Share

9. Mabuk Cinta

"Bagaimana kabarmu, Say–"

Bibir pria itu langsung terkatup saat melihat kamar inap VIP itu sudah kosong.

Dimana Maura? Mengapa dia tidak ada?

Dengan tergesa, Radit segera keluar dari kamar inap itu lalu menemui suster jaga.

"Permisi, Sus."

"Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya seorang perawat yang berjaga di resepsionis itu.

"Saya mau tanya, kemana pasien atas nama Maura Cintya? Mengapa tidak ada di kamarnya?" tanya Raditya bingung dan gelisah.

"Pasien atas nama Maura sudah meninggalkan rumah sakit satu jam yang lalu, Tuan. Seorang pria paruh baya yang mengaku ayahnya meminta agar Maura bisa pulang hari ini. Dan karena keadaan Nona Maura sudah cukup baik, dokter pun menyetujuinya."

Mendengar itu, Radit langsung terhenyak.

'Ayahnya? Bukankah Maura sebatang kara?'

Dengan pikiran yang kalut dan penuh kebingungan, Radit pun meninggalkan area rawat inap itu. Berjalan sambil menempelkan benda pipih itu di telinganya.

Radit mencoba menghubungi Maura. Berharap kekasihnya itu mengangkat teleponnya.

Namun nihil, sejak siang tadi, ponsel wanita itu tidak aktif. Begitupun dengan nomor ponsel Jenny, asisten pribadi kekasihnya itu juga tidak bisa dihubungi.

'Maura... kamu dimana sih? Apa kamu marah?'

Sepanjang lorong rumah sakit itu, Radit terus saja menggumamkan Maura. Ia berpikir mungkinkah Maura marah karena Radit lebih memilih ibunya dan meninggalkan dirinya yang dalam keadaan sakit itu.

"Aku harus menemuinya. Ya, aku harus mendatangi apartemennya. Semoga saja Maura ada disana," ucap pria itu sambil berjalan tergesa-gesa menuju parkiran mobil.

Kunci mobil itu dia buka. Radit segera masuk ke dalam mobilnya lalu segera menyalakan mesin mobil mewah berwarna hitam metalik itu.

Belum sempat ia menginjak gas, tiba-tiba pria itu teringat sesuatu.

"Astaga! Wanita sialan itu aku tinggal."

"Ckkk... menyusahkan sekali sih," gerutunya.

Dengan kesal, Radit pun mematikan mesin mobil lalu keluar dari mobilnya. Ia tidak mungkin meninggalkan wanita itu. Karena jika sampai Alea besok tidak ada, bisa mati dirinya dicerca oleh kakeknya sendiri.

**

"Bangun!" titah Radit ketika ia sudah sampai di tujuan.

Pria itu memang menunggu sampai Alea selesai diobati. Ia tidak mau membuat masalah baru jika meninggalkan wanita itu di rumah sakit.

"Ehmm, udah sampai rumah ya, Mas?" Alea menggeliat sambil mengerjapkan matanya pelan-pelan. Ia memang tertidur sejak masuk ke dalam mobil. Mungkin ada efek dari obat yang dokter berikan padanya setelah luka di lututnya diobati.

"Di–dimana ini, Mas? kok bukan di rumah?" tanyanya bingung. Mata wanita itu celingukan memindai sekelilingnya. Sebuah basemen dengan jejeran mobil-mobil yang terparkir disana. Membuat Alea kebingungan dengan tempat yang asing ini.

"Kau mau ikut atau nunggu disini?" tanya pria itu dengan ekspresi yang seperti biasa dingin bak es batu.

"Ini dimana, Mas? Ngapain kita kesini? Kenapa kita gak pulang ke rumah?" tanyanya penasaran.

Radit mendelik tajam. Pria itu tidak suka jika Alea banyak bicara.

"Kau mau ikut atau tidak? Aku mau menemui pacarku!" tegasnya.

"Haah? A–apa? Pacar?" Alea nampak shock. Bisa-bisanya suaminya ini membawanya ke tempat pacarnya. Pria itu memang tidak punya perasaan.

"Kenapa? Gak suka? Yasudah, tunggu disini. Aku tidak tahu kapan kembali," ujar Radit sambil membuka pintu mobil mewah miliknya l.

Alea repleks menggelengkan kepalanya. Ia pun segera membuka pintu mobil, takut jika Radit meninggalkannya. Tempat ini sangat menyeramkan, mana mau Alea ditinggal di parkiran apartemen ini.

"Mas, tunggu. Jangan cepat-cepat! Kakiku masih sakit," ucap Alea setengah berteriak ketika pria itu berjalan cepat meninggalkannya.

Radit tidak mengindahkan teriakan istrinya. Ia terus berjalan dengan perasaan yang tak menentu. Yang ada dalam pikirannya saat ini hanyalah Maura. Rasanya tidak sabar untuk bertemu dengan kekasihnya itu dan meminta maaf atas kejadian siang tadi ketika ia terpaksa memilih untuk ikut ibunya.

Alea tertatih-tatih berjalan cepat mengejar suaminya. Meskipun masih terasa sakit, namun ia harus menahannya. Alea tidak mau sampai tersesat di bangunan yang besar ini.

Pria itu kini sudah sampai di depan pintu sebuah kamar bernomor 241.

Tanpa pikir panjang, Radit segera menempelkan card lock di sisi pintu tersebut. Apartemen ini memanglah miliknya. Radit membelinya khusus untuk Maura. Karena hal itulah, ia bisa dengan mudah mendapatkan akses kaluar masuk apartemen ini.

Klik.

Kunci pada pintu besi itu terbuka. Raditya segera masuk ke dalamnya disusul oleh Alea yang kini sudah berada di belakang pria itu. Nampak sekali nafas terengah-engah dari wanita cantik berwajah blasteran Indonesia-Perancis itu.

"Maura? Maura sayang?"

Radit terus memanggilnya sambil mencari ke seluruh ruangan di dalam apartemen tersebut. sementara Alea memilih untuk duduk di sofa ruang tamu. Rasanya begitu lelah sekali. Untungnya saja efek obat penahan nyeri itu masih ada. Jadi rasanya hanya sedikit ngilu saja meski dibawa berlari mengejar suaminya.

Mata wanita itu kini menatap ke arah figura besar yang ada di ruang tamu tersebut. Sebuah potret gadis muda yang cantik dan seksi. Alea tertegun, ia berpikir pasti ini adalah sosok Maura.

"Hemm... Pantas saja Mas Radit menggilainya. Ternyata dia sangat cantik," pujinya dalam hati. Alea merasa tidak percaya diri, padahal dilihat dari manapun, tentu saja Alea lebih cantik dan menarik dari pada Maura.

BRAK!

Alea yang tengah mengistirahatkan tubuhnya itu dibuat terkejut tatkala Radit menendang lemari hias yang menyekat ruang tamu dan ruang makan di apartemen itu. Untung saja lemari itu tidak menjatuhi Alea yang tengah duduk dengan kaki yang di selonjorkan di atas sofa.

"Aarrhhghhh!!! Kamu kemana sih, Maura? kamu kemana, Sayang?!" Pria itu menyugar rambutnya dengan kasar. Ia begitu frustasi karena tidak menemukan Maura di setiap penjuru apartemen ini. Ia juga tidak bisa menghubungi nomor ponsel kekasihnya itu.

Alea yang melihat suaminya seperti itu memilih untuk diam saja. Ia tidak mau jika sampai salah bicara yang nantinya akan membuat Radit murka.

Pria itu berjalan lunglai menuju dapur. Setelah berteriak dan puas meluapkan emosinya, ia pun merasa haus. Radit membuka lemari pendingin lalu meraih sebotol wine yang memang selalu tersedia disana.

Radit menjatuhkan tubuhnya tepat di sebelah Alea. Sebotol minuman di tangannya telah ia teguk hingga tandas.

"Mas, jangan banyak minum. Nanti kamu bisa mabuk. " Alea dengan ragu akhirnya memberanikan diri untuk berbicara. Ia tidak mau jika Radit sampai mabuk dan menyusahkannya.

"Persetan dengan mabuk. Kau tahu apa, Wanita sialan!" pekik pria itu seraya kembali menuju dapur dan membawa dua botol minuman lagi.

Teguk demi teguk pria itu meminum minuman beralkohol itu. Alea ingin menghentikannya, namun melihat tatapan tajam dan melotot dari mata Radit yang sudah kemerahan itu, membuat Alea bungkam. Ia takut jika suaminya itu malah akan menyakitinya.

Radit memegang kepalanya sendiri. Tiga botol minuman yang telah kosong kini berserakan di atas meja. Pria itu mengerjap-ngerjapkan matanya. Ia merasa jika kepalanya saat ini sangat berat dan ia mulai merasa pusing yang hebat.

"Hahaha.... Maura sayang, Kapan kamu pulang, Hah?"

"Aku merindukanmu, Sayang."

"Ayolah, temani aku sekarang," ucap pria itu tanpa sabar.

Cekuk. Cekuk.

Cegukkan itu tidak juga berhenti. Radit terus saja meracau tidak jelas. Badannya terasa lemas, ia hanya mampu bersender dan terus saja berbicara tak jelas seperti orang yang tidak waras.

Meskipun takut, namun Alea juga merasa kasihan pada suaminya. Ia segera bangkit lalu mencari air bening untuk ia berikan pada Raditya.

"Mas, minum dulu supaya mabuknya reda," ucap Alea kembali duduk di samping Radit lalu menyodorkan air bening itu pada suaminya.

Radit dengan kesal dan malas membuka matanya perlahan. cegukan itu belum juga reda. Ia segera meraih gelas di tangan Alea.

Namun saat tangannya meraih gelas itu, tak sengaja ia bersentuhan dengan tangan hangat Alea. Mata pria itu langsung tertuju intens pada wanita yang telah sah menjadi istrinya itu.

"Sayang ..."

**

Bersambung...

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status