Share

8. Perhatian

Tiiiinnnn...

BUUGH.

Suara klakson yang panjang beriringan dengan suara benda terjatuh dengan cukup kencang.

"Aduuhh, aaaaww... sakit." Seorang wanita mengaduh dan meringis kesakitan ketika seseorang tiba-tiba mendorongnya hingga ia tersungkur di pinggir jalan.

Alea, ia menahan sakit sambil menatap lekat wajah pria yang mendorongnya itu. Siapa lagi kalau bukan Raditya, suami yang tidak mengakuinya.

"Telat sedetik saja, mungkin kau sudah mati!" tegas Radit dengan ketus. Ia yang juga ikut terjatuh dengan posisi menindih tubuh Alea, langsung bangkit dan menepuk-nepuk jas miliknya yang sedikit kotor terkena jalanan aspal itu. Pria itu sedikit kesal, bisa-bisanya ia repleks menolong Alea saat sebuah mobil melaju kencang ke arahnya.

'Mengapa tidak aku biarkan saja wanita itu tertabrak dan mati? ' gumamnya.

Beberapa pasang mata memperhatikan mereka, namun tidak ada satupun yang menyapa maupun membantu Alea saat itu. Mungkin mereka berpikir jika sudah ada pria baik yang menolongnya. Padahal nyatanya, pria itu malah memakinya. Tidak peduli jika Alea sedang menahan sakit karena lutut kirinya dalam posisi ditekuk dan terseret saat Radit mendorongnya. Goresan di kulitnya pun menimbulkan noda merah dari darah yang menimbulkan rasa perih di kakinya.

"Apa kau buta, Haah? Harusnya aku biarkan saja mobil itu menabrakmu. Kau memang selalu menyusahkan!" ucap Radit belum puas memaki wanita itu. Sementara Alea mencoba untuk bangkit.

"Aaaww..." Alea kembali meringis. Kakinya tak mampu untuk menopang tubuhnya sendiri.

Radit mendengkus kesal. Tak ingin menjadi pusat perhatian orang-orang yang berjalan di trotoar itu, akhirnya ia pun membantu Alea untuk berdiri.

"Kau benar-benar sangat menyusahkan!"

Wanita itu berdiri dengan susah payah. Ia masih meringis menahan sakit. Sementara Radit malah membalikkan tubuhnya setelah membantunya berdiri. Pria itu berjalan mendahului Alea tanpa peduli apakah Alea bisa berjalan atau tidak?

Alea merasa kesal. Namun sisi lainnya masih bersyukur karena ia masih diberikan kesempatan untuk hidup. Walaupun hidupnya tetap tidak berguna karena selama tiga bulan mendatang, ia harus mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari suaminya sendiri.

Dengan tertatih-tatih, Alea berjalan mengikuti Radit yang berjalan mendahuluinya. Pria itu benar-bener tidak punya perasaan. Seharusnya Radit menuntun Alea karena wanita itu kesulitan berjalan karena lututnya yang terluka.

Drrrtttt... Drrrtttt...

Radit merogoh saku celana saat merasakan getar ponselnya. Matanya menyipit tatkala melihat siapa yang menghubunginya saat ini.

Repleks ia menghentikan langkahnya lalu menempelkan benda pipih itu di telinganya. Perasaannya mulai tidak enak mendapati penggilan tersebut.

"Apa? Kok ngedadak sih, Kek? Kan aku bisa jemput." Wajah pria itu terlihat sedikit gelisah.

"Yasudah kalau begitu. See you, Kek."

Raditya mematikan sambungan teleponnya. Ia menyugar wajahnya dengan kasar. Yang menghubunginya tadi adalah Kakeknya yaitu Tuan Wijaya. Pria itu mengabarkan bahwa ia akan datang besok. Pria tua yang sangat berkuasa itu mengatakan bahwa ia ingin bertemu dengan Alea, istri dari cucunya.

Tuan Wijaya memang belum bertemu dengan Alea. Ia juga tidak hadir dalam pernikahan cucunya tiga hari yang lalu karena sedang ada di Jepang untuk mengurus bisnisnya saat itu.

"SHIITTT!!! Kenapa sih Kakek harus pulang sekarang?" Pria itu membalikkan tubuhnya. Dengan kesal, ia menghampiri Alea yang tertinggal jauh darinya.

"Aahh!" Alea terkejut tatkala tangan kekar itu tiba-tiba meraih tubuhnya. Radit mengangkat tubuh Alea, menggendongnya apa bridal style menuju mobilnya terparkir saat ini.

Alea yang terkejut dengan perlakuan Radit itu dibuat terpana olehnya. Dalam posisi seperti ini, ia bisa melihat dengan jelas wajah tampan dengan rahang kekar, hidung bangir dan surai legam yang membuatnya terlihat menawan. Meski sangat dingin dan arogan, namun Alea akui jika pria itu sangat berkharisma.

"Jangan menatapku seperti itu! Dan jangan berpikir kalau aku bisa baik padamu. Aku hanya kesal karena kau sangat lelet!" ucap pria itu tanpa menoleh sama sekali. Mata tajamnya menatap fokus ke jalanan.

Alea memalingkan wajahnya. Harusnya ia sudah sudah tahu kalau Radit akan berbicara seperti itu. Pria menyebalkan itu tentu saja tidak mungkin bersikap baik padanya. Alea mulai menyimpulkan jika saat hubungan badan saat itu, Radit dalam pengaruh obat atau minuman keras.

'Sabar Alea, sabar. Hanya tiga bulan saja,' batinnya.

Keduanya kini sudah berada di dalam mobil. Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Radit membawanya meninggalkan area restoran itu.

Sepanjang jalan, Alea hanya terdiam sambil sesekali meringis merasakan perih di kakinya. Semakin lama, rasa sakit itu semakin menjadi-jadi.

"Mau kemana kita, Mas?" tanya Alea saat mobil mewah itu masuk ke sebuah rumah sakit besar.

"Kau tidak bisa melihat? Ini rumah sakit, bodoh!" jawabnya sarkas.

"I–iya aku tahu. Tapi mau ngapain, Mas? Apa Mas Radit sakit?" tanya Alea mulai khawatir. Meski pria itu selalu kasar padanya, namun ia sangat cemas jika terjadi sesuatu pada pria itu.

"Kau pikir kita akan pulang dengan luka di kakimu itu?"

Alea membulatkan bibirnya membentuk huruf O. Ia tidak menyangka jika Radit ternyata memperhatikannya.

"Aku gak apa-apa kok, Mas. Ini hanya luka kecil. Yaah sepertinya ada yang sobek juga sih. Ke klinik biasa juga cukup," ucapnya tidak enak hati. Alea tidak mau jika Radit terus mengatakan bahwa ia sangat merepotkan. Dari pada menolong tapi tidak ikhlas, lebih baik jangan menolong sekalian, ucapnya dalam hati.

"Jangan banyak komentar. Kau ini benar-benar sangat bawel dan menyebalkan. Sial sekali aku harus menikah denganmu," sindir pria itu lagi sambil memarkirkan mobilnya.

Alea menghela nafasnya. Mulai lagi Radit menghina dirinya. Kata-katanya itu pelan namun nyelekit di hati. Kadang Alea merasa bingung. Mengapa Radit tidak mirip dengan ayah maupun ibunya yang ramah dan lembut itu. Radit sangatlah arogan dan angkuh.

"Cepat keluar! Jangan buang waktuku. Sudah ditolong, merepotkan pula," ujarnya sambil membuka pintu mobil dan meminta Alea keluar.

Alea mencebik kesal. Andai pria itu tahu mengapa Alea sampai hampir tertabrak tadi. Gara-gara menangis dan bersedih, ia jadi tidak melihat sekelilingnya. Alea bahkan tak fokus dan tidak mendengar klakson dari mobil-mobil yang melaju cepat saat itu. Dalam pikirannya hanyalah kata-kata kasar dari Radit. Ia hanya berpikir bagaimana caranya agar bisa berpisah dengan cepat dari pria itu tanpa menunggu tiga bulan?

"Sus, saya titip wanita ini. Saya keluar sebentar. Jangan sampai dia kabur dari sini," celetuk Radit saat Alea tengah ditangani oleh suster yang tengah membersihkan lukanya.

"Baik, Pak."

"Mas mau kemana?" tanya Alea.

"Kau tidak usah banyak tanya. Kau istirahat saja disini. Jangan coba kabur apalagi pulang sendirian lagi!" ancam Radit dengan ketus.

"Masih lama kan, Sus?" tanya Raditya sebelum keluar dari ruang gawat darurat itu.

"Sekitar empat puluh menitan, Pak. Ada beberapa luka yang perlu dijahit," ucap Suster itu dengan ramah.

"Hemm.... Mau empat jam pun boleh, Sus. Lebih lama lebih bagus," sahutnya dengan sebelah bibir yang ditarik ke atas. Pria itu menyeringai ke arah Alea yang menatapnya bingung sekaligus kecewa itu.

'Ish nyebelin banget sih. Bukannya ditungguin, malah pergi begitu saja,' gerutu Alea saat Radit melengos pergi begitu saja tanpa pamit.

Sementara itu, Radit tersenyum lebar tatkala ia sampai di depan pintu ruang VIP itu. Sebenarnya ia sengaja membawa Alea ke rumah sakit yang megah ini. Karena ia ingin bertemu dengan seseorang.

"Bagaimana kabarmu, Say–"

**

Bersambung....

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status