Share

Sebuah Keajaiban

"Pena milik siapa ini?" tanya Ocin seraya mengambil pena yang tergeletak di meja belajarnya. Diamatinya baik-baik pena berwarna kuning keemasan dan hitam yang seimbang itu. Bentuk penanya pun agak antik dan berbeda dengan pena jaman sekarang. Yang lebih aneh lagi, Ocin tidak bisa membuka pena tersebut untuk mengetahui isinya masih atau belum.

Ocin yang penasaran segera menuju ruang makan untuk menanyakan perihal pena yang ditemukannya pada kakeknya. Namun di ruang makan pun kakek Darto tidak ada.

"Kek, kakek di mana?! Sudah berangkat jualan sayur, ya?!" teriak Ocin sembari keliling ruangan. 

"Kakek itu rajin sekali. Se pagi ini sudah jualan sayur. Ah, mungkin saja pena ini pemberian kakek untukku. Lebih baik aku bawa saja ke sekolah untuk cadangan," pikir Ocin.

Ocin segera bersiap berangkat sekolah. Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul 06.52 WIB. Buru-buru dia mengenakan seragam, menyantap sarapan yang ada, memakai sepatu, lantas merangkul tas dan segera berlari kecil menuju sekolah. Tak lupa pula Ocin menaruh pena misterius itu dalam saku celananya.

Dalam perjalanan menuju sekolahnya, Ocin melewati sebuah gang yang berada beberapa meter sebelum sampai di halaman sekolah. Tak disangka Bintang, Toni, dan Satrio sudah menghadangnya. Nyali Ocin menciut dan Ocin pun mau tak mau menghentikan langkahnya. Dia sudah tahu maksud dari trio kopet tersebut.

Bintang melangkah mendekati Ocin dengan diikuti Toni dan Satrio.

"Pagi, Babu. Sepertinya hari ini lu jadi jinak ya," sapa Bintang yang sok akrab seraya merangkul Ocin.

"Oh tentu saja, Tang. Lagian dia sendirian dan tidak ada Joe kampret," sahut Toni.

Ocin hanya menundukkan kepalanya dan mengumpat dalam hati. Satrio masih asyik dengan rokoknya.

"Oh iya, Ton. Bisa saja si. Lagian kemarin memang si babu ini hanya beruntung saja ditolong Joe." Bintang menatap Toni lantas mengajak Ocin berbicara lagi.

"Hari ini gue punya penawaran yang menarik buat lu. Antara lu mau ikut kami bertiga bolos dan makan di warung atau lu masuk rumah sakit?" tawar Bintang dengan nada mengancam. Ocin masih terdiam saja dan mencoba berpikir jernih.

"Sial! Bagaimana ini?! Kalo Bintang betulan mau berbuat sampai kelewat batas, aku juga yang bakal rugi. Mana luka yang aku terima hari-hari sebelumnya juga masih belum sepenuhnya sembuh. Sepertinya tidak ada pilihan yang lain," batin Ocin.

Kalo saja Ocin sudah lebih kuat lagi dan berani melawan perintah Bintang, Ocin akan menjawab untuk tidak memilih keduanya dan belajar di kelas. Namun apalah daya dan keadaan.

"Baiklah, aku ikut kalian bertiga. Tapi tolong jangan pukul aku terus-terusan," pinta Ocin dengan nada memelas.

"Eh? Serius dia memohon belas kasihan pada lu, Tang? Betul kesambet ini anak kemarin," ujar Toni.

Bintang hanya tersenyum lebar mendengar jawaban Ocin. Satrio yang sudah selesai menghabiskan rokoknya pun membuang puntungnya ke sembarang arah dan ikut bergabung mengejek Ocin.

"Lu kesurupan ya kemarin? Untung hari ini lu sudah kembali normal," ucap Satrio.

"Yosh! Hari ini ayo kita ke warung! Tenang saja, lu bakal aman kalo sama gue, Babu."

Bintang pun membawa Ocin ke warung biasa mereka nongkrong dengan cara menjambak rambut keritingnya yang lebat sepanjang perjalanan. Dalam hati, Ocin sendiri selain mengumpat pada ketiga orang itu, dia juga mengumpat pada dirinya sendiri. Dirinya yang terlalu lemah dan tak bisa menolong keadaan sendiri. Ocin merasa telah kembali menjadi seorang pengecut yang ulung. Keberaniannya di hari kemarin memang ibarat menuangkan minyak ke dalam api. Hanya bisa membuat api semakin bergejolak sebentar kemudian mengecil kembali. Seperti itulah semangat Ocin di hari kemarin.

"Pesan makanan sana!" perintah Bintang pada Ocin setelah melepaskan tangannya dari rambut Ocin. Trio kopet lantas duduk dan menunggu makanan datang saat sudah sampai di warung. Sedang Ocin pun masuk dan segera memesan apa yang sudah biasa dipesan 3 orang itu. Pasalnya ini bukan kali pertama dia diajak bolos.

Usai memesan makanan untuk trio kopet, Ocin tak langsung kembali ke tempat trio kopet berada. Merasakan perutnya mulas, Ocin segera menuju toilet warung di belakang untuk memenuhi panggilan alam. Diletakkannya tas yang tadi berada di punggung Ocin di luar toilet. Di sisi lain pemilik warung dengan cepat menyuguhkan sarapan untuk 3 anak itu.

“Ke mana si gendut itu pergi, Pak?!” tanya Bintang pada pemilik warung saat dirinya tidak melihat adanya Ocin

“Toilet Den,” jawab bapak pemilik warung lantas kembali masuk ke dalam.

“Cie... baru bertemu tadi pagi, sudah kangen saja sama si Babu,” ledek Toni.

“Sembarangan! Gue takutnya dia balik lagi ke rumah atau nekat masuk kelas,” terka Bintang kemudian mulai menyantap sarapannya.

“Cie... begitu takutnya lu berpisah sama dia! Hahah..” sambung Satrio yang membuat Toni juga ikut tertawa. Mendengar hal tersebut, Bintang langsung menelan makanannya dan menimpali ledekan mereka berdua.

“Mata lu kangen dan takut berpisah sama dia!” kesal Bintang.

“Haha.. tenang saja, Tang! Dia mana mungkin berani kabur. Lagian tadi kata bapak pemilik warung juga sudah jelas,” ujar Satrio.

Bintang membenarkan ucapan temannya dan melanjutkan makan.

“Aku rasa hari ini tidak akan bisa belajar di kelas dengan tenang. Kalo pun aku nekat kabur masuk ke kelas, pastinya nanti mereka bertiga juga akan menyusulku dan membuat perhitungan yang lebih parah lagi dari sebelumnya. Tapi tak apalah, sebagai gantinya wajah dan badanku tidak akan kena incar pukulan dan terluka lebih banyak lagi,” pikir Ocin.

Saat sudah selesai dengan hajatnya dan Ocin pun memakai celananya kembali, dia teringat akan pena aneh yang berada di sakunya. Setelah keluar dari toilet, diambillah selembar kertas dari dalam tas dan digendong kembali tas miliknya. Ocin yang penasaran hendak mencoba menulis sebuah kalimat menggunakan pena tersebut.

“Masih bisa dipakai tidak, ya?” batinnya.

Dengan beralaskan tembok di sampingnya, Ocin pun menuliskan sebuah kalimat yang sedang dia inginkan saat itu menggunakan pena aneh.

“Aku ingin belajar di kelas hari ini seperti hari sebelumnya.” Begitulah kalimat yang ditulis Ocin. Huruf-huruf yang dihasilkan dari goresan tinta pena tersebut sangat tebal namun masih tetap rapi dan terjaga.

“Wah! Bagus juga tulisan yang dihasilkan dari pena ini,” ucap Ocin seraya mengamati pena di tangannya.

Keajaiban pun terjadi beberapa detik setelah Ocin selesai menuliskan kalimatnya. Perubahan diawali dengan pandangan mata Ocin yang mulai kabur saat melihat pena. Selain itu, Ocin yang awalnya dalam posisi berdiri di depan toilet warung, kini dia merasakan pantatnya menepak kursi. Padahal saat itu dia tidak merasa pindah posisi untuk duduk. Dan memang tidak ada kursi di sekitar toilet warung. Perlahan pandangannya terlihat jelas kembali dan betapa terkejutnya dia saat melihat sekarang dirinya berada di....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Keming Dj
semoga kedepannya lebih bagus...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status