Sesampainya di rumah sakit, Vira langsung membayar biaya operasi ibunya.
"Panji, bagaimana keadaan ibu?" tanya Vira pada Panji yang sedang duduk didepan sebuah ruangan tempat dimana Ningrum dirawat."Aku tidak tahu kak, mereka tidak membiarkan aku masuk," sahut Panji sambil menautkan jari-jari tangannya."Panji, jangan khawatir. Kakak sudah melunasi biaya operasi ibu, jadi kakak yakin ibu pasti akan baik-baik saja," ucap Vira sambil memegang bahu adiknya itu."Benarkah?" tanya Panji terlihat sumringah, dan Vira pun hanya menganggukkan kepalanya."Berarti itu artinya, sebentar lagi ibu akan segera sembuh kan, kak?""Iya dek, sebentar lagi ibu pasti sembuh," sahut Vira.Panji langsung memeluk Vira, dia benar-benar merasa sangat senang karena akhirnya ibunya akan segera dioperasi."Tapi, dimana kakak mendapatkan uang sebanyak itu?" tanya Panji lagi.Vira hanya diam. Apa yang harus ia katakan kepada adiknya itu?"Ah... Itu, kakak mendapatkan pinjaman dari teman kerja kakak," jawab Vira berbohong. Tidak mungkin dia akan mengatakan yang sebenarnya mengenai uang yang ia dapatkan dengan cara menukar harga dirinya."Oh, pasti teman kakak itu sangat baik, sehingga dia mau meminjamkan uang sebanyak itu kepada kakak," ucap Panji yang langsung saja mempercayai ucapan kakaknya."Iya dek, kamu benar. Dia sangat baik," sahut Vira sambil tersenyum kecut."Seandainya kamu tahu dek, darimana kakak mendapatkan uang itu. Mungkin, kamu akan sangat membenci kakak," batin Vira sambil menatap ke arah Panji.Beberapa saat kemudian, dokter spesialis jantung yang menangani penyakit Ningrum keluar dari ruangan tersebut. Dia pun berjalan menghampiri Vira."Bagaimana dok, apa kondisi saya baik-baik saja?" tanya Vira."Iya, Ibu Ningrum baik-baik saja. Namun, seperti yang sudah saya katakan Ibu Ningrum harus segera dioperasi," terang Dokter Sandi."Kalau begitu tolong segera operasi ibu saya secepatnya dok! Saya sudah melunasi biaya operasinya," Ucap Vira."Baiklah Vira, malam ini juga saya akan melakukan operasi transplantasi jantung pada Ibu Ningrum. Kebetulan saya sudah mendapatkan jantung pengganti untuk beliau dari seorang pasien yang mengalami kematian otak," terang dokter itu."Baiklah dok," ucap Vira.Vira dan Panji saling bersitatap, sebuah senyuman tipis tersungging di bibir keduanya."Kalau begitu saya permisi dulu, ada beberapa hal yang harus saya periksa sebelum melakukan operasi kepada Ibu Ningrum," ucap dokter itu kemudian ia pergi meninggalkan Vira dan Panji."Terimakasih, dok.""Kak, semoga operasi ibu berjalan dengan lancar ya," ucap Panji."Iya dek, semoga operasinya bisa berjalan dengan lancar tanpa ada kendala sedikit pun, agar ibu bisa berkumpul lagi dengan kita," sahut Vira, dan Panji pun mengangguk."Ya sudah, sebaiknya sekarang kamu istirahat saja dek karena nanti malam kita harus begadang untuk menemani ibu," ucap Vira."Iya kak."Vira pun duduk di sebuah kursi yang ada disana, kemudian dia mengambil ponselnya. Dia menghidupkan ponselnya yang tadi sempat ia matikan karena Andi terus menelepon.Ddrrrttt! Ting!Ting!Ting!Terdengar dering notifikasi yang masuk secara berulang begitu Vira menyalakan ponselnya.Lima belas panggilan terlewat, delapan pesan dari dua chat."Apa sih maunya?" gumam Vira sambil menatap panggilan yang terlewat dari Andi.Kemudian ia membuka chat yang masuk di ponselnya. Matanya membulat saat ia melihat ada satu chat yang ternyata bukan dari Andi, melainkan dari seorang lelaki yang memiliki sebuah perjanjian dengan Vira."Pak Nathan? Apa aku tidak salah lihat? Dia mengirim pesan padaku?" gumam Vira. Dia pun langsung membuka chat dari lelaki itu.(Kapan operasinya akan berlangsung?) isi pesan dari Nathan. Meskipun Vira tahu maksud dari chat yang dikirim oleh Nathan pastilah karena dia tidak ingin jika sampai dirinya kabur.Namun, meskipun begitu chat dari Nathan sukses membuat hati Vira menghangat, karena setidaknya ada yang bertanya mengenai operasi ibunya.(Malam ini pak) balas Vira.(Baiklah, aku hanya ingin memastikan bahwa kau tidak akan lari dariku!)(Jadi kembalilah bekerja! Mulai saat ini kamu akan menjadi asisten pribadiku)Bola mata Vira membulat saat ia membaca isi pesan dari atasannya itu. Asisten pribadi?Asisten pribadi? Apa dia tidak salah? Kenapa aku harus menjadi asisten pribadinya? Bukankah dalam perjanjian itu aku hanya menjadi teman tidurnya?Pikiran Vira melanglang buana setelah membaca keputusan dari lelaki itu dari seberang. Memikirkan dirinya yang akan menjadi teman tidur lelaki itu saja sudah membuatnya sesak. Dan sekarang aku harus menjadi asisten pribadinya.Itu artinya Vira harus siap berhadapan dengan Nathan setiap hari, setiap detik dan setiap waktu. Vira ingin sekali menolak, namun tidak bisa dan itu semua mustahil bagi Vira menolak permintaan atasannya itu.(Tapi pak, saya tidak memiliki pengalaman dalam hal itu. Saya takut jika saya akan membuat kesalahan) Vira mencoba beralasan.(Jangan membantah, Vira! Semua keputusan ada di tanganku)(Suka tidak suka, mau tidak mau, kau harus menuruti perintahku!)Lihat? Lelaki itu tidak akan membiarkan Vira lolos.(Baik pak)Vira mendesah pasrah, kemudian dia mencoba menguatkan dirinya dengan mengingat ibunya."Kak, kakak kenapa?" tanya Panji yang sejak tadi memperhatikan raut wajah tegang kakaknya."Ah, tidak dek! Kakak tidak apa-apa," ucap Vira sambil tersenyum.Hari sudah berganti malam, kini saatnya Ningrum akan menjalani operasi. Beberapa perawat datang ke ruangan Ningrum untuk memindahkannya ke ruang operasi.Vira dan Panji benar-benar gugup, mereka tidak berhenti berdoa supaya operasi ibunya itu berjalan dengan lancar.Vira dan Panji pun mengikuti para perawat yang membawa Ningrum ke ruang operasi. Hingga akhirnya ibunya itu dibawa masuk ke dalam ruang operasi. Mereka hanya bisa menunggu Ningrum yang ada didalam sana sedang berjuang antara hidup dan mati.Pukul satu dini hari...Setelah sekiranya berlangsung selama lima jam lamanya, akhirnya sang dokter menyembul keluar dari balik pintu ruang operasi, menandakan operasi transplantasi jantung ibunya itu sudah selesai.Vira langsung menghampiri Dokter Sandi dengan perasaan yang begitu gugup. Vira berharap dia akan mendapatkan kabar baik dari sang dokter."Dokter, bagaimana keadaan ibu saya? Apa operasinya berhasil?" tanya Vira dengan begitu menggebu-gebu.Dokter tersebut melepas masker yang menutupi setengah wajahnya, lalu tersenyum."Alhamdulillah operasinya berhasil. Operasi transplantasi jantung untuk Ibu Ningrum sudah berjalan dengan lancar tanpa ada kendala sedikit pun," jawab Dokter Sandi.Vira membekap wajahnya dengan penuh haru, dia benar-benar bahagia saat mendengar kabar baik itu."Itu berarti ibu saya akan segera sembuh kan, dok?" sahut Panji memastikan.Dokter Sandi pun tersenyum sambil menganggukkan kepalanya."Iya. Ibu Ningrum akan sembuh, tetapi semua itu juga memerlukan proses. Untuk sekarang kita harus menunggu sampai pasien sadar dulu, karena beliau masih dalam pengaruh obat bius," terang Dokter Sandi."Sebentar lagi para perawat akan memindahkan Ibu Ningrum ke ruang rawatnya kembali, jadi kalian bisa menunggunya disana," ucap dokter itu lagi."Baik dok, sekali lagi terimakasih karena sudah menyelamatkan ibu saya," ucap Vira."Anda tidak perlu berterima kasih, saya hanya sebagai perantara saja. Selebihnya Tuhanlah yang sudah mengaturnya, dan kalianlah yang membuat Ibu Ningrum kuat, cinta yang begitu tulus dari anak-anaknya," ucap Dokter Sandi."Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu. Kalian bisa istirahat sekarang," lanjut dokter itu lalu melangkah pergi."Kak, ibu akan segera sembuh," ucap Panji."Iya dek, sebentar lagi kita bisa berkumpul lagi dengan ibu," sahut Vira.Vira kemudian memeluk Panji, setidaknya ia merasa lega karena pengorbanannya itu tidak sia-sia. Vira mungkin akan kehilangan harga dirinya, namun setidaknya dia tidak akan kehilangan dunianya.--"Vira, aku tahu kau di dalam! Berhentilah main-main!" Teriak Nathan dari luar. Sementara itu di dalam bilik sempit itu, situasi mencekam. Andi terus memaksa mendekat, membuat Vira tak henti berusaha menghindar. Ia bergerak memutar, menyamping, bahkan menabrak wastafel demi menjaga jarak dengan pria itu. Ruangan yang sempit membuat gerakannya terbatas. Rambutnya mulai kusut, dan bajunya tampak berantakan akibat usahanya melawan. Nafasnya memburu, matanya terus mencari celah untuk melarikan diri. "Andi, hentikan! Kau sudah kelewatan!" pekik Vira dengan suara bergetar namun penuh penolakan. "Sampai kapan kau ingin terus bermain kucing-kucingan denganku, Vira?" tanya Andi, nadanya datar namun penuh tekanan. Tanpa aba-aba, ia meraih pinggang Vira dengan satu tangan, menarik tubuh gadis itu mendekat. Tangan lainnya terangkat, menyibakkan rambut Vira yang berantakan ke belakang telinganya. "Vira, kau tidak bisa ke mana-mana sekarang," desis Andi seraya mendekat. "Jadi diamlah… dan
Andi menunduk, wajahnya seperti kehilangan warna. Ia tak menyangka rahasianya terbongkar."Vira… aku bisa jelaskan," ucap Andi ingin menjelaskan. "Sudah cukup!" potong Vira cepat. "Penjelasanmu sudah kedaluwarsa sejak malam itu!""Vira, kamu salah paham! Kamu tahu kan kalau aku sangat mencintaimu?" tanya Andi, masih menggenggam pergelangan tangan Vira.Vira mendengus sinis."Cih! Salah paham?" matanya menatap tajam. "Bagaimana bisa kamu sebut itu salah paham, sementara aku lihat sendiri pengkhianatan yang kamu lakukan... dengan mata kepalaku sendiri!""Aku datang malam itu, Andi! Aku berdiri di depan pintu kamarmu dan melihat kalian berdua bermesraan, berpelukan, seolah tak pernah ada aku dihidupmu!" lanjutnya, suaranya mulai bergetar menahan emosi.Andi tercekat. Ia belum sempat bicara saat Vira kembali bersuara, lebih tegas."Sekarang, lepaskan tanganku!" Vira berusaha menarik pergelangannya, namun Andi tak bergeming."Lepaskan, Andi!" Suara Vira datar, tapi tajam."Kau bukan bagia
"Bagaimana kalau kita makan dulu? Aku yakin kau pasti lapar, kan?" tanya Nathan, suaranya lebih tenang kali ini, membuyarkan keheningan yang sejak tadi menggantung di antara mereka."Iya, Pak. Aku rasa itu ide yang sangat bagus," sahut Vira, mencoba tersenyum.Sebenarnya, Vira memang sudah lapar sejak tadi. Bagaimana tidak? Terakhir kali ia makan adalah semalam, sesaat setelah ia tiba di apartemen Nathan.Setelah itu tenaganya habis terkuras oleh pria itu semalam, dan pagi harinya ia bahkan tak sempat sarapan. Dari pagi hingga menjelang siang, ia masih harus terus menjadi pelampiasan hasrat Nathan. Tak heran tubuhnya kini terasa begitu lemas. "Heh, apa kau sangat kelaparan?" tanya Nathan dengan nada menggoda, sudut bibirnya terangkat samar.Vira mendengus pelan. "Hem, Anda masih sempat bertanya? Padahal Anda sendiri pasti sudah tahu jawabannya," balas Vira sambil mencibir kecil."Hahaha... baiklah, maafkan aku!" Nathan terkekeh. "Sebagai gantinya, nanti kau boleh pesan makanan apa p
Tanpa memberi waktu bagi Vira untuk bertanya, ia mendekat dan mengecup bibir Vira dengan lembut, tak tergesa namun cukup dalam untuk menyampaikan semua yang tak bisa ia ucapkan. Kejutan itu membuat Vira terpaku, tubuhnya melemah dalam pelukan pria itu. Nathan mulai membuka satu persatu kancing baju Vira. Vira refleks menarik diri, napasnya tersengal. "Nathan, kita bisa terlambat..." ucapnya dengan suara bergetar, mencoba tetap berpikir jernih di tengah gejolak yang menghentak.Namun Nathan hanya tersenyum miring."Waktu seolah berhenti saat aku bersamamu,Vira," gumamnya sambil mendekat lagi. Ia membelai pipi Vira, lalu tanpa tergesa menarik tubuhnya hingga bersandar di meja rias.Vira mengalihkan pandangan, berusaha mengatur debar di dadanya yang tak karuan."Tapi, kita harus berangkat sekarang, Pak. Kalau tidak, pasti klien sudah menunggu," kata Vira pelan. Nathan menarik napas dalam, lalu akhirnya mengangguk pelan."Baiklah... Ayo kita pergi, sebelum aku berubah pikiran!"Namun,
Nathan kembali menyentuh wajah Vira, kali ini lebih lama, seolah mencoba meyakinkan dirinya sendiri. Sentuhan itu membuat Vira terusik, kelopak matanya perlahan terbuka.Begitu matanya terbuka sepenuhnya, Vira terperanjat mendapati Nathan duduk begitu dekat, menatapnya dengan sorot mata yang sulit diartikan."M-maaf, Pak… eh, maksudku, Nathan. Aku tidak tahu kalau kau sudah bangun," ujar Vira gugup. "Tak masalah," jawab Nathan singkat, suaranya terdengar tenang.Vira menunduk sejenak sebelum melanjutkan, "Dan maaf… aku tertidur di sebelahmu. Semalam kau terus menggenggam tanganku sambil mengigau jadi, aku… tidak bisa pergi.""Apa kamu bermimpi buruk? Kamu sempat mengigau sampai ingin menangis," tanya Vira pelan, menatap wajah Nathan penuh empati. "Aku lihat ada luka yang dalam di balik raut wajahmu."Nathan terdiam sejenak. Tatapannya kosong, seolah pikirannya melayang jauh ke masa lalu, lalu ia menggeleng perlahan. "Tidak, aku tidak bermimpi. Mungkin hanya karena terlalu kelelahan,
Flashback — 17 tahun yang lalu...Di sebuah taman bermain kecil yang dikelilingi pagar kayu warna-warni, tampak seorang anak perempuan berusia enam tahun duduk di ayunan, matanya terus menatap ke arah gerbang taman.Setiap sore, ia akan datang ke tempat itu—duduk menanti sosok yang selalu ia rindukan: seorang bocah laki-laki berseragam SD yang baru saja pulang sekolah.Dan seperti biasa, bocah itu datang dengan langkah cepat—seolah takut membuat gadis kecil itu menunggu terlalu lama. Nafasnya sedikit terengah, tapi senyumnya tetap terjaga. Ada semangat yang tak bisa dijelaskan tiap kali matanya menemukan sosok kecil yang duduk menunggunya di sana."Kak Adit!" seru anak perempuan itu, suaranya lantang dan penuh semangat, seperti nyanyian kecil yang menggema di antara gemericik tawa anak-anak di taman sore itu.Adit, bocah laki-laki yang baru saja naik ke kelas 2 SD, menoleh dan tersenyum lebar. Seragamnya sedikit kusut, tasnya menggantung miring di pundak, dan keringat masih membasahi