Share

Mencoba Melawan

Ocin dan kakek Darto bukan termasuk orang kaya dan bukan pula orang miskin. Sebuah rumah yang meski ukurannya kecil dan sederhana itu menjadi pertanda kakek dan cucu tersebut hidup dengan layak. Hanya dengan penghasilan yang diperoleh dari jualan sayur dan tabungan Kakek Darto rupanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka berdua.

Ocin melangkahkan kaki menuju kamarnya setelah membereskan piring dan segala macamnya. Tak langsung tidur, Ocin memilih belajar beberapa menit. Pasalnya, selain sering dipukuli oleh trio kopet, Ocin juga sering bolos karena diajak tiga orang itu. Mau tak mau Ocin menurut saja demi tidak dipukuli di hari itu. Karena hal itulah Ocin sering ketinggalan pelajaran di kelas.

Setelah kiranya cukup dengan angka dan huruf yang ada di depan matanya, kantuk pun mulai bersarang. Ocin menguap dan melemaskan tubuhnya. Ditutuplah buku pelajaran, namun Ocin tak segera merebahkan tubuhnya. Digantinya buku pelajaran itu dengan buku berwarna biru yang berisi keseharian Ocin.

Ocin memang hobi menulis. Dia menulis sesuatu yang dialaminya sendiri, pemikirannya, perasaannya, dan bahkan imajinasinya. Ocin tuangkan semuanya dalam tulisan. Termasuk keluh kesah yang dirasakannya selama ini diperlakukan buruk oleh lingkungan sekitar dan sekolah.

"Sialan! Dunia ini memang tidak adil. Apakah hanya karena fisik saja mereka berhak untuk menghinaku, memukuliku, bahkan mengucilkanku? Ya seperti itulah sebagian besar manusia. Mereka seakan lupa esensi hidup yang sebenarnya. Tapi aku yakin pasti tetap saja ada manusia yang betul-betul baik dan tulus di dunia ini. Karena apa? Karena dunia sangat luas. Satu-satunya keadilan di dunia ini ya memang sebuah ketidak-adilan."

Begitulah kiranya salah satu kalimat yang dituangkan Ocin dalam bukunya. Hobi menulisnya ini sudah dia tekunkan sedari SMP. Malam itu Ocin juga menuliskan sesuatu yang ditimpanya di hari itu.

"Kadang kala aku selalu ingin menyerah. Lari dari semua kenyataan yang membelengguku. Bahkan sempat terlintas di benakku untuk mengakhiri hidup. Yah! Hidup enggan mati pun segan. Aku masih ke pikiran bagaimana susahnya seorang kakek yang sudah tua mati-matian untuk bisa terus melihatku hidup. Satu-satunya harapan yang membuatku bertahan sampai sekarang hanyalah Kakek. Aku tidak tahu apa jadinya aku kalo nanti kakek sudah tiada. Apa mungkin aku ikut menyusulnya ke alam baka? Entahlah. Mungkin  apa yang tadi dikatakan kakek ada benarnya juga. Meski aku tidak pernah sekali pun mencoba melawan mereka yang menindasku, tapi hatiku geram dan sesekali ingin menghabisi orang-orang seperti mereka. Sepertinya besok aku harus mencoba melawan trio kopet. Akan aku pertaruhkan semuanya. Semoga saja besok hari yang baik," pikir Ocin seraya menggerakkan tangan kanannya di atas kertas.

Dengan memegang sebuah pena yang biasa dia gunakan untuk menulis, Ocin menuangkan semua pikirannya di kertas putih yang sebelumnya kosong. Setelah selesai, Ocin menutup buku warna biru tadi dan meletakannya kembali ke tempatnya semula. Lantas Ocin beranjak dari duduknya dan langsung merebahkan diri di ranjang. Kedua matanya menatap langit-langit kamar. Tak lama kemudian, tak terasa Ocin sudah terlelap dalam tidurnya.

Keesokan paginya, Ocin bangun dan bersiap berangkat sekolah. Dilihatnya sekeliling rumah, Kakek Darto juga sudah berangkat menjual sayurannya menggunakan gerobak. Sarapan pagi yang berupa nasi dan telur mata sapi sudah tersaji di piring yang berada di atas meja makan. Tak ketinggalan pula sebotol kecap di sampingnya.

"Ah, kakek nih kebiasaan." Ocin pun duduk dan langsung menyantap sarapannya.

Tepat pada pukul 6.45 WIB Ocin segera berangkat sekolah setelah menghabiskan sarapannya. Beberapa meter sebelum sampai di sekolah, Ocin melewati sebuah gang yang biasa dilewatinya. Tak jarang Bintang dan kedua temannya mencegat Ocin di situ dan mengajaknya bolos sekolah. Namun sepertinya hari itu Ocin sedikit beruntung. Dia bisa fokus belajar di pagi hari.

“Hari ini sepertinya aman. Semoga saja Bintang dan yang lainnya tidak menggangguku lagi. Kalo  pun dia menggangguku, hari ini aku akan membela diri,” ujar Ocin kemudian melanjutkan langkahnya menuju sekolah.

Ocin duduk di kelas 10B jurusan IPA SMA Atsaws. Sekolahnya itu cukup terkenal juga di daerahnya. Pantas saja jika mempunyai kelas dan murid yang agak banyak. Kelas 10 terdiri dari 10 kelas yang masing-masing 5 kelas jurusan IPA dan 5 kelas jurusan IPS.

Sesampainya di depan pintu kelas, Ocin segera membukanya dan masuk tergesa-gesa karena jam 7 tepat pelajaran dimulai. Dia langsung saja duduk di tempatnya yakni di paling belakang sebelah kanan. Tampak seorang siswa berpakaian rapi yang selalu mengenakan gelang kayu kecokelatan di pergelangan kirinya sudah ada di kelas. Siswa itu duduk berjarak 2 bangku di depan tempat duduk Ocin. Anak-anak lain juga banyak yang sudah hadir.

Ocin melihat ke sekelilingnya. Bintang dan 2 orang temannya belum datang. Perasaan Ocin sedikit lega saat mengetahuinya. Meski Ocin tahu bahwasanya Bintang sering kali seenaknya masuk kelas kapan saja. Kali ini pun Ocin menerka Bintang akan masuk kelas setelah jam istirahat pertama. Atau bahkan saat jam pelajaran sebelum istirahat.

Pelajaran pertama dimulai saat bel sekolah berbunyi nyaring. Seorang guru masuk dan menjelaskan materi. Jarang-jarang Ocin mendapatkan kesempatan seperti itu. Meski kehadirannya tidak dipedulikan siapa pun, Ocin tetap merasa semangat belajar.

Tak terasa jam istirahat pertama tiba. Benar saja dugaan Ocin, komplotan trio kopet datang. Niatnya untuk jajan di kantin tertunda.

Braakk! Bintang menendang pintu kelas saat hendak memasukinya.

“Ocin!! Beraninya lu masuk kelas tanpa izin terlebih dahulu ke gue?!” teriak Bintang seraya menghampiri tempat di mana Ocin duduk.

“Kenapa ini? Kenapa tubuhku justru merasa ketakutan dengan kehadirannya? Tenanglah, Ocin. Tenang. Hari ini saatnya kau melawan dia!” batin Ocin. Keringat dingin mulai ia rasakan.

Sementara itu, anak-anak yang lain tak acuh dengan kehadiran Bintang. Mereka tidak ingin menjadi sasaran Bintang. Begitu juga dengan anak yang memakai gelang cokelat di tangan kirinya. Dia justru membuang muka dan melanjutkan membaca buku.

“Ayo ikut kami, Ocin! Waktu belajar lu sudah cukup hari ini. Sekarang kita bermain lagi!” ucap Bintang sambil merangkul Ocin. 

Toni dan Satrio hanya menyeringai. Sesekali Satrio menggoda anak cewek yang ada di kelasnya.

“Ayolah, Ocin! Berbicaralah! Semuanya akan berubah kalo kau berani bicara! Harus berani! Kalo tidak, semuanya akan tetap sama saja!” batin Ocin.

Ocin masih merasa resah, takut, dan bingung hendak berbuat apa. Namun tidak hari ini. Sesaat kemudian mulutnya bergerak dan mengucapkan sebuah kalimat yang langka.

“Tidak!”

“Hah? Barusan lu menggonggong atau mengeong?” ledek Bintang.

Mata Ocin menatap tajam ke depan. Hatinya sudah ia tangguhkan untuk melawan perintah Bintang. Meski pikirannya berkata itu akan sia-sia saja.

“Aku bilang tidak! Kau tuli, ya?” tegas Ocin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status