Jika ditanya, apa impian terbesarku? maka aku akan menjawab sederhana. Menikah dengan pria yang aku cintai dan mencintaiku, serta menjadi seorang istri dan ibu yang baik untuk suami dan anak-anakku kelak.
Hmm, simple kan? tetapi, kenapa Tuhan tak urung mengabulkan keinginanku walaupun aku sering berdoa yang terbaik untukku.
Apakah sang maha kuasa marah dan murka padaku yang mengeluh? impian dan kenyataan justru berbanding terbalik, aku memang menikah namun bukan dengan pria yang aku cintai dan diapun juga tak mencintaiku. malahan dia membenciku dan tega mengatakan bahwa pernikahan ini adalah kesialan untuknya.
Tak hanya itu, tatapan benci dan jijik selalu ia berikan setiap kali melihatku seakan-akan aku ini kotoran yang tak enak di pandang.
Aku lelah dan juga sakit hati, tentu saja. Pernikahan yang aku impikan lenyap tak bersisa tetapi aku tetap ingin mempertahankan pernikahan ini. Apakah salah bila seorang istri berusaha berjuang untuk mempertahankan rumah tangganya?
Tuhan, kuatkanlah aku menghadapi semua ini sampai batas kesabaranku habis.
*****
Aku melihat sekaligus meneliti penampilan suamiku yang tampak tampan dan rapi dengan gaya pakaian kasualnya. Aku tersenyum lembut seraya bertanya padanya, "mau kemana, Mas?"
"Bukan urusanmu!" sahutnya masih saja ketus setiap kali aku tanya.
Ini sudah memasuki bulan kedua usia pernikahan kami, tetapi sikap dan sifatnya masih sama saja. Tak ada sedikitpun perubahan, mas Tala masih tetaplah sosok yang dingin tak tersentuh.
Aku tersenyum masam, berharap kedinginan mas Tala sedikit mencair untukku. Hah, keinginan yang mungkin tidak akan pernah terjadi. Lalu, mengapa aku masih bertahan?
Mungkin kalau wanita lain pasti langsung meminta cerai, tapi aku tidak, kenapa?
Karena aku masih ingin mempertahankan pernikahan ini, setidaknya meskipun harapan untuk hidup bahagia bersama itu tipis. Karena bagiku, menikah itu hanya sekali seumur hidup.
Aku akan menyerah dan mundur apabila aku sudah tak mampu lagi mempertahankan pernikahan ini.
"Mas, bolehkah aku ikut?" tanyaku hati-hati dan berharap mas Tala mau mengajakku.
Ku dengar mas Tala mendengkus dan kini menatapku tajam. Aku tak berani membalas tatapan matanya dan lebih memilih menundukkan kepalaku.
"Menyebalkan!" cibirnya seraya melangkah melewatiku begitu saja.
"Mas!" panggilku seraya mengikuti langkahnya yang kini sudah memegang gagang pintu dan bersiap pergi.
"Apalagi?!" bentaknya nyaris menjerit, aku sampai harus menutup kedua telingaku.
"Mas, mau kemana sih? Bisakah Mas beritahu padaku—"
"Sudah ku bilang bukan urusanmu, apa kau tidak mengerti bahasa Indonesia?" sahutnya menyela ucapanku.
"Mas, aku bertanya karena aku ingin tahu kemana suamiku akan pergi."
"Kalau begitu buang saja rasa keingintahuanmu itu."
"Mas!" jeritku panik saat mas Tala langsung pergi begitu saja dan ....
Blaaammm.
Bunyi suara pintu yang di banting kuat mengagetkanku.
Cairan bening itu kembali mengalir deras tanpa diminta. Ya Tuhan! Kuatkanlah aku dan lindungi suamiku dimanapun ia berada.
*****
Aku menggeliat kecil dan menatap jam dinding yang bertengger cantik di ruang tamu. Jam sudah menunjukkan pukul satu dini hari tetapi masih juga tak menunjukkan tanda-tanda mas Tala akan pulang.
Sedari tadi juga aku berusaha memejamkan mata untuk tidur, namun sayangnya kantuk tak juga mau datang menyapaku lalu membawaku ke alam mimpi.
Perasaan cemas, gelisah dan khawatir bercampur jadi satu. Bertanya-tanya pada diri sendiri, dimanakah suamiku saat ini.
Tak tahukah dia bahwa aku sangat khawatir?
Aku menatap ponsel yang sengaja ku letakkan di meja, perlahan aku bangkit dari posisi rebahanku di sofa panjang yang ada disini. Kembali ku hubungi lagi nomor ponsel mas Tala dengan pengharapan kali ini diangkat.
Alih-alih berharap demikian aku justru kembali dibuat kecewa, nomor ponsel mas Tala malah tidak aktif. Dengan lesu aku kembali meletakkan ponselku ke meja, mengusap wajahku dengan kedua telapak tangan seraya bergumam mengkhawatirkan keberadaan mas Tala.
"Kamu dimana, Mas...?"
Drrttt... Drrttt...
Aku mengalihkan pandangan ketika mendengar suara ponselku bergetar, dengan semangat aku mengambil ponsel tersebut berharap jika mas Tala yang menghubungiku.
Senyumku yang tadi mengembang langsung lenyap saat ku dapati bukan mas Tala lah yang meneleponku melainkan temanku. Aku mengerutkan dahi bingung, untuk apa Lista menghubungiku jam segini?
Entah kenapa aku tak berniat untuk mengangkatnya, sekarang ini perasaanku tengah gelisah memikirkan suamiku. Suami yang tak pernah memandangku maupun menganggapku ada walaupun aku sangat dekat dengannya.
Tersenyum kecut aku kembali meratapi nasib pernikahanku, apakah aku akan sanggup bertahan bila terus seperti ini?
Tidak, tidak! Aku tidak boleh goyah dan menyerah. Aku harus kuat.
Beep beep....
Ponselku kembali berbunyi, satu notifikasi pesan dari Lista. Aku semakin mengerutkan dahi, apakah ada sesuatu hal penting yang terjadi.
Karena penasaran aku pun membuka pesan yang di kirimkan Lista. Dan sontak saja aku terbelalak kaget begitu melihat isi pesannya.
Ya Tuhan!
Hatiku terasa sesak melihatnya, orang yang tengah ku khawatirkan malah dengan sangat santainya berbuat hal seperti itu.
Aku gak sanggup untuk lebih lama melihat pemandangan itu, dengan tangan gemetar aku menghubungi nomor ponsel Lista yang syukurlah langsung diangkatnya.
Aku bertanya pada Lista kenapa dia bisa memiliki foto-foto tersebut. Foto-foto mesra mas Tala dengan seorang wanita seksi yang ku duga tengah berada di sebuah club malam.
Lista bilang ia tidak sengaja melihat mas Tala disana dengan seorang wanita. Tak perlu menanyakan keberadaan temanku disana sebab aku sudah hafal sekali dengan sifat dan dunianya yang bebas. Kami memang berteman, tetapi gaya hidup dan tingkah kami jauh berbeda bagaikan bumi dan langit. Aku juga tidak menanggap bahwa diriku adalah orang yang paling suci di dunia ini. Hanya saja aku tidak menyukai club malam dan sejenisnya, sedangkan Lista adalah ratunya.
Kehidupan bebas Lista pun membuatnya dikenal sebagai wanita nakal dan liar. Tetapi, aku tidak pernah mempermasalahkan itu. Ibu dan ayah sempat melarangku untuk jangan berteman lagi dengan Lista. Aku menolak karena aku nyaman berteman dengan Lista begitupun dengannya, aku dan Lista saling menghargai dan menyayangi satu sama lain.
Aku menutup sambungan telepon ketika Lista selesai bicara, ini sesuatu yang sangat mendadak bagiku. Selama ini aku tidak pernah tau kalau mas Tala suka ke tempat-tempat seperti itu.
Yang menjadi pertanyaanku, ini baru pertama kalinya atau sudah sering mas Tala lakukan? Mengingat setiap malam ia selalu pergi dan pulang ketika pagi.
Oh, mas Tala, teganya kamu melakukan ini padaku. Kalau hanya datang saja ke club malam mungkin aku tidak semarah ini. Tetapi bermesraan dengan wanita?
Itu sudah sangat keterlaluan, mas! Tetapi, kenapa aku harus marah? Bukankah mas Tala tidak pernah memikirkan perasaanku. Jangankan memikirkan perasaan, mas Tala bahkan tak pernah menganggap pernikahan ini nyata untuknya.
Sudah sering mas Tala mengatakan bahwa ia tak peduli pada apapun tentangku. Justru ia semakin senang bila aku tak tahan dengannya dan cepat meminta cerai.
Apakah mas Tala sengaja melakukan ini?
Tbc....
New story
Semoga suka ❤️
Baca, beri vote, dan komennya ya kesayangan 🤗
Akan Ade lanjutin setelah lihat seberapa antusias dan seganasnya kalian. Hehe 💃
Atala pov.Ada yang berbeda hari ini, tak seperti biasanya setiap saat pasti aku akan merasa selalu terganggu dengan suara wanita yang terus bicara dan bertanya ini-itu. Tetapi, pagi ini setelah pulang dari club malam aku bahkan belum melihat sosok wanita itu.Ada sedikit gerangan dalam benakku bertanya-tanya, dimana Lanaya saat ini? Apakah masih di kamarnya?Ya, kami memang tidur terpisah. Sejak menikah dan pindah ke rumah ini aku sudah memutuskan bahwa kami akan tidur di kamar yang berbeda. Awalnya Lanaya menolak dengan menggunakan alasan licik bahwa kami sudah sah dan tak seharusnya tidur terpisah.Ku akui memang seharusnya tak boleh seperti itu, tapi mau bagaimana lagi jika aku sama sekali tak tertarik dengan pernikahan ini. Tak ada yang aku harapkan dari pernikahan yang dilandasi perjodohan ini. Tak ada cinta, tak ada ketertarikan dan masih banyak yang lainnya.Aku
Pagi-pagi, tahan emosi YESS! 😂 ******Hampir seminggu ini aku terus menghindar dari mas Tala, menghilang dari pandangan pria itu.Dengan tujuan dan pengharapan pria yang telah menjadi suamiku itu merasa kehilangan dan mencari keberadaanku.Namun rasanya nihil melihat mas Tala tak urung mendatangi kamarku walaupun hanya sekadar untuk mengetuk pintunya saja. Tersenyum meringis ketika aku mendengar deru mesin suara mobil mas Tala. Lagi, untuk kesekian kalinya malam ini mas Tala kembali pergi, aku mengintip dari balik jendela kamar dan menatap kepergian mas Tala dalam diam.Aku marah, kecewa, sedih dan juga cemburu atas apa yang mas Tala lakukan selama ini. Tetapi aku tidak bisa mengungkapkannya. Tidak, bukannya tidak bisa, hanya saja aku sadar diri bahwa keluhanku juga pasti tidak akan di dengarkan mas Tala. Justru pria itu malah senang melihatku terluka dan bersedih.
Aku menatap lesu Lista yang datang bertamu disaat yang tak tepat. Aku sedikit kehilangan semangat setelah membaca isi singkat tulisan tangan mas Tala di secarik kertas tadi.Aku tidak ingin Lista mengetahui raut wajah sedihku. Mencoba berusaha tegar aku memaksakan senyum untuk sahabatku ini."Jangan membohongiku, Lana." kata Lista menatapku kesal."Ah, aku ketahuan," sahutku masih dengan senyuman yang menghiasi wajahku."Kau tidak bisa membohongiku, Lan. Kita sudah bersahabat sejak lama, jelas diantara kita berdua tak ada yang bisa berbohong satu sama lain." aku mengangguk seraya mengigit bibir bawahku pelan."Jadi, katakan padaku apa yang terjadi sebenarnya?" tanya Lista terlihat sedikit menuntut jawaban.Aku menarik nafas sesaat seraya menggelengkan kepala, "tidak ada yang terjadi, Lis. Semuanya baik-baik saja.""Lana!" tegur Lista memanggil namaku, "sudah ku katakan bahwa kau tidak bisa membohongiku.""
Pagi ini aku bangun seperti biasa, setelah mandi aku langsung berkutat di dapur untuk membuat sarapan. Bedanya dimulai hari ini aku hanya membuat sarapan untuk diriku sendiri.Sedikit memekik saat membuka lemari pendingin aku baru sadar kalau isi di dalamnya sudah ludes tak bersisa. Ah iya, aku dan Lista sudah menghabiskannya kemarin.Bingung ingin sarapan apa akhirnya aku memutuskan untuk membuat mie goreng saja, kebetulan masih ada stok beberapa bungkus mie instan yang aku beli minggu lalu. Cukup butuh waktu beberapa menit saja untuk mengolah mie goreng dan selesai.Menaruhnya ke dalam piring dan langsung saja untuk mengeksekusinya, biar lebih mantap aku juga membuat kopi susu panas untuk teman makan mie.Saat asyiknya menikmati sarapan aku mendengar suara langkah kaki mendekat. Sedikit mendengkus aku mencoba untuk mengabaikannya, itu pasti mas Tala."Sedang apa kau disini?" pertanyaan lantan
Aku segera menepiskan cekalan tangan mas Tala. "Apa, Mas? Mama dan Papa mau datang menginap disini?""Ya, dan mereka sudah dijalan menuju kemarin." sahut mas Tala, "aku syok mendengarnya saat Papa menghubungiku. Karena itulah aku pulang cepat untuk langsung mengatakannya padamu.""Kemana saja kau ini sebenarnya, huh? Nomor ponsel tidak aktif, apa kau tidak tahu betapa paniknya aku hanya untuk menyampaikan berita tentang ini?" ucap mas Tala berang.Aku terperangah mendengarnya, mas Tala panik tapi bukan padaku melainkan karena tak bisa menyampaikan pesan jika orang tuanya akan datang menginap di rumah kami."Maaf, ponselku mati Mas. Kehabisan baterainya sepertinya," tukasku menjelaskan agar mas Tala tak salah paham.Mas Tala mengibaskan sebelah tangannya, "lupakan. Itu tidak penting sekarang ini, yang terpenting saat ini adalah kita harus membereskan semua kekacauan yang terjadi."
Niat hati ini ingin egois namun kenyataannya aku tidak bisa, bagaimanapun juga aku menyayangi mertuaku. Aku sudah menganggap mereka seperti orang tuaku sendiri, ya tentu saja.Waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam lewat dua puluh menit ketika mertuaku sampai di rumah. Aku dan mas Tala menyambut mereka dengan suka cita.Setelah menyalami dan memeluk mama dan papa, aku mengajak mereka untuk segera masuk ke dalam."Waah, rumah kalian nyaman banget nak." ucap mama yang saat ini sebelah tangannya tengah memeluk pinggangku dari samping. Kami berjalan beriringan dengan mama di sampingku, dan papa di samping mas Tala."Iya, benar kata Mama. Nyaman," sambung papa menimpali.Aku tersenyum mendengarnya dan sedikit tertegun saat mataku tak sengaja melihat mas Tala juga ikut tersenyum. Astaga, baru kali ini aku melihatnya tersenyum dan tampak sangat tulus. Hmm, sepertinya."Mama
Pagi ini kami semua sarapan lewatdelivery onlinelagi. Mas Tala memesankan nasi uduk paling enak langganannya yang sering dia santap tiap pagi. Aku hampir cemas setengah mati saat mas Tala mengatakan itu dengan entengnya, syukurlah mama dan papa tidak mempertanyakan kata 'langganan' yang diucapkan mas Tala tadi.Dan rencananya siang ini mas Tala ingin mengajakku berbelanja bahan makanan untuk stok persediaan di lemari pendingin kami yang saat ini kosong melompong.Setelah pamit pada mama dan papa, kami langsung memutuskan pergi. Butuh waktu cukup lama untuk sampai di pusat perbelanjaan karena tadi kami sempat mengalami macet yang lumayan panjang. Seluruh kesabaran kami hampir terkuras sepenuhnya disana."Ada apa? Kenapa kau menatapku seperti itu?" tanya mas Tala yang sepertinya risih saat aku terus melihat ke arahnya."Mas tidak bekerja?" tanyaku sehati-hati mungkin agar tak menyinggung per
Tak terasa sudah seminggu juga mertuaku tinggal dan menginap disini. Dan selama seminggu ini pula mas Tala tampak gelisah, bahkan mulutnya sering kali mengeluarkan decakan sebal.Kadang aku menjadi bingung dan berpikir keras. Hal apa yang tengah mengganggu pikiran mas Tala sampai merasa resah begini.Timbul sebersit pemikiran negatif padanya, apakah mas Tala tidak suka dengan kehadiran Mama dan papa? Yang notabenenya adalah orangtua kandungnya sendiri. Ah, tapi tidak mungkin. Aku menggelengkan kepala kuat menepiskan pemikiran buruk itu."Mas," aku terkesiap dan langsung memanggil mas Tala kala melihat ia melempar ponselnya ke atas ranjang."Ada apa?" dengan berani dan sangat lantang aku bertanya seraya menyentuh pelan sebelah bahunya.Mas Tala menepiskan tanganku kuat dan sedikit melangkah jauh dariku. Aku mengerjap beberapa kali melihat tingkah mas Tala."Maaf."