Sesampainya di apartemen, Dylan memastikan Sarah masuk dengan selamat sebelum akhirnya bersandar di ambang pintu kamar Sarah. “Aku kasih kamu cuti tiga hari. Jangan pikirkan kerjaan dulu. Fokus buat tenangin diri.”
Sarah membuka mulut hendak membantah, tapi Dylan sudah mengangkat tangan, memberi isyarat agar ia tidak melanjutkan protesnya. “Aku nggak mau lihat kamu pingsan di kantor,” katanya tegas. Sarah akhirnya mengalah. “Baiklah. Thanks, Dylan.” Dylan mengangguk. “Aku bakal sering ngecek keadaan kamu. Dan kalau kamu butuh sesuatu, kamu tahu harus nelpon siapa.” Saat itu, bel apartemen berbunyi. Sarah melirik jam dinding. Sudah tengah malam, dan hanya ada satu orang yang kemungkinan besar berdiri di depan pintunya. Dylan berjalan ke pintu dan membukanya. Sebuah senyum kecil terukir di wajahnya saat melihat sosok yang berdiri di sana. “Thanks udah mau datang, Kate.” Kate—sahabat mereka sejak kuliah—menyandarkan tubuhnya ke kusen pintu dengan tangan bersedekap. “Aku udah siap dengan es krim dan film-film drama. aku bakal buat Sarah menangis sepuasnya malam ini.” Dylan tertawa kecil. “Bagus. Mungkin Sarah butuh itu.” Sarah mendesah pelan. “Aku nggak akan nangis.” Kate mendelik. “Kita lihat aja nanti.” Dylan menepuk bahu Kate sebelum berpamitan. “Jaga dia, oke?” Kate mengacungkan jempol. “Siap.” Saat Dylan pergi, Kate langsung menarik Sarah masuk ke dalam apartemen. Begitu melihat wajah sahabatnya yang masih terlihat kusut, ia menghela napas panjang. “Jadi, kamu patah hati?” Kate bertanya sambil meletakkan es krim dan beberapa bungkus cemilan di meja. Sarah tersenyum lemah. “Bisa dibilang begitu.” Kate si pemilik wajah cantik blasteran itu duduk di sofa, menepuk tempat di sebelahnya. “Oke, sini duduk. Ceritakan semuanya.” Sarah ragu sejenak, tapi akhirnya ia duduk di sebelah Kate. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mulai bercerita. Tentang Liam. Tentang istrinya yang tiba-tiba datang dan melemparkan foto-foto itu. Tentang kebohongan yang selama ini ia percayai sebagai cinta. Kate mendengarkan tanpa menyela, hanya sesekali mengangguk atau mendesah kesal. Saat Sarah selesai bercerita, Kate meraih es krim dan menyodorkannya. “Ambil ini. Kamu butuh gula.” Sarah tertawa kecil. “Kamu selalu bilang gula adalah solusi segalanya.” “Karena memang begitu.” Kate tersenyum. “Dengar, Sarah. Aku tahu ini berat. Aku tahu rasanya dikhianati oleh seseorang yang kamu percayai. Tapi ini bukan akhir dunia.” Sarah menatap sahabatnya. “Tapi rasanya seperti itu.” Kate mengangguk. “Aku tahu. Tapi percayalah, waktu akan menyembuhkan.” Sarah menghela napas, lalu mengambil sendok dan mulai menyendok es krimnya. Malam itu, mereka menghabiskan waktu dengan menonton film, membicarakan banyak hal—tentang kuliah dulu, tentang kenangan-kenangan lucu mereka, apa pun yang bisa membuat Sarah merasa lebih baik. Dan akhirnya Sarah bisa tertawa—meskipun hanya sebentar. *** Satu hari cuti berjalan dengan baik. Sarah merasa lebih baik dari kemarin, meski sesekali rasa sesak itu masih datang tanpa permisi. Setidaknya, hari ini ia sudah bisa tersenyum. Ia sudah memblokir dan menghapus semua kontak Liam. Semua pesan, foto, bahkan kenangan yang berusaha menyelinap masuk ke dalam pikirannya—ia usir jauh-jauh. Sore itu, ia dan Kate berencana keluar untuk mencari udara segar. Namun, saat mereka akan keluar dari apartemen, ponsel Kate berdering. Kate mengernyitkan dahi saat melihat nama yang muncul di layar. “Kakakku,” gumamnya sebelum mengangkat telepon. Sarah memperhatikan ekspresi Kate yang awalnya biasa saja, kemudian berubah panik. “Apa? Sekarang?” Kate melirik Sarah sesaat sebelum kembali berbicara di telepon. “Oke, aku ke sana.” Begitu panggilan berakhir, Kate menatap Sarah dengan wajah penuh permintaan maaf. “Sarah, aku harus pergi. Kamu tau, Jane lagi hamil besar dan dia mau melahirkan. Masalahnya, suaminya masih di luar kota.” Sarah langsung menggenggam tangan Kate. “Ya ampun, Kate. Kamu harus pergi! Aku bisa sendiri di sini, atau kamu mau aku temani?” “Nggak perlu. Kamu baik-baik disini, aku janji bakal balik besok,” kata Kate, masih ragu meninggalkan Sarah sendirian. Sarah tersenyum meyakinkan. “Jangan pikirin aku. Kakak kamu lebih butuh kamu.” Setelah memastikan Sarah benar-benar baik-baik saja, Kate akhirnya pergi. Kini Sarah kembali sendiri di apartemennya. Dapat kabar dari Kate yang harus pergi, Dylan mengiriminya pesan: [Aku nanti mampir pas pulang kerja. Pastikan kamu makan sebelum aku datang, atau kita bisa makan bareng. Mau aku bawain sesuatu?] Sarah tersenyum kecil membaca pesannya. Dylan memang selalu begitu—selalu memastikan ia baik-baik saja. Sarah: [Datang aja. Aku mau masak sendiri.] Setelah mengirim balasan, Sarah mulai sibuk di dapur. Tangannya bergerak lincah menyiapkan bahan-bahan. Masakan selalu menjadi terapi baginya, sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya dari hal-hal yang menyakitkan. Ketika ia sedang sibuk memotong sayuran, bel apartemennya berbunyi. Sarah melirik jam di dinding dapur. Masih satu jam sebelum jam pulang kantor. Ia menghela napas, tersenyum kecil. “Mentang-mentang bos, pulang seenaknya,” gumamnya sambil membersihkan tangan di celemek, lalu melepasnya sebelum berjalan ke pintu. Namun, begitu pintu terbuka, senyum di wajahnya langsung lenyap. Bukan Dylan yang berdiri di sana. Liam. ***Sarah melahirkan dengan perjuangan luar biasa. Setiap tarikan napasnya semakin berat, dan rasa sakit semakin intens. Namun, ia tak pernah melepaskan genggaman tangan Liam, yang terus memberikan kata-kata semangat. "Kamu kuat, Sarah. Bayimu butuh kamu," Liam berbisik, berusaha mengalihkan pikirannya dari kepedihan yang menyelimuti tubuh Sarah. Ia melihat wajahnya yang tertekuk, berjuang melawan rasa sakit, dan merasa tak bisa berbuat banyak selain berada di sisinya. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, tangisan seorang bayi memenuhi ruang persalinan. Bayi itu, yang akhirnya keluar dengan selamat, menangis keras, membangkitkan perasaan lega yang luar biasa dalam diri Sarah. Matanya yang kelelahan menatap bayi kecilnya dengan cinta yang mendalam. "Selamat, Ibu Sarah," kata dokter dengan senyum penuh kebahagiaan. "Ini bayi perempuan, sehat, sempurna." Sarah mengangguk pelan, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Liam yang berdiri di sampingnya, meletakkan tangan
Sejak malam itu, Liam semakin sering berkunjung. Selalu dengan alasan yang masuk akal—membawa makanan, membantu Sarah dengan kehamilannya, atau sekadar menemani Noah bermain. Suatu malam, ketika Noah sudah tertidur, Sarah dan Liam duduk di balkon apartemen, menikmati udara malam yang sejuk. "Sarah," Liam membuka suara, suaranya pelan namun penuh makna. "Aku tau kamu masih menunggu Dylan. Aku nggak akan pernah paksa kamu untuk lupain dia. Tapi... izin kan aku ada di sisi kamu. Aku mau kamu tau, aku di sini bukan sekadar sebagai teman." Sarah terdiam, menatap langit malam dengan pandangan kosong. "Liam... aku nggak bisa." Liam menatapnya dalam. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tau aku selalu ada buat kamu." Hati Sarah semakin bimbang. Di satu sisi, ia masih berpegang pada keyakinannya bahwa Dylan akan kembali. Namun di sisi lain, kehadiran Liam yang begitu konsisten perlahan mulai menggoyahkan pertahanannya. Beberapa minggu berlalu. Kehidupan Sarah berjalan sep
Sarah duduk di sudut kafe dekat jendela, menyesap teh hangatnya sambil sesekali melirik ke arah gerbang sekolah Noah. Hari ini, Noah ada kegiatan baby class, jadi ia harus menunggu diluar. Saat matanya menyapu sekitar, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Di seberang jalan, di antara kerumunan orang yang lalu-lalang, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Dylan.Sarah nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ia memicingkan mata, memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Pria itu berjalan cepat, mengenakan jaket gelap dan celana kasual. Rambutnya lebih panjang dari yang ia ingat, dan wajahnya tampak lebih tirus. Tapi itu Dylan. Ia yakin. Tanpa berpikir panjang, Sarah bangkit dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang. “Dylan…?” suaranya hampir tak terdengar saat ia melangkah keluar kafe, mengikuti sosok itu yang mulai menjauh. Langkahnya cepat, hampir berlari, menyeberangi jalan tanpa memedulikan kendaraan yang melintas. Namun, saat ia sampai di t
Enam bulan berlalu sejak kepergian Dylan. Waktu terus berjalan, meski bagi Sarah, rasanya masih seperti kemarin. Noah kini sudah mulai berjalan. Langkah-langkah kecilnya sering kali membuat Sarah terharu, terutama saat ia terjatuh lalu bangkit lagi dengan semangat. Setiap kali melihat Noah, hatinya terasa hangat sekaligus pedih. Wajah putranya adalah versi kecil dari Dylan—dengan mata yang tajam namun lembut, senyum yang khas, dan ekspresi yang begitu familiar. Seolah Dylan masih ada di sini, hidup dalam diri Noah. Suatu sore, Sarah duduk di lantai ruang tamu, memperhatikan Noah yang berusaha berjalan menuju dirinya. "Ayo, Sayang… sini ke Mama," panggilnya lembut. Noah tertawa kecil, melangkah perlahan dengan tangan terangkat, mencari keseimbangan. Saat berhasil mencapai Sarah, ia langsung meraih wajah ibunya dengan tangan mungilnya, tertawa senang. Sarah tersenyum, matanya terasa panas. Ia memeluk Noah erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. "Kamu s
Sebulan berlalu sejak kepulangan mereka dari luar negeri, tetapi tidak ada kabar baik yang datang. Dylan tetap dinyatakan hilang. Namun, di hati Sarah, keyakinannya belum pudar. Suatu pagi, saat Noah tertidur di kamar, Sarah duduk di ruang tamu bersama Kate. Udara terasa berat, sama seperti beban di hati mereka. Sarah menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kate, kamu nggak usah terlalu khawatir soal aku dan Noah. Aku bisa jaga diri." Kate menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu menggeleng tegas. "Aku nggak bisa, Sarah. Aku udah janji sama Dylan. Salah satu permintaannya sebelum pergi adalah memastikan kamu dan Noah baik-baik saja." Sarah menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan. "Aku tahu, tapi kamu juga punya kehidupan, Kate. Aku nggak mau kamu terus merasa bertanggung jawab untuk sesuatu yang seharusnya bukan beban kamu." Kate terdiam sejenak sebelum menatap Sarah penuh arti. "Ini bukan beban, Sarah. Kamu itu sahabat aku. Noah seperti ke
Kabar yang datang pagi itu masih belum membawa kepastian. Tim pencari hanya menemukan beberapa barang milik Dylan—jam tangan, ponselnya yang rusak, dan sebagian pakaian yang diyakini miliknya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ditemukan. Ayah dan ibu tiri Dylan tampak frustrasi dengan perkembangan pencarian yang terasa lambat. Mereka memutuskan untuk terbang langsung ke luar negeri untuk mengurus pencarian secara langsung. Sarah, yang tak bisa tinggal diam, memutuskan untuk ikut bersama Noah dan Kate. Perjalanan itu terasa panjang bagi Sarah. Duduk di pesawat dengan Noah tertidur di pangkuannya, pikirannya terus dipenuhi ketakutan. Bagaimana jika Dylan benar-benar tidak kembali? Bagaimana jika ia harus menghadapi kenyataan kehilangan pria yang baru saja ia sadari betapa besar cintanya? Kate menggenggam tangannya erat, seolah bisa merasakan kegundahan yang berputar di benaknya. “Sarah, kita belum tau apa pun dengan pasti. Jangan berpikir yang buruk dulu.”