Share

Menjadi Lebih Kuat Lagi

Di sebuah warung yang biasa digunakan untuk membolos oleh trio kopet, Bintang yang masih geram karena ulah Ocin dan Joe sesekali memukul meja dan menggenggam erat gelas miliknya. Toni dan Satrio yang duduk di depannya juga kena semprot kekesalan Bintang. 

"Kalian berdua juga! Kenapa enggak bantu gue buat cegah si Joe itu biar enggak ikut campur?! Misal memeganginya atau pun memukulnya! Kalian berdua cuma diam saja!" tanya Bintang dengan sorot mata tajam.

Toni dan Satrio sedikit merasa takut dengan mode murka Bintang.

"Ya.. lu pun tahu sendiri dia anak siapa, kan? Mana mungkin kami berdua berani melakukan hal tersebut. Gila si!" jawab Satrio.

"Betul, Tang. Apa lu serius mau memberinya pelajaran juga? Lu tahu kan risikonya?" tanya Toni yang kemudian menyeruput minumannya.

"Sial! Kalo saja dia bukan anak pemilik sekolah ini," pikir Bintang.

Hanya beberapa siswa saja yang mengetahui bahwa Joe Grambell adalah anak Pak Grambellion Tero, pemilik SMA Atsaws yang dikepalai oleh ayah Bintang. Oleh karena itu Bintang dan yang lain tidak berani mengusik Joe. Namun berbeda dengan hari ini. Selama ini Joe juga hanya melihat pembulian yang dilakukan Bintang seperti anak-anak yang lain. Namun hari ini dia berani membela korban dan semakin membuat Bintang marah.

"Ya! Tentu saja dia harus kubuat jera!" tegas Bintang.

"Pikir dengan kepala dingin, Tang. Tenangkan diri lu dulu. Jika lu berbuat nekat seperti itu, nanti bukan cuma lu yang kena. Ayah lu juga terlibat dan risiko paling buruknya jelas diberhentikan jadi kepala sekolah," jelas Satrio yang masih bisa berpikir dengan kepala dingin.

"Setuju sama Satrio! Hati boleh panas, tapi kepala harus tetap dingin Tang," sambung Toni.

Bintang menarik napasnya dalam-dalam. Dia yang paling tahu persis dengan risiko tersebut. Butuh beberapa menit sampai akhirnya Bintang kembali tenang.

"Ucapan kalian berdua ada benarnya juga. Tapi jujur saja gue sekarang sangat ingin menonjok muka songong si Joe," ucap Bintang.

Toni dan Satrio terkekeh mendengar ucapan Bintang.

"Ada apa?" tanya Bintang heran.

"Kita tadi terlalu buat keributan di kelas, wajar saja Joe yang tengah membaca buku jadi terganggu dan memperingatkan lu. Kalo kita tidak terlalu ribut pun Joe tidak akan peduli dengan si gendut itu," terang Satrio.

"Ah sialan! Meski kalian berdua berkata seperti itu, perasaan gue masih tetap panas pada si Joe. Belum lagi dengan si gendut yang entah kerasukan apa berani melawan gue."

Mereka bertiga betul-betul bolos sekolah sampai waktu pulang tiba.

Sementara itu, Ocin yang telah mengikuti pelajaran sampai jam terakhir berniat langsung pulang. Ocin menuju toilet terlebih dahulu untuk mengecek dan membersihkan bekas luka di wajahnya lagi biar nanti kakeknya tidak terlalu curiga terus-terusan. Dilihatnya bayangan tubuhnya sendiri di kaca wastafel. Dia senyum-senyum sendiri mengingat kejadian barusan. Hari di mana dirinya pertama kali berani tidak menuruti perintah Bintang.

"Kenapa aku bisa sampai seberani itu, ya?" pikir Ocin merasa bingung sendiri. 

Sesaat kemudian Ocin ingat akan nasihat kakeknya semalam. Ocin berpikir mungkin itu salah satu faktornya juga. Meski Ocin tidak menang melawan Bintang dan tahu kalo besok Bintang pasti akan berulah lagi. Ocin menganggap bantuan dari Joe tadi hanyalah keberuntungannya.

"Joe itu... aku tidak tahu apa pun tentangnya selain kecerdasan dan sisi misteriusnya. Sepertinya dia anak orang yang punya pengaruh besar di sekolah. Sampai-sampai Bintang dan yang lain langsung pergi begitu saja dan tidak memperlakukan Joe dengan buruk. Ah entahlah. Yang penting semangatku untuk belajar mulai kembali lagi. Semoga besok tidak terjadi hal yang lebih buruk dari sebelumnya," lirih Ocin berbicara dengan bayangannya.

"Kau membicarakanku, ya?" tanya seseorang yang berada dalam salah satu ruang WC paling dekat dengan wastafel.

Sontak hal tersebut membuat Ocin terkejut. Rupanya dia tidak sendirian di toilet yang lumayan besar itu. Terlebih lagi, orang itu menggunakan kata ganti 'aku' yang menandakan dia adalah orang yang sedang Ocin bicarakan yakni Joe. Benar saja, saat orang tersebut keluar dari WC, Ocin tahu persis dia Joe.

"Eh, Joe. Maaf, bukan bermaksud membicarakanmu di belakangmu. Pokoknya untuk urusan yang tadi aku berterima kasih banget padamu Joe," kata Ocin dengan nada gugup.

Joe melangkah mendekati Ocin lantas menepuk bahunya seraya berkata, "Tak usah dipikirkan. Kalo kau memang tidak ingin terus-terusan diganggu oleh mereka, jadilah lebih kuat lagi. Oh ya satu lagi, tidak akan ada yang membantumu selama kau sendiri tidak mau membantu dirimu sendiri terlebih dahulu."

Usai berkata begitu, Joe kembali melangkahkan kaki guna menuju tempat parkir di mana sopirnya telah menunggu. Ocin masih mematung di tempat. 

"Menjadi lebih kuat lagi, ya? Apa aku bisa melakukannya?" pikir Ocin.

Ocin sempat merenung sejenak di toilet. Ocin juga membenarkan kalimat Joe yang terakhir. Selama ini dirinya memang hanya pasrah dengan keadaan dan tak pernah sekali pun membantu dirinya sendiri untuk keluar dari zona yang tak nyaman itu. Lantas setelah dirasa sekolah sudah mulai sepi, Ocin memutuskan untuk segera pulang.

Kali ini kakek Darto tengah tertidur dengan pulas di kamarnya. Ocin tak berani membangunkannya dan langsung masuk kamar untuk berganti baju kemudian istirahat.

“Syukurlah kakek tidak melihat bekas luka di wajahku yang semakin bertambah banyak,” ujar Ocin.

Satu kebiasaan Ocin yang dia lakukan di kamar selain menulis yakni menatap langit-langit kamarnya dan berimajinasi. Dia tak ingin terlalu pikir pusing dengan tidak adilnya dunia. 

Tak terasa malam berganti pagi, pagi berganti siang, siang berganti sore, dan sore pun berganti malam. Rutinitas Ocin masih sama tiap harinya. Saat makan malam bersama kakeknya, Ocin sudah menduga kakeknya itu akan membicarakan luka di wajahnya lagi.

“Kamu habis berkelahi lagi, Cin? Muka sudah kek bergedel begitu,” ucap Kakek Darto.

Ocin hanya tersenyum tipis saja mendengar ucapan kakeknya.

“Oh iya kek, habisnya selalu ada masalah dengan teman.”

“Selesaikan masalah itu dengan bicara baik-baik. Anak muda sekarang malah langsung baku hantam saja,” ujar Kakek Darto kemudian menyuapkan makanan terakhirnya.

“Iya, Kek.”

Sehabis menyantap makan malamnya, Ocin menuju kamar untuk belajar. Tak lupa pula untuk menuliskan beberapa kalimat di buku birunya.

“Apa manusia memang bisa berubah seiring berjalannya waktu? Sepertinya memang bisa namun membutuhkan waktu yang cukup lama. Jika seperti itu, aku sebenarnya juga ingin berubah menjadi lebih kuat lagi. Namun itu tetap akan sia-sia saja jika hanya sekedar keinginan dan tidak dibuktikan dengan kerja keras untuk menjadi sebuah kenyataan.”

Usai menulis kalimatnya, Ocin langsung tidur tanpa membereskan buku pelajaran yang akan dibawanya besok. Keesokan paginya saat hendak berangkat sekolah, Ocin pun tergesa-gesa untuk membereskannya. Tanpa sengaja dia melihat sebuah pena asing di meja belajarnya itu. Pena yang bukan miliknya dan entah berasal dari mana.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status