Share

Pena Ajaib
Pena Ajaib
Author: Te Amo Por Siempre

Samsak Tinju

Bughh!! Bugh!!

Pukulan demi pukulan dari kepalan tangan seorang remaja laki-laki yang mengenakan seragam sekolah di gang sempit belakang warung berhasil membuat suasana yang tadinya sunyi kini menjadi sedikit ramai. Dua orang temannya yang berdiri di sampingnya hanya melihatnya sembari tertawa. Sedang si korban yang tengah dipukuli itu merintih kesakitan yang sekarang dia rasakan di sekujur tubuhnya. Diketahui mereka berempat adalah siswa dari salah satu SMA swasta di Jakarta Selatan yang bernama SMA Atsaws.

"Hey, Ocin! Minta maaflah karena lu sudah salah beli merek rokok yang sudah gue pesankan sebelumnya!" bentak lelaki yang sedari tadi memukuli siswa itu. Dia berhenti sejenak setelah beberapa menit berlalu.

"Dasar bodoh!! Bintang menyuruh lu buat beli rokok itu, lu malah beli yang lain!" cemooh Toni, salah satu dari teman Bintang.

Satu lagi teman Bintang yang berada di situ pun hanya tertawa lantang. Dia lantas menghampiri Ocin yang baru saja bisa menarik napas lega karena Bintang berhenti memukulinya. Tembok yang berada di belakangnya pun dijadikan sandarannya sejenak.

"Lihat si gembel berambut keriting hitam ini, Tang! Sepertinya dia sebentar lagi juga akan pingsan. Untuk hari ini kiranya cukup bermain dengannya," ujar Satrio seraya menjambak rambut Ocin.

Ocin berusaha melepaskan tangan Satrio dari rambutnya tersebut. Namun apalah daya tenaga Ocin saat itu sudah terkuras banyak dan hanya bisa pasrah. Bintang dan Toni yang melihat pun tertawa akan ulah Satrio.

"Kau benar, Sat! Hati-hati rambutnya bisa lepas dari batok kepalanya itu! Haha!" sahut Toni.

"Ya sudah, mari kita pulang! Sampai jumpa besok, Ocin! Jangan sampai mati atau pun bunuh diri, ya!" kata Bintang lantas pergi mendahului kedua temannya itu.

Satrio pun melepaskan tangannya dari rambut Ocin dan segera menyusul Bintang serta Toni. Ketiga anak ini sering disebut sebagai Trio Kopet. Kini tinggallah seorang siswa berbadan gemuk dan berambut keriting bernama lengkap Ocin Nikolas dengan babak belur memenuhi wajahnya dan bagian tubuhnya yang lain. 

"Sialan! Sialan! Selalu saja seperti ini! Kapan kehidupanku yang seperti ini berubah menjadi lebih baik lagi?!" teriak Ocin seorang diri.

Ocin mengacak-acak rambutnya sendiri dan sesekali memukuli tubuhnya.

"Kenapa?! Kenapa aku hidup dengan kondisi fisik seperti ini?! Kenapa aku tidak berani melawan mereka bertiga?!"

Ocin tertunduk lesu dengan kemarahan dan rasa sedih yang meluap-luap. Tanpa terasa air matanya mulai menetes terjun bebas ke tanah. Kini Ocin menyenderkan punggungnya kembali ke tembok. Sesekali menyeka air matanya yang hanya sedikit itu, Ocin menatap langit yang hampir sore itu.

Tepat 1 semester telah berlalu dan kini memasuki semester 2 di kelas 10. Bintang, Toni, dan Satrio yang tadi membully Ocin merupakan teman kelasnya sendiri. Entah sejak kapan mereka bertiga jadi lebih berani memperlakukan Ocin dengan kasar dan seenaknya sendiri. Sebelum menginjakkan kaki di semester 2 itu, agaknya memang Bintang dan komplotannya itu anak-anak yang nakal dan sering menjahili Ocin. Dengan menggunakan kekuasaan ayahnya yang menjadi kepala sekolah di sekolahnya sendiri, Bintang jadi sok berkuasa. Tindakannya mulai melewati batas memasuki semester 2 ini.

"Hari hampir sore, kakek pasti khawatir kalo aku tidak segera pulang," ujar Ocin.

Baru saja Ocin hendak menggerakkan tubuhnya, dia merasakan nyeri pada tiap-tiap luka yang diterima akibat pukulan Bintang barusan. Meski begitu, Ocin tetap berusaha bangkit dan pulang ke rumah. Sebelumnya Ocin mampir ke toilet terlebih dahulu untuk membersihkan diri.

Jarak sekolah ke rumahnya tidak terlalu jauh. Ocin selalu berjalan kaki saat berangkat dan pulang sekolah. Hal tersebut memerlukan waktu sekitar 10 menit.

Krieett... suara alas pintu yang bergesekan dengan lantai rumahnya berhasil menyita perhatian seorang kakek tua yang tengah sibuk menghitung hasil jualan sayurnya tadi pagi. Si kakek tua itu langsung melirik ke arah suara decitan pintu yang dibuka oleh cucunya, Ocin.

"Ocin, kamu dah pulang, Nak. Tumben sekali agak terlambat," ucap kakek Ocin yang bernama Darto itu.

Ocin seketika menyalami tangan kakek Darto. Matanya yang sudah agak kurang jelas dalam melihat, kulitnya yang sudah keriput, dan juga pendengarannya yang sudah mulai memburuk adalah pertanda kakek Darto sudah termakan usia. Salah satu alasan utama yang mungkin masih Ocin pertahankan hingga sekarang meski dirinya selalu dibully oleh si trio kopet dan tidak memilih untuk mengakhiri hidupnya sendiri yakni adalah keberadaan kakek Darto, satu-satunya manusia yang benar-benar menerima Ocin apa adanya. Wajar saja karena Ocin cucunya.

"Iya, Kek. Tadi sempat ada urusan sebentar," jawab Ocin terpaksa berbohong. 

Ocin tidak ingin kakek Darto mengetahui hal buruk yang selalu menimpanya. Walau begitu, dalam jarak sedekat itu, Kakek Darto melihat dengan jelas kalo terdapat banyak luka memar di wajah cucunya. Karena penasaran, kakek Darto pun menanyakannya.

"Kamu kenapa, Cin?! Kenapa wajahmu jadi penuh luka seperti ini? Apa ada anak-anak yang memukulimu? Bilang ke kakek! Nanti kakek buat perhitungan sama mereka!" ucap Kakek Darto mengungkapkan rasa perhatiannya pada Ocin.

Memang sudah lama ini Ocin menyembunyikan perihal pembullyan atas dirinya pada kakek Darto. Ocin berpikir kalo kakeknya yang tua itu tidak perlu merasakan kesedihan dan derita yang dialaminya. Ocin tidak ingin kakeknya ikut bersedih dan juga marah-marah saat tahu kebenarannya. Untuk itu, Ocin lebih memilih untuk tidak menceritakannya pada kakek Darto dan berbohong dengan jalur keren.

"Oh tidak, Kek. Biasa anak muda. Ada masalah sedikit, tersulut emosi dan akhirnya berkelahi," jawab Ocin.

"Oh ya sudah kalo begitu, cepat beres-beres dan obati lukamu sendiri. Lain kali kamu harus belajar sabar ya, Cin. Jangan mudah tersulut emosi seperti itu. Wajahmu yang tampan kan jadi penuh luka seperti itu," kata kakek Darto kemudian memberikan senyumannya.

Senyuman kakek Darto itu memperlihatkan giginya yang bisa dihitung jari dan penuh lubang yang membuat Ocin sejenak melupakan beban hidupnya.

"Baik, Kek."

Sudah 13 tahun Ocin hanya tinggal bersama kakeknya tersebut. Dirinya dibesarkan oleh kakek yang penuh dengan rasa sabar dan penyayang. Tak sekali pun Kakek Darto memukuli Ocin atau bahkan membentaknya. Menurut keterangan dari kakeknya, kedua orang tua Ocin sudah meninggal sejak Ocin berumur 3 tahun. Oleh sebab itu, kini Ocin dirawat sama kakek Darto hingga sekarang berumur 18 tahun. Biaya sekolah dan sehari-hari Ocin juga ditanggung oleh kakek Darto.

Malam pun tiba. Ocin seperti biasa berbincang-bincang dengan kakeknya di ruang tengah setelah makan malam. Hari itu mungkin Ocin kelihatan sangat terluka tak seperti sebelumnya. Karenanya Kakek Darto masih membahas hal itu.

“Entah apa yang kau sembunyikan dari kakek, kakek tidak tahu itu. Dunia memang keras, Cin. Jika kau tidak mau terus-terusan ditindas, maka lawanlah. Dunia tidak akan pernah menjadi lebih lembut pada orang yang pengecut dan tak berani melawan,” kata kakek Darto seakan tahu apa yang telah dialami cucunya.

“Iya, Kek.”

“Lekas istirahatlah. Besok kau berangkat sekolah. Kakek juga hendak istirahat,” ujar kakek Darto lantas beranjak dari duduknya. Dia kembali ke kamar dan melamun sendirian.

“Semua ini terjadi karena salahku,” lirih Kakek Darto.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status