Yue Tiānyin melirik meja di sebelahnya. Ia baru saja selesai bermeditasi ketika seorang murid yunior mengantarkan makanan, teh, serta beberapa perlengkapan lainnya. Semua diletakkan rapi di atas meja di samping tempatnya bermeditasi. Namun, dari sekian banyak hal yang ada di sana, pandangan Tiānyin hanya tertuju pada satu benda yang tampak mencolok.
Matanya menyipit. "Lampion?" gumamnya pelan, keningnya berkerut. Mengapa ada lampion di antara menu sarapan paginya?Dengan gerakan tenang, ia turun dari tempat tidurnya. Cahaya lembut pagi menembus kisi-kisi jendela, menerpa wajahnya yang selalu tampak tenang namun tak pernah kehilangan pesona. Ia mendekati meja, tatapannya tertuju pada lampion yang diletakkan tepat di tengah, dikelilingi oleh nampan berisi hidangan, teko teh, cangkir porselen berwarna giok, serta dupa beraroma cendana hitam yang masih mengepulkan asap tipis. Sebuah lilin kecil di sudut meja telah padam, menyisakan sedikit jejak lelehan lilin di dudukaFajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang menyapu Lembah Xīngyè, menandai dimulainya hari yang telah dinanti-nantikan oleh seluruh dunia kultivasi Kekaisaran Bìxiāo. Udara pagi terasa segar dengan embun yang masih menggantung di ujung rerumputan, sementara kabut tipis perlahan menghilang ditelan sinar matahari yang semakin terang.Perburuan Roh resmi dimulai dengan pawai besar para peserta yang selalu menjadi daya tarik utama bagi penonton. Sepanjang jalan menuju arena, para kultivator melangkah dengan penuh kebanggaan, mengenakan jubah kebesaran sekte masing-masing yang berkilauan di bawah sinar mentari. Warna-warni kain sutra dengan bordir emas dan perak menciptakan pemandangan yang memukau, bagaikan pelangi yang bergerak melintasi tanah.Penonton bersorak dengan antusias, melemparkan bunga-bunga segar sebagai tanda dukungan kepada kultivator favorit mereka. Aroma mawar, melati, dan peony bercampur dengan udara pagi yang sejuk, mencip
Huànyǐng menarik lengan Tiānyīn dengan semangat yang menggebu, membawanya keluar dari kedai teh yang masih dipenuhi diskusi hangat para kultivator. Langkah mereka meninggalkan hiruk-pikuk Desa Qiūyǔ, menuju jalan setapak yang dipenuhi dedaunan kuning dan jingga.Musim gugur telah mewarnai desa kecil ini dengan palet hangat yang menenangkan. Hujan ringan yang turun semalaman meninggalkan aroma tanah basah yang menyegarkan, berpadu dengan udara sejuk yang membuat paru-paru terasa bersih. Dedaunan berguguran perlahan, menari mengikuti irama angin yang berdesir lembut."Chénxī, dari bukit itu kita bisa melihat Lembah Xīngyè," ucap Huànyǐng sambil menunjuk ke arah sebuah bukit yang berdiri di sudut desa.Bukit itu memang terpencil, menjadi batas alami antara Lembah Xīngyè, Desa Qiūyǔ, dan Yīnluò Chéng. Pepohonan di sana tampak lebih rimbun, dengan warna-warni musim gugur yang memukau mata.Tiānyīn mengangguk
Angin musim gugur bertiup sejuk melalui Lembah Xīngyè, membawa aroma dedaunan kering yang berguguran dan sisa embun pagi. Matahari siang bersinar terang di atas lembah yang luas, menyinari puncak-puncak gunung yang menjulang tinggi dengan cahaya keemasan yang hangat.Lembah Malam Berbintang ini memang terkenal dengan pemandangan langit malamnya yang menakjubkan, namun di siang hari pun pemandangannya tak kalah memukau. Cahaya matahari memantul dari bebatuan dan aliran sungai kecil, menciptakan kilauan yang menenangkan mata.Kali ini, lembah yang biasanya sunyi itu menjadi pusat perhatian karena Perburuan Roh tahunan Kekaisaran Bìxiāo akan segera dimulai.Di Kota Suǒyún, hiruk-pikuk persiapan terasa di mana-mana. Kota yang dijuluki Awan Terkunci ini memang pantas menyandang nama tersebut—dikelilingi gunung-gunung tinggi dengan kabut tebal yang senantiasa menyelimuti, bagaikan awan yang terjebak dalam cengkeraman pegunungan.Penginapan-penginapan te
Sejak Jian Huànyǐng memilih untuk tetap tinggal di Yīnluò Chéng, situasi secara keseluruhan kembali terkendali, meskipun ketegangan masih terasa samar—terutama di antara sekte-sekte dan kekaisaran. Semua pihak bergerak dengan sangat hati-hati, bahkan Sekte Aliran Roh Suci dan Seratus Ramuan, yang tidak mengalami dampak terburuk dari insiden Bìxiāo Tiěwēi, tetap waspada dalam setiap langkah mereka. Namun, ada dua orang yang paling mengkhawatirkan situasi ini . Líng Zhì, Ketua Sekte Aliran Roh Suci dan Yāo Ménzhǔ, yang merasa bahwa masih ada konsekuensi dari peristiwa satu tahun lalu. Líng Zhì memerintahkan adiknya, Líng Qingyu, untuk mendeteksi keberadaan Jian Huànyǐng dan memastikan keadaannya baik-baik saja. Namun, Líng Qingyu terlihat lebih santai dalam menanggapi perintah tersebut. "Da Gē, jangan khawatir. Segel yang aku pasang terakhir kali pada
Mo Chén menggenggam cangkir teh, memutarnya pelan di tangan. Ekspresinya tetap santai, seolah tidak terlalu tertarik dengan tawaran Jìng Jué Wángyé."Aku, Mowang, tidak memiliki ambisi berlebih," ucapnya dengan nada ringan yang justru penuh makna. "Aku tidak ingin menjadi yang terhebat atau terkuat. Aku hanya ingin mencapai keabadian di jalan kultivasiku."Suaranya mengalir seperti air yang tenang, tetapi di baliknya terkandung pengingat halus tentang siapa dirinya sebenarnya.Pria yang bersama Jìng Jué Wángyé tersenyum, lalu berkata dengan nada yang seolah menguji."Aku mempercayai dirimu, Mowang. Tetapi sebagai putra Mo Ménzhǔ, calon ketua Sekte Pedang Iblis, benarkah kau tidak memiliki keinginan apa pun?"Mo Chén tertawa kecil, lalu menoleh dan menatap pria itu lebih lama, menganalisis wajahnya dengan serius."Sepertinya kau tidak asing. Tetapi entah di mana kita
Di Xiaoyun, ibu kota Bìxiāo, suasana istana Lán Tiān Gōng tetap tenang, tetapi di balik keheningan itu, intrik politik terus berputar seperti pusaran yang mengancam menelan siapa saja yang lengah.Mo Chén duduk dengan santai di sudut taman terpencil Lán Tiān Gōng. Di Yúnyǐn Tíng, Paviliun Kabut Tersembunyi, tempat yang sementara menjadi kediamannya di bawah pengawasan kekaisaran. Meskipun statusnya sebagai sandera, ia diperlakukan bak tamu istimewa—disediakan teh terbaik dan buah-buahan lezat, tetapi tetap terkurung di dalam istana, tanpa diizinkan meninggalkan Lán Tiān Gōng atau bertemu dengan siapa pun.Saat Mo Chén tengah menikmati tehnya dengan tenang, suara seseorang tiba-tiba memecah kesunyian."Sepertinya Mowang sedang merasa bosan hari ini?"Mo Chén, yang juga dijuluki Mowang, menoleh dengan gerakan malas. Di depannya berdiri dua pria. Salah satunya adalah Jìng Jué Wángyé, putra ketiga Kaisar Yǔhàn yang dikenalnya