Cahaya matahari yang menerobos celah tirai membuat Sarah mengerjap pelan. Kepalanya terasa berat, pikirannya masih samar, seperti tersesat di antara mimpi dan kenyataan. Tubuhnya terasa hangat, dan ada sesuatu yang membuatnya enggan bergerak.
Saat kesadarannya perlahan kembali, Sarah menyadari bahwa ia sedang berbaring dalam pelukan seseorang. Lengan kuat melingkari pinggangnya, napas hangat menyapu tengkuknya. Jantungnya berdegup lebih cepat saat ia menoleh perlahan. Dylan. Matanya membelalak, napasnya tercekat. Semua kejadian tadi malam menghantamnya seperti gelombang besar—kehangatan, bisikan, ciuman, sentuhan… Mereka telah melewati batas. Sarah buru-buru menarik selimut menutupi tubuhnya. Dylan masih terlelap, wajahnya terlihat begitu damai, berbeda dengan kekacauan yang kini memenuhi benak Sarah. Ia menatap pria itu, mengingat bagaimana mereka saling melepaskan diri dari kendali semalaman. Seolah-olah rasa sakit yang seharusnya ia rasakan untuk pertama kali lenyap ditelan hasrat yang terus membara. Mereka tak hanya melakukannya sekali, tapi berkali-kali—setiap kali lebih intens, seakan ingin menghapus semua keraguan dan menggantinya dengan kebersamaan yang begitu mengikat. Tapi kini, di bawah cahaya pagi, semuanya terasa berbeda. Sarah duduk perlahan, berusaha tidak membangunkan Dylan. Tubuhnya masih lelah, tetapi pikirannya jauh lebih sibuk. Ia tak bisa membiarkan perasaan ini menguasainya. Namun, saat ia hendak turun dari tempat tidur, tangan Dylan tiba-tiba bergerak, menggenggam pergelangan tangannya dengan lembut. “Kamu mau ke mana?” suara Dylan serak, matanya masih setengah terpejam. Sarah menelan ludah, menunduk tanpa berani menatapnya. “Aku… aku mau pergi.” Dylan mengernyit, kemudian bangun dan duduk di hadapannya. Selimut melorot, memperlihatkan sebagian tubuhnya, Sarah langsung memalingkan wajah. “Kenapa?” Dylan menatapnya tajam, kini sepenuhnya sadar. Sarah menggeleng. “Kita nggak seharusnya melakukan ini, Dylan.” Dylan terdiam sesaat, lalu menghela napas. Ia meraih dagu Sarah, memaksanya menatapnya. “Jangan bilang kamu menyesal.” Sarah ingin menjawab, tetapi lidahnya terasa kelu. Ia tidak tahu apakah ia menyesali semuanya, atau justru takut dengan apa yang akan terjadi selanjutnya. Dylan menatapnya lebih dalam, lalu tersenyum tipis. “Kita udah dewasa, Sarah. Kita tau apa yang kita lakukan.” “Tapi kita mabuk.” “Dan itu buat kamu melupakan Liam, walau hanya semalam,” Dylan membalas dengan nada serius. “Aku nggak mau berpura-pura kalau ini nggak ada artinya buat aku. Aku mau tau… apa ini juga berarti buat kamu?” Sarah terdiam. Jantungnya berdetak semakin cepat. Ia tidak bisa menjawab. Tidak untuk sekarang. “Aku nggak tau, aku butuh waktu.” akhirnya Sarah berbisik. Dylan tidak memaksanya. Ia hanya menatapnya sejenak sebelum akhirnya mengangguk. Sarah tahu, mulai hari ini, hubungan mereka tidak akan pernah sama lagi. --- Sarah duduk di meja dapur, jari-jarinya melingkari cangkir kopi yang masih mengepul. Namun, tak ada niat untuk menyesapnya. Pikirannya penuh dengan berbagai pertanyaan yang tak bisa ia jawab sendiri. Di hadapannya, Dylan duduk diam, menatapnya tanpa berkedip. Matanya dipenuhi keseriusan, tetapi Sarah tahu, di balik itu, ada ketakutan yang sama seperti yang ia rasakan. “Apa yang harus aku lakuin sekarang?” Sarah akhirnya bersuara, suaranya lirih nyaris seperti bisikan. “Gimana kalau aku sampai… hamil?” Dylan terkejut, tetapi hanya sesaat. Wajahnya kemudian mengeras, menunjukkan tekad yang tak tergoyahkan. “Kalau itu yang terjadi, aku bakal tanggung jawab, Sarah.” Sarah menatapnya, berusaha membaca ketulusan di balik kata-kata itu. “Dylan—” “Aku serius.” Dylan memotongnya. “Kalau kamu benaran hamil, jangan pernah pikir untuk menggugurkannya.” Sarah mengerjap, sedikit kaget dengan nada suaranya yang begitu tegas. “Aku akan nikahi kamu. Aku akan ada untuk kamu dan anak kita, jika memang itu yang terjadi,” lanjut Dylan. Sarah terdiam. Ia bahkan belum tahu apakah ia benar-benar hamil atau tidak, tetapi Dylan sudah lebih dulu mengambil sikap. Hening mengisi ruang di antara mereka sebelum akhirnya Dylan menghela napas panjang. “Aku minta maaf, Sarah.” Sarah menatapnya. “Untuk apa?” “Karena aku nggak bisa menahan diri semalam,” jawab Dylan dengan suara rendah. “Aku tahu kamu masih… kalau itu adalah pertama kalinya buat kamu. Aku harusnya lebih hati-hati.” Sarah menggigit bibirnya. Ia tidak tahu harus berkata apa. Yang ia tahu, ia juga tidak sepenuhnya menyesali apa yang terjadi, karena ia juga membiarkannya terjadi. “Aku nggak nyalahin kamu,” akhirnya ia berbisik. “Aku masih… bingung.” Dylan mengangguk mengerti. “Kamu butuh waktu. Aku paham.” Mereka kembali terdiam. Kopi di tangan Sarah mulai mendingin, begitu juga dengan ketegangan di antara mereka yang perlahan berubah menjadi sesuatu yang lebih berat—sesuatu yang belum mereka tentukan arahnya. Namun satu hal yang pasti, malam itu telah mengubah segalanya. Dan mereka harus menghadapi konsekuensinya, bersama atau tidak. ***Sarah melahirkan dengan perjuangan luar biasa. Setiap tarikan napasnya semakin berat, dan rasa sakit semakin intens. Namun, ia tak pernah melepaskan genggaman tangan Liam, yang terus memberikan kata-kata semangat. "Kamu kuat, Sarah. Bayimu butuh kamu," Liam berbisik, berusaha mengalihkan pikirannya dari kepedihan yang menyelimuti tubuh Sarah. Ia melihat wajahnya yang tertekuk, berjuang melawan rasa sakit, dan merasa tak bisa berbuat banyak selain berada di sisinya. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, tangisan seorang bayi memenuhi ruang persalinan. Bayi itu, yang akhirnya keluar dengan selamat, menangis keras, membangkitkan perasaan lega yang luar biasa dalam diri Sarah. Matanya yang kelelahan menatap bayi kecilnya dengan cinta yang mendalam. "Selamat, Ibu Sarah," kata dokter dengan senyum penuh kebahagiaan. "Ini bayi perempuan, sehat, sempurna." Sarah mengangguk pelan, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Liam yang berdiri di sampingnya, meletakkan tangan
Sejak malam itu, Liam semakin sering berkunjung. Selalu dengan alasan yang masuk akal—membawa makanan, membantu Sarah dengan kehamilannya, atau sekadar menemani Noah bermain. Suatu malam, ketika Noah sudah tertidur, Sarah dan Liam duduk di balkon apartemen, menikmati udara malam yang sejuk. "Sarah," Liam membuka suara, suaranya pelan namun penuh makna. "Aku tau kamu masih menunggu Dylan. Aku nggak akan pernah paksa kamu untuk lupain dia. Tapi... izin kan aku ada di sisi kamu. Aku mau kamu tau, aku di sini bukan sekadar sebagai teman." Sarah terdiam, menatap langit malam dengan pandangan kosong. "Liam... aku nggak bisa." Liam menatapnya dalam. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tau aku selalu ada buat kamu." Hati Sarah semakin bimbang. Di satu sisi, ia masih berpegang pada keyakinannya bahwa Dylan akan kembali. Namun di sisi lain, kehadiran Liam yang begitu konsisten perlahan mulai menggoyahkan pertahanannya. Beberapa minggu berlalu. Kehidupan Sarah berjalan sep
Sarah duduk di sudut kafe dekat jendela, menyesap teh hangatnya sambil sesekali melirik ke arah gerbang sekolah Noah. Hari ini, Noah ada kegiatan baby class, jadi ia harus menunggu diluar. Saat matanya menyapu sekitar, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Di seberang jalan, di antara kerumunan orang yang lalu-lalang, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Dylan.Sarah nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ia memicingkan mata, memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Pria itu berjalan cepat, mengenakan jaket gelap dan celana kasual. Rambutnya lebih panjang dari yang ia ingat, dan wajahnya tampak lebih tirus. Tapi itu Dylan. Ia yakin. Tanpa berpikir panjang, Sarah bangkit dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang. “Dylan…?” suaranya hampir tak terdengar saat ia melangkah keluar kafe, mengikuti sosok itu yang mulai menjauh. Langkahnya cepat, hampir berlari, menyeberangi jalan tanpa memedulikan kendaraan yang melintas. Namun, saat ia sampai di t
Enam bulan berlalu sejak kepergian Dylan. Waktu terus berjalan, meski bagi Sarah, rasanya masih seperti kemarin. Noah kini sudah mulai berjalan. Langkah-langkah kecilnya sering kali membuat Sarah terharu, terutama saat ia terjatuh lalu bangkit lagi dengan semangat. Setiap kali melihat Noah, hatinya terasa hangat sekaligus pedih. Wajah putranya adalah versi kecil dari Dylan—dengan mata yang tajam namun lembut, senyum yang khas, dan ekspresi yang begitu familiar. Seolah Dylan masih ada di sini, hidup dalam diri Noah. Suatu sore, Sarah duduk di lantai ruang tamu, memperhatikan Noah yang berusaha berjalan menuju dirinya. "Ayo, Sayang… sini ke Mama," panggilnya lembut. Noah tertawa kecil, melangkah perlahan dengan tangan terangkat, mencari keseimbangan. Saat berhasil mencapai Sarah, ia langsung meraih wajah ibunya dengan tangan mungilnya, tertawa senang. Sarah tersenyum, matanya terasa panas. Ia memeluk Noah erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. "Kamu s
Sebulan berlalu sejak kepulangan mereka dari luar negeri, tetapi tidak ada kabar baik yang datang. Dylan tetap dinyatakan hilang. Namun, di hati Sarah, keyakinannya belum pudar. Suatu pagi, saat Noah tertidur di kamar, Sarah duduk di ruang tamu bersama Kate. Udara terasa berat, sama seperti beban di hati mereka. Sarah menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kate, kamu nggak usah terlalu khawatir soal aku dan Noah. Aku bisa jaga diri." Kate menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu menggeleng tegas. "Aku nggak bisa, Sarah. Aku udah janji sama Dylan. Salah satu permintaannya sebelum pergi adalah memastikan kamu dan Noah baik-baik saja." Sarah menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan. "Aku tahu, tapi kamu juga punya kehidupan, Kate. Aku nggak mau kamu terus merasa bertanggung jawab untuk sesuatu yang seharusnya bukan beban kamu." Kate terdiam sejenak sebelum menatap Sarah penuh arti. "Ini bukan beban, Sarah. Kamu itu sahabat aku. Noah seperti ke
Kabar yang datang pagi itu masih belum membawa kepastian. Tim pencari hanya menemukan beberapa barang milik Dylan—jam tangan, ponselnya yang rusak, dan sebagian pakaian yang diyakini miliknya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ditemukan. Ayah dan ibu tiri Dylan tampak frustrasi dengan perkembangan pencarian yang terasa lambat. Mereka memutuskan untuk terbang langsung ke luar negeri untuk mengurus pencarian secara langsung. Sarah, yang tak bisa tinggal diam, memutuskan untuk ikut bersama Noah dan Kate. Perjalanan itu terasa panjang bagi Sarah. Duduk di pesawat dengan Noah tertidur di pangkuannya, pikirannya terus dipenuhi ketakutan. Bagaimana jika Dylan benar-benar tidak kembali? Bagaimana jika ia harus menghadapi kenyataan kehilangan pria yang baru saja ia sadari betapa besar cintanya? Kate menggenggam tangannya erat, seolah bisa merasakan kegundahan yang berputar di benaknya. “Sarah, kita belum tau apa pun dengan pasti. Jangan berpikir yang buruk dulu.”