LOGINVira benar-benar tidak bisa melukiskan kebahagiaannya saat ibunya akhirnya akan segera sembuh.
Satu Minggu berlalu...Ningrum sudah diperbolehkan pulang karena kondisinya sudah berangsur membaik, tetapi Ningrum masih berstatus sebagai pasien rawat jalan karena dirinya masih harus sering check up ke rumah sakit.Pagi ini Vira dan Panji sudah terlihat sangat rapi. Vira akan kembali bekerja sementara Panji akan kembali masuk sekolah setelah ia mengambil libur yang cukup lama."Ibu, makan dulu ya!" ucap Vira yang datang membawakan nampan berisi makanan ke kamar Ningrum. Vira mendapati ibunya yang sedang bersandar di dipan ranjang."Terimakasih, Vira.""Panji dimana? Apa dia sudah berangkat?" tanya Ningrum dan Vira pun mengangguk."Iya Bu, Panji baru saja berangkat," sahut Vira sembari menyuapkan makanan itu pada mulut Ningrum."Vira," ucap Ningrum."Iya Bu, ada apa? Apa ibu memerlukan sesuatu?" tanya Vira."Vira, darimana kamu mendapatkan uang sebanyak itu untuk biaya operasi ibu, Nak?" tanya Ningrum.Vira tertegun, meski dia sudah tahu bahwa pertanyaan semacam itu pasti akan dia dengar ibunya."Ibu tahu, biaya operasi ibu tidaklah sedikit Vira, dan ibu tahu bahwa kamu tidak mungkin memiliki uang sebanyak itu," imbuh Ningrum lagi.Vira masih terdiam, tidak mungkin dia mengatakan bahwa uang ia dapatkan dari hasil menjual dirinya pada atasannya.Vira tersenyum."Bu, ibu tidak perlu memikirkan hal itu. Aku mendapatkan pinjaman dari atasan tempatku bekerja, Bu," jawab Vira terpaksa berbohong."Vira, maafkan ibu karena ibu selalu menyusahkanmu. Seharusnya ibu yang menafkahimu tetapi malah kamu yang harus bekerja untuk ibu," ucap Ningrum."Kenapa ibu berbicara seperti itu? Aku ini putri ibu, jadi sudah sepantasnya aku berbakti kepada ibu," sahut Vira.Ningrum kemudian memeluk Vira dengan penuh kasih sayang."Kamu tahu Vira? Ibu merasa sangat beruntung memiliki putri sepertimu," ucap Ningrum.Deg! Senyum Vira seketika memudar didalam pelukan ibunya. Mungkin jika Ningrum tahu kebenarannya, mungkin dia tidak akan pernah memaafkan dirinya."Bu, maafkan aku. Aku terpaksa berbohong, aku terpaksa melakukan ini, Bu. Hanya itu satu-satunya jalan supaya ibu bisa segera di operasi," batin Vira dengan dada yang terasa sesak."Bu, sepertinya aku harus berangkat ini sudah siang, aku takut terlambat," ucap Vira."Iya Vira, pergilah!"Setelah Vira memastikan bahwa Ningrum sudah minum obat, dia kemudian segera berangkat ke tempat kerjanya.Jantung Vira berdebar-debar dalam perjalanannya menuju ke perusahaan tempatnya bekerja.Vira benar-benar merasa gugup saat ia memikirkan akan segera bertemu dengan atasannya.Vira kini sedang berdiri menatap gedung pencakar yang menjulang tinggi dihadapannya. Andai saja ia bisa, ingin rasanya dia kabur saja.Vira menghirup udara sebanyak-banyaknya sebelum ia melangkahkan kakinya masuk ke dalam sana."Vira," ujar seorang wanita yang langsung menghampiri Vira begitu ia masuk ke tempat kerjanya."Ana!" Vira langsung memeluk Ana, sahabatnya itu."Bagaimana operasi ibumu? Apa semuanya berjalan dengan lancar?" tanya Ana. Vira pun mengangguk sambil tersenyum."Syukurlah, aku turut lega saat mendengarnya. Nanti aku akan kesana untuk menjenguk ibumu," ucap Ana."Iya Na, terimakasih.""Oh iya, tolong berikan berkas ini kepada Pak Nathan," ucap Ana sembari menyerahkan beberapa berkas kepada Vira.Deg! Vira terdiam. Tangannya gemetaran meraih berkas yang ada di tangan Ana."Kenapa tidak kamu saja yang memberikannya?" tanya Vira."Pak Nathan memintaku untuk memberikannya kepadamu," jawab Ana.Vira memejamkan matanya sejenak dan terdengar helaan nafas yang berat dari mulut Vira."Baiklah, aku akan memberikannya.""Baiklah, kita bicara lagi nanti. Aku harus menyelesaikan pekerjaanku," ucap Ana yang kemudian pergi meninggalkan Vira.Sementara Vira hanya tersenyum kecut, ia menatap ke arah pintu ruangan Nathan. Dengan langkah yang begitu berat, Vira berjalan menuju ruangan atasannya itu.Tok! Tok! Tok! Vira mengetuk pintu ruangan itu."Masuk!" Terdengar suara bariton dari dalam sana.Hanya dengan mendengar suara dari lelaki itu saja mampu membuat tubuh Vira bergetar hebat.Ceklek! Vira membuka pintu ruangan tersebut secara perlahan.Pintu ruangan terbuka, Nathan langsung menoleh siapa yang kini berdiri diambang pintu masuk."Maaf pak, anda memanggil saya?" tanya Vira dengan raut wajah yang terlihat gugup.Sementara itu Nathan yang sedang duduk di sisi meja kerjanya terlihat bersedekap didepan dada."Masuklah, dan tutup pintunya!"Tanpa banyak bicara, Vira pun melakukan apa yang dikatakan oleh Nathan. Vira langsung menghampiri Nathan saat ia sudah selesai menutup pintunya. Kini hanya ada Vira dan Nathan yang ada didalam sana."Bagaimana operasinya?" tanya Nathan."Aku yakin operasi ibumu berjalan dengan lancar kan?" tebak Nathan lagi."Iya pak, benar," sahut Vira yang terus saja menunduk saat Nathan berbicara dengannya.Sejenak Nathan menatap wajah polos Vira yang natural dan jarang terkena make up itu. Bahkan saat dia bekerja pun, Vira sangat jarang mengenakan make up seperti para pegawai yang lainnya."Lalu bagaimana kondisi ibumu sekarang?" tanya Nathan lagi."Ibu saya sudah membaik pak, tetapi masih harus menjalani rawat jalan," sahut Vira. Nathan pun mengangguk sambil mengusap-usap dagunya."Vira, kenapa kau begitu gugup? Aku bahkan belum melakukan apapun terhadapmu. Apa kau takut?" tanya Nathan sambil mengangkat sebelah alisnya.Setiap kata-kata yang keluar dari mulut lelaki itu benar-benar membuat tubuh Vira bergetar.Vira menggeleng."Tidak pak, bukan seperti itu," sahut Vira."Baguslah! Itu artinya mulai malam ini kau sudah bisa melakukan tugasmu," ucap Nathan.Ucapan atasannya itu sontak membuat Vira mendelikkan matanya sejenak."M-malam ini, pak?" tanya Vira yang mendadak berkeringat dingin."Iya malam ini, apa kau keberatan?" tanya Nathan lagi."Ah, tidak pak. Aku sama sekali tidak keberatan," dusta Vira lagi. Padahal sudah jelas apa yang ia ia katakan jelas sangatlah berbeda dengan apa yang ia rasakan.Nathan kemudian menghampiri Vira dan mengitari tubuhnya. Dia memindainya dari ujung kepala hingga ujung kaki membuat Vira merasa benar-benar gugup."Apa itu artinya, kau sudah tidak sabar mendesah diatas ranjangku?" tanya Nathan.Vira mendelik kaget? Siapa yang tidak sabaran, yang ada Vira malah ingin melarikan diri saja. Namun, sialnya dia tidak bisa melakukannya, semua sudah terlambat dan kini Vira sudah tidak bisa menghindar lagi."Apa? B-bukan seperti itu pak, aku hanya..."Sssst! Nathan menempelkan jari telunjuknya di bibir Vira."Terserah apa maksudnya, yang jelas malam ini kamu harus datang ke apartemenku!" ucap Nathan sambil mengangkat sedikit wajah Vira yang terus saja menunduk."Aku sudah berbaik hati dan bersabar menunggumu! Jadi aku harap kau tidak akan mengecewakanku malam ini!" ucap Nathan dengan nada penuh penekanan."B-baik pak.""Baiklah, sekarang kau boleh pergi!" ucap Nathan."Baik pak, kalau begitu saya permisi," ucap Vira yang tanpa berpikir panjang langsung melangkah pergi dari ruangan Nathan.Vira benar-benar sudah tidak tahan karena atmosfer didalam ruangan tersebut benar-benar membuatnya merasa sesak.--Pria paruh baya itu melangkah mantap ke tengah ruangan, sorot matanya tajam menyapu setiap sudut hingga membuat suasana terasa kian menegangkan. Para pegawai sontak terdiam, tak ada yang berani bersuara. Vira yang berdiri paling ujung hanya bisa menatap penuh tanya, siapa sebenarnya orang ini hingga semua orang begitu menghormatinya?Vira menelan ludah, ia tak tahan lagi untuk berbisik pada Ana, "Siapa dia, Na?"Ana meliriknya sekilas, lalu mendekatkan bibirnya ke telinga Vira. "Itu… Ayahnya Pak Nathan, namanya Pak Bramantyo!"Dengan suara berat namun penuh wibawa, pria paruh baya itu akhirnya membuka mulutnya, "Apa Nathan ada di ruangannya?" tanyanya. Ana yang berdiri di samping Vira buru-buru menyikut pelan lengannya, memberi isyarat agar ia segera maju. Bagaimanapun juga, Vira adalah asisten pribadi Nathan jadi sudah sepatutnya dialah yang harus berurusan langsung dengan pria penting itu.Mau tak mau, Vira melangkah mendekat, menundukkan sedikit tubuhnya sebagai bentuk hormat. "S
Makan malam akhirnya usai, menyisakan meja yang dipenuhi piring dan gelas kotor. Namun, alih-alih beranjak, Nathan masih bersandar santai di kursinya, matanya tak lepas dari sosok Vira di seberangnya. "Vira," suaranya dalam, membuat wanita itu menoleh dengan bingung. "Ada sesuatu di sudut bibirmu!" ucap Nathan sambil menunjuk dengan telunjuknya. Refleks Vira menyeka dengan punggung tangannya. "Sudah belum?" tanyanya polos.Nathan menggeleng, sudut bibirnya terangkat tipis. "Bukan di situ… di sebelah kanan!"Dengan kikuk, Vira mencoba lagi, menggunakan ujung jarinya. "Sekarang?" tanyanya, semakin salah arah.Nathan mendesah pendek, matanya menyipit antara kesal dan geli. "Bukan di situ. Kau justru membuatnya semakin berantakan!" Wajah Vira memanas, ia kembali menyeka dengan buru-buru. "Dimana sebenarnya? Ini tidak ada kok!" ucapnya sedikit jengkel.Nathan hanya menghela napas panjang sebelum akhirnya bangkit dari kursinya. "Sudahlah…" gumamnya pelan.Tanpa banyak kata, ia melangkah
Nathan menarik napas dalam, membiarkan jarak di antara mereka terasa lebih intim. Matanya menatap Vira, seolah ingin menembus setiap perasaan yang tersembunyi di balik tatapannya.Vira masih meringkuk di sudut sofa, jantungnya berdegup kencang, campuran rasa gugup dan hangat yang tiba-tiba membanjiri dadanya. Ia tak tahu harus berbuat apa, hanya bisa menatap Nathan dengan mata yang sedikit membelalak.Vira menunduk, bibirnya bergetar sedikit. "Nathan…" ucapnya dengan suara lirih, nyaris tersedak. "A-apa… kau tidak lapar?" Lanjutnya terbata. Nathan tersenyum tipis, matanya berkilat nakal. "Tentu saja aku sangat lapar… sampai aku ingin memakanmu sekarang juga!" jawabnya sambil menyeringai, nada bercandanya berhasil membuat wajah Vira memerah hebat. Vira terdiam sejenak, menelan ludah dan menundukkan wajahnya. Jantungnya berdetak lebih kencang, antara kesal dan malu. "Bu-bukan itu maksudku… hmmpptthh…" ucapnya terbata, wajahnya memerah hebat.Namun sebelum kata-katanya tuntas, Natha
Kini hidangan yang ia olah dengan sepenuh hati, tersusun rapi di atas meja makan. Vira duduk di kursinya, menyendok nasi lalu menambahkan lauk ke piringnya. Perutnya pun mulai keroncongan, membuatnya benar-benar ingin segera menyuapkan makanan itu ke mulutnya. Namun saat sendok nyaris menyentuh mulutnya, sebuah kalimat Nathan kembali terlintas di kepalanya, "Aku tidak suka makan sendirian." Vira terdiam. Tangannya yang memegang sendok refleks terhenti di udara. Pandangannya jatuh pada kursi kosong di seberangnya, kursi yang semestinya terisi oleh Nathan. Seketika rasa lapar itu sirna, digantikan dengan perasaan hampa. Entah mengapa, ia merasa tidak tega menghabiskan makanan itu sendirian. Seolah Nathan benar-benar hadir di antara ingatannya, menahannya untuk tidak menikmati makan malam itu tanpa dirinya. Dengan helaan napas panjang, Vira meletakkan kembali sendoknya di atas piringnya. Ia hanya duduk memandangi meja, membiarkan makanan tetap utuh, sembari berharap pintu apartemen i
Keheningan di antara mereka tak berlangsung lama. Nathan menarik napas dalam, seolah tengah menimbang sesuatu yang berat. Dia tidak mengerti kenapa dirinya harus semarah itu. Namun jujur saja, Nathan merasa tidak terima jika ada pria lain yang menyentuh Vira.Tangannya mengepal di sisi tubuh, menahan gejolak yang mendesak keluar."Sekarang aku ingin kau... memberikan identitas orang itu padaku!" ucapnya penuh penekanan. "Untuk apa, Pak?" tanya Vira lirih. "Vira! Jangan membantah. Lakukan saja apa yang kukatakan. Sekarang, berikan identitas pria itu padaku!" suara Nathan meninggi, tegas dan penuh tekanan."B-baik, Pak…" ucap Vira terbata. Dengan tangan gemetar, ia meraih ponselnya. Air matanya masih mengalir, membasahi pipinya saat ia menggulir layar, mencari nama yang paling ingin ia hapus dari hidupnya. Beberapa detik kemudian, data itu terkirim."Aku… sudah mengirimkannya, Pak!" ucapnya pelan, seolah melepaskan beban berat dari dadanya.Nathan segera menunduk pada layar ponselnya.
Langkah Nathan dan Vira langsung terhenti. Nathan menoleh perlahan, rahangnya mengeras saat melihat Andi masih berdiri di tempat yang sama. "Kau masih belum tahu diri rupanya," ucap Nathan pelan, namun penuh penekanan. Andi maju selangkah, sorot matanya liar. "Kau tidak bisa membawanya pergi begitu saja!" seru Andi."Aku belum selesai berurusan dengannya!"Nathan mendorong Vira perlahan ke belakang tubuhnya, seolah menjadi tameng. Tatapannya tajam menantang."Kau sudah selesai sejak kau memilih mengkhianatinya!"Andi mendengus."Dia milikku!""Dia bukan milikmu lagi! Sekarang, dia bersamaku. Kau tak punya hak sedikit pun untuk menahannya," ucap Nathan tegas. "Pak, tenang saja. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar. Setelah itu, akan ku kembalikan lagi padamu," ucap Andi dengan nada seenaknya."Lagi pula... wanita seperti dia, bukankah kita bisa berbagi?"Deg!Mata Vira membelalak. Berbagi?Apa dia pikir dirinya itu barang? Yang bisa dipinjam dan dikembalikan sesuka hati? Hatinya be







