bertiga lagi…”Ia menoleh ke Alya, suaranya lebih lembut, hampir terdengar menyesal. “Papa minta maaf, atas kelakuan Revan barusan. Papa juga nggak nyangka dia bakal segitu kasarnya.”Alya tersenyum tipis dan menggeleng. “Nggak apa-apa, Pa. Aku ngerti kok… mungkin dia memang belum bisa nerima kita.”Maya pura-pura menyeka sudut matanya dengan ujung jari, lalu mengambil sendok dan mulai menyuap nasi di piringnya. “Ayo makan, nanti keburu dingin…”Alya dan Arman mengikuti, mencoba menikmati sarapan yang sempat tertunda. Suasana masih sedikit kaku, tapi setidaknya tak ada lagi kata-kata yang menyakitkan.Malam turun perlaha

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Tak Pernah di Harapkan Ada

    Alya membuka pintu kamar pelan-pelan, berharap ranjangnya sudah kosong. Tapi harapannya pupus begitu melihat Revan masih terbaring di sana.“Kok belum bangun, sih” gumam Alya kesal. Ia memutuskan mandi dulu, lalu akan membangunkannya. Ia mengambil handuk dan perlengkapan mandi, lalu keluar kamar menuju kamar mandi.Beberapa menit kemudian, Revan perlahan membuka mata. Ia mengerjap bingung, memandangi langit-langit kamar yang terasa asing. Setelah beberapa detik, ia sadar ini bukan kamarnya. Ia terduduk perlahan, memegangi kepala yang berat, dan mencium aroma samar sabun dari udara kamar.“Astaga…” desisnya, mengingat kembali apa yang terjadi semalam. Potongan ingatan datang seperti kilatan kilat, wajah Alya, suara bentakannya, lalu bibir mereka yang bersentuhan.Wajah Revan langsung memerah. “Gila... gue apaan sih...” bisiknya dengan nada kesal pada diri sendiri.Saat itu, pintu kamar terbuka, dan Alya muncul masih dengan rambut basah dan hanya mengenakan handuk yang menutupi tubuhnya

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Ciuman yang Tak Sengaja

    Saat tengah malam, hujan turun membasahi jendela kamar Alya yang belum bisa terlelap. Pikirannya melayang ke banyak hal, rumah baru, dan terutama Revan.Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dengan kasar.Klek...Alya tersentak duduk. Revan masuk dengan langkah sempoyongan, tubuhnya sedikit oleng, aroma alkohol langsung menyeruak memenuhi kamar."Revan?" Alya memanggil, terkejut sekaligus bingung. “Kamu ngapain kesini!”Revan memicingkan mata, seperti baru sadar ada orang lain di dalam. "Hah… seharusnya aku yang nanya, kamu ngapain di kamar aku?” katanya dengan suara berat.Alya berdiri, menjaga jarak. “Ini kamarku. Kamarmu yang di sebelah.”Revan menyandarkan tubuhnya ke pintu, tertawa pendek namun getir. “Kamu mau godain aku kayak Mama kamu godain Papaku, ya?”Alya menahan napas. Ia mencium bau alkohol yang tajam dan tahu bahwa Revan tidak dalam kondisi sadar. Tapi ucapan itu seperti tamparan.“Kamu mabuk?" kata Alya dingin. “Ini kamarku dan nggak ada yang mau godain kamu.”Revan

  • Pemuas Nafsu Kakak Tiri   Meja Makan yang Tak Pernah Hangat

    Maya sibuk di dapur, menata meja makan sambil memastikan semua hidangan tersaji dengan rapi. Ia berperan sebagai istri yang perhatian dengan harapan Revan akan menyukainya.Begitu semuanya siap, Maya menyeka tangannya dengan lap, lalu berjalan ke arah tangga. Ia berhenti sejenak di depan pintu kamar Arman yang sedikit terbuka, lalu mengetuk pelan.“Mas… makan malamnya udah siap,” ucapnya lembut.Dari dalam, suara Arman terdengar pelan, nyaris seperti gumaman. “Iya, bentar lagi, Sayang.”Maya pun turun kembali ke ruang makan. Alya sudah duduk di sana, diam, menatap piring kosong di depannya.Beberapa menit kemudian, Arman turun sambil merapikan lengan kemejanya. Ia tersenyum tipis saat melihat mereka.“Revan mana?” tanyanya sambil menarik kursi.Maya menggeleng. “Belum turun, Mas. Mungkin masih di kamar.”Ia lalu menoleh ke Alya.“Alya, coba kamu panggil Revan, ya.” nadanya sedikit tinggi.Arman menoleh cepat. “Kamu kayak gitu aja kok malah nyuruh Alya? Harusnya kamu yang ajak dia turu

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status