Hari-hari berlalu dengan cepat, tetapi tidak dengan kecanggungan yang kini menggantung di antara Sarah dan Dylan.
Di kantor, mereka berusaha bersikap profesional seperti biasa, namun nyatanya, ada tembok tak kasat mata yang memisahkan mereka. Dylan masih perhatian seperti sebelumnya, tapi ada keraguan dalam setiap gerak-geriknya. Sementara itu, Sarah sering kali kehilangan fokus, pikirannya terus dipenuhi oleh kejadian malam itu. Dylan sesekali mencuri pandang ke arah Sarah, tetapi ketika tatapan mereka bertemu, Sarah buru-buru mengalihkan pandangannya. Ia tidak tahu bagaimana harus bersikap. Perasaan bersalah, bingung, dan entah apa lagi bercampur menjadi satu. Di sisi lain, Dylan masih mencari cara untuk berbicara dengan Sarah tanpa membuat suasana semakin canggung. Ia tahu mereka harus membahas ini, harus mencari jalan keluar, tetapi kapan waktu yang tepat? Sore itu, saat kantor mulai sepi, Dylan akhirnya memberanikan diri mengetuk pintu ruang kerja Sarah. "Sarah, bisa kita bicara sebentar?" Sarah yang sedang membereskan meja kerjanya terdiam sejenak, sebelum akhirnya mengangguk pelan. "Ya. Ada apa?" Dylan menutup pintu di belakangnya, lalu menarik napas dalam. "Aku nggak suka kayak gini, Sarah. Kita nggak bisa terus bersikap seolah-olah nggak pernah terjadi apa-apa." Sarah menggenggam tangannya sendiri, berusaha mengendalikan perasaannya. "Aku tahu." "Terus?" Dylan menatapnya lekat. "Apa yang akan kita lakukan?" Sarah menghela napas. "Aku juga nggak tahu, Dylan. Aku nggak bisa putuskan sekarang." Dylan mengangguk. "Aku nggak akan maksa kamu, tapi aku mau kamu tau satu hal." Sarah menatapnya ragu. "Apa?" "Aku tidak menyesali apa yang sudah terjadi. Tapi aku mau pastikan kamu juga tidak menyesalinya." Sarah terdiam cukup lama sebelum akhirnya menjawab, "Aku nggak tahu, Dylan. Aku cuma takut." Dylan mendekat, menatapnya penuh kesungguhan. "Takut apa?" Sarah tersenyum miris. "Takut semuanya berubah." Dylan terdiam sejenak, lalu berkata dengan suara lembut, "Kamu nggak sendirian, Sarah. Apapun yang terjadi, aku akan selalu ada untuk kamu." Sarah terdiam, setidaknya ia merasa sedikit lebih tenang. Namun, apakah itu cukup? Ia masih belum tau. *** Sarah berusaha kembali menjalani hari-harinya seperti biasa, mencoba meyakinkan dirinya sendiri bahwa malam itu tidak lebih dari sebuah kesalahan yang terjadi dalam keadaan mabuk. Ia berharap semuanya bisa kembali normal, bahwa Dylan tidak akan membahasnya lagi, dan yang paling penting—ia tidak hamil. Setiap pagi, saat ia menatap bayangannya di cermin, ada kecemasan yang tidak bisa ia kendalikan. Ia mulai menghitung hari, mencatat setiap perubahan kecil pada tubuhnya. Ia tidak siap menghadapi kemungkinan itu. Sementara itu, Dylan justru berharap sebaliknya. Baginya, jika Sarah benar-benar mengandung anaknya, maka ia punya alasan kuat untuk mempertahankannya. Itu satu-satunya cara agar ia bisa memiliki Sarah tanpa penolakan. Dylan tidak pernah mengatakan ini secara langsung, tetapi dari caranya memperhatikan Sarah, cara ia selalu bertanya apakah Sarah baik-baik saja, Sarah bisa merasakan ada sesuatu di benak pria itu. Sore itu, saat mereka hendak pulang, Dylan menunggu di depan mobilnya. Saat Sarah keluar dari gedung kantor, pria itu segera menghampirinya. "Aku antar pulang," tawar Dylan. Sarah menggeleng cepat. "Nggak usah, aku bisa sendiri." Dylan tetap bersikeras. "Sarah, aku cuma mau pastikan kamu baik-baik saja." "Aku baik-baik aja, Dylan," jawab Sarah dengan nada datar, mencoba menghindari tatapan pria itu. Dylan menghela napas. "Apa kamu sudah mengecek... maksud aku, soal kemungkinan—" "Dylan!" Sarah langsung memotong, matanya melebar. "Aku nggak mau bahas itu sekarang!" Dylan terdiam sejenak, lalu mengangguk. "Oke. Aku nggak akan memaksa. Tapi kalau kamu butuh sesuatu, kapan aja... kamu tahu aku selalu ada." Sarah tidak menjawab dan segera berjalan menuju mobilnya. Namun, di dalam hatinya, ia tahu Dylan tidak akan menyerah begitu saja. Dan yang lebih menakutkan, ia tidak tahu apa yang akan ia lakukan jika ternyata ia benar-benar hamil. ***Sarah melahirkan dengan perjuangan luar biasa. Setiap tarikan napasnya semakin berat, dan rasa sakit semakin intens. Namun, ia tak pernah melepaskan genggaman tangan Liam, yang terus memberikan kata-kata semangat. "Kamu kuat, Sarah. Bayimu butuh kamu," Liam berbisik, berusaha mengalihkan pikirannya dari kepedihan yang menyelimuti tubuh Sarah. Ia melihat wajahnya yang tertekuk, berjuang melawan rasa sakit, dan merasa tak bisa berbuat banyak selain berada di sisinya. Akhirnya, setelah beberapa saat yang penuh ketegangan, tangisan seorang bayi memenuhi ruang persalinan. Bayi itu, yang akhirnya keluar dengan selamat, menangis keras, membangkitkan perasaan lega yang luar biasa dalam diri Sarah. Matanya yang kelelahan menatap bayi kecilnya dengan cinta yang mendalam. "Selamat, Ibu Sarah," kata dokter dengan senyum penuh kebahagiaan. "Ini bayi perempuan, sehat, sempurna." Sarah mengangguk pelan, air mata kebahagiaan mengalir di pipinya. Liam yang berdiri di sampingnya, meletakkan tangan
Sejak malam itu, Liam semakin sering berkunjung. Selalu dengan alasan yang masuk akal—membawa makanan, membantu Sarah dengan kehamilannya, atau sekadar menemani Noah bermain. Suatu malam, ketika Noah sudah tertidur, Sarah dan Liam duduk di balkon apartemen, menikmati udara malam yang sejuk. "Sarah," Liam membuka suara, suaranya pelan namun penuh makna. "Aku tau kamu masih menunggu Dylan. Aku nggak akan pernah paksa kamu untuk lupain dia. Tapi... izin kan aku ada di sisi kamu. Aku mau kamu tau, aku di sini bukan sekadar sebagai teman." Sarah terdiam, menatap langit malam dengan pandangan kosong. "Liam... aku nggak bisa." Liam menatapnya dalam. "Aku nggak minta jawaban sekarang. Aku cuma mau kamu tau aku selalu ada buat kamu." Hati Sarah semakin bimbang. Di satu sisi, ia masih berpegang pada keyakinannya bahwa Dylan akan kembali. Namun di sisi lain, kehadiran Liam yang begitu konsisten perlahan mulai menggoyahkan pertahanannya. Beberapa minggu berlalu. Kehidupan Sarah berjalan sep
Sarah duduk di sudut kafe dekat jendela, menyesap teh hangatnya sambil sesekali melirik ke arah gerbang sekolah Noah. Hari ini, Noah ada kegiatan baby class, jadi ia harus menunggu diluar. Saat matanya menyapu sekitar, tiba-tiba jantungnya berdegup kencang. Di seberang jalan, di antara kerumunan orang yang lalu-lalang, ia melihat seseorang yang sangat dikenalnya. Dylan.Sarah nyaris menjatuhkan cangkirnya. Ia memicingkan mata, memastikan bahwa ia tidak sedang berhalusinasi. Pria itu berjalan cepat, mengenakan jaket gelap dan celana kasual. Rambutnya lebih panjang dari yang ia ingat, dan wajahnya tampak lebih tirus. Tapi itu Dylan. Ia yakin. Tanpa berpikir panjang, Sarah bangkit dari kursinya. Jantungnya berdegup kencang. “Dylan…?” suaranya hampir tak terdengar saat ia melangkah keluar kafe, mengikuti sosok itu yang mulai menjauh. Langkahnya cepat, hampir berlari, menyeberangi jalan tanpa memedulikan kendaraan yang melintas. Namun, saat ia sampai di t
Enam bulan berlalu sejak kepergian Dylan. Waktu terus berjalan, meski bagi Sarah, rasanya masih seperti kemarin. Noah kini sudah mulai berjalan. Langkah-langkah kecilnya sering kali membuat Sarah terharu, terutama saat ia terjatuh lalu bangkit lagi dengan semangat. Setiap kali melihat Noah, hatinya terasa hangat sekaligus pedih. Wajah putranya adalah versi kecil dari Dylan—dengan mata yang tajam namun lembut, senyum yang khas, dan ekspresi yang begitu familiar. Seolah Dylan masih ada di sini, hidup dalam diri Noah. Suatu sore, Sarah duduk di lantai ruang tamu, memperhatikan Noah yang berusaha berjalan menuju dirinya. "Ayo, Sayang… sini ke Mama," panggilnya lembut. Noah tertawa kecil, melangkah perlahan dengan tangan terangkat, mencari keseimbangan. Saat berhasil mencapai Sarah, ia langsung meraih wajah ibunya dengan tangan mungilnya, tertawa senang. Sarah tersenyum, matanya terasa panas. Ia memeluk Noah erat, membiarkan air matanya jatuh tanpa suara. "Kamu s
Sebulan berlalu sejak kepulangan mereka dari luar negeri, tetapi tidak ada kabar baik yang datang. Dylan tetap dinyatakan hilang. Namun, di hati Sarah, keyakinannya belum pudar. Suatu pagi, saat Noah tertidur di kamar, Sarah duduk di ruang tamu bersama Kate. Udara terasa berat, sama seperti beban di hati mereka. Sarah menghela napas panjang sebelum akhirnya berkata, "Kate, kamu nggak usah terlalu khawatir soal aku dan Noah. Aku bisa jaga diri." Kate menoleh dengan ekspresi terkejut, lalu menggeleng tegas. "Aku nggak bisa, Sarah. Aku udah janji sama Dylan. Salah satu permintaannya sebelum pergi adalah memastikan kamu dan Noah baik-baik saja." Sarah menunduk, jari-jarinya saling meremas di pangkuan. "Aku tahu, tapi kamu juga punya kehidupan, Kate. Aku nggak mau kamu terus merasa bertanggung jawab untuk sesuatu yang seharusnya bukan beban kamu." Kate terdiam sejenak sebelum menatap Sarah penuh arti. "Ini bukan beban, Sarah. Kamu itu sahabat aku. Noah seperti ke
Kabar yang datang pagi itu masih belum membawa kepastian. Tim pencari hanya menemukan beberapa barang milik Dylan—jam tangan, ponselnya yang rusak, dan sebagian pakaian yang diyakini miliknya. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan yang ditemukan. Ayah dan ibu tiri Dylan tampak frustrasi dengan perkembangan pencarian yang terasa lambat. Mereka memutuskan untuk terbang langsung ke luar negeri untuk mengurus pencarian secara langsung. Sarah, yang tak bisa tinggal diam, memutuskan untuk ikut bersama Noah dan Kate. Perjalanan itu terasa panjang bagi Sarah. Duduk di pesawat dengan Noah tertidur di pangkuannya, pikirannya terus dipenuhi ketakutan. Bagaimana jika Dylan benar-benar tidak kembali? Bagaimana jika ia harus menghadapi kenyataan kehilangan pria yang baru saja ia sadari betapa besar cintanya? Kate menggenggam tangannya erat, seolah bisa merasakan kegundahan yang berputar di benaknya. “Sarah, kita belum tau apa pun dengan pasti. Jangan berpikir yang buruk dulu.”